Farmasi (S3)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Farmasi (S3) by Subject "alopesia androgenik"
Now showing 1 - 1 of 1
Results Per Page
Sort Options
Item PENELUSURAN GOLONGAN SENYAWA AKTIF BUAH MENGKUDU (Morinda citrifolia L.) SEBAGAI ANTI-ALOPESIA: STUDI IN VITRO, IN VIVO DAN IN SILICO(2023-09-24) LAILA SUSANTI; Dikdik Kurnia; Eli HalimahAlopesia merupakan suatu kelainan pada kulit kepala berupa hilangnya sebagian atau seluruh rambut, yang disebabkan rentang waktu folikel rambut pada fasa telogen (fasa istirahat) lebih lama dibandingkan dengan fasa anagen (fasa pertumbuhan) pada siklus pertumbuhan rambut, sehingga jumlah rambut yang rontok lebih banyak daripada jumlah rambut yang tumbuh. Penyebab alopesia umumnya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor ekstrinsik seperti nutrisi yang buruk, penyakit lupus, stress, scabies dan dermatitis seboroik, serta faktor intrinsik seperti genetik, usia, dan gangguan hormon. Pada penelitian ini, peneliti mengambil dua kajian penyebab alopesia yakni karena dermatitis seboroik (ekstrinsik) dan karena androgenik (intrinsik). Dermatitis seboroik disebabkan karena jamur Malassezia globosa mengakibatkan peradangan kulit kepala dan mengganggu siklus folikel rambut sehingga terjadi kerontokan rambut. Kajian selanjutnya adalah alopesia androgenik, yang terjadi karena ketidakseimbangan jumlah hormon DHT (dihidrotestosteron) yang berikatan kuat dengan reseptor androgen pada folikel rambut, yang menyebabkan miniaturisasi folikel rambut sehingga folikel rambut menjadi tidak aktif. Terapi dermatitis seboroik umumnya diberikan antijamur ketoconazole 2%, namun karena dermatitis seboroik termasuk penyakit kambuhan (relapsing disease), terapi ketoconazole dalam jangka panjang selain menimbulkan efek samping iritasi, alergi dan peradangan kulit kronis juga menghasilkan resistensi obat. Terapi alopesia karena androgenik yang disetujui FDA adalah minoxidil dan finasteride, namun dilaporkan efek samping minoxidil berbahaya bagi wanita hamil, serta terjadinya hipertrikosis wajah dan dermatitis kontak. Efek samping finasteride menyebabkan penurunan libido, feminisasi pada fetus laki-laki, disfungsi ereksi pada pria, dan kerontokan rambut dapat terjadi kembali setelah pengobatan dihentikan. Profil efek samping dari obat sintetik tersebut menjadi latar belakang peneliti untuk mengangkat potensi tanaman sebagai anti-alopesia yang diyakini memiliki toksisitas dan efek samping rendah. Buah mengkudu dipilih karena secara etnobotani digunakan sebagai masker rambut untuk mengatasi rambut rontok, ketombe, dan menghilangkan kutu rambut. Ketersediaan tanaman Mengkudu di berbagai daerah di Indonesia juga melimpah dan secara ilmiah penelitian tentang buah mengkudu sebagai anti-alopesia karena dermatitis seboroik dan androgenik belum pernah dilaporkan. Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yaitu (1) menentukan dan menganalisis aktivitas dari ekstrak, fraksi dan sub-fraksi buah mengkudu terhadap jamur M. globosa penyebab dermatitis seboroik, mengetahui komponen senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung dalam sub-fraksi aktif, dan untuk mengetahui aktivitas molekularnya terhadap reseptor LIP1(SMG1) (kode PDB: 3UUF). (2) menentukan dan menganalisis aktivitas dari ekstrak, fraksi dan sub-fraksi buah mengkudu terhadap kelinci model alopesia yang diinduksi DHT, mengetahui komponen senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung dalam sub-fraksi aktif, dan untuk mengetahui aktivitas molekularnya terhadap reseptor androgen (kode PDB: 4K7A). Pengujian aktivitas dilakukan melalui pendekatan bioassay-guided mulai dari ekstrak hingga sub-fraksi menggunakan serangkaian metode dimulai dari ekstraksi, standardisasi ekstrak, fraksinasi, skrining fitokimia, kolom kromatografi, uji aktivitas dermatitis seboroik dengan metode difusi agar dan mikrodilusi. Uji aktivitas genetik (androgenik) dengan metode pemodelan kelinci alopesia induksi DHT, dengan parameter densitas folikel, rasio A/T (anagen/telogen), hingga uji aktivitas penambatan molekul dan molekular dinamik dari senyawa-senyawa hasil sub-fraksi aktif terhadap reseptornya berdasarkan penelusuran LC-MS/MS. Hasil ekstraksi etanol buah mengkudu menghasilkan ekstrak kental berwarna coklat gelap dengan rendemen 14,65%, standardisasi ekstrak menunjukkan hasil yang sesuai dengan rujukan Farmakope Herbal Indonesia (2017) untuk buah mengkudu. Fraksinasi ekstrak menghasilkan rendemen 49,23% untuk fraksi air (FA), 37,21% untuk fraksi etil asetat (FEA), dan 3,5% untuk fraksi n-heksana (FH). Skrining fitokimia dengan reagen uji pada fraksi-fraksi, positif mengandung metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, saponin dan tannin untuk FA dan FEA, sedangkan pada FH positif mengandung phytosterol dan antraquinon. Uji aktivitas anti-alopesia karena dermatitis seboroik (in vitro) didahului dengan uji aktivitas ekstrak etanol buah mengkudu terhadap jamur M. globosa menunjukkan daya hambat pada konsentrasi 10% dengan zona hambat 5,78 ± 0,56 mm, kemudian dilanjutkan dengan uji aktivitas fraksi-fraksi dengan metode difusi agar, menghasilkan data zona hambat terbaik pada FEA sebesar 10,19 ± 0,05 mm. Berdasarkan data ini, maka dipilih FEA untuk dilakukan pemisahan menggunakan kolom kromatografi terbuka I untuk menghasilkan sub-fraksi dan diuji aktivitasnya. Uji aktivitas sub-fraksi dengan metode difusi agar terhadap jamur M. globosa menghasilkan data zona hambat terbaik pada kelompok [FEA-6] 10% di 12,9 ± 0,42 mm. Kelompok [FEA-6] dipilih untuk dilakukan pemisahan kembali dengan kolom kromatografi terbuka II menghasilkan sub-fraksi dan diuji aktivitasnya menggunakan metode mikrodilusi menghasilkan data % inhibisi terbaik pada kelompok [FEA-6-3] 10% sebesar 25,3%, sehingga kelompok ini dipilih untuk dilakukan pemisahan selanjutnya. Pemisahan [FEA-6-3] menggunakan medium pressure liquid chromatography (MPLC) menghasilkan sub-fraksi dan diuji aktivitasnya kembali menggunakan metode mikrodilusi, menghasilkan data % inhibisi terbaik pada kelompok 3 [FEA-6-3-3] 10% sebesar 12,44% dengan nilai optical density (OD) paling kecil 0,645±0,17. Hasil karakterisasi aktivitas sampel [FEA-6-3-3] dengan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan jumlah koloni jamur M. globosa nampak berkurang dan terjadi kerusakan spora dan hifa. Karakterisasi dengan FTIR menunjukkan serapan dengan intensitas kuat pada 3287,5 cm-1 menunjukkan adanya gugus N-H atau O-H dan 1013,8 cm-1 menunjukkan regangan C-N dan C-O. Karakterisasi dilanjutkan dengan LC-MS/MS, dan dihasilkan 6 puncak dengan 1 puncak mayor intensitas 100% pada waktu retensi 11,10 menit m/z 306,292 memiliki rumus molekul C19H35N3 milik 1,2,3-Tricyclohexylguanidine. Puncak mayor kedua muncul dengan intensitas 50% pada waktu retensi 10,75 m/z 445,212, rumus molekul teridentifikasi dengan nama sebagai 1-[4-(3,5-dimethoxybenzoyl)-1-piperazinyl]-2,2-diphenylethanone. Puncak lainnya muncul dengan intensitas rendah pada waktu retensi 8,47; 9,14; 12,22 dan 12,90 menit. Uji aktivitas anti-alopesia karena androgenik (in vivo) didahului dengan pemodelan kelinci alopesia yang diinduksi DHT 0,01 mg/0,1 mL secara subkutan selama 17 hari dan diukur luas area kebotakannya. Uji pendahuluan dilakukan terhadap ekstrak etanol buah mengkudu dengan konsentrasi 5, 15 dan 25% sebanyak 0,2 mL (2x1) selama 21 hari terhadap kelinci model alopesia. Hasil uji pendahuluan ini menunjukkan konsentrasi 25% ekstrak etanol memberikan aktivitas terbaik dengan nilai densitas folikel 67,62 ± 1,37 dan jumlah anagen 44,73 ± 0,72 lebih banyak dibandingkan dengan densitas folikel kelompok 5 dan 15%. Uji aktivitas dilanjutkan terhadap fraksi-fraksi dengan metode yang sama, menghasilkan data densitas folikel 76,78 ± 0,83 dan rasio A/T 1,84/1 terbaik dari fraksi etil asetat (FEA)-25%, dan dikonfirmasi dengan luas area kebotakan yang mengecil setelah perlakuan sampel dari 3,16 ± 0,05 cm2 menjadi 1,77 ± 0,06 cm2 sehingga kelompok FEA dipilih untuk dilakukan pemisahan menggunakan kolom kromatografi terbuka. Hasil pemisahan sampel [FEA] menghasilkan beberapa sub-fraksi dan diuji aktivitas kembali menggunakan metode yang sama, dari hasil uji aktivitas sub-fraksi diperoleh kelompok [FEA-3] yang paling aktif dengan densitas folikel 78,00 ± 1,56 dan rasio A/T 1,64/1. Hasil ini dikonfirmasi dengan luas area kebotakan yang mengecil setelah perlakuan sampel uji dari 3,14 ± 0,22 cm2 menjadi 1,67 ± 0,04 cm2. Sampel terbaik [FEA-3] dilakukan karakterisasi dengan FTIR menghasilkan pita melebar dan tajam di 3332,2 cm-1 menunjukkan serapan gugus O-H atau N-H, gugus karbonil (C=O) dengan intensitas sedang pada bilangan gelombang 1580,4 cm-1. Serapan dengan intensitas lemah pada bilangan gelombang 2325,9 cm-1 dan 2109,7 cm-1 menunjukkan regangan dari C-H alkana sp3. Serapan pada bilangan gelombang 1401,5 cm-1 dengan intensitas sedang menunjukkan adanya regangan ikatan C=C aromatik, dan serapan pada 1080,8 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-N dan C-O. Karakterisasi sampel [FEA-3] dilanjutkan dengan LC-MS/MS menghasilkan 6 puncak tajam dengan intensitas paling tinggi muncul pada waktu retensi 9,96 dan 11,40 menit yang teridentifikasi m/z 343,294 dan 371,328 dengan nama senyawa 1-[4-(2-Hydroxyethyl)-1-piperazinyl]-3-[(2-isopropyl-5-methylcyclohexyl)oxy]-2-propanol (C19H38N2O3) dan 11-[(1-Hydroxy-2,2,6,6-tetramethyl-4-piperidinyl)(methyl)amino]undecanoic acid (C21H42N2O3). Puncak lainnya muncul dengan intensitas rendah pada waktu retensi 4,53; 12,86; 14,35 dan 15,19 menit. Hasil in vitro dan in vivo yang telah dilakukan, dikonfirmasi dengan uji in silico dengan parameter penambatan molekul, molekular dinamik dan profil ADME-Tox. Penambatan molekul sampel hasil uji in vitro [FEA-6-3-3] dilakukan terhadap senyawa A, B, C, D, E dan F hasil LC-MS/MS dengan reseptor 3UUF, diperoleh senyawa C dan D dengan nilai afinitas ikatan sebesar -5,61 dan -6,48 kkal/mol lebih rendah dibandingkan dengan ketoconazole (standard) -5,31 kkal/mol. Dua senyawa ini terpilih untuk tahap uji molekular dinamik simulasi 100 ns yaitu senyawa C (1-[4-(3,5-Dimethoxybenzoyl)-1-piperazinyl]-2,2-diphenylethanone), senyawa D (1,2,3-Tricyclohexylguanidine) dan ketoconazole (standard). Secara keseluruhan, diperoleh data RMSD, RMSF dan energi ikat (∆G) total berturut-turut adalah senyawa C (1,314 Å, 0,653 Å, dan -9,7313 kkal/mol), senyawa D (1,629 Å, 0,765 Å, dan -18,6552 kkal/mol) dan ketoconazole (1,251 Å, 0,636 Å, dan -19,1358 kkal/mol). Penambatan molekul sampel hasil uji in vivo [FEA-3] dilakukan terhadap senyawa G, H, I, J, K dan L hasil LC-MS/MS dengan reseptor 4K7A, diperoleh tiga senyawa berpotensi sebagi inhibitor yaitu H, I dan J dengan nilai afinitas ikatan sebesar -4,99, -4,60 dan -4,57 kkal/mol yang tidak berbeda jauh dengan minoxidil (standard) -4,71 kkal/mol. Ketiga senyawa ini dilanjutkan dengan analisis molekular dinamik, dengan minoxidil sebagai pembanding. Secara keseluruhan, diperoleh data RMSD, RMSF dan energi ikat total berturut-turut adalah senyawa H (1,315 Å, 0,703 Å, dan -28,7688 kkal/mol), senyawa I (1,393 Å, 0,694 Å, dan -21,1905 kkal/mol), senyawa J (1,010 Å, 0,655 Å, dan -25,0424 kkal/mol) dan minoxidil (1,097 Å, 0,648 Å, dan -4,5305 kkal/mol). Berdasarkan hasil uji in vitro dan dikonfirmasi dengan uji in silico, senyawa C (1-[4-(3,5-Dimethoxybenzoyl)-1-piperazinyl]-2,2-diphenylethanone) dan senyawa D (2,3-Tricyclohexylguanidine) merupakan golongan alkaloid dengan kerangka piperazin dan guanidine, menariknya ketoconazole sebagai standard diketahui memiliki nama IUPAC 1-[4-[4-[[2-(2,4-dichlorophenyl)-2-(imidazol-1-ylmethyl)-1,3-dioxolan-4-yl]methoxy]phenyl]piperazin-1-yl]ethanone, juga merupakan golongan alkaloid dengan kerangka dasar alkaloid piperazine. Berdasarkan hasil uji in vivo dan dikonfirmasi dengan uji in silico, senyawa H (1-[4-(2-Hydroxyethyl)-1-piperazinyl]-3-[(2-isopropyl-5-methylcyclohexyl)oxy]-2-propanol), senyawa I (11-[(1-Hydroxy-2,2,6,6 tetramethyl-4-piperidinyl)(methyl)amino]undecanoic acid, dan senyawa J (2-Methyl-2-propanyl[(3S,4S,6S)-4-hydroxy-6-tridecyl-3-piperidinyl]carbamate) juga merupakan golongan alkaloid dengan kerangka dasar piperazin dan piperidin, menariknya minoxidil sebagai standard diketahui memiliki nama IUPAC 3-hydroxy-2-imino-6-piperidin-1-ylpyrimidin-4-amine, juga merupakan golongan alkaloid dengan kerangka dasar piperidin dan pirimidin. Hasil profil ADME-Tox menunjukkan beberapa senyawa memiliki permeabilitas yang baik terhadap kulit dengan nilai SP Log Kp < −2,5, dan semua senyawa tidak bersifat karsinogenik. Penelitian ini berhasil membuktikan, bahwa golongan alkaloid piperazin dan guanidin dari buah mengkudu memiliki aktivitas anti-alopesia karena dermatitis seboroik berdasarkan uji in vitro dan pendekatan in silico. Golongan alkaloid piperazin dan piperidin dari buah mengkudu memiliki aktivitas anti-alopesia karena androgenik berdasarkan uji in vivo dan pendekatan in silico.