ASPEK-ASPEK HUKUM PIDANA DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN BABAKAN SILIWANGI OLEH PT.ESA GEMILANG INDAH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG
No Thumbnail Available
Date
2012-08-06
Authors
Journal Title
Journal ISSN
Volume Title
Publisher
Abstract
Kawasan Babakan
Siliwangi merupakan ruang terbuka hijau publik di Kota Bandung
yang juga berfungsi
lindung sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW)
Kota Bandung. Sesuai dengan fungsi ruangnya tersebut,
idealnya Kawasan Babakan
Siliwangi tidak dapat
dijadikan kawasan budidaya. Tahun 2007, Pemerintah Kota Bandung
menandatangani
perjanjian bangun guna serah (build operate transfer) dengan PT. Esa
Gemilang Indah. Lewat
perjanjian tersebut PT. Esa Gemilang Indah memiliki kuasa
membangun Kawasan
Babakan Siliwangi sebagai area komersialisasi dan mengakibatkan
dilanggarnya RTRW
Kota Bandung. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (UUPR)
memberlakukan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggar RTRW, tidak
terlepas bagi korporasi
maupun pemerintah. Melalui penelitian ini, diharapkan diketahuinya
apakah pembangunan
Kawasan Babakan Siliwangi oleh PT. Esa Gemilang Indah dapat
dikualifikasikan
sebagai tindak pidana penataan ruang sebagaimana dimaksud UUPR dan
hal-hal apa saja yang
menjadi kendala dalam penerapan sanksi pidana dalam bidang
penataan ruang
khususnya dalam pembangunan Kawasan Babakan Siliwangi
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metoden pendekatan
yuridis normatif yang
memiliki kaitan terhadap masalah pengaturan sanksi pidana dalam
pemanfaatan ruang,
dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis yang dianalisis
menggunakan metode
normatif kualitatif.
Pembangunan Kawasan
Babakan Siliwangi oleh PT. EGI bukan merupakan tindak
pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) UUPR karena unsur ‘mengakibatkan
perubahan fungsi
ruang’ dalam rumusan pasal tersebut tidak terpenuhi. Namun, pemberian
izin konsensi oleh
Pemerintah Kota Bandung kepada PT. EGI dapat dikualifikasikan sebagai
tindak pidana
penataan ruang sesuai pasal 73 ayat (1) UUPR, yaitu memenuhi rumusan
pejabat pemerintah
yang berwenang dalam memberikan izin pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana
tata ruang yang telah ditetapkan. Adapun
kendala dalam menerapkan
sanksi pidana dalam
UUPR khususnya dalam perkara ini adalah rumusan tindak pidana
dalam UUPR masih
prematur dan tidak sesuai dengan tujuan penataan ruang itu sendiri;
partisipasi
pemerintah masih dominan dalam pengambilan keputusan; terbatasnya peran serta
masyarakat dalam
bidang penataan ruang; masih minimnya pemahaman penegak hukum
akan bidang penataan
ruang; serta ketidakjelasan rumusan tindak pidana itu sendiri dalam
UUPR.
Babakan Siliwangi
area is the main public open green space at Bandung which is
functioned as
conservation area in accordance with Bandung’s Spatial Planning (vide, Perda
No. 2 Tahun 2003 Jo.
No. 3 Tahun 2006). Following the function, virtually Babakan
Siliwangi cannot be
converted into commercial area. In 2007, Government of Bandung
signed the Build
operate transfer of Babakan Siliwangi with PT. Esa Gemilang Indah (PT.
EGI). Through the
agreement, PT. EGI has the right to construct Babakan Siliwangi area into
commercial area,
which is disobeyed The Spatial Planning of Bandung. Undang-undang No.
26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (UUPR) imposes criminal penalties for anyone who
violates the spatial
planning that has already composed. Through this research, I hope we
will know the
qualification of Criminal act in spatial planning sector trough this Babakan
Siliwangi case and
find some obstacles in applying criminal aspects of spatial planning
especially in this
Babakan Siliwangi case.
This research uses
normative juridical which is related to the problem of applying
criminal aspects in
spatial planning and also uses analytical descriptive as research
specification that
analyzing with qualitative normative method.
The construction of
Babakan Siliwangi area by PT. EGI couldn’t be qualified as
criminal act in
spatial planning sector which is describes in Article 69 (1) of UUPR because
the ‘implying the
change of spatial function’ element did
not proved. However, conssesion
conferral of
Bababakan Siliwangi area by Government of Bandung to PT. EGI which id
described in Article
73 of UUPR, could be qualified as criminal act. There are some
obstacles in applying
criminal aspects of spatial planning, which are the qualification of
criminal act in
spatial planning still absurd, the government still dominating at decision
making, people
participation in spatial planning is limited and the unknowingness of
criminal agent about
this spatial planning sector.
Description
Keywords
Penataan Ruang, Babakan Siliwangi, Hukum Pidana