ASPEK-ASPEK HUKUM PIDANA DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN BABAKAN SILIWANGI OLEH PT.ESA GEMILANG INDAH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Abstract

Kawasan Babakan Siliwangi merupakan ruang terbuka hijau publik di Kota Bandung yang juga berfungsi lindung sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kota Bandung. Sesuai dengan fungsi ruangnya tersebut, idealnya Kawasan Babakan Siliwangi tidak dapat dijadikan kawasan budidaya. Tahun 2007, Pemerintah Kota Bandung menandatangani perjanjian bangun guna serah (build operate transfer) dengan PT. Esa Gemilang Indah. Lewat perjanjian tersebut PT. Esa Gemilang Indah memiliki kuasa membangun Kawasan Babakan Siliwangi sebagai area komersialisasi dan mengakibatkan dilanggarnya RTRW Kota Bandung. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) memberlakukan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggar RTRW, tidak terlepas bagi korporasi maupun pemerintah. Melalui penelitian ini, diharapkan diketahuinya apakah pembangunan Kawasan Babakan Siliwangi oleh PT. Esa Gemilang Indah dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana penataan ruang sebagaimana dimaksud UUPR dan hal-hal apa saja yang menjadi kendala dalam penerapan sanksi pidana dalam bidang penataan ruang khususnya dalam pembangunan Kawasan Babakan Siliwangi Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoden pendekatan yuridis normatif yang memiliki kaitan terhadap masalah pengaturan sanksi pidana dalam pemanfaatan ruang, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis yang dianalisis menggunakan metode normatif kualitatif. Pembangunan Kawasan Babakan Siliwangi oleh PT. EGI bukan merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) UUPR karena unsur ‘mengakibatkan perubahan fungsi ruang’ dalam rumusan pasal tersebut tidak terpenuhi. Namun, pemberian izin konsensi oleh Pemerintah Kota Bandung kepada PT. EGI dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana penataan ruang sesuai pasal 73 ayat (1) UUPR, yaitu memenuhi rumusan pejabat pemerintah yang berwenang dalam memberikan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Adapun kendala dalam menerapkan sanksi pidana dalam UUPR khususnya dalam perkara ini adalah rumusan tindak pidana dalam UUPR masih prematur dan tidak sesuai dengan tujuan penataan ruang itu sendiri; partisipasi pemerintah masih dominan dalam pengambilan keputusan; terbatasnya peran serta masyarakat dalam bidang penataan ruang; masih minimnya pemahaman penegak hukum akan bidang penataan ruang; serta ketidakjelasan rumusan tindak pidana itu sendiri dalam UUPR. Babakan Siliwangi area is the main public open green space at Bandung which is functioned as conservation area in accordance with Bandung’s Spatial Planning (vide, Perda No. 2 Tahun 2003 Jo. No. 3 Tahun 2006). Following the function, virtually Babakan Siliwangi cannot be converted into commercial area. In 2007, Government of Bandung signed the Build operate transfer of Babakan Siliwangi with PT. Esa Gemilang Indah (PT. EGI). Through the agreement, PT. EGI has the right to construct Babakan Siliwangi area into commercial area, which is disobeyed The Spatial Planning of Bandung. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) imposes criminal penalties for anyone who violates the spatial planning that has already composed. Through this research, I hope we will know the qualification of Criminal act in spatial planning sector trough this Babakan Siliwangi case and find some obstacles in applying criminal aspects of spatial planning especially in this Babakan Siliwangi case. This research uses normative juridical which is related to the problem of applying criminal aspects in spatial planning and also uses analytical descriptive as research specification that analyzing with qualitative normative method. The construction of Babakan Siliwangi area by PT. EGI couldn’t be qualified as criminal act in spatial planning sector which is describes in Article 69 (1) of UUPR because the ‘implying the change of spatial function’ element did not proved. However, conssesion conferral of Bababakan Siliwangi area by Government of Bandung to PT. EGI which id described in Article 73 of UUPR, could be qualified as criminal act. There are some obstacles in applying criminal aspects of spatial planning, which are the qualification of criminal act in spatial planning still absurd, the government still dominating at decision making, people participation in spatial planning is limited and the unknowingness of criminal agent about this spatial planning sector.

Description

Keywords

Penataan Ruang, Babakan Siliwangi, Hukum Pidana

Citation

Collections