Ilmu Lingkungan (S3)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Lingkungan (S3) by Title
Now showing 1 - 18 of 18
Results Per Page
Sort Options
Item ANALISIS POTENSI, LITERASI LINGKUNGAN DAN STRATEGI KEUNGGULAN BERSAING BERKELANJUTAN PADA SEKTOR PARIWISATA PESISIR (Studi Pada Kawasan Wisata Pesisir Di Kecamatan Cipatujah Dan Kecamatan Cikalong(2023-12-21) YUNUS WINOTO; Ute Lies Siti Khadijah; Teguh HusodoABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji mengenai potensi, literasi lingkungan serta strategi keunggulan bersaing dan berkelanjutan pada sektor pariwisata pesisir di wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode campuran (mix method) dengan design trianggulasi secara bersamaan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui angket, wawancara, observasi non partisipan, serta melalui kajian dokumen. Untuk analisis data dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga (3) yaitu untuk mengkaji potensi destinasi pariwisata dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara serta analisis kuantitatif hasil analisis ADO-ODTW (Analisis Daerah Operasi-Objek Daerah Tujuan Wisata); Analisis Indeks Kesesuaian Wisata (IKW) serta Analisis Hirarki Proses (AHP) yang dilakukan secara bersamaan; untuk literasi lingkungan menggunakan analisis kuantitatif serta untuk analisis strategi unggul bersaing dan berkelanjutan menggunakan analisis SWOT, VRIOL dan Seven Forces. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya memiliki beberapa sumberdaya pariwisata potensial baik wisata budaya mapun wisata alam khususnya wisata pantai seperti pantai Sindangkerta, pantai Karangtowulan serta pantai Cipatujah. Namun jika dilihat dari aspek keunggulan baik keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif serta dari aspek daya saing masih tertinggal dengan destinasi wisata pesisir lain yang ada di wilayah pesisir selatan Jawa Barat yang menjadi pesaingnya seperti kawasan wisata pantai Sayangheulang di Garut selatan serta beberapa destinasi pariwisata pantai di Kabupaten Pangandaran; Mengenai literasi lingkungan masyarakat yang ada di sekitar kawasan pesisir pantai Kabupaten Tasikmalaya, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat sekitar pantai memiliki tingkat literasi lingkungan yang baik; sedangkan berdasarkan hasil analisis kombinasi SWOT, VRIOL dan Seven Forces yang dikaitan dengan pengembangan pariwisata berkelanjutan pada sektor pariwisata pesisir telah melahirkan enam (6) strategi kegiatan yang harus dilakukan yakni melalui diferensiasi, kualitas pelayanan, promosi dan sistem pemasaran, kemitraan, inovasi, serta melakukan pemberdayaan masyarakat. ABSTRACT The research aims to examine the potential, environmental literacy, and strategies for competitive and sustainable excellence in the coastal tourism sector in the southern region of Tasikmalaya District, West Java Province. The research method used in this study is a mixed method with a concurrent triangulation design. Data collection techniques were carried out through questionnaires, interviews, non-participant observation, and document studies. The data analysis in this study is divided into three parts: to examine the potential of tourism destinations using qualitative analysis obtained from observation and interview results, and quantitative analysis from the ADO-ODTW (Operational Area Analysis-Object of Tourism Destination Area) analysis; Tourism Suitability Index (IKW) analysis, and Analytic Hierarchy Process (AHP) analysis conducted simultaneously; for environmental literacy using quantitative analysis; and for analyzing competitive and sustainable excellence strategies using SWOT, VRIOL, and Seven Forces analysis. Based on the research findings, it is known that the southern region of Tasikmalaya District has several potential tourism resources, both cultural and natural tourism, especially beach tourism such as Sindangkerta beach, Karangtowulan beach, and Cipatujah beach. However, when viewed from the aspect of excellence, both competitive and comparative advantages, and from the aspect of competitiveness, it is still behind other coastal tourist destinations in the southern coastal region of West Java, which are its competitors, such as the Sayangheulang beach tourism area in South Garut and several beach tourism destinations in Pangandaran District; Regarding the environmental literacy of the community around the coastal area of Tasikmalaya District, based on the research findings, it is known that the coastal community has a good level of environmental literacy; while based on the results of the combined analysis of SWOT, VRIOL, and Seven Forces in relation to the development of sustainable tourism in the coastal tourism sector, six (6) strategic activities must be carried out, namely through differentiation, service quality, promotion and marketing systems, partnerships, innovation, and community empowerment.Item IMPLEMENTASI COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN (Studi Kasus Perencanaan Kolaboratif Pengelolaan Taman di Kota Bandung)(2017-10-04) KAMALIA PURBANI; Oekan Soekotjo Abdoellah; Chay AsdakDisertasi ini merupakan hasil penelitian penulis mengenai “Implementasi Collaborative Governance dalam Pengelolaan Perkotaan Berkelanjutan: Studi Kasus Perencanaan Kolaboratif Pengelolaan Taman di Kota Bandung). Permasalahan yang dihadapi oleh perkotaan masa kini semakin kompleks, diperlukan tata kelola yang tepat agar keberlanjutan kota dapat tercapai. RTH sebagai salah satu indikator keberlanjutan sebuah kota menjadi penting untuk dikelola lebih baik karena terdapat kecenderungan berkurang kuantitas dan kualitasnya. Collaborative governance dianggap strategi tepat untuk menangani masalah yang kompleks. Kota Bandung sejak tahun 2013 telah mencanangkan pendekatan kolaboratif dalam pembangunan kota termasuk pengelolaan taman. Penulis menelaah implementasi collaborative governance dalam pengelolaan taman kota dengan menggunakan enam kriteria. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik penentuan informan melalui purposif. Data yang diperoleh bersumber dari wawancara mendalam, studi kepustakaan dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data menggunakan tiga tahap yaitu kondensasi data, pengajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi collaborative governance dalam pengelolaan taman kota di Bandung masih belum optimal. Berdasarkan teori, kepemimpinan kolaboratif pemerintah adalah titik sentral keberhasilan implementasinya collaborative governance. Dengan peran aktif dari pemerintah sebagai fasilitator, maka keterlibatan pemangku kepentingan secara inklusif akan terwujud. Untuk kasus Kota Bandung, menunjukkan bahwa kepemimpinan kolaboratif pemerintah yang belum optimal masih dapat mendorong keterlibatan stakeholder walau belum inklusif. Konsep collaborative governance yang berasal dari negara-negara Barat belum tentu dapat diterapkan pada semua wilayah. Unsur pertama yang menjadi prasyarat adalah kepemimpinan kolaboratif yang dimiliki oleh pemerintah, dilanjutkan dengan pemetaan kondisi awal desain kelembagaan yang dimiliki, yang akan mempengaruhi kapasitas stakeholder dan kemampuan pemerintah menjadi fasilitator, yang pada akhirnya akan tercipta keterlibatan stakeholder secara inklusif yang merupakan inti dari collaborative governance. Faktor pendukung implementasi collaborative governance pengelolaan taman di Kota Bandung adalah (1) Keberadaan forum yang menjembatani para pemangku kepentingan (2) Implementasi open government (3) Potensi keterlibatan swasta (4) Peningkatan kapasitas kelembagaan secara mandiri oleh komunitas (5) Potensi kepemimpinan kolaboratif dari pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan taman kota (6) Inisiasi kerjasama pengelolaan taman kota oleh pemerintah (7) Keberadaan organisasi sukarela dan lembaga kemasyarakatan yang berbasis kewilayah yang berfungsi sebagai motor penggerak (8) Regulasi yang mendorong keterlibatan para pemangku kepentingan secara optimal. Faktor penghambat implementasi collaborative governance dalam pengelolaan taman di Kota Bandung adalah (1) Ketiadaan akses bagi masyarakat umum untuk terlibat dalam proses perencanaan pembangunan taman kota (2) Kapasitas kelembagaan pemerintah dalam penganggaran pengelolaan RTH (3) Rendahnya pemahaman sebagian stakeholder tentang prinsip prinsip kepemimpinan kolaboratif (4) Keterbatasan peran pemerintah kota sebagai fasilitator dalam proses kolaboratif (5) Ketiadaan lembaga dan program yang memadai untuk menunjang pendidikan dan pelatihan (6) Ketiadaan regulasi kerjasama dengan swasta untuk pengelolaan taman non profit dalam jangka panjang. Saran yang diberikan untuk Pemerintah Kota yaitu (1) Inisiasi proses kolaboratif pengelolaan taman perlu lebih didorong untuk dilakukan oleh pimpinan lembaga teknis (2) melembagakan panduan tata kelola kolaboratif sederhana sehingga, stakeholder dapat memperoleh informasi yang lebih transparan beserta insentif yang dapat diberikan (3) pendidikan dan pelatihan sistematik dan komprehensif bagi stakeholder agar memiliki kompetensi membangun konsensus dan pemahaman tentang lingkungan yang dikelola serta forum regular sebagai wadah bagi pembelajaran sosial (4) menyusun regulasi yang mendorong pihak swasta berkolaborasi mengelola taman dalam jangka panjang dan tidak berbasis komersial serta menerapkan konsep “green budgeting” dengan menggunakan kerangka penganggaran jangka menengah agar terwujud kesinambungan program untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH sesuai regulasi.Item IMPLIKASI SEDIMENTASI LAGUNA SEGARA ANAKAN TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS PADA MUSIM YANG BERBEDA(2012) YUNIARTI MS; Yudi Nurul Ihsan; Yudi Nurul IhsanPerubahan struktur komunitas makrozoobenthos terjadi karena adanya sedimentasi yang memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas lingkungan perairan terutama di Laguna Segara Anakan. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan sejauh mana pengaruh sedimentasi, nutrien dan perbedaan musim di Laguna Segara Anakan terhadap struktur komunitas makrozoobenthos. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan data primer berupa pengambilan sampel nutrien, makrozoobenthos, laju sedimentasi dan data sekunder seperti curah hujan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai tertinggi laju volume terakumulasi adalah pada musim kemarau dan hujan 2,00 di stasiun 1. Nilai deposit sedimen kemarau didapatkan 3,85E-11 kg/m2/s dan hujan 3,14E-06 di stasiun 1. Nutrien air pori pada musim kemarau berkisar antara 0,026-0,274 mg/L untuk PO4, 0,109-0,624 mg/L untuk NH3-N, 0,122-0,437 mg/L untuk NO3-N, 0,008-0,33 mg/L untuk NO2-N, 0,345-3,502 mg/L untuk N-Total, 11,0-22,2 mg/L untuk TOC. Musim hujan nilai nutrient air pori berkisar antara 0,030-0,374 mg/L untuk PO4, 0,0586-0,1130 mg/L untuk NH3-N, 0,306-2,47 mg/L untuk NO3-N, 0,018-0,025 mg/L untuk NO2-N, 0,704-3,116 mg/L untuk N-Total, 7,07-8,14 mg/L untuk TOC. Keanekaragaman makrozoobenthos pada musim kemarau 1,86 untuk musim hujan 1,31. Dominansi makrozoobenthos musim kemarau 0,88 dan musim hujan 1. Jenis makrozoobenthos yang dominan pada musim kemarau adalah Balanus sp, Melanoides sp, Corbicula sp, Polycaeta, Thiara sp. Musim hujan yang dominan adalah Corbicula sp, Melanoides sp, Thiara sp, Tarebra sp, Balanus sp, Polycaeta dan Barbatia.Item INTEGRASI PENGURANGAN RISIKO BAHAYA GEMPA BUMI UNTUK PERENCANAAN RUANG KOTA PALU(2022-07-19) JOSSI ERWINDY; Mohamad Sapari Dwi Hadian; Chay AsdakPenilaian risiko bencana penting untuk perencanaan kota. Kota Palu terletak di kawasan rawan gempa karena dilalui sesar Palu-Koro. Selain itu, Kota Palu merupakan kawasan perkotaan nasional yang ditetapkan rencana tata ruang wilayah nasional sebagai pusat ekspor-impor dan industri. Pesatnya pembangunan menyebabkan perubahan guna lahan untuk pengembangan kota. Studi ini membahas penilaian pengurangan risiko bencana gempa dalam perencanaan kota. Ancaman gempa cukup besar dan berulang, Kota Palu memerlukan mitigasi bencana yang termuat dalam perencanaan kota, meliputi analisis bahaya dengan mikrozonasi seismik, analisis daya dukung, dan pengintegrasian risiko bencana pada dokumen perencanaan tata ruang. Dengan menggunakan metode campuran (pendekatan kuantitatif dan kualitatif), pengolahan data dengan software ArcGIS, observasi lapangan didukung data primer dan sekunder, diketahui bahwa 78,18% Kota Palu memiliki ancaman gempa sedang hingga tinggi. Berdasarkan daya dukung kota, 55,43% berada pada kelas kemampuan lahan A dan B (sangat rendah hingga rendah) menyiratkan kendala fisik dalam pengembangan kotanya. Hasil pengintegrasian risiko bencana gempa dengan perencanaan kota saat ini, 78,79% telah sesuai daya dukung terutama kawasan lindung, namun 21,21% rencana pemanfaatan ruang tidak sesuai daya dukungnya berada pada kawasan risiko bencana tinggi, terutama di pusat kota dengan beban aktivitas tinggi, kepadatan penduduk tinggi, yang didominasi pemukiman, perdagangan dan jasa, pemerintahan, serta kegiatan penunjang ekonomi lainnya. Perencanaan kota yang tidak sesuai daya dukungnya harus dikendalikan secara ketat dengan mitigasi bencana. Mengingat Kota Palu memiliki potensi tingkat kerawanan gempa tinggi, revisi perencanaan kota ke depan harus mempertimbangkan risiko bencana sehingga tujuan perencanaan Kota Palu 2030 tangguh bencana dan berwawasan lingkungan dapat terwujud.Item Keberlanjutan Pariwisata di Pulau Pari: Perspektif Ekologi Politik(2024-01-31) TRIYONO; Budhi Gunawan; Yudi Nurul IhsanPulau-pulau kecil merupakan aset yang potensial bagi pengembangan pariwisata. Namun, karakteristik pulau kecil yang rentan menjadi tantangan bagi keberlanjutan pariwisata di wilayah tersebut. Pariwisata sebagai sebuah sistem multi aktor yang melibatkan berbagai aktor dengan kepentingannya membutuhkan kemampuan mengelola pertumbuhan dan pengaruhnya terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Perubahan lingkungan di suatu tempat merupakan hasil gabungan dari proses-proses sosial, ekonomi dan politik di dalam maupun luar lokasi yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada persoalan akses dan kontrol atas sumber daya alam di tempat tersebut. Perspektif ekologi politik digunakan untuk mengetahui persoalan-persoalan lingkungan dalam konteks pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil. Dengan mengambil studi kasus pariwisata di Pulau Pari sebagai pulau kecil yang lokasinya dekat dengan Jakarta dan memiliki konektivitas ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan ibukota negara tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kompleksitas sebuah sistem pariwisata. Penelitian ini bertujuan untuk menganalis: (1) aktor-aktor yang terlibat, relasi kekuasaan dan mekanisme aksesnya; (2) kondisi ekologi, ekonomi dan sosial akibat pariwisata; dan (3) keberlanjutan pariwisata bahari di Pulau Pari. Penelitian ini diharapkan mampu merekomendasikan alternatif model kelembagaan dalam pengelolaan pariwisata agar berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian campuran (mix method) dengan mengombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Perspektif ekologi politik dengan pendekatan teori aktor dan akses; kerangka Drivers, Pressures, States, Impact dan Response (DPSIR) dan Matrix Aliances and Conflicts: Tactics, Objectives dan Recommendations (MACTOR) digunakan sebagai alat analisis penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktor yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata di Pulau Pari berasal dari dalam maupun luar pulau, dengan berbagai peran dan kekuasaan yang berbeda. Sebagian besar aktor konvergen, tidak terdapat divergensi maupun aktor yang bersifat ambivalen. Seluruh pemangku kepentingan menunjukkan sikap sejalan dengan seluruh tujuan yang ditetapkan, tidak bersikap kontra serta sebagian besar berorientasi ekonomi dibandingkan ekologi. Analisis DPSIR menunjukkan dampak negatif pariwisata terhadap ekosistem/lingkungan di Pulau Pari. Perubahan kegiatan produksi penduduk dan daya tarik wisata Pulau Pari menjadi pendorong yang memicu berbagai tekanan lingkungan di Pulau Pari, seperti peningkatan wisatawan, penginapan dan penduduk. Peningkatan tersebut mempengaruhi kondisi terkini di Pulau Pari berupa eksploitasi sumber daya terumbu karang, kepadatan penduduk, perubahan tata guna lahan, dan pencemaran air. Kerusakan sumber daya pariwisata di Pulau Pari terjadi akibat tingginya intensitas interaksi wisatawan dengan sumber daya pariwisata yang secara langsung dipengaruhi oleh kemampuan agen travel dalam pulau mengendalikan aktor-aktor lain dengan mekanisme akses struktural dan relasional yang dijalankan. Tingginya tingkat eksploitasi secara tidak langsung diakibatkan oleh rendahnya pengawasan dari pihak yang memiliki hak untuk mengontrol akses sumber daya. Hadirnya berbagai kelembagaan lokal (misalnya penggiat Daerah Perlindungan Laut (DPL), Pokwasmas, dan Pokdarwis) yang diharapkan dapat membantu proses kontrol terhadap sumber daya namun karena tidak adanya mekanisme berbasis hak untuk mengontrol sumber daya tersebut, justru menyebabkan semakin meningkatnya eksploitasi terhadap sumber daya pariwisata di Pulau Pari. Pariwisata di Pulau Pari menjadi praktik pariwisata yang berkelanjutan ditinjau dari dimensi ekonomi dan sosial-budaya. Pariwisata di Pulau Pari telah menjadi industri pariwisata yang layak secara ekonomi dan menjadi aktivitas yang telah memberikan manfaat finansial dan sosial kepada sebagian besar masyarakat Pulau Pari termasuk belum menimbulkan distorsi budaya lokal akibat interaksi wisatawan dengan penduduk lokal. Namun pariwisata di Pulau Pari merupakan praktik pariwisata yang tidak berkelanjutan ditinjau dari dimensi ekologi (lingkungan). Dalam jangka panjang, pariwisata di Pulau Pari patut dipertanyakan sebab para aktor yang terlibat belum mampu menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan dan mendorong bentuk-bentuk pariwisata baru. Apabila tidak terdapat upaya-upaya yang kongkrit untuk mengurangi dampak negatif dari pariwisata terhadap ekosistem/lingkungan maka dalam jangka panjang pariwisata di Pulau Pari mungkin tidak berlanjut karena sudah tidak layak secara ekonomi dan tidak dapat memberikan manfaat finansial dan sosial bagi masyarakat lokal akibat sumber daya alam sebagai aset pariwisata telah mengalami kerusakan. Untuk memastikan bahwa pariwisata tetap berkelanjutan, langkah-langkah yang perlu dilakukan diantaranya: (1) membuat kesepakatan antara semua pengguna sumber daya sehingga semua orang mengetahui aturan dan ruang yang berlaku dalam pemanfaatan pariwisata; (2) sanksi dapat diterapkan bagi mereka yang tidak menggunakan sumber daya dengan baik, yang dapat berupa insentif untuk perbaikan lingkungan; (3) pemantauan sumber daya yang cermat dan teratur merupakan peluang bagi strategi pengelolaan pariwisata berkelanjutan di pulau-pulau kecil; (4) pengaturan zonasi pemanfaatan yang tepat dengan mempertimbangkan daya dukung masing-masing objek wisata; dan (5) meningkatkan kesadaran penduduk setempat maupun wisatawan akan pentingnya kelestarian dan pelestarian lingkungan di Pulau Pari. Penggiat Daerah Perlindungan Laut, agen travel dalam pulau dan perangkat RW memiliki garis koneksi tertebal pada peta konvergensi yang berarti mereka memiliki kesamaan terhadap tujuan pencapaian keberhasilan pariwisata berkelanjutan di Pulau Pari. Artinya ketika mereka berkomitmen membangun aliansi (kerjasama) maka besar kemungkinan pariwisata berkelanjutan dapat tercapai. Penelitian ini mengajukan model kerangka tata kelola kolaboratif. Dalam model ini aktor-aktor yang terlibat secara bersama sama ikut bertanggungjawab dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan di Pulau Pari. Setiap aktor dengan kapasitasnya berkontribusi aktif dalam menyeimbangkan tujuan-tujuan pariwisata berkelanjutan antara aspek ekonomi, sosial dan ekologi dan semata-mata tidak hanya berorientasi pada satu tujuan sesuai kepentingan aktor tersebut.Item LAYANAN EKOSISTEM DAN NILAI EKONOMI DARI LEBAH MADU LOKAL Apis cerana Fabr. DI TAMAN HUTAN RAYA IR. H. DJUANDA(2015) SYAYIDAH NURIYAH; Arief Anshory Yusuf; Wawan HermawanLebah madu memiliki peran ekologi dan ekonomi yang penting di ekosistem Tahura Djuanda. Apis cerana Fabr adalah serangga penyerbuk dominan yang berkontribusi dalam penyerbukan tanaman di Tahura dan penghasil madu. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jenis-jenis layanan ekosistem yang diberikan oleh A. cerana, dan mengkuantifikasi nilai ekonomi A. cerana di Tahura Djuanda. Penelitian diawali dengan kuantifikasi ekologi melalui metode survey untuk menganalisis vegetasi sumber pakan lebah di ekosistem Tahura dan lahan pertanian sekitar Tahura. Kemudian dilakukan kajian keragaman polen dari A. cerana pada 3 lokasi. Polen diambil dari bagian korbikula lebah saat masuk ke sarang, dan polen diamati dengan metode asetolisis. Kajian dilanjutkan dengan eksperimen kesuksesan penyerbukan dan menghitung nilai ketergantungan tanaman pada polinator (Dependency/D). Analisis ekonomi dilakukan dengan metoda survey, kemudian dihitung total nilai ekonomi produksi tanaman (Production Economic Value/∑PEV), total nilai layanan penyerbukan lebah (Insect Pollination Economic Value/∑IPEV), dan nilai kerentanan tanaman apabila lebah hilang (Ratio of Vulnerability/RV). Hasil penelitian menunjukkan 102 spesies tanaman berhasil diidentifikasi sebagai sumber pakan (polen dan nektar) A. cerana. Hasil analisis asetolisis menunjukkan ada pollen loads pada tubuh A. cerana yang berasal dari 110 spesies tanaman. Polen tanaman dari famili Arecaceae (Arenga pinnata) mendominasi keragaman polen, sebesar 23,04%, disusul dengan tanaman famili Asteraceae (Chromolaena odorata) sebesar 9,98%. Sedangkan pada lahan pertanian sekitar Tahura didapatkan 19 spesies tanaman merupakan sumber pakan lebah, dan 11 spesies tanaman terdapat dalam pollen loads lebah A. cerana. Persentase pollen loads dominan pada tanaman pertanian berasal dari famili Rubiaceae (Coffea canephora 1,11%) dan Brassicaceae (Brassica juncea 0,85%). Hasil analisis ekologi menunjukkan nilai kesuksesan penyerbukan lebah sebesar 75%, Hasil analisis ekonomi dari layanan penyerbukan lebah (∑IPEV) sebesar 25,5 miliar rupiah/tahun, pada 28 spesies tanaman habitat vegetasi hutan campuran dengan total nilai ekonomi produksi tanaman (∑PEV) sebesar 51 miliar rupiah/tahun. Apabila peran A. cerana hilang maka akan terjadi kerentanan (RV) dengan potensi kerugian karena tidak ada lebah sebesar 50% dari ∑PEV. Sedangkan ∑IPEV tanaman pertanian oleh lebah madu di sekitar Tahura diperoleh sebesar 2 miliar rupiah/ha/tahun, dari ∑PEV tanaman pertanian sebesar 4,15 miliar rupiah/ha/tahun untuk 11 spesies tanaman, dengan (RV) sebesar 50% dari ∑PEV. Nilai produktivitas lebah dalam menghasilkan madu dari 20 peternak lebah saat musim kemarau dengan 50% lebah meninggalkan sarang (abscond) sebesar 468,9 juta rupiah/tahun, tetapi apabila lebah tidak meninggalkan sarang maka nilai produktivitas madu sebesar 937,9 juta rupiah/tahun. Faktor yang mendukung keberlanjutan populasi lebah madu secara ekologi di Tahura seperti ukuran rata-rata populasi lebah di Tahura berada pada batas normal yaitu 10.780 lebah/koloni, juga kondisi topografi yang sesuai. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa A. cerana memberikan layanan ekologi dan nilai ekonomi A. cerana sangat mendukung kesejahteraan peternak lebah. Dengan demikian lebah memberikan layanan ekosistem secara ekologi dan ekonomi yang bernilai strategis bagi keberlanjutan ekosistem Tahura Ir. H. Djuanda.Item MEMBANGUN TATA KELOLA KOLABORATIF DALAM PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON(2022-03-03) MUHLISIN; Johan Iskandar; Budhi GunawanPeranan ruang terbuka hijau (RTH) sangat penting dalam memperbaiki lingkungan perkotaan. Namun demikian pembangunan RTH di perkotaan di Indonesia belum optimal. Pengelolaan RTH selama ini terkesan berjalan sendiri-sendiri antara pemerintah dan pemangku kepentingan yang lain. Untuk mewujudkan RTH membutuhkan upaya sinergi semua pihak dan pemangku kepentingan, sehingga perwujudan RTH memerlukan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan badan usaha. Penelitian collaborative governance dalam pengelolaan RTH sudah banyak dilakukan, namun umumnya mereka hanya memotret pelaksanaan kolaborasi yang tengah berlangsung dan menganalisanya menggunakan salah satu model kolaboratif. Berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan, penelitian ini mengidentifikasi potensi penerapan collaborative governance berdasarkan komponen-komponen yang mempengaruhinya, kemudia potensi kolaborasi yang ada menjadi dasar dalam membangun model kolaborasi pengelolaan RTH yang belum terjadi. Disertasi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober 2019 sampai dengan Oktober 2020 di Wilayah Administratif Kota Cilegon. Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran (mix methods), kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara dengan penentuan informan secara purposif. Data yang dikumpulkan terdiri dari: aspek kondisi RTH, keanekaragaman dan struktur vegetasi RTH, kebutuhan RTH, pengelolaan RTH, dan potensi collaborative governance pengelolaan RTH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Cilegon mengelola RTH publik berupa taman kota, taman kecamatan, taman median jalan, taman pulau jalan, dan hutan kota. Kondisi RTH publik belum memenuhi luas 20% wilayah kota, luas tiap RTH belum memenuhi syarat, sebaran di tiap kecamatan belum merata, tutupan dan kanekaragaman vegetasi yang masih rendah, dan belum semua jenis RTH terkelola dengan baik. Selaian itu, Kota Cilegon belum memiliki master plan dan peraturan daerah mengenai pegelolaan RTH, sehingga pengelolaannya belum sinergis antara Organisasi Perangkat Daerah yang satu dengan yang lainnya, dan pengelolaan RTH tidak mencakup seluruh jenis RTH, baik publik maupun privat. Oleh karena itu, revitalisasi pengelolaan RTH di Kota Cilegon melalui tata kelola yang melibatkan para stakeholder perlu dilakukan untuk mendapatkan solusi terbaik. Secara keseluruhan potensi komponen collaborative governance yang meliputi kondisi awal (starting condition), kepemimpinan fasilitatif (facilitative leadership), desain kelembagaan (institutional design), penarik magentik (magnetic attraction), visi bersama (shared vision). dan perjanjian dan tatakelola sederhana (leightweight agreement and government) ditemukan pada semua stakeholder dengan katagori tinggi. Komponen tersebut perananya sangat penting dalam mendukung keberhasilan collaborative governance pengelolan RTH. Model tata kelola kolaborasi dalam pengelolaan RTH di Kota Cilegon yang dibangun berdasarkan model Ansell & Gash (2008) dan Surman & Surman (2008). Collaborative governance pengelolaan RTH terdiri dari empat komponen: kondisi awal, kepemimpinan fasilitatif, desain institusional, dan komponen utama proses kolaborasi. Keempat komponen tersebut merupakan model dasar dari Ansell & Gash (2008). Badan usaha yang memiliki kesediaan untuk berkolaborasi (willingness to collaborate) berperan penting dalam mendukung kondisi awal kolaborasi; Pemerintah Kota sebagai mediator dan kepemimpinan lokal berperan penting sebagai kepemimpinan fasilitatif; dan forum CSR yang bersifat inklusif dan transpara berperan dalam menginisiasi desain kelembagaan. Ketiga komponen tersebut berperan dalam mendukung proses collaborative governance pengelolaan RTH. Penarik magnet, visi bersama, dan perjanjian dan tata kelola sederhana yang ketiganya merupakan komponen Model Konstelasi Surman & Surman (2008) memicu terbentuknya komite koordinasi sebagi komite pengarah pengelolaan RTH secara kesluruhan dan tim aksi yang terbentuk tersebar berdasarkan isu pengelolaan RTH dan lingkup wilayah yang kecil dan tersebarItem MODEL PENGEMBANGAN INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH-LUMPUR TINJA KOMUNAL TERINTEGRASI DAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: PERMUKIMAN PERDESAAN DAS CITARUM)(2023-10-25) ELIS HASTUTI; Benny Joy; Unang SupratmanPencapaian akses aman infrastruktur air limbah yang masih rendah dan tidak efektifnya pengelolaan lumpur tinja, merupakan ancaman pencemaran air dan risiko kesehatan masyarakat. Penelitian pengembangan sistem instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal dan pengolahan lumpur tinja (SIPAL-LT) terintegrasi dan berkelanjutan, ditujukan untuk acuan perencanaan IPAL di permukiman perdesaan DAS Citarum yang memiliki kendala akses ke sarana pengolahan lumpur tinja terpusat. Faktor-faktor pengembangan IPAL berkelanjutan, diidentifikasi dengan analisis variasi korelasi antara variabel secara maksimal dan ekstraksi faktor dengan metode principal component analysis (PCA). Analisis PCA menghasilkan faktor-faktor dominan, yaitu faktor sistem pengolahan, faktor pengelolaan dan lingkungan, dan faktor karakteristik masyarakat. Pengembangan model SIPAL-LT berdasarkan faktor-faktor dominan tersebut, dianalisis dari profil keberlanjutan, perencanaan 15 pilihan model, gugus teknologi, dan prioritas teknologi. Analisis klaster hirarki menghasilkan model SIPAL-LT terbaik, yaitu berada di lokasi dengan karakteristik pengguna IPAL komunal eksisting lebih dari 60% kapasitas desain, memiliki organic pollution index dan contaminant index lumpur tinja berkategori pencemar rendah, dan nilai overall equipment effectiveness IPAL lebih dari 60%. Teknologi pada model terbaik tersebut terdiri dari IPAL komunal anaerobic digester dengan pengolahan lanjutan biofilter dan constructed wetland, sedangkan pengolahan lumpur tinja (termasuk dari IPAL individual sekitarnya) direncanakan menggunakan sludge drying bed with plant (constructed wetland untuk pengolahan lumpur). Strategi implementasi SIPAL-LT dianalisis dengan model Driven force-Pressure-State-Impact-Response dan tingkat kesiapan implementasi. Interaksi faktor pendorong berupa penduduk, sistem IPAL, dan timbulan lumpur tinja memberikan pengaruh langsung pada pengelolaan, sikap masyarakat, dan lingkungan. Klasifikasi kesiapan implementasi diprediksi dengan analisis diskriminan ganda, yang dibedakan berdasarkan efluen pengolahan dan pemakaian air bersih (aspek teknis); tata ruang dan indeks kualitas lumpur individual (aspek lingkungan); iuran masyarakat dan persepsi masyarakat untuk pemanfaatan efluen dan padatan (aspek sosial ekonomi). Strategi implementasi SIPAL-LT dapat sebagai acuan untuk peningkatan akses aman air limbah pada skala yang lebih luas di permukiman perdesaan DAS Citarum.Item MODEL SISTEM DINAMIS PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU STUDI KASUS: KOTA BANDUNG(2018-08-12) MOHAMAD SATORI; Ina Primiana Febri Mustika Soeharsono; Ina Primiana Febri Mustika SoeharsonoPengelolaan sampah masih menjadi persoalan kompleks di berbagai kota di Indonesia. Persoalan pengelolaan sampah tidak hanya persoalan lingkungan tapi juga persoalan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu pengelolaan sampah terpadu (PST) merupakan pilihan penting. Untuk membangun PST tersebut perlu memperhatikan faktor penting yang berfungsi sebagai penghubung (interface). Berdasarkan hasil kajian teoritis dan survey teridentifikasi 16 faktor penting dalam membangun PST di Kota Bandung. Setelah dilakukan pemodelan ke 16 faktor dikuantifikasi menjadi variabel penting yang berpengaruh dalam sistem PST terdiri dari: input tidak terkntrol (jumlah penduduk, gaya hidup masyarakat, timbulan sampah, harga sampah daur ulang); input terkontrol (anggaran penyuluhan, anggaran penanganan, anggaran pengurangan, aksesiblitas sektor informal); output dikehendaki (pengurangan di sumber, kinerja pengolahan, pendapatan sektor informal, sampah terkelola), dan output tidak dikehendaki (beban pengumpulan, mix waste, sampah dibuang, sampah tidak terkelola). Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan sistem dinamis maka skenario yang direkomendasikan adalah skenario optimis, dimana pengurangan sampah di sumber rata-rata 16%, pengurangan skala kawasan rata-rata 21%, pendapatan bersih pemulung rata-rata Rp 2.405.278/ orang/ bulan, kinerja pengurangan keseluruhan 39%, kinerja penanganan 61%, dan penghematan biaya Rp 26,2 milyar/tahun.Item Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Ekowisata Daerah Aliran Sungai (Kasus di Situ Cisanti Hulu Sungai Citarum, Jawa Barat, Indonesia)(2022-12-28) RULLY KHAIRUL ANWAR; Mohamad Sapari Dwi Hadian; HendarmawanPemerintah di negara berkembang sering mengklaim pariwisata atau ekowisata sebagai strategi pembangunan terutama untuk meningkatkan tingkat pendapatan dan kualitas hidup masyarakat setempat. Namun selama ini pendekatan pariwisata yang digunakan tidak berdampak besar bagi masyarakat lokal karena kekeliruan pendekatan yang digunkana khususnya berfokus pada pariwisata massal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik masyarakat di lokasi ekowisata, partisipasi masyarakat dalam ekowisata, dampak negatif dan positif ekowisata, dan keterbatasan masyarakat dalam ekowisata Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Penelitian menggunakan metode kualitatif atau secara khusus pendekatan studi kasus berdasarkan paradigma atau perspektif teori kritis. Data diperoleh melalui teknik observasi, wawancara, dan kajian dokumentasi. Hasil penelitian diperoleh bahwa: pertama, masyarakat lokal Desa Tarumajaya adalah heterogen, terutama dalam tingkat pendidikan dan pendapatan. Banyak warga masih hidup pada garis kemiskinan. Keragaman latar belakang sosial-ekonomi masyarakat ini pun menyebabkan individu dan kelompok dalam masyarakat memiliki persepsi politik dan sikap yang bervariasi terhadap pengembangan ekowisata di daerah tersebut. Kedua, partisipasi masyarakat lokal Desa Tarumajaya dalam pengembangan ekowisata Situ Cisanti berwujud dalam empat bentuk partisipasi, yakni partisipasi dalam konservasi lingkungan; partisipasi dalam ekonomi; partisipasi dalam budaya dan sejarah; dan partisipasi dalam komersialisasi ekowisata melalui penggunaan media sosial. Ketiga, dampak negatif ekowisata Cisanti yakni adanya kontradiksi nilai dan norma budaya antara penduduk desa dan wisatawan, dilema moral di kalangan pemuda desa dan menguatnya praktik nilai-nilai individualistis. Dampak negatif lainnya adalah adanya benturan kepentingan antara masyarakat lokal dengan pemangku kepentingan lainnya, yakni antara masyarakat lokal dengan pengelola ekowisata, TNI dan Perhutani, serta konflik antara warga desa dengan warga desa lainnya. Sementara, dampak positif ekowisata adalah adanya berbagai jenis peluang kerja baru dan kesadaran masyarakat dalam mengelola lingkungan dan sejarah-budaya sekitar. Keempat, keterbatasan partisipasi masyarakat lokal dalam ekowisata terjadi karena berbagai faktor, khususnya di ranah ekonomi. Faktor-faktor ini meliputi kekurangan modal, belum efektifnya pengelolaan partisipasi di tingkat desa, kurangnya pemasaran, kurangnya pasokan air bersih di desa, kurangnya dukungan dan konsultasi yang berkelanjutan dari lembaga pemerintah khususnya dalam hal bantuan keuangan, kompensasi, konsultasi pembangunan, dan program pelatihan lanjutan dan keterbatasan sarana dan prasarana sosial desa. Faktor lainnya yang mencerminkan karakteristik warga lokal seperti terbatasnya interaksi sosial antara penduduk desa dengan pengunjung dan minimnya pengetahuan untuk komersialisasi ekowisata dan budaya lokal mereka. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan partisipasi ekowisata yang berkelanjutan merupakan solusi atas pendekatan pariwisata massal yang selama ini diterapkan di Indonesia. Pendekatan partisipasi ekowisata yang berkelanjutan menekankan pada hubungan simbiotik antar unsur-unsur ekowisata, yaitu kegiatan ekowisata, kawasan lindung, dan masyarakat lokal. Melalui hubungan simbiotik ini ketiga unsur ekowisata diharapkan saling menguntungkan satu sama lain.Item Pemanfaatan Serbuk Sabut Kelapa (Cocopith) Menjadi Insulator Biokomposit dalam Upaya Optimasi Nilai Ekonomi Limbah di Wilayah Setempat Limbah(2022-05-18) DIANA SUSYARI MARDIJANTI; Sunardi; Ayi BahtiarIndustri penggilingan sabut kelapa menghasilkan serat kelapa dan limbah berupa serbuk sabut kelapa (cocopith) dengan perbandingan 1 : 3. Produksi cocopith yang lebih banyak daripada produksi utamanya menimbulkan permasalahan lingkungan yang tidak akan pernah selesai karena industri ini terus berproduksi untuk memenuhi permintaan pasar. Penimbunan cocopith yang terus bertambah baik luas maupun tingginya akan menimbulkan pencemaran udara dan air, serta mengurangi lahan produktif. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi timbunan dengan pembakaran belum efektif, diperlukan pengolahan cocopith berdasarkan sifat biologi dan kimianya dengan teknologi yang ramah lingkungan. Pemanfaatan cocopith menjadi biokomposit insulator menjadi salah satu solusi dan dapat meningkatkan nilai ekonomi cocopith sebagai limbah. Melalui uji kualitas udara diperoleh hasil bahwa gas emisi dari pembakaran cocopith adalah Sulfur Dioksida(SO2), yaitu sebanyak 669 mg/Nm3 sedangkan baku mutu SO2 sebesar 600 mg / Nm3. Udara yang tercemar oleh senyawa Sulfur Dioksida (SO2) menyebabkan manusia mengalami gangguan pada sistem pernafasan. Kualitas udara ambien di lokasi penggilingan masih baik. Kegiatan cocopith tidak signifikan terhadap gangguan lingkungan terutama parameter TSP. Hasil uji debu (TSP) dari cocopith sebanyak 85,8 μg/Nm3 berada dibawah baku mutunya sebesar 230 μg/Nm3. Ukuran cocopith sebesar 100 - 300 mikron , berupa debu ringan sehingga mudah terhirup dan menggangu pernafasan. Melalui uji kualitas air diperoleh hasil bahwa cocopith mencemari sumber air di sekitar lokasi penggilingan sabut kelapa. Lindi yang dihasilkan dari timbunan cocopith di lingkungan (open dumping) memiliki beban pencemaran aktual yang lebih tinggi dari beban pencemaran maksimum untuk COD dan BOD. Kemampuan cocopith untuk diolah menjadi biokomposit dipengaruhi juga oleh kadar lignin cocopith (22,7%) lebih banyak daripada kandungan selulosa (10,27%). Biokomposit berbasis miselium diproduksi dengan menumbuhkan miselium pada serat alami yang bersifat limbah lignoselulosa seperti serbuk kayu, jerami dan cocopith. Metode perekatan cocopith sebagai serat alam berbasis miselium dapat dilakukan dengan komposisi cocopith sebanyak 50% , serbuk kayu 27% dan pollard 23%. Nilai C/N ratio sebesar 68,99 memberikan hasil terbaik dengan pertumbuhan miselium sebanyak 87,7% sehingga membentuk struktur yang kuat dan padat menjadi komposit yang biodegradable. Sifat selulosa dan lignin dapat menjelaskan karakteristik dari cocopith yang sulit terurai dan sifat termoplastik lignin yang dapat dianalogikan seperti sifat resin yang memiliki kemampuan menginsulasi dengan baik. Kandungan senyawa kimia terbanyak dalam cocopith yang berpotensi memberikan sifat menginsulasi adalah klorida. Berdasarkan karakteristik dan kemampuan menyimpan panas inilah, cocopith diolah menjadi biokomposit berbasis miselium yang berfungsi sebagai insulator termal. Sifat fisik biokomposit, yakni kekuatan tekan ( maximum stress) dan kekuatan tarik (tensile stress) telah terukur melalui uji tekan dan uji tarik di laboratorium (Uji flexural strength dengan metode ASTM-D7264). Kelayakan biokomposit sebagai insulator melalui uji konduktivitas termal biokomposit pada suhu (13- 40) oC memiliki nilai konduktivitas termal 0,089 0.003 W/mK. Nilai konduktivitas termal tersebut pada rentang 0,01–1,00 W/mK sebagai rekomendasi nilai konduktivitas termal insulator. Pemanfaatan biokomposit cocopith menjadi insulator sangat direkomendasikan baik secara ekonomi dengan analisis Break Even Point (BEP) maupun kelayakannya sebagai insulator yang ramah lingkungan.Item PENERAPAN LAHAN BASAH TERAPUNG BERSUMBU UNTUK PERBAIKAN KUALITAS AIR PADA EKOSISTEM LENTIK (STUDI KASUS: EMBUNG GEDEBAGE, BANDUNG, INDONESIA)(2018) WILDAN HERWINDO; Hendarmawan; Dadan SumiarsaPenelitian ini bertujuan untuk menilai efisiensi kualitas air menggunakan sistem lahan basah terapung dan bersumbu di Embung Gedebage, Kota Bandung dibandingkan dengan sumber air dari limbah domestik yang dipantau setiap dua minggu dari bulan September sampai Desember 2020. Untuk mengetahui efisiensi dari berbagai segi dalam penelitian ini dilakukan sub penelitian yaitu penelitian skala lapangan dengan membuat konstruksi lahan basah terapung bersumbu (lbtb) menggunakan media apung masing-masing berukuran 2 x 2 m = 4 m2 sebanyak 576 unit yang dilengkapi sumbu menggunakan tanaman Heliconia densiflora (pisang hias), pada penelitian skala lapangan diuji pula plankton (fitoplankton dan zooplankton) sebagai bioindikator kualitas air, identifikasi bakteri yang berperan dalam perbaikan kualitas air, serta asesmen kualitas air berdasarkan indeks. Sub penelitian lainnya yaitu skala pot untuk melihat secara lebih detail perbaikan kualitas air berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) sebanyak tiga ulangan menggunakan tiga jenis tanaman yaitu Heliconia psittacorum (pisang hias), Cyperus haspan (papyrus), dan Eleocharis dulcis (purun tikus) ditambah kontrol yang dipantau setiap dua minggu. Analisis biaya-manfaat dengan membandingkan biaya investasi serta manfaat tidak langsung berupa biaya pengeluaran teknologi lainnya dilakukan untuk menilai kelayakan secara ekonomis. Metode yang digunakan pada analisis skala lapangan adalah perbandingan kualitas air antara sumber air dengan embung setelah melalui perlakuan selama waktu retensi 14 hari dengan baku mutu air Kelas II pada Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 yang didukung uji statistik Multivariate Analysis of Variance (MANOVA), uji lanjut T2 Hotelling, dan uji interval kepercayaan simultan, serta penilaian kualitas air menggunakan indeks pencemaran dan indeks kualitas air. Hubungan plankton sebagai bioindikator dilakukan mengggunakan Canonical Correspondence Analysis (CCA) setelah sebelumnya dilakukan identifikasi dan penghitungan kelimpahan, uji keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks keseragaman, indeks dominansi Simpson (D), indeks status trofik/trophic state index (TSI), dan indeks tingkat trofik/trophic level index (TLI). Populasi dan identifikasi bakteri dilakukan menggunakan pour plate dengan pengenceran bertingkat menggunakan pereaksi terkait. Benefit to Cost Ratio (BCR) analysis dilakukan untuk menilai kelayakan ekonomis lbtb yang dibangun. Hasil perbaikan kualitas air berdasarkan parameter fisika (TDS, TSS, dan suhu air), parameter kimia (pH, BOD, COD, DO, ammonia, nitrat, nitrit, nitrogen organik, total nitrogen, total fosfat, Boron, dan total deterjen), serta parameter biologi (fecal coliform, total coliform, dan klorofil-a) menunjukkan efisiensi perbaikan kualitas air setelah waktu retensi dua minggu yang bervariasi antara 12,4 % sampai 3,6 kali dan perbaikan indeks kualitas air dari tercemar berat/buruk menjadi tercemar ringan/agak baik, tetapi kondisi trofik masih menunjukkan terjadinya eutrofikasi. Kondisi eutrofikasi ditunjukkan juga oleh kelimpahan tertinggi fitoplankton Genus Microcystis. Hasil penelitian skala pot menunjukkan secara statistik antara lbtb bersumbu dan tanpa sumbu tidak terdapat perbedaan signifikan dalam penurunan beban pencemar karena ada faktor lain yang menghambat pertumbuhan bakteri, namun berdasarkan analisis biomassa penggunaan sumbu dapat meningkatkan penyerapan beban pencemar oleh tanaman. Berdasarkan analisis biaya-manfaat, penurunan beban pencemar dari limbah domestik dengan penerapan LBTB lebih ekonomis dibandingkan dengan SPALD-T (Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik-Terpadu).Item PERANCANGAN STRUKTUR KURIKULUM PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP (PLH) MELALUI PENDEKATAN LANDSCAPE CONTEXTUALISM DI KABUPATEN INDRAMAYU(2023-10-30) RAHMA DEWI; Parikesit; ParikesitBencana dan kerusakan lingkungan yang terjadi secara global saat ini menjadi perhatian penting. Menurunnya kualitas lingkungan menyebabkan kita berfikir dan menghubungkan kejadian tersebut dengan proses pendidikan selama ini. Sedangkan pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk membagun masyarakat peduli lingkungan serta menerapkan prinsip keberlanjutan dan etika lingkungan. Kurikulum merupakan salah satu perangkat pembelajaran dan bersifat dinamis, harus terus berkembang, dan wajib mengikuti perubahan – perubahan yang terjadi di lingkungan. Guna mendukung perkembangan kurikulum pendidikan lingkungan hidup mewujudkan lingkungan berkelanjutan, kurikulum harus bersinergi antara teori dan kehidupan nyata (contextualism). Penelitian ini memiliki tujuan, 1. Mengidentifikasi keadaan landscape contextualism Kabupaten Indramayu untuk memberikan input pada perancangan kurikulum pendidikan lingkungan hidup, 2. Menganalisis kurikulum pendidikan tingkat SMA yang terintegrasi materi Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), dan 3. Merancang kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada tingkat SMA di Kabupaten Indramayu, terutama pada mata pelajaran yang terintegrasi materi Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), berdasarkan pendekatan Landscape contextualism. Guna mendukung tujuan penelitian, maka pendekatan penelitian menggunakan metode mix method. Analisis kualitatif merupakan analisis deskriptif keadaan landscape contextualism Kabupaten Indramayu, menggunakan analisis kesenjangan (GAP Analisys) dan analisis SIG (Sistem Informasi Geografis). Analisis kuantitatif untuk memperkuat temuan masalah awal penelitian dengan menyebarkan angket pada peserta didik. Peneliti melakukan 7 tahapan penelitian yang dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu proses (identifikasi dan pengumpulan data), analisis (pengolahan, analisis dan hasil) dan output (perancangan kurikulum dan simpulan penelitian). Hasil penelitian menunjukkan bahwa landscape contextualism Kabupaten Indramayu memiliki keanekaragaman baik di pesisir maupun di daratanannya. Selanjutnya, analisis GAP antara landscape contextualism Kabupaten Indramayu dan materi pelajaran yang terintegrasi materi lingkungan, belum menunjukkan konteks kewilayahan dan mengarahkan pada materi-materi yang memberikan pemahaman mendalam dalam pengelolaan lingkungan. Sehingga simpulan hasil penelitian, 1. Landscape contextualism Kabupaten Indramayu terbagi menjadi daratan dan lautan (pesisir) dengan sistem aktivitas khas pesisir, 2. Mata pelajaran yang memiliki materi terintegrasi lingkungan, yaitu mata pelajaran biologi, fisika, kimia, geografi dan kewirausahan. 3. Perancangan kurikulum dibagi menjadi 2 (dua), 1. memberikan arahan pembelajaran dengan topik-topik sesuai materi yang ada dalam kurikulum dan silabus tetapi ditambahkan materi sesuai landscape contextualism Kabupaten Indramayu (khas pesisir). Ke-2, memberikan arahan materi yang belum ada dan perlu ditambahkan dalam pembelajaran, hal-hal berkenaan dengan keadaan landscape contextualism Kabupaten Indramayu. Sehingga kedepannya materi yang tertuang didalam kurikulum, silabus dan perangkat pembelajaran lainnya dapat dirancang dan dikembangkan sesuai hasil penelitian, yaitu menggunakan pendekatan landscape contextualism kawasan pesisir, guna mewujudkan perubahan pengetahuan, sikap dan tingkah laku masyarakat terhadap lingkungan, serta keberkelanjutanItem Skenario pengurangan kandungan sulfur pada batu bara dalam rangka pemenuhan standar baku mutu konsentrasi SO2 di Wilayah Provinsi DKI Jakarta(2022-04-06) TONI SAMIAJI; Sudradjat; Tb. Benito Achmad KurnaniKonsentrasi SO2 (sulfur dioksida) di udara yang telah melewati baku mutu dapat menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat. Gas SO2 bila sudah terlarut dalam air hujan bisa membentuk hujan asam. Hujan asam berdampak buruk bagi lingkungan. Berdasarkan data BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), konsentrasi SO2 di Jakarta tahun 1983 hingga 2020 berfluktuasi dan pada tahun 2009 terdapat data yang telah melewati baku mutu. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis emisi SO2 total, menganalisis penurunan emisi SO2 di sekitar jalan raya setelah adanya kendaraan bermotor listrik, membuat multi skenario dan menganalisis kandungan sulfur dalam batu bara tiap tahun agar konsentrasi SO2 di Jakarta di bawah baku mutu. Pendekatan yang digunakan adalah dari beberapa permasalahan lingkungan yang ada di Jakarta, dicari dan disusun teori-teori (hasil penelitian yang lalu) yang relevan dengan permasalahan-permasalahan tersebut, kemudian dibuat kebaruannya sebagai landasan pembuatan masalah penelitian. Selanjutnya adalah membuat tujuan dan metode penelitian yang berkaitan dengan masalah penelitian tersebut. Untuk menjawab masalah penelitian tersebut dibuat proposisi. Data yang digunakan adalah Produk Domestik Regional Bruto, jumlah penduduk, produksi sampah rumah tangga, konsumsi bahan bakar, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Selain itu adalah Produk Domestik Bruto, populasi, konsumsi bahan bakar nasional, koefisien emisi gas SO2, produksi barang-barang tertentu. Perhitungan emisi gas SO2 dilakukan dari 3 sumber : 1. pemakaian bahan bakar, 2. pembakaran sampah rumah tangga, 3. proses industri. Metodenya adalah pembuatan multi skenario yang akan menurunkan emisi SO2 tiap tahun dari konsumsi bahan bakar dan skenario baku mutu yang menentukan kandungan sulfur dalam batu bara untuk menekan konsentrasi SO2 agar selalu di bawah baku mutu pada periode 2022-2038. Temuan (hasil) dari penelitian ini diperoleh bahwa yang menyebabkan emisi SO2 dari kegiatan antropogenik di Jakarta meningkat dari tahun 1970 hingga 2020 adalah karena konsumsi bahan bakar dan produksi industri (selain minyak mentah) meningkat, penurunan kandungan sulfur dalam batu bara lebih efektif daripada penanganan gas buang dalam menurunkan konsentrasi SO2. Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Tren emisi SO2 dari aktivitas antropogenik di Jakarta tahun 1970-2020 adalah naik secara non linear. Akibat penggunaan 1.725 kendaraan bermotor listrik pada tahun 2019 menjadi 11.969.837 unit pada tahun 2050 mengakibatkan pengurangan emisi SO2 di jalan raya di Jakarta 0 hingga 33 %. Berdasarkan analisis multi skenario, diperoleh bahwa dalam tahun 2021-2050 skenario batu bara merupakan skenario yang paling besar mengurangi emisi SO2 di Jakarta. Hasil analisis skenario baku mutu menunjukkan bahwa dengan mengurangi kandungan sulfur dalam batu bara tiap tahun, konsentrasi SO2 di Jakarta dari tahun 2022-2038 bisa memenuhi baku mutu udara ambien.Item Strategi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Keanekaragaman Hayati Dalam Perspektif Gender Di Kawasan Ciletuh Palabuhanratu UNESCO Global Geopark Dalam Upaya Mempertahankan Penetapan UGG(2022-11-26) INDRI WULANDARI; Parikesit; Erri Noviar MegantaraGeopark terdiri atas tiga keragaman alam, salah satunya adalah keanekaragaman hayati. Sesuai arahan UNESCO bahwa geopark dikembangkan melalui sektor pariwisata, salah satunya Ciletuh Palabuhanratu UNESCO Global Geopark. Tetapi, telah banyak dibuktikan bahwa kegiatan pariwisata memberikan ancaman terhadap keanekaragaman hayati atau lingkungan. Meskipun secara global disepakati bahwa pariwisata merupakan sektor yang penting karena dapat memberikan keuntungan terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Salah satu unsur yang harus disinergikan dalam pariwisata adalah gender sebagai salah satu unsur penunjang dalam konsep berkelanjutan. Untuk meminimalisir ancaman yang dapat terjadi, diperlukan strategi pengembangan pariwisata berkelanjutan berbasis keanekaragaman hayati. Strategi ini diterapkan menggunakan perspektif gender karena termasuk bagian penting dalam konsep berkelanjutan. Identifikasi masalah penelitian ini untuk mengungkapkan 1) potensi keanekaragaman hayati, termasuk upaya pemanfaatan dan perlindungannya oleh masyarakat yang ditinjau dalam perspektif gender, 2) pelaksanaan dan perencanaan pengembangan pariwisata dapat memberikan ancaman bagi keanekaragaman hayati, dan 3) strategi pengembangan pariwisata berkelanjutan berbasis keanekaragaman hayati yang ditinjau dalam perspektif gender. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah mixed method, yang diaplikasikan dalam studi literatur, observasi lapangan, wawancara terstruktur, dan wawancara semi-terstruktur. Pada penelitian ini, diketahui jenis-jenis potensial berdasarkan status perlindungannya dan kepentingannya dalam pemanfaatan oleh masyarakat serta perlindungan yang dilakukan masyarakat. Berdasarkan perspektif gender, pada pemanfaatan keanekaragaman hayati terdapat pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, namun upaya perlindungan didominasi oleh laki-laki. Berbeda dengan akses dan kontrol, pemanfaatan dan perlindungan keanekaragaman hayati didominasi oleh laki-laki. Kegiatan pengembangan pariwisata di kawasan Ciletuh Palabuhanratu UNESCO Global Geopark terkonfirmasi menunjukkan adanya ancaman terhadap keanekaragaman hayati, melalui kegiatan wisata, pembangunan aksesibilitas, dan pembangunan fasilitas wisata. Strategi pengembangan pariwisata berkelanjutan berbasis keanekaragaman hayati yang direkomendasikan dari penelitian ini, yaitu pengembangan pariwisata minat khusus yang mengadopsi konsep ekowisata untuk pengamatan satwa liar dan pengembangan agrowisata yang mengadopsi konsep GIAHS. Peran perempuan perlu dihargai serta diberikan kemudahan dan keleluasaan dalam memperoleh asset ataupun informasi untuk mencapai kesetaraan gender pada sektor pariwisata di kawasan Ciletuh Palabuhanratu UNESCO Global Geopark.Item Studi Etnoekologi Suweg (Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson) di Pedesaan Daerah Aliran Sungai Cimanuk dan Citanduy(2022-04-04) ASEP ZAINAL MUTAQIN; Denny Kurniadie; Mohamad NurzamanSuweg (Amorphopallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson) merupakan jenis tumbuhan yang banyak tersebar di Indonesia, termasuk di pedesaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk dan Citanduy. Sebaran dan populasinya sangat beragam, dipengaruhi perilaku penduduk dan lingkungan ekologi tempat tumbuhnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji etnoekologi tentang suweg yang didukung dengan fakta ilmiah ekologis, sehingga bersifat integratif. Data etnoekologi dikumpulkan secara purposive melalui wawancara terhadap penduduk yang dianggap memiliki kompetensi pengetahuan tentang suweg. Data dianalisis melalui pendekatan emik dan etik dengan cara cross-checking, summarizing, dan synthesizing. Data ekologi dikumpulkan dengan melakukan observasi populasi suweg; tipe dan elevasi lahan; pH dan kelembaban tanah; suhu, kelembaban, dan tekanan udara; intensitas cahaya; serta jenis-jenis tumbuhan yang tumbuh di sekitar suweg, yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Populasi suweg juga dianalisis dengan menghitung Summed Dominant Ratio (SDR) dan Indeks Nilai Penting (INP). Hasil penelitian menunjukan bahwa penduduk mempunyai pengetahuan tentang morfologi, folk classification, habitat, pemanfaatan, dan budidaya suweg yang dalam beberapa hal sejalan dengan hasil observasi, terutama terkait dengan lingkungan ekologis, yaitu kondisi lahan, elevasi, suhu, jenis tanah, dan tumbuhan sekitarnya; suweg umumnya ditemukan pada lahan pekarangan, kebun, pinggir sawah, dan pinggir kolam dengan populasi dan lingkungan tumbuh yang beragam; nilai SDR dan INP suweg di setiap tipe lahan rata-rata lebih tinggi dibanding species-species lainnya; serta suweg berpotensi untuk dikembangan berdasarkan adanya fakta pemanfaatan oleh penduduk dan beragamnya lingkungan tumbuh, sehingga memungkinnya adanya peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi penduduk dan terpeliharanya kondisi fisik DAS karena tutupan lahan dengan adanya budidaya suweg pada sistem agroforestri.Item SUSTAINABILITY ANALYSIS OF FISHERIES MANAGEMENT THROUGH EAFM APPROACH (CASE STUDY AT PALABUHANRATU NUSANTARA FISHING PORT SUKABUMI DISTRICT OF WEST JAVA)(2022-04-05) DITA AGUSTIAN; Erri Noviar Megantara; Yudi Nurul IhsanThis study aims to analyze the sustainability status of fishery management at Palabuhanratu Nusantara Fishing Port using the Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM), strategies for strengthening fisheries management, the level of fulfillment of community economic needs from fishery products, and the feasibility of upgrading the status of the port to an Ocean Fishing Port. The method used is a survey using composite analysis, gap analysis, descriptive analysis, and technical and economic feasibility analysis using the ROI, NPV, PBP, and BEP methods. The results show that fisheries management in Palabuhanratu Nusantara Fishing Port is good in supporting sustainable fisheries management. Some strategies for strengthening fisheries management are making regulations on limiting fishing efforts and the minimum size of fish that can be caught; socializing and educating the principles of sustainable fisheries management; enforcing the law and providing strict sanctions indiscriminately; providing access to capital with guarantees and an easy and profitable process; and increase the quantity and quality of the fish processing industry. Then the level of meeting the economic needs of the community from fishery products on average is still higher than the regional minimum wage, but the distribution is uneven. Furthermore, regarding the plan to increase Palabuhanratu Nusantara Fishing Port to become an Ocean Fishing Port, the results of the EAFM assessment can be used to assess the feasibility of upgrading the status of a fishing port and the results are eligible with conditions, including providing opportunities and more portions for the local community to work and entrepreneurship as fishermen, entrepreneurs, employees, and port officer; resolve land acquisition conflicts for port and dock expansion by optimizing the role of existing stakeholders; and providing adequate facilities and infrastructure such as land/special industrial areas within the port.Item TRANSFER RISIKO DEFISIT PEMBIAYAAN BENCANA GEMPA BUMI MELALUI ASURANSI DAN OBLIGASI HIJAU Studi kasus di Kota Mataram, Lombok, NTB(2017) BAMBANG SETYOGROHO; Dicky Muslim; HendarmawanLetak Indonesia pada zona tumbukan tiga lempeng tektonik dan termasuk bagian dari Pasific ring of fire menjadi salah satu penyebab kerap terjadinya bencana alam. Bencana alam yang terjadi terbagi atas bencana geologi yakni gempa bumi, aktivitas vulkanik, tsunami, longsor dan bencana non geologi yakni banjir, kebakaran hutan-lahan (karhutla), kekeringan, banjir bandang dan abrasi pantai. Sedangkan bencana jenis lainnya disebabkan oleh bencana hidroklimatologi dan eksploitasi alam berlebihan yang tidak mengindahkan kaidah konservasi alam dan lingkungan. Dalam beberapa dekade terakhir diberbagai wilayah Indonesia telah terjadi bencana alam secara simultan, yang menimbulkan kerugian materi yang besar serta memakan banyak korban jiwa. Salah satu bencana yang tergolong besar yaitu gempa Lombok pada tahun 2018 dengan magnitude sebesar 7,0 M yang menyebabkan kerusakkan bangunan dan infrastruktur, kerugian finansial mencapai Rp12,15 Triliun. Dalam penelitian ini sebagai studi kasus di Kota Mataram, kerusakan bangunan menimbulkan kerugian sekitar Rp446,76 Miliar. Gempa ini mengakibatkan defisit yang dalam pada anggaran kota Mataram untuk biaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, dibandingkan anggaran bencana yang hanya sebesar Rp9,54 miliar. Tujuan penelitian ini adalah meneliti transfer risiko defisit anggaran melalui asuransi bencana dan penerbitan obligasi di pasar modal berupa obligasi daerah berwawasan lingkungan atau Obda-hijau (greenbonds). Greenbonds yang diterbitkan Pemerintah daerah ditampung dalam DKBD (Dana Kumpulan Bencana Daerah). Penggunaan dana kumpulan ini khusus untuk pembayaran subsidi asuransi bencana serta biaya rehabilitasi & rekonstruksi yang tidak di tanggung oleh klaim asuransi bencana. Beberapa metoda penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda Superimposed yaitu menganalisa korelasi antara zona kerentanan berdasarkan mikrozonasi dengan zona gradasi tingkat kerusakan bangunan serta variasi nilai kerugian finansial. Metoda komparasi digunakan untuk menganalisa tingkat defisit anggaran kota Mataram, anggaran bencana pada APBD sebesar 2,14% dari total biaya keperluan rehabilitasi dan rekonstruksi, menyebabkan defisit yang sangat dalam sebesar 97,86%. Perhitungan polis asuransi bencana menggunakan metoda pertanggungan parsial sebesar 20% dari populasi rumah di kawasan yang ditutup asuransi bencana serta metoda asuransi parametrik dengan index klaim pada magnitude gempa ≥ 5,0 M. Berdasarkan tarif polis asuransi OJK, Mataram termasuk zona tarif 5 (lima) senilai 1,6o/oo per-tahun,diperolehbiayapolissebesarRp2,28Miliarper-tahunatausenilai0,51% dari biaya rehabilitasi dan rekonstruksi yang ditanggung pemerintah. Sebagai pembanding adalah metoda perhitungan asuransi TCIP (Turkish Catastrophe Insurance Pool) dan JEC (Japan Earthquake Insurance). Biaya polis asuransi menjadi beban dana akumulasi obda- hijau didalam DKBD. Akhirnya, dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penerbitan obda-hijau dapat menjadi solusi bagi pemerintah daerah dalam menanggulangi biaya bencana, dengan mentransfer defisit anggaran dalam menghadapi ancaman bencana alam. Rehabilitasi dan rekonstuksi pemukiman di kawasan yang terdampak dapat dilakukan dengan konsep Enviromental friendly build back better.