Resmi MustarichieEli HalimahHENNY KASMAWATI2024-05-302024-05-302022-10-18https://repository.unpad.ac.id/handle/kandaga/260130190007Alopesia merupakan kelainan dermatologis yang ditandai dengan kerontokan rambut yang tidak normal. Alopesia Androgenetik (AGA) merupakan jenis alopesia yang paling banyak terjadi yaitu di atas 90% dari kejadian alopesia. AGA menghasilkan kerontokan rambut yang kronis, progresif, dan berpola pada pria dan wanita. Hormon androgen khususnya dihidrotestosteron berikatan dengan reseptor androgen di folikel rambut, respon berlebihan terhadap androgen dapat memicu kerontokan rambut parah di kulit kepala yang ditandai dengan terjadinya miniaturisasi rambut dan kerontokan rambut secara progresif. Minoksidil merupakan satu dari dua obat AGA yang telah mendapat persetujuan FDA (Food and Drug Administration). Aktivitas antialopesia minoksidil yaitu mempercepat fase anagen, memperpendek fase telogen dan meningkatkan ukuran folikel rambut. Khasiat minoksidil kurang optimal dalam mengurangi kerontokan rambut dan merangsang pertumbuhan rambut, setelah satu tahun empat bulan pemberian minoksidil 5%, hanya sekitar 38,6% menunjukkan perkembangan pertumbuhan rambut. Iritasi kulit kepala yang dapat terjadi akibat penggunaan minoksidil topikal, khasiatnya yang kurang optimal, serta terbatasnya pilihan pengobatan untuk pasien AGA, merupakan beberapa alasan pasien mencari pengobatan alternatif dengan menggunakan tanaman tradisional. Hal ini menjadi dasar perlu dilakukan pencarian bahan baku obat baru yang lebih efektif dan aman, bersumber terutama dari bahan alam. Daun lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) secara empiris telah digunakan sebagai antialopesia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan, menentukan dan mengungkap potensi senyawa bioaktif daun lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) sebagai antialopesia. Pengujian aktivitas antialopesia melalui pendekatan Bioassay Guided Isolation secara in vivo menggunakan metode Tanaka yang dimodifikasi dan metode Matias yang dimodifikasi, dengan parameter panjang pertumbuhan rambut, gambaran mikroskopik folikel rambut, proporsi pertumbuhan rambut dan rasio anagen telogen. Hewan uji yang digunakan dalam pengujian aktivitas antialopesia terhadap ekstrak dan fraksi daun lidah mertua adalah kelinci jantan sebanyak 4 ekor (Metode Tanaka). Punggung kelinci dicukur dan dibuat 6 plot/kompartemen yang menunjukkan kelompok perlakuan yaitu KI (kontrol, Na CMC 1%); KII (minoksidil 2%); KIII (ekstrak etanol daun lidah mertua (DLM) 20%); KIV (fraksi n-heksan DLM 20%); KV (fraksi etil asetat DLM 20%); KVI (fraksi air DLM 20%). Metode Matias menggunakan 24 ekor kelinci yang diinduksi alopesia menggunakan hormon dehidrotestosteron (DHT) dan ditambah 4 ekor kelinci sebagai kontrol normal. Hewan uji tersebut dibagi menjadi 7 kelompok seperti pembagian kelompok pada metode Tanaka ditambah kelompok K(-). Pengujian antialopesia pada subfraksi etil asetat dibagi menjadi 8 kelompok yaitu KI (kontrol, Na CMC 1%); KII (minoksidil 2%); KIII (subfraksi A DLM 20%); KIV (subfraksi B DLM 20%); KV (subfraksi C DLM 20%), KVI (subfraksi D DLM 20%); KVII (subfraksi E DLM 20%) dan KVIII (subfraksi F DLM 20%). Data disajikan dalam Mean &plusmn; SD. Data dibandingkan dengan kelompok kontrol menggunakan IBM SPSS Statistik 24 ANOVA satu arah. Identifikasi senyawa bioaktif subfraksi C, D, E dan F fraksi etil asetat DLM melalui analisis LC-MS/MS dan aktivitas penghambatan senyawa bioaktif terhadap reseptor androgen (PDB ID:4K7A) dievaluasi secara molekuler menggunakan studi penambatan molekul dan simulasi dinamika molekul dengan membandingkan energi ikatan, interaksi, dan stabilitasnya terhadap minoksidil. Hasil penelitian aktivitas antialopesia terhadap ekstrak dan fraksi menggunakan metode Tanaka yang dimodifikasi dengan parameter panjang pertumbuhan rambut yaitu sebagai berikut; ekstrak etanol daun lidah mertua 20% dapat menumbuhkan rambut kelinci pada hari ke-18 sebesar 2,06 cm &plusmn;0,32 yang berbeda bermakna (p<0,05) terhadap kelompok KI. Fraksi etil asetat DLM 20% dapat menumbuhkan rambut kelinci sebesar 2,07 cm &plusmn;0,06 sampai pada hari ke-18 yang berbeda bermakna p<0,05 terhadap kelompok KI dan memiliki efektivitas yang sama dengan minoksidil 2% dalam merangsang pertumbuhan rambut. Hasil penelitian terhadap ekstrak dan fraksi dengan parameter gambaran mikroskopik folikel rambut, persen proporsi rambut dan rasio anagen (A) telogen (T) (A/T) menggunakan metode Matias yang dimodifikasi yaitu; hormon DHT pada dosis 0,01 mg/mL yang diberikan secara subkutan selama 21 hari dapat menyebabkan terjadinya alopesia pada kelinci dengan parameter indeks alopesia 3-4. Kelinci alopesia kemudian diterapi berdasarkan kelompoknya, dua kali sehari secara topikal selama 21 hari. Evaluasi mikroskopik pada biopsi kulit kelinci kelompok KII (kontrol negatif) menunjukkan miniaturisasi folikel rambut yang ditandai dengan proporsi rambut anagen lebih sedikit dari rambut telogen yaitu 39,47% : 60,56% dengan rasio 1:1,5 (A/T), pada kelompok KIII (minoksidil 2%) mengalami peningkatan jumlah anagen dibanding telogen dengan proporsi rambut anagen 69,73% dan telogen 30,26% dengan rasio 2:1 (A/T). Kelompok KVI yang diberi terapi fraksi etil asetat 20% lebih baik dalam memperbaiki pertumbuhan rambut dibanding kelompok hewan uji lainnya yaitu proporsi rambut anagen 89,47% dan telogen 10,52% dengan rasio 8,5:1 (A/T). Hasil peneltian pada tahap ini diperoleh bahwa fraksi etil asetat daun lidah mertua merupakan fraksi yang paling aktif sebagai antialopesia. Penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan pemisahan senyawa bioaktif daun lidah mertua yang berperan sebagai antialopesia. Berdasarkan hasil pemisahan menggunakan KCV (Kromatograksi Cair Vakum) diperoleh 16 subfraksi. Subfraksi dengan profil pemisahan dan nilai Rf yang sama selanjutnya digabungkan dan diperoleh 6 subfraksi gabungan utama yaitu subfraksi A (gabungan subfraksi 1-4), subfraksi B (gabungan subfraksi 5-7), subfraksi C (gabungan subfraksi 8-9), subfraksi D (subfraksi 10), subfraksi E (subfraksi 11-14), subfraksi F (subfraksi 15-16). Setelah penggabungan subfraksi kemudian dilakukan uji farmakologi terhadap enam subfraksi tersebut untuk mengetahui subfraksi aktif antialopesia daun lidah mertua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subfraksi C, D, E dan F DLM dengan konsentrasi masing-masing 20% memiliki aktivitas pertumbuhan rambut dari hari ke-6 hingga hari ke-18 yang berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan dengan KI, dengan panjang pertumbuhan rambut secara beurut yaitu 2,80 cm &plusmn; 0,00; 2,17 cm &plusmn; 0,29; 2,20 cm &plusmn; 0,35; dan 2,17 cm&plusmn;0,40 dan memiliki efektivitas yang sama dengan minoksidil 2% dalam merangsang pertumbuhan rambut. Parameter lain yang digunakan untuk menilai aktivitas antialopesia pada subfraksi etil asetat DLM yaitu melalui gambaran mikroskopis folikel rambut, rasio anagen telogen (A:T), dan proporsi pertumbuhan rambut melalui biopsi kulit kelinci. Evaluasi mikroskopik ditemukan jumlah anagen lebih banyak dari jumlah telogen, yang ditandai dengan proporsi anagen lebih banyak dibanding telogen pada kelompok yang diberi subfraksi C, D, E dan F berturut-turut adalah 84,44:15,56%; 80,76:19,24%; 82,05:17,95%; dan 80,95:19,05%. Rasio anagen tertinggi terjadi pada kelompok yang diberikan subfraksi C yaitu 5,43:1 (A/T). Berdasarkan uji aktivitas antialopesia terhadap subfraksi etil asetat daun lidah mertua diperoleh empat subfraksi aktif, yaitu subfraksi C, D, E, dan F. Selanjutnya dilakukan identifikasi senyawa bioaktif terhadap ke-4 subfraksi tersebut menggunakan metode LC-MS/MS. Hasil analisis LC-MS/MS diperoleh dua puluh senyawa, tujuh senyawa terindentifikasi melalui data based MS, yaitu Methyl pyrophaeophorbide A (1), Oliveramine (2), (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane (3), 1-Acetyl-&#946;-carboline ( 4), Digiprolactone (5), Trichosanic acid (6) dan Methyl gallate (7) dari subfraksi daun tanaman ini. Ke-tujuh senyawa ini kemudian dilakukan kajian mekanisme molekularnya yang berperan sebagai antialopesia terhadap reseptor androgen secara in silico. Potensi penghambatan reseptor androgen dievaluasi menggunakan penambatan molekul dan simulasi dinamika molekul. Senyawa Methyl pyrophaeophorbide A, Oliveramine, (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane, 1-Acetyl-&#946;-carboline, memiliki skor penambatan molekul lebih rendah dari minoksidil yaitu -7,0, -6,3, -5,8, dan -5,2 kkal/mol. Analisis interaksi molekuler dari hasil penambatan mengungkapkan bahwa empat senyawa yaitu Methyl pyrophaeophorbide A, Oliveramine, (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane, 1-Acetyl-&#946;-carboline, mampu berikatan dengan tempat ikatan kofaktor. Situs katalitik ini berada di wilayah residu Tyr857, Gln858, Lys861, Glu793, Trp796, dan Leu797. Interaksi senyawa Methyl pyrophaeophorbide A menunjukkan bahwa gugus karboksil-metil membentuk ikatan hydrogen (H) dengan residu asam amino Glu793. Interaksi hidrofobik dengan Trp796, Leu797, dan His789 pada masing-masing kelompok metil-siklopentana. Senyawa Oliveramine, terdapat dua ikatan H yang berbeda, yaitu residu His789 dan Leu862, dengan atom oksigen pada setiap cincin tetrahidro-piran. Senyawa (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane tidak menunjukkan adanya ikatan H dengan reseptor AR tetapi memiliki tiga interaksi hidrofobik dengan residu Trp796, Leu797, dan Lys861. Senyawa 1-Acetyl-&#946;-carboline membentuk ikatan H dengan residu Gln858 pada gugus karbonilnya, yang tidak teramati pada senyawa lain, dan interaksi hidrofobik dengan residu Tyr857. Akhirnya, semua senyawa membentuk ikatan Pi-Anion dengan residu Glu793 di situs katalitik AR, diketahui bahwa pengikatan terhadap residu Glu793 berperan penting dalam menghambat AR. Simulasi dinamika molekul senyawa Methyl pyrophaeophorbide A, Oliveramine, (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane, 1-Acetyl-&#946;-carboline, menunjukkan stabilitas yang sama berdasarkan analisis RMSD (Root Mean Square Deviation), RMSF (Root Mean Square Fluctuation), dan SASA (Solvent-Accessible Surface Area). Senyawa Methyl pyrophaeophorbide A lebih stabil pada analisis Rg (Radius Gyration) dan PCA (Principal Component Analysis) selama simulasi 100 ns. Energi ikatan senyawa yang terkandung pada daun lidah mertua terhadap AR diketahui dengan menggunakan metode MM-PBSA (Molecular Mechanics Poisson Boltzmann Surface Area) untuk memprediksi bahwa potensi ke-empat senyawa lebih baik dari pada minoksidil, dengan energi bebas ikatan sebesar Methyl pyrophaeophorbide A; -66,13 kJ/mol, Oliveramine; -40,39 kJ/mol, (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane; 59,36 kJ/mol, dan 1-Acetyl-&#946;-carboline; -40,25. Penelitian ini berhasil membuktikan, dan mengungkap aktivitas antialopesia senyawa bioaktif daun lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) melalui studi in vivo dan in silico, serta menentukan tujuh senyawa menggunakan analisis LC-MS/MS. Senyawa yang diperoleh tersebut teridentifikasi sebagai senyawa yang baru dilaporkan terdapat dalam Sansevieria trifasciata P berdasarkan analisis LC-MS/MS. Senyawa Methyl pyrophaeophorbide A, Oliveramine, (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane, 1-Acetyl-&#946;-carboline diprediksi memiliki aktivitas antialopesia yang lebih baik dari minoksidil dalam menghambat reseptor androgen melalui pendekatan in silico.Alopesiain vivoin silicoAKTIVITAS ANTIALOPESIA DAN KAJIAN MEKANISME MOLEKULER SENYAWA BIOAKTIF DAUN LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata P.) DALAM MENGHAMBAT RESEPTOR ANDROGEN BERDASARKAN STUDI IN VIVO DAN