PRAKTIK DAN JARINGAN KOMUNIKASI PROSTITUSI ONLINE DI MEDIA SOSIAL SERTA TANTANGAN KEBIJAKAN KOMUNIKASI DIGITAL INDONESIA

Abstract

Terungkapnya berbagai kasus prostitusi online beberapa tahun terakhir oleh kepolisian menunjukkan bahwa prostitusi online kini menjadi fenomena yang tidak terbendung dan semakin marak. Penggunaan media sosial seperti Facebook, Instagram dan Twitter memudahkan para pelaku menjalankan bisnis prostitusi. Padahal di Indonesia prostitusi dianggap melanggar hukum serta masih tabu bagi masyarakat. Di sisi lain meski telah ada upaya dari pemerintah untuk meminimalisirnya, namun prostitusi online tetap saja ada. Hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi kebijakan komunikasi digital di Indonesia dalam menyikapi persoalan ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap tentang praktik dan jaringan komunikasi prostitusi online di media sosial; terbentuknya komunitas prostitusi online dalam jaringan media sosial yang makin eksis dalam menjalankan bisnis baik secara online maupun hybrid, dan untuk mengungkap tantangan kebijakan komunikasi digital di Indonesia menyikapi persoalan prostitusi online. Penelitian ini menggunakan metode Netnografi dengan model Netnografi Digital yang menggabungkan semua metode analisis data, termasuk penggunaan software (perangkat lunak) untuk menganalisis data yang merepresentasikan hubungan sosial untuk dipahami secara universal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik prostitusi online di media sosial mengalami perkembangan pesat, baik dalam transaksi informasi, keuangan maupun jasa. Dalam hal promosi, penyedia jasa secara terbuka menggungah konten foto, video, tagar, jenis-jenis jasa, harga, aturan main hingga testimoni di linimasa. Jenis pemasaran jasa dilakukan secara individual, menggunakan jasa mucikari/admin pengelolah akun dan kolektif/agency. Paket jasa yang ditawarkan secara hybrid yang berakhir dengan hubungan seksual langsung dan secara online (video call sex, call sex/phone) yang merupakan prostitusi online jenis baru. Prostitusi online memiliki jaringan komunikasi yang luas dan padat dengan tagar tertentu di media sosial yang jumlah terbanyak berada di kota-kota besar Pulau Jawa dan sebagian Pulau Sumatera. Kategori sedang berada disebagian kota di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Kategori rendah kebanyakan berada di Pulau Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua. Hal ini menunjukkan penetrasi internet yang semakin ke Timur semakin rendah. Jaringan yang terbentuk terdiri dari beberapa cluster berlapis yang saling terhubung diantaranya dengan akun-akun panti pijat online dan gigolo. Ada juga akun-akun yang berdiri sendiri tanpa berjejaring, menunjukkan bahwa praktik prostitusi online dapat dilakukan secara mandiri di media sosial tanpa bantuan orang lain. Terbentuknya komunitas pelaku prostitusi online disebabkan oleh penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dan faktor sosial ekonomi. Ada tiga level kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah (Kementerian Kominfo) yaitu dari segi infrastuktur, akses dan literasi. Kebijakan infrastruktur yaitu dengan menyiapkan mesin pengais konten Automatic Identifications Systems (AIS) untuk proses mengais konten pornografi/prostitusi. Kebijakan akses yaitu persetujuan dan rekomendasi pemblokiran konten pornografi/prostitusi kepada platform media sosial. Dan kebijakan literasi yaitu bekerjasama dengan intitusi terkait lainnya dalam hal pencegahan, penanganan, pembinaan, literasi virtual dan lain sebagainya. Sedangkan tantangan dalam penanganan prostitusi online yaitu diperlukan pembaharuan kebijakan komunikasi digital mulai dari level hulu hingga hilir yaitu peninjauan tata kelola (regulasi, Standard Operating Procedure-SOP), perundangan yang berlaku) yang disesuaikan dengan perkembangan yang ada; pemukhtahiran teknologi; serta peningkatan literasi sumber daya manusia.

Description

Keywords

jaringan komunikasi, prostitusi online, media sosial

Citation