Ilmu Lingkungan (S3)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Lingkungan (S3) by Author "Chay Asdak"
Now showing 1 - 2 of 2
Results Per Page
Sort Options
Item IMPLEMENTASI COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN (Studi Kasus Perencanaan Kolaboratif Pengelolaan Taman di Kota Bandung)(2017-10-04) KAMALIA PURBANI; Oekan Soekotjo Abdoellah; Chay AsdakDisertasi ini merupakan hasil penelitian penulis mengenai “Implementasi Collaborative Governance dalam Pengelolaan Perkotaan Berkelanjutan: Studi Kasus Perencanaan Kolaboratif Pengelolaan Taman di Kota Bandung). Permasalahan yang dihadapi oleh perkotaan masa kini semakin kompleks, diperlukan tata kelola yang tepat agar keberlanjutan kota dapat tercapai. RTH sebagai salah satu indikator keberlanjutan sebuah kota menjadi penting untuk dikelola lebih baik karena terdapat kecenderungan berkurang kuantitas dan kualitasnya. Collaborative governance dianggap strategi tepat untuk menangani masalah yang kompleks. Kota Bandung sejak tahun 2013 telah mencanangkan pendekatan kolaboratif dalam pembangunan kota termasuk pengelolaan taman. Penulis menelaah implementasi collaborative governance dalam pengelolaan taman kota dengan menggunakan enam kriteria. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik penentuan informan melalui purposif. Data yang diperoleh bersumber dari wawancara mendalam, studi kepustakaan dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data menggunakan tiga tahap yaitu kondensasi data, pengajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi collaborative governance dalam pengelolaan taman kota di Bandung masih belum optimal. Berdasarkan teori, kepemimpinan kolaboratif pemerintah adalah titik sentral keberhasilan implementasinya collaborative governance. Dengan peran aktif dari pemerintah sebagai fasilitator, maka keterlibatan pemangku kepentingan secara inklusif akan terwujud. Untuk kasus Kota Bandung, menunjukkan bahwa kepemimpinan kolaboratif pemerintah yang belum optimal masih dapat mendorong keterlibatan stakeholder walau belum inklusif. Konsep collaborative governance yang berasal dari negara-negara Barat belum tentu dapat diterapkan pada semua wilayah. Unsur pertama yang menjadi prasyarat adalah kepemimpinan kolaboratif yang dimiliki oleh pemerintah, dilanjutkan dengan pemetaan kondisi awal desain kelembagaan yang dimiliki, yang akan mempengaruhi kapasitas stakeholder dan kemampuan pemerintah menjadi fasilitator, yang pada akhirnya akan tercipta keterlibatan stakeholder secara inklusif yang merupakan inti dari collaborative governance. Faktor pendukung implementasi collaborative governance pengelolaan taman di Kota Bandung adalah (1) Keberadaan forum yang menjembatani para pemangku kepentingan (2) Implementasi open government (3) Potensi keterlibatan swasta (4) Peningkatan kapasitas kelembagaan secara mandiri oleh komunitas (5) Potensi kepemimpinan kolaboratif dari pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan taman kota (6) Inisiasi kerjasama pengelolaan taman kota oleh pemerintah (7) Keberadaan organisasi sukarela dan lembaga kemasyarakatan yang berbasis kewilayah yang berfungsi sebagai motor penggerak (8) Regulasi yang mendorong keterlibatan para pemangku kepentingan secara optimal. Faktor penghambat implementasi collaborative governance dalam pengelolaan taman di Kota Bandung adalah (1) Ketiadaan akses bagi masyarakat umum untuk terlibat dalam proses perencanaan pembangunan taman kota (2) Kapasitas kelembagaan pemerintah dalam penganggaran pengelolaan RTH (3) Rendahnya pemahaman sebagian stakeholder tentang prinsip prinsip kepemimpinan kolaboratif (4) Keterbatasan peran pemerintah kota sebagai fasilitator dalam proses kolaboratif (5) Ketiadaan lembaga dan program yang memadai untuk menunjang pendidikan dan pelatihan (6) Ketiadaan regulasi kerjasama dengan swasta untuk pengelolaan taman non profit dalam jangka panjang. Saran yang diberikan untuk Pemerintah Kota yaitu (1) Inisiasi proses kolaboratif pengelolaan taman perlu lebih didorong untuk dilakukan oleh pimpinan lembaga teknis (2) melembagakan panduan tata kelola kolaboratif sederhana sehingga, stakeholder dapat memperoleh informasi yang lebih transparan beserta insentif yang dapat diberikan (3) pendidikan dan pelatihan sistematik dan komprehensif bagi stakeholder agar memiliki kompetensi membangun konsensus dan pemahaman tentang lingkungan yang dikelola serta forum regular sebagai wadah bagi pembelajaran sosial (4) menyusun regulasi yang mendorong pihak swasta berkolaborasi mengelola taman dalam jangka panjang dan tidak berbasis komersial serta menerapkan konsep “green budgeting” dengan menggunakan kerangka penganggaran jangka menengah agar terwujud kesinambungan program untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH sesuai regulasi.Item INTEGRASI PENGURANGAN RISIKO BAHAYA GEMPA BUMI UNTUK PERENCANAAN RUANG KOTA PALU(2022-07-19) JOSSI ERWINDY; Mohamad Sapari Dwi Hadian; Chay AsdakPenilaian risiko bencana penting untuk perencanaan kota. Kota Palu terletak di kawasan rawan gempa karena dilalui sesar Palu-Koro. Selain itu, Kota Palu merupakan kawasan perkotaan nasional yang ditetapkan rencana tata ruang wilayah nasional sebagai pusat ekspor-impor dan industri. Pesatnya pembangunan menyebabkan perubahan guna lahan untuk pengembangan kota. Studi ini membahas penilaian pengurangan risiko bencana gempa dalam perencanaan kota. Ancaman gempa cukup besar dan berulang, Kota Palu memerlukan mitigasi bencana yang termuat dalam perencanaan kota, meliputi analisis bahaya dengan mikrozonasi seismik, analisis daya dukung, dan pengintegrasian risiko bencana pada dokumen perencanaan tata ruang. Dengan menggunakan metode campuran (pendekatan kuantitatif dan kualitatif), pengolahan data dengan software ArcGIS, observasi lapangan didukung data primer dan sekunder, diketahui bahwa 78,18% Kota Palu memiliki ancaman gempa sedang hingga tinggi. Berdasarkan daya dukung kota, 55,43% berada pada kelas kemampuan lahan A dan B (sangat rendah hingga rendah) menyiratkan kendala fisik dalam pengembangan kotanya. Hasil pengintegrasian risiko bencana gempa dengan perencanaan kota saat ini, 78,79% telah sesuai daya dukung terutama kawasan lindung, namun 21,21% rencana pemanfaatan ruang tidak sesuai daya dukungnya berada pada kawasan risiko bencana tinggi, terutama di pusat kota dengan beban aktivitas tinggi, kepadatan penduduk tinggi, yang didominasi pemukiman, perdagangan dan jasa, pemerintahan, serta kegiatan penunjang ekonomi lainnya. Perencanaan kota yang tidak sesuai daya dukungnya harus dikendalikan secara ketat dengan mitigasi bencana. Mengingat Kota Palu memiliki potensi tingkat kerawanan gempa tinggi, revisi perencanaan kota ke depan harus mempertimbangkan risiko bencana sehingga tujuan perencanaan Kota Palu 2030 tangguh bencana dan berwawasan lingkungan dapat terwujud.