Ilmu Lingkungan (S3)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Lingkungan (S3) by Author "Hendarmawan"
Now showing 1 - 3 of 3
Results Per Page
Sort Options
Item Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Ekowisata Daerah Aliran Sungai (Kasus di Situ Cisanti Hulu Sungai Citarum, Jawa Barat, Indonesia)(2022-12-28) RULLY KHAIRUL ANWAR; Mohamad Sapari Dwi Hadian; HendarmawanPemerintah di negara berkembang sering mengklaim pariwisata atau ekowisata sebagai strategi pembangunan terutama untuk meningkatkan tingkat pendapatan dan kualitas hidup masyarakat setempat. Namun selama ini pendekatan pariwisata yang digunakan tidak berdampak besar bagi masyarakat lokal karena kekeliruan pendekatan yang digunkana khususnya berfokus pada pariwisata massal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik masyarakat di lokasi ekowisata, partisipasi masyarakat dalam ekowisata, dampak negatif dan positif ekowisata, dan keterbatasan masyarakat dalam ekowisata Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Penelitian menggunakan metode kualitatif atau secara khusus pendekatan studi kasus berdasarkan paradigma atau perspektif teori kritis. Data diperoleh melalui teknik observasi, wawancara, dan kajian dokumentasi. Hasil penelitian diperoleh bahwa: pertama, masyarakat lokal Desa Tarumajaya adalah heterogen, terutama dalam tingkat pendidikan dan pendapatan. Banyak warga masih hidup pada garis kemiskinan. Keragaman latar belakang sosial-ekonomi masyarakat ini pun menyebabkan individu dan kelompok dalam masyarakat memiliki persepsi politik dan sikap yang bervariasi terhadap pengembangan ekowisata di daerah tersebut. Kedua, partisipasi masyarakat lokal Desa Tarumajaya dalam pengembangan ekowisata Situ Cisanti berwujud dalam empat bentuk partisipasi, yakni partisipasi dalam konservasi lingkungan; partisipasi dalam ekonomi; partisipasi dalam budaya dan sejarah; dan partisipasi dalam komersialisasi ekowisata melalui penggunaan media sosial. Ketiga, dampak negatif ekowisata Cisanti yakni adanya kontradiksi nilai dan norma budaya antara penduduk desa dan wisatawan, dilema moral di kalangan pemuda desa dan menguatnya praktik nilai-nilai individualistis. Dampak negatif lainnya adalah adanya benturan kepentingan antara masyarakat lokal dengan pemangku kepentingan lainnya, yakni antara masyarakat lokal dengan pengelola ekowisata, TNI dan Perhutani, serta konflik antara warga desa dengan warga desa lainnya. Sementara, dampak positif ekowisata adalah adanya berbagai jenis peluang kerja baru dan kesadaran masyarakat dalam mengelola lingkungan dan sejarah-budaya sekitar. Keempat, keterbatasan partisipasi masyarakat lokal dalam ekowisata terjadi karena berbagai faktor, khususnya di ranah ekonomi. Faktor-faktor ini meliputi kekurangan modal, belum efektifnya pengelolaan partisipasi di tingkat desa, kurangnya pemasaran, kurangnya pasokan air bersih di desa, kurangnya dukungan dan konsultasi yang berkelanjutan dari lembaga pemerintah khususnya dalam hal bantuan keuangan, kompensasi, konsultasi pembangunan, dan program pelatihan lanjutan dan keterbatasan sarana dan prasarana sosial desa. Faktor lainnya yang mencerminkan karakteristik warga lokal seperti terbatasnya interaksi sosial antara penduduk desa dengan pengunjung dan minimnya pengetahuan untuk komersialisasi ekowisata dan budaya lokal mereka. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan partisipasi ekowisata yang berkelanjutan merupakan solusi atas pendekatan pariwisata massal yang selama ini diterapkan di Indonesia. Pendekatan partisipasi ekowisata yang berkelanjutan menekankan pada hubungan simbiotik antar unsur-unsur ekowisata, yaitu kegiatan ekowisata, kawasan lindung, dan masyarakat lokal. Melalui hubungan simbiotik ini ketiga unsur ekowisata diharapkan saling menguntungkan satu sama lain.Item PENERAPAN LAHAN BASAH TERAPUNG BERSUMBU UNTUK PERBAIKAN KUALITAS AIR PADA EKOSISTEM LENTIK (STUDI KASUS: EMBUNG GEDEBAGE, BANDUNG, INDONESIA)(2018) WILDAN HERWINDO; Hendarmawan; Dadan SumiarsaPenelitian ini bertujuan untuk menilai efisiensi kualitas air menggunakan sistem lahan basah terapung dan bersumbu di Embung Gedebage, Kota Bandung dibandingkan dengan sumber air dari limbah domestik yang dipantau setiap dua minggu dari bulan September sampai Desember 2020. Untuk mengetahui efisiensi dari berbagai segi dalam penelitian ini dilakukan sub penelitian yaitu penelitian skala lapangan dengan membuat konstruksi lahan basah terapung bersumbu (lbtb) menggunakan media apung masing-masing berukuran 2 x 2 m = 4 m2 sebanyak 576 unit yang dilengkapi sumbu menggunakan tanaman Heliconia densiflora (pisang hias), pada penelitian skala lapangan diuji pula plankton (fitoplankton dan zooplankton) sebagai bioindikator kualitas air, identifikasi bakteri yang berperan dalam perbaikan kualitas air, serta asesmen kualitas air berdasarkan indeks. Sub penelitian lainnya yaitu skala pot untuk melihat secara lebih detail perbaikan kualitas air berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) sebanyak tiga ulangan menggunakan tiga jenis tanaman yaitu Heliconia psittacorum (pisang hias), Cyperus haspan (papyrus), dan Eleocharis dulcis (purun tikus) ditambah kontrol yang dipantau setiap dua minggu. Analisis biaya-manfaat dengan membandingkan biaya investasi serta manfaat tidak langsung berupa biaya pengeluaran teknologi lainnya dilakukan untuk menilai kelayakan secara ekonomis. Metode yang digunakan pada analisis skala lapangan adalah perbandingan kualitas air antara sumber air dengan embung setelah melalui perlakuan selama waktu retensi 14 hari dengan baku mutu air Kelas II pada Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 yang didukung uji statistik Multivariate Analysis of Variance (MANOVA), uji lanjut T2 Hotelling, dan uji interval kepercayaan simultan, serta penilaian kualitas air menggunakan indeks pencemaran dan indeks kualitas air. Hubungan plankton sebagai bioindikator dilakukan mengggunakan Canonical Correspondence Analysis (CCA) setelah sebelumnya dilakukan identifikasi dan penghitungan kelimpahan, uji keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks keseragaman, indeks dominansi Simpson (D), indeks status trofik/trophic state index (TSI), dan indeks tingkat trofik/trophic level index (TLI). Populasi dan identifikasi bakteri dilakukan menggunakan pour plate dengan pengenceran bertingkat menggunakan pereaksi terkait. Benefit to Cost Ratio (BCR) analysis dilakukan untuk menilai kelayakan ekonomis lbtb yang dibangun. Hasil perbaikan kualitas air berdasarkan parameter fisika (TDS, TSS, dan suhu air), parameter kimia (pH, BOD, COD, DO, ammonia, nitrat, nitrit, nitrogen organik, total nitrogen, total fosfat, Boron, dan total deterjen), serta parameter biologi (fecal coliform, total coliform, dan klorofil-a) menunjukkan efisiensi perbaikan kualitas air setelah waktu retensi dua minggu yang bervariasi antara 12,4 % sampai 3,6 kali dan perbaikan indeks kualitas air dari tercemar berat/buruk menjadi tercemar ringan/agak baik, tetapi kondisi trofik masih menunjukkan terjadinya eutrofikasi. Kondisi eutrofikasi ditunjukkan juga oleh kelimpahan tertinggi fitoplankton Genus Microcystis. Hasil penelitian skala pot menunjukkan secara statistik antara lbtb bersumbu dan tanpa sumbu tidak terdapat perbedaan signifikan dalam penurunan beban pencemar karena ada faktor lain yang menghambat pertumbuhan bakteri, namun berdasarkan analisis biomassa penggunaan sumbu dapat meningkatkan penyerapan beban pencemar oleh tanaman. Berdasarkan analisis biaya-manfaat, penurunan beban pencemar dari limbah domestik dengan penerapan LBTB lebih ekonomis dibandingkan dengan SPALD-T (Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik-Terpadu).Item TRANSFER RISIKO DEFISIT PEMBIAYAAN BENCANA GEMPA BUMI MELALUI ASURANSI DAN OBLIGASI HIJAU Studi kasus di Kota Mataram, Lombok, NTB(2017) BAMBANG SETYOGROHO; Dicky Muslim; HendarmawanLetak Indonesia pada zona tumbukan tiga lempeng tektonik dan termasuk bagian dari Pasific ring of fire menjadi salah satu penyebab kerap terjadinya bencana alam. Bencana alam yang terjadi terbagi atas bencana geologi yakni gempa bumi, aktivitas vulkanik, tsunami, longsor dan bencana non geologi yakni banjir, kebakaran hutan-lahan (karhutla), kekeringan, banjir bandang dan abrasi pantai. Sedangkan bencana jenis lainnya disebabkan oleh bencana hidroklimatologi dan eksploitasi alam berlebihan yang tidak mengindahkan kaidah konservasi alam dan lingkungan. Dalam beberapa dekade terakhir diberbagai wilayah Indonesia telah terjadi bencana alam secara simultan, yang menimbulkan kerugian materi yang besar serta memakan banyak korban jiwa. Salah satu bencana yang tergolong besar yaitu gempa Lombok pada tahun 2018 dengan magnitude sebesar 7,0 M yang menyebabkan kerusakkan bangunan dan infrastruktur, kerugian finansial mencapai Rp12,15 Triliun. Dalam penelitian ini sebagai studi kasus di Kota Mataram, kerusakan bangunan menimbulkan kerugian sekitar Rp446,76 Miliar. Gempa ini mengakibatkan defisit yang dalam pada anggaran kota Mataram untuk biaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, dibandingkan anggaran bencana yang hanya sebesar Rp9,54 miliar. Tujuan penelitian ini adalah meneliti transfer risiko defisit anggaran melalui asuransi bencana dan penerbitan obligasi di pasar modal berupa obligasi daerah berwawasan lingkungan atau Obda-hijau (greenbonds). Greenbonds yang diterbitkan Pemerintah daerah ditampung dalam DKBD (Dana Kumpulan Bencana Daerah). Penggunaan dana kumpulan ini khusus untuk pembayaran subsidi asuransi bencana serta biaya rehabilitasi & rekonstruksi yang tidak di tanggung oleh klaim asuransi bencana. Beberapa metoda penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda Superimposed yaitu menganalisa korelasi antara zona kerentanan berdasarkan mikrozonasi dengan zona gradasi tingkat kerusakan bangunan serta variasi nilai kerugian finansial. Metoda komparasi digunakan untuk menganalisa tingkat defisit anggaran kota Mataram, anggaran bencana pada APBD sebesar 2,14% dari total biaya keperluan rehabilitasi dan rekonstruksi, menyebabkan defisit yang sangat dalam sebesar 97,86%. Perhitungan polis asuransi bencana menggunakan metoda pertanggungan parsial sebesar 20% dari populasi rumah di kawasan yang ditutup asuransi bencana serta metoda asuransi parametrik dengan index klaim pada magnitude gempa ≥ 5,0 M. Berdasarkan tarif polis asuransi OJK, Mataram termasuk zona tarif 5 (lima) senilai 1,6o/oo per-tahun,diperolehbiayapolissebesarRp2,28Miliarper-tahunatausenilai0,51% dari biaya rehabilitasi dan rekonstruksi yang ditanggung pemerintah. Sebagai pembanding adalah metoda perhitungan asuransi TCIP (Turkish Catastrophe Insurance Pool) dan JEC (Japan Earthquake Insurance). Biaya polis asuransi menjadi beban dana akumulasi obda- hijau didalam DKBD. Akhirnya, dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penerbitan obda-hijau dapat menjadi solusi bagi pemerintah daerah dalam menanggulangi biaya bencana, dengan mentransfer defisit anggaran dalam menghadapi ancaman bencana alam. Rehabilitasi dan rekonstuksi pemukiman di kawasan yang terdampak dapat dilakukan dengan konsep Enviromental friendly build back better.