Ilmu Lingkungan (S3)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Lingkungan (S3) by Author "Budhi Gunawan"
Now showing 1 - 2 of 2
Results Per Page
Sort Options
Item Keberlanjutan Pariwisata di Pulau Pari: Perspektif Ekologi Politik(2024-01-31) TRIYONO; Budhi Gunawan; Yudi Nurul IhsanPulau-pulau kecil merupakan aset yang potensial bagi pengembangan pariwisata. Namun, karakteristik pulau kecil yang rentan menjadi tantangan bagi keberlanjutan pariwisata di wilayah tersebut. Pariwisata sebagai sebuah sistem multi aktor yang melibatkan berbagai aktor dengan kepentingannya membutuhkan kemampuan mengelola pertumbuhan dan pengaruhnya terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Perubahan lingkungan di suatu tempat merupakan hasil gabungan dari proses-proses sosial, ekonomi dan politik di dalam maupun luar lokasi yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada persoalan akses dan kontrol atas sumber daya alam di tempat tersebut. Perspektif ekologi politik digunakan untuk mengetahui persoalan-persoalan lingkungan dalam konteks pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil. Dengan mengambil studi kasus pariwisata di Pulau Pari sebagai pulau kecil yang lokasinya dekat dengan Jakarta dan memiliki konektivitas ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan ibukota negara tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kompleksitas sebuah sistem pariwisata. Penelitian ini bertujuan untuk menganalis: (1) aktor-aktor yang terlibat, relasi kekuasaan dan mekanisme aksesnya; (2) kondisi ekologi, ekonomi dan sosial akibat pariwisata; dan (3) keberlanjutan pariwisata bahari di Pulau Pari. Penelitian ini diharapkan mampu merekomendasikan alternatif model kelembagaan dalam pengelolaan pariwisata agar berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian campuran (mix method) dengan mengombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Perspektif ekologi politik dengan pendekatan teori aktor dan akses; kerangka Drivers, Pressures, States, Impact dan Response (DPSIR) dan Matrix Aliances and Conflicts: Tactics, Objectives dan Recommendations (MACTOR) digunakan sebagai alat analisis penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktor yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata di Pulau Pari berasal dari dalam maupun luar pulau, dengan berbagai peran dan kekuasaan yang berbeda. Sebagian besar aktor konvergen, tidak terdapat divergensi maupun aktor yang bersifat ambivalen. Seluruh pemangku kepentingan menunjukkan sikap sejalan dengan seluruh tujuan yang ditetapkan, tidak bersikap kontra serta sebagian besar berorientasi ekonomi dibandingkan ekologi. Analisis DPSIR menunjukkan dampak negatif pariwisata terhadap ekosistem/lingkungan di Pulau Pari. Perubahan kegiatan produksi penduduk dan daya tarik wisata Pulau Pari menjadi pendorong yang memicu berbagai tekanan lingkungan di Pulau Pari, seperti peningkatan wisatawan, penginapan dan penduduk. Peningkatan tersebut mempengaruhi kondisi terkini di Pulau Pari berupa eksploitasi sumber daya terumbu karang, kepadatan penduduk, perubahan tata guna lahan, dan pencemaran air. Kerusakan sumber daya pariwisata di Pulau Pari terjadi akibat tingginya intensitas interaksi wisatawan dengan sumber daya pariwisata yang secara langsung dipengaruhi oleh kemampuan agen travel dalam pulau mengendalikan aktor-aktor lain dengan mekanisme akses struktural dan relasional yang dijalankan. Tingginya tingkat eksploitasi secara tidak langsung diakibatkan oleh rendahnya pengawasan dari pihak yang memiliki hak untuk mengontrol akses sumber daya. Hadirnya berbagai kelembagaan lokal (misalnya penggiat Daerah Perlindungan Laut (DPL), Pokwasmas, dan Pokdarwis) yang diharapkan dapat membantu proses kontrol terhadap sumber daya namun karena tidak adanya mekanisme berbasis hak untuk mengontrol sumber daya tersebut, justru menyebabkan semakin meningkatnya eksploitasi terhadap sumber daya pariwisata di Pulau Pari. Pariwisata di Pulau Pari menjadi praktik pariwisata yang berkelanjutan ditinjau dari dimensi ekonomi dan sosial-budaya. Pariwisata di Pulau Pari telah menjadi industri pariwisata yang layak secara ekonomi dan menjadi aktivitas yang telah memberikan manfaat finansial dan sosial kepada sebagian besar masyarakat Pulau Pari termasuk belum menimbulkan distorsi budaya lokal akibat interaksi wisatawan dengan penduduk lokal. Namun pariwisata di Pulau Pari merupakan praktik pariwisata yang tidak berkelanjutan ditinjau dari dimensi ekologi (lingkungan). Dalam jangka panjang, pariwisata di Pulau Pari patut dipertanyakan sebab para aktor yang terlibat belum mampu menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan dan mendorong bentuk-bentuk pariwisata baru. Apabila tidak terdapat upaya-upaya yang kongkrit untuk mengurangi dampak negatif dari pariwisata terhadap ekosistem/lingkungan maka dalam jangka panjang pariwisata di Pulau Pari mungkin tidak berlanjut karena sudah tidak layak secara ekonomi dan tidak dapat memberikan manfaat finansial dan sosial bagi masyarakat lokal akibat sumber daya alam sebagai aset pariwisata telah mengalami kerusakan. Untuk memastikan bahwa pariwisata tetap berkelanjutan, langkah-langkah yang perlu dilakukan diantaranya: (1) membuat kesepakatan antara semua pengguna sumber daya sehingga semua orang mengetahui aturan dan ruang yang berlaku dalam pemanfaatan pariwisata; (2) sanksi dapat diterapkan bagi mereka yang tidak menggunakan sumber daya dengan baik, yang dapat berupa insentif untuk perbaikan lingkungan; (3) pemantauan sumber daya yang cermat dan teratur merupakan peluang bagi strategi pengelolaan pariwisata berkelanjutan di pulau-pulau kecil; (4) pengaturan zonasi pemanfaatan yang tepat dengan mempertimbangkan daya dukung masing-masing objek wisata; dan (5) meningkatkan kesadaran penduduk setempat maupun wisatawan akan pentingnya kelestarian dan pelestarian lingkungan di Pulau Pari. Penggiat Daerah Perlindungan Laut, agen travel dalam pulau dan perangkat RW memiliki garis koneksi tertebal pada peta konvergensi yang berarti mereka memiliki kesamaan terhadap tujuan pencapaian keberhasilan pariwisata berkelanjutan di Pulau Pari. Artinya ketika mereka berkomitmen membangun aliansi (kerjasama) maka besar kemungkinan pariwisata berkelanjutan dapat tercapai. Penelitian ini mengajukan model kerangka tata kelola kolaboratif. Dalam model ini aktor-aktor yang terlibat secara bersama sama ikut bertanggungjawab dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan di Pulau Pari. Setiap aktor dengan kapasitasnya berkontribusi aktif dalam menyeimbangkan tujuan-tujuan pariwisata berkelanjutan antara aspek ekonomi, sosial dan ekologi dan semata-mata tidak hanya berorientasi pada satu tujuan sesuai kepentingan aktor tersebut.Item MEMBANGUN TATA KELOLA KOLABORATIF DALAM PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON(2022-03-03) MUHLISIN; Johan Iskandar; Budhi GunawanPeranan ruang terbuka hijau (RTH) sangat penting dalam memperbaiki lingkungan perkotaan. Namun demikian pembangunan RTH di perkotaan di Indonesia belum optimal. Pengelolaan RTH selama ini terkesan berjalan sendiri-sendiri antara pemerintah dan pemangku kepentingan yang lain. Untuk mewujudkan RTH membutuhkan upaya sinergi semua pihak dan pemangku kepentingan, sehingga perwujudan RTH memerlukan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan badan usaha. Penelitian collaborative governance dalam pengelolaan RTH sudah banyak dilakukan, namun umumnya mereka hanya memotret pelaksanaan kolaborasi yang tengah berlangsung dan menganalisanya menggunakan salah satu model kolaboratif. Berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan, penelitian ini mengidentifikasi potensi penerapan collaborative governance berdasarkan komponen-komponen yang mempengaruhinya, kemudia potensi kolaborasi yang ada menjadi dasar dalam membangun model kolaborasi pengelolaan RTH yang belum terjadi. Disertasi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober 2019 sampai dengan Oktober 2020 di Wilayah Administratif Kota Cilegon. Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran (mix methods), kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara dengan penentuan informan secara purposif. Data yang dikumpulkan terdiri dari: aspek kondisi RTH, keanekaragaman dan struktur vegetasi RTH, kebutuhan RTH, pengelolaan RTH, dan potensi collaborative governance pengelolaan RTH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Cilegon mengelola RTH publik berupa taman kota, taman kecamatan, taman median jalan, taman pulau jalan, dan hutan kota. Kondisi RTH publik belum memenuhi luas 20% wilayah kota, luas tiap RTH belum memenuhi syarat, sebaran di tiap kecamatan belum merata, tutupan dan kanekaragaman vegetasi yang masih rendah, dan belum semua jenis RTH terkelola dengan baik. Selaian itu, Kota Cilegon belum memiliki master plan dan peraturan daerah mengenai pegelolaan RTH, sehingga pengelolaannya belum sinergis antara Organisasi Perangkat Daerah yang satu dengan yang lainnya, dan pengelolaan RTH tidak mencakup seluruh jenis RTH, baik publik maupun privat. Oleh karena itu, revitalisasi pengelolaan RTH di Kota Cilegon melalui tata kelola yang melibatkan para stakeholder perlu dilakukan untuk mendapatkan solusi terbaik. Secara keseluruhan potensi komponen collaborative governance yang meliputi kondisi awal (starting condition), kepemimpinan fasilitatif (facilitative leadership), desain kelembagaan (institutional design), penarik magentik (magnetic attraction), visi bersama (shared vision). dan perjanjian dan tatakelola sederhana (leightweight agreement and government) ditemukan pada semua stakeholder dengan katagori tinggi. Komponen tersebut perananya sangat penting dalam mendukung keberhasilan collaborative governance pengelolan RTH. Model tata kelola kolaborasi dalam pengelolaan RTH di Kota Cilegon yang dibangun berdasarkan model Ansell & Gash (2008) dan Surman & Surman (2008). Collaborative governance pengelolaan RTH terdiri dari empat komponen: kondisi awal, kepemimpinan fasilitatif, desain institusional, dan komponen utama proses kolaborasi. Keempat komponen tersebut merupakan model dasar dari Ansell & Gash (2008). Badan usaha yang memiliki kesediaan untuk berkolaborasi (willingness to collaborate) berperan penting dalam mendukung kondisi awal kolaborasi; Pemerintah Kota sebagai mediator dan kepemimpinan lokal berperan penting sebagai kepemimpinan fasilitatif; dan forum CSR yang bersifat inklusif dan transpara berperan dalam menginisiasi desain kelembagaan. Ketiga komponen tersebut berperan dalam mendukung proses collaborative governance pengelolaan RTH. Penarik magnet, visi bersama, dan perjanjian dan tata kelola sederhana yang ketiganya merupakan komponen Model Konstelasi Surman & Surman (2008) memicu terbentuknya komite koordinasi sebagi komite pengarah pengelolaan RTH secara kesluruhan dan tim aksi yang terbentuk tersebar berdasarkan isu pengelolaan RTH dan lingkup wilayah yang kecil dan tersebar