Kedokteran Gigi (S1)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Kedokteran Gigi (S1) by Author "Abel Tasman Yuza"
Now showing 1 - 18 of 18
Results Per Page
Sort Options
Item Bone grafting for alveolar bone loss patients (literature review)(2017-03-23) LOH MEI LIM; Endang Sjamsudin; Abel Tasman YuzaNowadays, the bone grafting in dentistry is getting more popular among dental patients especially those who could not receive dental implants and dental prosthesis treatment in the past due to not having enough bone . The purpose of this review article is to illustrate the current state of development of bone graft materials and bone grafting techniques used for bone defect regeneration, as well as to understand more about bone healing. The focused question was“bone grafting in dentistry”. The searches were limited to articles including: bone graft materials, bone grafting techniques, bone healing, and bone graft incorporation. Basically there are 5 types of material : autograft, allograft, xenograft, alloplastic materials and osteoinductive materials. For the bone grafting techniques, there are several types as well , such as : socket preservative, onlay grafting, inlay grafting, ridge expansion, distraction osteogenesis and maxillary sinus lifting. Lastly, the best choice of bone grafting material is still the autogenous bone graft because it consists of osteoconducitve, osteoinductuve and osteogenic properties. Besides that, for the choice of the techniques of bone grafting and of graft material donor areas are evaluated primarily according to the degree of bone loss, surgical-prosthetic planning, the amount of bone grafts needed and general condition of the patient. Lastly, by having the knowledge about the mechanism of bone healing, it can help to increase the success rate of the bone grafting.Item Emphysema Due to Tooth Extraction(2018-07-11) ONG QUO BAO; Abel Tasman Yuza; Andri HardiantoThis minor thesis has been done in order to fulfill the purpose of illustrating and review the definition, pathogenesis, mechanism, sign and symptom, complication of emphysema, emphysema on tooth extraction, prevention, countermeasure and treatment of emphysema on tooth extraction. The type of this research method is a qualitative case study. “Emphysema Due to Tooth Extraction” is the main focused question of this minor thesis and its resource and references were limited with specific searches keywords including: Tooth extraction, emphysema, treatment and medication for emphysema on tooth extraction. Tooth extraction is a removal process of tooth from tooth socket, to stop pain from tooth decay, to remove fractured or malformed teeth, or for the purpose of denture installation, while emphysema is an abnormal pathologic distention of body tissue caused by retention of air. It is classified into pulmonary emphysema and emphysema outside of respiratory system such as subcutaneous emphysema.Among the studies case reports, one of them describes a 56 years old male patient who suffered from immediate subcutaneous emphysema can be treated with 8L O2/min for the first 12 hours and IV antibiotic or ampicilin with sulbactam, prophylaxis for potential oral pathogen. Once the swelling slowly recovers, the patient was then discharged with augmentin 875mg and oxycodone-acetaminophen. As the conclusion, subcutaneous emphysema is best treated with board spectrum antibiotics such as ampicillin, non-steroid anti-inflammatory drugs which is given when subcutaneous emphysema is in the state of inflammation, analgesic, and certain treatment includes mouth-opening exercise and airway monitoring but its necessity is based on patient condition.Item Evaluasi Sendi Temporomandibula Pasca Operasi Ortognatik dengan Metode Surgery First Orthognathic : Scoping Review(2023-07-12) AZRA ZHAFIRAH FAIZAH; Indra Hadikrishna; Abel Tasman YuzaAbstrak Pendahuluan: Kelainan dento skeletal didefinisikan sebagai penyimpangan kompleks maksilomandibula sehingga berdampak negatif pada hubungan gigi dan rahang. Bedah ortognatik adalah pilihan perawatan untuk memperbaiki kelainan dento skeletal. Surgery first orthognathic adalah salah satu jenis bedah ortognatik dimana prosedur pembedahan dilakukan sebelum perawatan ortodontik. Salah satu masalah yang dapat terjadi setelah dilakukan perawatan surgery first orthognathic adalah terkait dengan kelainan sendi temporomandibula (TMD). Penelitian ini bertujuan untuk memetakan penelitian yang sudah dipublikasi mengenai evaluasi sendi temporomandibula pasca surgery first orthognathic yang diperiksa melalui pemeriksaan klinis. Metode: Penelitian dilakukan dengan metode scoping review yang berpedoman pada PRISMA-ScR. Mesin pencarian yang digunakan adalah PubMed, ScienceDirect, dan Scopus. Pencarian dilakukan menggunakan kata kunci ((surgery first orthognathic) OR (surgery first orthognathic approach)) AND (temporomandibular joint). Hasil: Total delapan artikel yang termasuk dalam kriteria inklusi. Total 119 pasien telah menjalani operasi ortognatik dengan metode surgery first orthognathic. Kondisi sendi temporomandibula (TMJ) pasca operasi didapatkan 25,2% pasien mengalami perbaikan TMD, 70,6% pasien tidak mengalami perubahan pada TMJ yang normal, dan 4,2% pasien mengalami TMD yang makin memburuk dibanding sebelum operasi. Simpulan: Berdasarkan hasil analisis seluruh artikel pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa surgery first orthognathic cenderung tidak menghasilkan perubahan pada pasien yang memiliki sendi temporomandibula yang normal sebelum operasi. Dalam beberapa kasus, surgery first orthognathic memiliki peluang untuk menyembuhkan tanda dan gejala TMD. Namun, terdapat kemungkinan risiko yang sangat kecil setelah dilakukan surgery first orthognathic yaitu tanda dan gejala TMD yang memburuk setelah operasi atau muncul onset baru TMD. Kata Kunci: Surgery first orthognathic, sendi temporomandibula, pemeriksaan klinisItem FREKUENSI KELAINAN DENTO SKELETAL DENGAN PENANGANAN BEDAH OTOGNATIK DAN OSTEODISTRAKSI DI SMF BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG TAHUN 2012-2017(2018-07-16) ARINA SANI NAFISA; Seto Pramudita; Abel Tasman YuzaKelainan dento skeletal adalah kelainan pada gigi geligi yang berdampak pada gangguan fungsi rahang, hubungan gigi dan penampilan wajah. Pada kelainan dento skeletal penggunaan alat ortodontik memiliki keterbatasan dalam mengoreksinya sehingga dibutuhkan perawatan bedah. Bedah ortognatik dan osteodistraksi merupakan pilihan perawatan yang dapat dijalani. Saat ini, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung merupakan salah satu pusat rujukan nasional yang menyediakan bedah ortognatik dan osteodistraksi. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran serta jumlah kelainan dento skeletal dengan penanganan bedah ortognatik dan osteodistraksi di SMF Bedah Mulut dan Maksilofasial pada periode 2012 – 2017. Metode penelitian yang digunakan adalah dekriptif retrospektif. Sample penelitian ini adalah rekam medis pasien kasus kelainan dento skeletal dengan penanganan bedah ortognatik dan osteodistraksi di SMF Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode tahun 2012 – 2017 yang dipilih dengan pendekatan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukan kelainan dento skeletal dengan penanganan bedah ortognatik berjumlah 39 kasus dengan jumlah kasus paling banyak terjadi pada tahun 2017, berjumlah 19 kasus. Jumlah penanganan osteodistraksi berjumlah 4 kasus dengan jumlah kasus paling banyak terjadi pada tahun 2017, sebanyak 2 kasus. Teknik pembedahan ortognatik yang paling sering digunakan adalah kombinasi Le Fort 1 dan BSSO yaitu sebanyak 64,11% sedangkan untuk teknik pembedahan osteodistraksi yang paling sering digunakan adalah teknik distraksi maksila sebanyak 50%.Item Gambaran Komplikasi Odontektomi dengan Anestesi Umum di RSGM Unpad(2020-01-25) ARINA AL KHAQ; Abel Tasman Yuza; Endang SjamsudinPendahuluan: Odontektomi merupakan prosedur pengangkatan gigi impaksi yang sering dilakukan oleh dokter bedah mulut dan maksilofasial. Beberapa kasus odontektomi dilakukan dengan menggunakan anestesi umum dengan pertimbangan tertentu, seperti pasien dengan gangguan mental atau fisik, derajat kesulitan impaksi, kecemasan pasien, jumlah gigi impaksi, dan durasi operatif. Odontektomi merupakan golongan bedah minor dan memiliki risiko berupa komplikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran komplikasi odontektomi dengan anestesi umum. Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif menggunakan data retrospektif berupa rekam medis pasien odontektomi dengan anestesi umum di RSGM Unpad pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2018. Hasil: Penelitian dilakukan dengan 122 sampel, sebanyak 47 pasien mengalami risiko dan komplikasi odontektomi pada hari pasca operasi ke-1 dan 23 pasien mengalami komplikasi pada hari pasca operasi ke-7. Komplikasi paling sering terjadi pada pasien dengan empat gigi molar ketiga diekstraksi. Risiko dan komplikasi odontektomi yang terjadi dalam penelitian ini, yaitu nyeri, edema, perdarahan, trismus, dan parastesia. Pembahasan: Nyeri, edema, dan perdarahan paling sering terjadi karena merupakan risiko odontektomi yang berkaitan dengan proses penyembuhan luka dan inflamasi. Kenaikan insidensi komplikasi seiring dengan banyaknya jumlah gigi molar ketiga yang diekstraksi berkaitan dengan durasi odontektomi dan derajat kesulitan impaksi. Simpulan: Insidensi risiko dan komplikasi odontektomi dengan anestesi umum pada hari pasca operasi ke-1 lebih tinggi dibandingkan insidensi komplikasi odontektomi dengan anestesi umum pada hari pasca operasi ke-7 dan insidensi komplikasi meningkat seiring dengan banyaknya jumlah gigi yang diekstraksi. Risiko odontektomi dan komplikasi yang terjadi pasca odontektomi dengan anestesi umum di RSGM Unpad dalam penelitian ini yaitu nyeri, edema, perdarahan, trismus, parastesia, dan atau gabungan diantara kelima komplikasi tersebut.Item Gambaran Tingkat Kesulitan Odontektomi Terhadap Angka Kejadian Dry Socket (Studi Literatur Terstruktur)(2019-04-12) GINA AULIA SUWANDI; Abel Tasman Yuza; Endang SjamsudinPendahuluan: Odontektomi merupakan tindakan pengambilan gigi dari soketnya setelah pembuatan flap dan mengurangi sebagian tulang yang mengelilingi gigi tersebut. Odontektomi merupakan golongan bedah minor yang digunakan untuk kasus gigi impaksi dan memiliki risiko berupa komplikasi seperti dry socket. Dry socket adalah kondisi hilangnya bekuan darah yang terlepas dari soket sehingga tulang terekspos karena adanya trauma dan kesulitan saat pembedahan. Analisis sebelum tindakan odontektomi sangat diperlukan untuk memperkirakan tingkat kesulitan pencabutan gigi impaksi dan komplikasi yang kemungkinan timbul. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat kesulitan odontektomi terhadap angka kejadian dry socket. Metode: Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur terstruktur dengan jenis deskriptif. Hasil: Hasil kajian dari 4 jurnal terdapat 610 pasien odontektomi dengan gambaran persentase dry socket tertinggi terjadi pada tipe distoangular sebesar (11.3%), diikuti dengan vertikal (8.21%), horizontal (7.31%), dan terendah pada mesioangular (7.16%). Tipe distoangular merupakan tipe tersulit untuk dilakukan pencabutan sehingga secara signifikan dapat menimbulkan adanya trauma dan komplikasi pasca operasi lebih besar. Kesimpulan: Berdasarkan keempat jurnal yang dianalisis menggunakan jenis deskriptif, tipe distoangular memberikan gambaran persentase komplikasi dry socket tertinggi.Item Hydroxyapatite Sebagai Material Bone Graft Penunjang Perawatan Implan Gigi: Rapid Review(2022-08-15) FAIRUZ ZAHIRA DJASWANDINI; Abel Tasman Yuza; Andri HardiantoPendahuluan: Penempatan implan setelah kehilangan gigi dapat mempertahankan kondisi tulang dari resorpsi. Bone graft digunakan untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas tulang alveolar yang adekuat untuk menunjang implan gigi. Hydroxyapatite merupakan biomaterial bone graft sintetis utama yang memiliki komposisi dan struktur mirip dengan tulang asli. Biomaterial hydroxyapatite telah banyak diteliti dan dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan keberhasilan penggunaan hydroxyapatite sebagai pilihan material bone graft penunjang perawatan implan gigi. Metode: Penulisan ini menggunakan metode rapid review yang mengacu pada penyederhanaan systematic literature review dengan kerangka penulisan PICO berdasarkan Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-analysis (PRISMA). Pencarian artikel dilakukan melalui basis data Science Direct, PubMed, Google Scholar, SAGE Journals, dan Cochrane Library. Hasil: Terdapat 11 artikel mengenai penggunaan hydroxyapatite dalam perawatan implan gigi yang memenuhi kriteria inklusi, yang terdiri dari balok interconnected porous hydroxyapatite ceramic (IP-CHA); nanoconstructed carbonated hydroxyapatite (C-HA); komposit hydroxyapatite/collagen (HAp/Col); hydroxyapatite berpori; hydroxyapatite berpori bersama rhBMP-2 dan membran kolagen; balok hydroxyapatite berpori dari metode replikasi spons; nano hydroxyapatite (nHA) dari sintesis cangkang kulit telur bersama membran platelet-rich fibrin (PRF); 3D-printed HA granular bersama membran kolagen; nHA yang digunakan dengan membran kolagen; nHA yang disinter; dan nHA yang digunakan bersama PRF dan amniotic membrane (AM). Pertumbuhan jaringan tulang diobservasi melalui analisis histologis dan histomorfometri; pencitraan scanning electron microscope (SEM), X-Ray Diffraction (XRD), Fourier-Transform Infrared (FTIR), Cone Beam Computed Tomography (CBCT), CT-Scan; dan nilai ISQ. Simpulan: Penulisan ini menunjukkan keberhasilan material hydroxyapatite secara klinis menunjang implan gigi dengan stabil karena osseointegrasi yang baik antara tulang dan implan, pertumbuhan tulang, dan penambahan ketebalan tulang, yang dipengarui oleh morfologi dan komposisi material yang digunakan.Item Karakteristik kasus trauma maksilofasial sebelum dan selama pandemi: rapid review(2023-07-12) META TRIA HIDAYAH; Endang Sjamsudin; Abel Tasman YuzaPendahuluan: Trauma maksilofasial adalah suatu cedera yang terjadi pada wajah dan jaringan sekitarnya, yang mencakup jaringan keras dan jaringan lunak. Trauma kepala yang menyertai trauma maksilofasial merupakan kondisi yang mengancam jiwa, sehingga trauma maksilofasial penting untuk segera ditangani. Dengan ditemukannya virus SARS-COV-2 pada Desember 2019, WHO menganjurkan berbagai kebijakan pembatasan sosial yang berpengaruh pada setiap aspek kehidupan sehingga menyebabkan perubahan pola trauma maksilofasial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik trauma maksilofasial sebelum dan selama pandemi COVID-19. Metode: Metodologi penelitian yang digunakan adalah rapid review. Studi ini dilakukan dengan mengikuti panduan diagram PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analytic). Pencarian data dilakukan pada database Scopus, ScienceDirect, dan PubMed dengan kata kunci periode sebelum pandemi (maxillofacial trauma* OR maxillofacial injuries) AND (incidence OR etiology OR type), dan kata kunci selama pandemi (maxillofacial trauma* OR maxillofacial injuries) AND (incidence OR etiology OR type) AND (COVID-19 OR COVID 19 OR coronavirus OR SARS-CoV-2). Hasil: Diperoleh 15 artikel yang memenuhi kriteria inklusi, kemudian artikel dianalisis secara kualitatif. Pada periode sebelum pandemi, tercatat 15 macam penyebab trauma maksilofasial dengan penyebab paling sering kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan kekerasan. Tipe paling dominan adalah trauma orbital, mandibula dan ZMC. Pada masa pandemi, terlihat adanya penurunan kasus yang dilaporkan dan lebih sedikit faktor etiologi yang tercatat, trauma mandibula menjadi tipe yang paling sering ditemui, diikuti trauma orbital dan ZMC. Simpulan: Terdapat perubahan gambaran yang signifikan pada insidensi, namun tidak banyak perubahan gambaran penyebab dan tipe trauma maksilofasial pada periode sebelum dan selama pandemi COVID-19.Item Mual dan muntah pasca operasi pada pembedahan oral dan maksilofasial : rapid review(2021-07-11) KHANZA ZAHIRA; R. Agus Nurwiadh; Abel Tasman YuzaPendahuluan: Mual dan muntah pasca operasi (MMPO) adalah komplikasi yang sering dialami pasien setelah menjalani pembedahan. Terjadinya MMPO dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab MMPO khususnya di bidang bedah oral dan maksilofasial. Metode: Penelitian rapid review ini dilakukan menggunakan pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA). Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga Maret 2021 secara daring. Artikel yang diinklusikan adalah artikel dengan pasien yang menjalani prosedur bedah oral dan maksilofasial serta mengalami komplikasi mual dan muntah pasca operasi. Pencarian artikel dilakukan melalui basis data elektronik PubMed, Science Direct, dan Scopus dengan batasan tahun antara 2010-2021. Artikel terpilih sesuai dengan kerangka PICO (Population, Intervention, Comparison, Outcome) dan dilakukan penapisan dengan memeriksa duplikasi, membaca judul dan abstrak, serta membaca keseluruhan isi artikel. Hasil: Pencarian awal terindentifikasi 566 artikel, 54 artikel didapatkan setelah penapisan judul dan abstrak, dan penapisan akhir didapatkan 11 artikel dengan membaca keseluruhan isi artikel. Faktor penyebab paling sering adalah penggunaan anestesi inhalasi. Faktor penyebab lain teridentifikasi seperti penggunaan opioid, jenis operasi oral dan maksilofasial seperti bedah ortognatik, durasi operasi dan anestesi, jenis kelamin, usia, riwayat mual dan muntah, ras, dan penggunaan cairan intravena. Simpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor penyebab utama pada pembedahan oral dan maksilofasial adalah penggunaan anestesi inhalasi. Mengetahui faktor penyebab mual dan muntah pasca operasi pada pembedahan oral dan maksilofasial dapat dijadikan evaluasi pasca pembedahan dan membantu dalam pemeriksaan pra operatif.Item Pengaruh Konsentrasi Aloevera terhadap Kecepatan Penyembuhan Luka Ulserasi pada Mukosa Rongga Mulut(2018-07-11) AMATILLAH; Endang Sjamsudin; Abel Tasman YuzaLuka yang terdapat pada bagian rongga mulut akan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien. Aloe vera merupakan tanaman herbal yang mudah ditemukan dan dapat digunakan sebagai alternatif penatalaksanaan penyembuhan luka bagi pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap penggunaan obat steroid. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi pemberian ekstrak gel lidah buaya sebagai bahan alam terhadap kecepatan penyembuhan luka ulserasi pada mukosa rongga mulut. Penulisan kajian ini menggunakan metode Studi Pustaka dengan Pendekatan secara sistematik dengan mengkaji artikel yang membahas mengenai pengaruh konsentrasi aloe vera terhadap kecepatan penyembuhan luka ulserasi pada mukosa rongga mulut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 2 jurnal penelitian klinis yang berkaitan dengan pembahasan mengenai pengaruh konsentrasi aloe vera terhadap kecepatan penyembuhan luka ulserasi pada mukosa rongga mulut. Analisis statistik berupa ¬t-test dari data kedua jurnal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan aloe vera 2% memberikan hasil yang lebih signifikan bila dibandingkan dengan penggunaan aloe vera 0,5% terhadap penyembuhan luka ulserasi dilihat dari penurunan ukuran diameter lesi. Simpulan penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh konsentrasi pada pemberian ekstrak gel lidah buaya dalam mempercepat penyembuhan luka ulserasi pada mukosa rongga mulut.Item PERBANDINGAN PERAWATAN PLUNGING RANULA MENGGUNAKAN TEKNIK EKSISI, MARSUPIALISASI, DAN SKLEROTERAPI OK-432 BERDASARKAN TINGKAT REKURENSI(2018-07-16) IRSHAN HANIEF MUTAQIEN; Abel Tasman Yuza; Harmas Yazid YusufPlunging ranula merupakan suatu pseudokista yang berasal dari ekstravasasi mukus dan saliva yang besar pada dasar mulut yang berkembang lebih dalam dan meluas hingga keluar dari struktur dasar mulut kemudian masuk ke spasia submental sehingga nampak adanya benjolan di garis tengah leher bagian atas. Metode penelitian ini adalah menggunakan literature review. Literature review dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca, dan menelaah literatur-literatur dari buku dan jurnal mengenai plunging ranula serta literatur-literatur mengenai penatalaksanaan plunging ranula dengan eksisi, marsupialisasi, dan skleroterapi OK-432 yang membahas mengenai perbandingan perawatan antara penalatalaksanaan plunging ranula yang memiliki tingkat rekurensi dan komplikasi paling minimal. Berdasarkan pengkajian 7 jurnal yang membahas penatalaksanaan plunging ranula menggunakan eksisi, marsupialisasi, dan skleroterapi OK-432. Penulis mendapatkan hasil dari setiap metode yang digunakan oleh pengarang menghasilkan perbedaan hasil. Tetapi dalam penelitian yang dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa dari setiap jurnal yang dilakukan penelitian, tingkat perawatan plunging ranula yang memiliki tingkat rekurensi paling minimal adalah eksisi dengan penghilangan kelenjar sublingual.Item PERBEDAAN PENGARUH MUSIK KLASIK DAN MUSIK SUNDA TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN SEBELUM TINDAKAN ODONTEKTOMI(2017-07-10) SALMA NADIYAH RIDHO; Abel Tasman Yuza; I Made JoniPasien yang akan mengalami tindakan odontektomi pada umumnya akan merasakan kecemasan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan adalah dengan pemberian musik sebelum tindakan odontektomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh musik klasik dan musik sunda terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum tindakan odontektomi. Penelitian ini merupakan penelitian uji acak terkontrol dengan jumlah naracoba sebanyak 72 (36 pria; 36 wanita) orang. Naracoba dibagi secara acak ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol yang mendengarkan musik klasik dan kelompok perlakuan yang mendengarkan musik sunda. Naracoba diminta mengisi Modified Dental Anxiety Scale (MDAS) termodifikasi sebelum penelitian dimulai. Naracoba dengan skor m-MDAS kurang dari 19 selanjutnya akan diukur tingkat kecemasan awalnya dengan menggunakan skala kecemasan, tekanan darah, dan denyut nadi. Pengukuran awal dilakukan sebelum dilakukan intervensi musik, sedangkan pengukuran kedua dilakukan saat setelah pemberian intervensi musik. Data yang diperoleh selanjutnya diolah secarastatistik untuk melihat perbedaan kecemasan antara dua kelompok musik. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan skor kecemasan, tekanan darah dan denyut nadi yang bermakna (p<0.05) pada kedua kelompok. Selain itu analisis perbandingan berbagai indikator kecemasan pada kedua kelompok pasca intervensi musik menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0.05) diantara kedua kelompok, dimana partisipan pada kelompok musik sunda memperlihatkan skor kecemasan, tekanan darah dan denyut nadi yang lebih rendah. Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang bermakna antara musik klasik dan musik sunda terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum tindakan odontektomi, dimana musik sunda lebih efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan pasien.Item Prevalensi Kelainan Skeletal dengan Indikasi Bedah Ortognatik di RSGM Unpad(2020-03-11) INTAN AZHARI RAHMAYANI; Deni Sumantri Latif; Abel Tasman YuzaPendahuluan: Maloklusi merupakan penyimpangan dari oklusi normal. Maloklusi dapat mengganggu fungsi pengunyahan, pernapasan, bicara, dan gangguan psikososial pasien yang berdampak negatif bagi kepercayaan diri pasien. Prevalensi maloklusi di Indonesia sudah mencapai 80%, maka untuk menurunkan prevalensi tersebut dapat dilakukan perawatan ortodontik. Pada pasien dengan kelaian skeletal, tidak dapat dirawat dengan perawatan ortodontik saja, namun dapat dilakukan bedah ortognatik dengan indikasi tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa prevalensi kelainan skeletal dengan indikasi bedah ortognatik di RSGM Unpad. Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan menggunakan data retrospektif berupa rekam medis pasien yang melakukan perawatan ortodontik dari tahun 2015 sampai tahun 2019. Hasil: Dari 338 rekam medis yang diteliti, terdapat 71 sampel yang memenuhi kriteria. Sebanyak 60 pasien kelas II skeletal dan 11 pasien dengan kelas III skeletal. Dari 71 pasien, terdapat 57 pasien prempuan dan 14 pasien laki-laki. Pembahasan: Jika maloklusi skeletal tidak dilakukan perawatan dapat mengganggu kepercayaan diri pasien serta fungsional tubuh seperti gangguan pernapasan, penelanan, mastikasi, dan bicara. Bedah ortognatik dilakukan untuk memperbaiki proporsi dan keselaran wajah sehingga dapat meningkatkan penampilan wajah, kesejahteraan sosial dan fungsi tubuh. Perempuan lebih banyak melakukan perawatan karena perempuan lebih memiliki kesadaran estetik. Simpulan: Prevalensi kelainan skeletal dengan indikasi bedah ortognatik di RSGM Universitas Padjadjaran adalah 21%.Item TATA LAKSANA KOMPLIKASIINJURI VASKULAR PASCA OSTEOTOMI LE FORT I: TINJAUAN CEPAT(2021-07-11) FILAR KHAIRUNNISA; Lucky Riawan; Abel Tasman YuzaPendahuluan: Maloklusi dan deformitas dentofasial merupakan kelainan dentoskeletal yang umum ditemukan di masyarakat. Umumnya kelainan tersebut dapat diatasi dengan reposisi gigi ortodontik. Namun pada keadaan tertentu bedah ortodontik perlu dilakukan. Osteotomi Le Fort I merupakan tindakan bedah ortognatik yang umum dilakukan karena relatif aman dan sederhana. Walaupun begitu, tindakan ini diasosiasikan dengan komplikasi yang signifikan. Injuri vaskular merupakan komplikasi osteotomi Le Fort I yang paling sering terjadi. Hal tersebut dikarenakan kedekatan hubungan anatomi tulang maksila dengan fitur vaskular fasial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai tata laksana komplikasi injuri vaskular pasca osteotomi Le Fort I. Metode: Penelitian dilakukan menggunakan metode studi pustaka tinjauan cepat. Data didapatkan melalui pencarian sistematis dan komprehensif pada data base publikasi online Pubmed, Cochrane Library, dan CINAHL. Pencarian disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Penyaringan artikel dilakukan dengan pendekatan PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analyses). Hasil: Dari 11 artikel terpilih didapatkan jenis komplikasi yang paling banyak ditemukan adalah pendarahan yaitu sebanyak 2 artikel 8 sampel dengan tamponage sebagai tata laksananya. Diikuti pembentukkan pseudoaneurisma sebanyak 5 artikel 7 sampel dengan embolisasi, pembentukan fistula sebanyak 4 artikel 4 sampel dengan embolisasi dan pembentukan hematoma sebanyak 1 artikel 1 sampel. Simpulan: Semua artikel yang membahas tata laksana komplikasi injuri vaskular pasca osteotomi Le Fort I berupa pendarahan menyimpulkan bahwa treatment of choice pertama untuk manajemen pendarahan adalah tamponage. Tata laksana pembentukan pseudoaneurisma dan fistula adalah embolisasi. Sedangkan hematoma akan menghilang dengan sendirinya apabila penyebabnya telah dihilangkan.Item TATALAKSANA GANGGUAN NEUROSENSORI PASCA BILATERAL SAGITTAL SPLIT OSTEOTOMY (RAPID REVIEW)(2022-08-29) NURLIZA PRAWANTI; R. Agus Nurwiadh; Abel Tasman YuzaPendahulan: Gangguan neurosensori merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pasca prosedur bilateral sagittal split osteotomy (BSSO) dalam merawat pasien dengan deformitas dentofasial pada mandibular. Penatalaksanaan gangguan neurosensori yang tepat diperlukan dalam mempercepat proses penyembuhan gangguan neurosensori dan untuk menghindari komplikasi lanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pilihan tatalaksana gangguan neurosensori pasca bilateral sagittal split osteotomy (BSSO) Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rapid review yang mengacu pada tinjauan literature secara sistematis yang berpedoman berdasarkan Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA). Pencarian literatur dilakukan menggunakan PubMed, CINAHL, Science Direct dan Cochrane. Hasil: Penapisan literatur menghasilkan sebelas artikel yang diantaranya menggunakan sepuluh artikel metode Randomized Clinical Trial dan satu artikel metode retrospective study. Artikel yang didapatkan sesuai dengan kriteria inklusi, eksklusi dan telah dilakukan penilaian kualitas artikel. Pada proses ekstraksi data didapatkan tatalaksana yang digunakan untuk mempercepat proses penyembuhan gangguuan neurosensori yaitu diantaranya penggunaan Low-Level Laser Therapy (LLLT), Vitamin B12 dan penggunaan PRF. Kesimpulan : Tatalaksana gangguan neurosensori pasca BSSO yang digunakan adalah laser berdaya rendah atau Low-Level Laser Therapy (LLLT), Vitamin B12, dan Platelet Rich Fibrin Kata Kunci: gangguan neurosensori, bilateral sagittal split osteotomy, tatalaksanaItem Tatalaksana Komplikasi Bad Split dalam Bilateral Sagittal Split Osteotomy: Sebuah studi literatur sistematis(2021-07-09) NAAILA AFIFAH; Abel Tasman Yuza; Raden Tantry MaulinaPendahuluan: Bad split merupakan salah satu komplikasi intraoperasi yang dapat terjadi dalam prosedur bilateral sagittal split osteotomy (BSSO) dalam merawat pasien dengan deformitas mandibula. Penatalaksanaan komplikasi bad split dengan tepat akan menghindarkan penderita dari komplikasi lanjutan pasca operasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai pilihan penanganan dari komplikasi bad split dalam bilateral sagittal split osteotomy. Metode: Tinjauan literatur dilakukan berdasarkan pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis (PRISMA), yaitu dengan melakukan analisis terhadap artikel yang membahas mengenai tatalaksana dari komplikasi bad split. Artikel didapatkan melalui mesin pencarian Pubmed, ScienceDirect, Ebscohost, Scopus, Medline, Embase, Web of Science dan melalui teknik snowball. Setiap anggota tim penulis terlibat secara independen di dalam penetapan kriteria inklusi, ekstraksi data, serta penentuan resiko bias. Hasil pencarian selanjutnya melalui proses penapisan sesuai dengan kriteria inklusi. Hasil: Proses penapisan menghasilkan tujuh artikel yang terdiri dari lima penelitian case series dan dua penelitian cross sectional yang memenuhi kriteria inklusi. Pada proses ekstraksi data diketahui terdapat beberapa material yang lazim digunakan di dalam penatalaksanaan komplikasi bad split, dimana plat osteosintesis merupakan plat yang paling banyak digunakan. Simpulan: Komplikasi bad split dapat dilakukan tatalaksana dengan menggunakan plat osteosintesis dan miniplate dengan tambahan bicortical screw ataupun monocortical screw.Item Tingkat Pengetahuan dan Pengalaman Dokter Gigi di Kota Bandung dalam Penanganan Darurat Fraktur Dentoalveolar(2022-07-09) REFIGA ANDISTIARA; Endang Sjamsudin; Abel Tasman YuzaPendahuluan: Fraktur dentoalveolar merupakan kejadian yang paling umum terjadi, dibandingkan dengan semua trauma yang terjadi pada wajah. Fraktur dentoalveolar memiliki dampak buruk bagi pasien jika tidak diberikan perawatan yang memadai. Perawatan fraktur dentoalveolar merupakan prosedur kompleks yang butuh pengetahuan, diagnosis dan rencana perawatan yang akurat dari seorang dokter gigi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan pengalaman dokter gigi di Kota Bandung dalam penanganan darurat fraktur dentoalveolar. Metode: Deskriptif kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel proportionate stratified random sampling. Penelitian dilakukan terhadap 306 responden yaitu dokter gigi umum, dokter gigi residen dan dokter gigi spesialis di Kota Bandung. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dengan 15 pertanyaan untuk mengukur pengetahuan, dan 3 pertanyaan untuk mengetahui pengalaman dokter gigi. Hasil: Untuk tingkat pengetahuan, sebanyak 3 responden (1%) memiliki tingkat pengetahuan kurang, 78 responden (25%) pada kategori cukup, dan 225 responden (75%) pada kategori baik. Gambaran pengalaman dokter gigi dalam menjumpai fraktur dentoalveolar 1-5 kali selama praktik, pengalaman tindakan yang dilakukan adalah perdarahan dihentikan dan segera di rujuk, dan mayoritas dokter gigi tidak pernah mengikuti pelatihan perawatan fraktur dentoalveolar. Simpulan: Tingkat pengetahuan dokter gigi di Kota Bandung dalam penanganan darurat fraktur dentoalveolar secara keseluruhan berada dalam kategori baik. Pengalaman dokter gigi di Kota Bandung dalam menjumpai kasus fraktur dentoalveolar rata-rata 1-5 kali selama praktik dengan kasus terbanyak menghentikan perdarahan dan segera dirujuk serta tanpa adanya pengalaman dalam mengikuti pelatihan perawatan fraktur dentoalveolar.Item Tinjauan Aspek Apoptosis Pada Patogenesis Molekuler Ameloblastoma(2019-07-17) SARASWATI NUGRAHANI; Abel Tasman Yuza; Harmas Yazid YusufAmeloblastoma adalah tumor epitelial odontogenik yang paling umum terjadi dengan tingkat kekambuhan yang tinggi. Terjadi gangguan pada regulasi apoptosis mungkin menjadi salah satu faktor terbentuknya dan berkembangnya lesi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki kemungkinan peran protein pada apoptosis dalam ameloblastoma dan untuk mengidentifikasi gen apoptosis yang berhubungan dengan ameloblastoma. Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur sistematik dengan jenis deskriptif. Terdapat 4 artikel yang memenuhi kriteria. Gen pada regulasi apoptosis yang paling banyak ditemukan pada ameloblastoma adalah Bcl-2. Ekspresi Bcl-2 hadir hampir di semua kasus ameloblastoma. Protein Bcl-2 secara signifikan menghambat apoptosis pada sel tumor ameloblastoma. Terdapat hubungan antara regulasi apoptosis yang tidak seimbang dengan terbentuknya dan berkembangnya ameloblastoma. Gen apoptosis yang berperan paling umum adalah Bcl-2. Silencing Bcl-2 akan meningkatkan apoptosis, karena Bcl-2 memainkan peran kunci dalam tumorogenesis ameloblastoma dengan mengatur proses apoptosis.