Browsing by Author "Pati Aji Achdiat"
Now showing 1 - 5 of 5
Results Per Page
Sort Options
Item Identifying Factors of Pre-exposure Prophylaxis (PrEP) Drug Regimen in Bandung: A Cross-sectional(2023-07-14) ALBASITHA SALSABILA RONGGOPUTRI; Rudi Wisaksana; Pati Aji AchdiatBackground: Health services for HIV/AIDS prevention is still an important challenge for Indonesia. Risk factors for HIV infection have been successfully adapted into PrEP eligibility criteria to maximize the impact of the program. The aim of the study is to identify sociodemographic and HIV–risk profile of PrEP to support the growing evidence in adjusting PrEP use to users’ needs based on their characteristics and sexual behaviour and could further optimize prevention strategy of PrEP program. Patients and methods: This cross–sectional study analyzed secondary data on sociodemographic and HIV–risk profile among 359 participants who were using PrEP in Klinik Mawar and Puskesmas Garuda Bandung. Sociodemographic data were exctracted from electronic medical records, while other data were extracted from administered PrEP eligibility online questionnaire. Descriptive analysis on quantitative characteristics (measurable variables) involved the calculation of basic statistics. The normality of quantitative variable distribution was verified using the Shapiro–Wilk test at a significance level of P=0.05. This data were analyzed using SPSS version 25. Result: A total of 359 PrEP users were included in the study. 156 participants were on daily (43.4%) and 203 (56.6%) participants were on event–driven regimen. The median age of participants using daily PrEP (26 [IQR 18¬–51]) is comparable with participants using event–driven PrEP (27[IQR 18–51]). All of event–driven PrEP users were male, and less than 40% daily PrEP users were female. Most participants had a high school degree or lower (n=195, 73.2%) and employed (90.9%).The proportion of at–risk group comparing both regimen in this study were reported MSM (98.7% vs 67.5%), smallest proportion came from Transgender Women (TGW) (1.3% vs 7.9%). More than half (50.2%) daily PrEP users had 4 or more sexual partners. The greater proportion of participants who had HIV–positive or unknown sexual partners were reported in event–driven (75%) and daily (74.9%) regimen. Inconsistent use of condom was found higher in event–driven (60.3%) and daily (63.5%). Conclusions: The overall characteristics and sexual behavior of PrEP users were similar except for higher numbers of sexual partners in daily than event–driven regimen. Keywords: sociodemographic, sexual behaviour, pre-exposure prophylaxis, event–driven PrEP, daily PrEPItem KARAKTERISTIK FAKTOR RISIKO INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA PASIEN DI KLINIK MAWAR KOTA BANDUNG JAWA BARAT PERIODE 2021-2022(2023-07-14) VANESSA ETTENIA SETIAWAN; Erda Avriyanti; Pati Aji AchdiatInfeksi Menular Seksual (IMS) adalah penyakit yang menular secara seksual. Angka kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) terus meningkat dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kontak seksual. Klinik Mawar merupakan salah satu klinik yang berlokasi di Bandung, Provinsi Jawa Barat, Indonesia, yang telah berkontribusi dalam pengobatan IMS. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko pada pasien IMS di klinik ini. Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini, menghasilkan 757 temuan data. Jumlah distribusi tertinggi adalah responden perempuan sebesar 61,82%, responden berusia antara 26 dan 35 tahun sebesar 47,42%, responden berpendidikan SMA sebesar 40,55%, status belum menikah sebesar 43,59%, hubungan seksual vaginal sebesar 60,1% , hubungan seksual terakhir dalam satu minggu sebesar 50,68%, tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual sebesar 66,71%, dan memiliki pasangan seksual lebih dari satu 55,88%. Usia, jenis kelamin, status perkawinan, metode hubungan seksual, aktivitas seksual terakhir, penggunaan kondom, dan memiliki banyak pasangan seksual mungkin merupakan faktor risiko yang juga dapat meningkatkan prevalensi infeksi menular seksual (IMS). Selain itu, faktor risiko ini ditemukan tinggi dalam studi populasi.Item Kesesuaian Antara Pemeriksaan Lateral Flow Immunoassay Dengan Pewarnaan Gram Untuk Mendiagnosis Uretritis dan Servisitis Gonore(2023-10-10) ANNISA SUNDANI; Pati Aji Achdiat; Risa MiliawatiGonore merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Pewarnaan Gram merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis gonore yang saat ini digunakan di layanan kesehatan di Indonesia. Namun, pemeriksan ini memerlukan alat laboratorium dan tenaga ahli. Diperlukan pemeriksaan alternatif yang tidak memerlukan hal tersebut tetapi memiliki kesesuaian dengan pewarnaan Gram untuk mendiagnosis uretritis dan servisitis gonore. Salah satu point of care testing (POCT) yang dikembangkan untuk mendiagnosis gonore adalah lateral flow immunoassay (LFIA). Alat ini bekerja dengan prinsip mendeteksi antigen Neisseria gonorrhoeae yang akan terbaca pada garis alat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian antara pemeriksaan LFIA dengan pewarnaan Gram untuk mendiagnosis uretritis dan servisitis gonore. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan potong lintang dan pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purposive sampling. Analisis statistik kesesuaian antara LFIA dan pewarnaan Gram menggunakan uji koefisien Kappa. Peserta penelitian adalah 98 orang yang terdiri dari 49 laki-laki dan 49 perempuan. Setiap jenis kelamin terdiri dari 25 peserta uretritis atau servisitis gonore dan 24 peserta uretritis atau servisitis non gonore yang didiagnosis berdasarkan pewarnaan Gram. Tempat penelitian adalah di beberapa fasilitas tingkat pertama di Kota Bandung selama bulan Februari hingga Mei 2023 dan seluruh peserta telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada peserta penelitian dilakukan anamnesis, pemeriksaan venereologis, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan LFIA dari sampel uretra laki-laki atau endoserviks. Hasil penelitian ini didapatkan 15 hasil LFIA positif dari 25 peserta uretritis gonore yang didiagnosis berdasarkan pewarnaan Gram dan 1 hasil LFIA positif dari 25 peserta servisitis gonore yang didiagnosis berdasarkan pewarnaan Gram. Kesesuaian pemeriksaan LFIA dengan pewarnaan Gram untuk mendiagnosis uretritis gonore adalah didapatkan nilai Kappa 0,595, (95% CI 0,39–0,8), p 0,05 yang berarti tidak terdapat kesesuaian. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan LFIA dapat digunakan sebagai pemeriksaan alternatif untuk mendiagnosis uretritis gonore dari apusan uretra bila pewarnaan Gram tidak dapat dilakukan, tetapi alat LFIA ini tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis servisitis gonore.Item Knowledge of Sexually Transmitted Infections among Men Who Have Sex with Men in Srikandi Pasundan Community in Bandung City, Indonesia(2023-02-21) ALIFA NURUL IZZATI MAHDA; Pati Aji Achdiat; Budi SujatmikoIntroduction: Sexually transmitted infections (STIs) have a major impact on sexual and reproductive health and the quality of life Based on data from the West Java, Indonesia, Health Office, Bandung city became the city or regency with the second-highest HIV cases in West Java Province in 2022, with a total of 2,212 cases.Iin Bandung City, approximately one third of young men sex men are diagnosed with HIV. The knowledge level about STIs among MSM is fundamental to be identified to prevent an increase in STI numbers. Method: This study is a descriptive study with a questionnaire. The data collection was done online with a total sampling technique of men who have sex with men in the Srikandi Pasundan community of Bandung City. Result: Most respondents’ knowledge level, as many as 139 (65.57%), were classified as having sufficient knowledge level. Discussion: .The level of respondents’ knowledge is considered at the sufficient level in this research. Of the six aspects questioned in the questionnaire, the respondents received the most category of less good knowledge on the aspect of transmission and the most category of good knowledge on the aspect ofsign and symptom.Item Korelasi Kadar Calcitonin GeneRelated Peptide Serum dengan Nilai Hidrasi Kulit, Transepidermal Water Loss, dan ph Kulit pada Pasien yang Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus dengan Xerosis Kutis(2024-01-12) EVA YUSTIANA; Miranti Pangastuti; Pati Aji AchdiatInfeksi human immunodeficiency virus (HIV) menimbulkan disregulasi sistem imun dan kerusakan sel saraf di ganglia dorsalis yang akan menurunkan kadar calcitonin gene–related peptide (CGRP), yaitu suatu neuropeptida yang disekresikan pada saraf sensoris perifer yang menginervasi kulit. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan mikrosirkulasi yang menurunkan suplai nutrisi darah dan air ke kulit serta menimbulkan atrofi kelenjar keringat yang berakibat terjadinya gangguan fungsi sawar kulit. Adanya gangguan fungsi sawar kulit mencetuskan terjadinya xerosis kutis. Penilaian fungsi sawar kulit dapat dilakukan dengan pengukuran hidrasi kulit, transepidermal water loss (TEWL), dan pH kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi kadar CGRP serum dengan nilai hidrasi kulit, TEWL, dan pH kulit pada pasien yang terinfeksi HIV dengan xerosis kutis. Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional secara potong lintang terhadap 60 pasien terinfeksi HIV dengan xerosis kutis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemeriksaan hidrasi kulit, TEWL, dan pH kulit setiap peserta penelitian dilakukan dengan alat korneometer, tewameter, dan pH–meter. . Sampel darah diambil untuk pengukuran kadar CGRP serum dengan metode quantitative competitive menggunakan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini yaitu uji korelasi Spearman. Hasil pengukuran kadar CGRP serum menunjukkan penurunan pada peserta penelitian dengan rerata kadar CGRP serum 28,18±11,477 pg/ml. Rerata hidrasi kulit didapatkan sebesar 41,78±3,213 arbitrary units (a.u) yang menunjukkan nilai hidrasi kulit yang rendah dan TEWL sebagian besar peserta penelitian meningkat dengan rerata sebesar 10,69±2,700 g/m2/jam. Namun, nilai pH kulit sebagian besar peserta penelitian ini masih berada dalam rentang normal dengan rerata sebesar 5,53±0,541. Hasil analisis korelasi CGRP serum dengan hidrasi kulit menunjukkan adanya korelasi positif kuat (p=0,0001) serta korelasi CGRP dengan TEWL (p=0,0001) dan pH menunjukkan adanya korelasi negatif kuat (p=0,0001). Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa pasien terinfeksi HIV dengan xerosis kutis terjadi penurunan kadar CGRP serum. Makin rendah kadar CGRP serum, maka makin rendah nilai hidrasi kulit dan makin tinggi TEWL serta pH kulit. Penurunan kadar CGRP serum dapat menjadi penanda terjadinya kerusakan sistem saraf perifer sehingga dapat menyebabkan terjadinya xerosis kutis pada pasien terinfeksi HIV. ABSTRACT The human immunodeficiency virus (HIV) infection disrupts immune system regulation and causes damage to nerve cells in the dorsal ganglia, leading to a decrease in levels of calcitonin gene-related peptide (CGRP). CGRP is a neuropeptide released by peripheral sensory nerves that innervate the skin. This leads to microcirculatory disturbances, which reduce the supply of blood and water nutrients to the skin and cause atrophy of sweat glands, leading to impaired skin barrier function. The disruption of skin barrier function precipitates the occurrence of xerosis cutis. Evaluation of skin barrier function involves measuring parameters such as skin hydration, transepidermal water loss (TEWL), and pH levels. This study aimed to determine the correlation of serum CGRP levels with skin hydration, TEWL, and skin pH in HIV–infected patients with xerosis cutis. This study adopts a cross–sectional observational analytical approach, involving 60 HIV–infected patients with xerosis cutis who met the inclusion and exclusion criteria. Skin hydration, TEWL, and skin pH of each study participant were assessed using a corneometer, tewameter, and pH–meter. Blood samples were collected to measure serum CGRP levels using a quantitative competitive method with an enzyme–linked immunosorbent assay (ELISA). The statistical analysis used in this research is the Spearman correlation test. The results of serum CGRP level measurements indicate a decrease in all study subjects, with a mean serum CGRP level of 28.18±11.477 pg/ml. The mean skin hydration was 41.78±3.213 arbitrary units (a.u), indicating low skin hydration, and TEWL increased in the majority of study subjects with a mean of 10.69±2.700 g/m2/h. However, skin pH values for most study subjects remained within the normal range, with a mean of 5.53±0.541. The correlation analysis between serum CGRP and skin hydration revealed a strong positive correlation (p=0.0001), while the correlation between CGRP with TEWL and pH showed a strong negative correlation (p=0.0001). Based on the results of this study, it can be concluded that HIV–infected patients with xerosis cutis experience a decrease in serum CGRP levels. The decrease in CGRP level corresponds to a decline in skin hydration, an increase in TEWL, and an elevation in skin pH. The reduction in serum CGRP levels can serve as an indicator of peripheral nervous system damage, potentially leading to the occurrence of xerosis cutis in HIV–infected patients. Keywords: Calcitonin gene–related peptide, human immunodeficiency virus, xerosis cutis