PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP SENSITIF GENDER/ GENDER SENSITIVE BASED ENVIRONMENTAL MANAGEMENT (GSBEM) DI PERDESAAN JAWA BARAT : ANALISIS EKOLOGI POLITIK KRITIS

Abstract

Sensitif gender merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan resiliensi alam-budaya melalui suatu mekanisme adaptif masyarakat berupa pembagian peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan lingkungan hidupnya. Upaya ini menjadi pertahanan suatu sistem sosioekologikal dalam menghadapi permasalahan subordinasi dan marjinalisasi yang merupakan fokus permasalahan dari ekologi politik. Digunakannya paradigma kritis dalam penelitian ini, menyebabkan pengkajian aspek politik menjadi lebih komprehensif dalam lingkup gender. Hal tersebut penting untuk dilakukan dalam memahami kenyataan utama gender pada masyarakat yang dikonstruksi secara sosiokultural dalam berbagai skala ruang dan waktu sebagai suatu mekanisme adaptif masyarakat. Dimana dalam konstruksinya tersebut terdapat konsekuensi untuk dapat mengakomodir semua kepentingan masyarakat (perempuan dan laki-laki) dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan hidupnya. Akomodasi kepentingan yang sensitif gender tidak ditekankan pada keadilan gender namun pada kesetaraan gender. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing individu manusia Desa Cikurubuk merupakan pondasi dari konstruksi sosiokultural kenyataan gender pada masyarakatnya. Pengetahuan tersebut merupakan hasil intersectionality antara identitas indegeneity, ability/ disability, kelas/ struktur sosial, umur dan sex/ jenis kelamin yang mempengaruhi pemaknaan gender pada masing-masing individu manusianya. Pengetahuan tentang makna gender inilah yang membuat masing-masing individu manusia mampu menentukan identitas dirinya dalam masyarakatnya sehingga mempengaruhi kekuatan negosiasi antar aktor perempuan dan laki-laki (gender politics) dalam pengelolaan lingkungan hidupnya. Ditemukan pada kasus masyarakat Desa Cikurubuk bahwa pemaknaan gender yang menjadi dasar pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dipengaruhi oleh identitas indegeneity sebesar 45% melalui pembagian tanggung jawab sebagai konsekuensi atas dimilikinya local area belonging; identitas ability/ disability sebesar 32% melalui pembagian kerja (peran dan fungsi) sebagai konsekuensi atas dimilikinya kekuatan fisik, wawasan dan skill/ keterampilan; identitas kelas/ struktur sosial sebesar 12% melalui pembagian kontrol sebagai konsekuensi atas dimilikinya properti/ hak kepemilikan sumber daya alam; dan identitas umur sebesar 11% melalui pembagian luasnya akses, intensitas aktivitas dan alokasi waktu sebagai konsekuensi atas siklus produktivitas hidupnya.

Description

Keywords

sensitif gender, resiliensi alam budaya, critical political ecology

Citation