S3 - Doktor
Permanent URI for this community
Browse
Browsing S3 - Doktor by Title
Now showing 1 - 13 of 13
Results Per Page
Sort Options
Item AKTIVITAS ANTIALOPESIA DAN KAJIAN MEKANISME MOLEKULER SENYAWA BIOAKTIF DAUN LIDAH MERTUA (Sansevieria trifasciata P.) DALAM MENGHAMBAT RESEPTOR ANDROGEN BERDASARKAN STUDI IN VIVO DAN(2022-10-18) HENNY KASMAWATI; Resmi Mustarichie; Eli HalimahAlopesia merupakan kelainan dermatologis yang ditandai dengan kerontokan rambut yang tidak normal. Alopesia Androgenetik (AGA) merupakan jenis alopesia yang paling banyak terjadi yaitu di atas 90% dari kejadian alopesia. AGA menghasilkan kerontokan rambut yang kronis, progresif, dan berpola pada pria dan wanita. Hormon androgen khususnya dihidrotestosteron berikatan dengan reseptor androgen di folikel rambut, respon berlebihan terhadap androgen dapat memicu kerontokan rambut parah di kulit kepala yang ditandai dengan terjadinya miniaturisasi rambut dan kerontokan rambut secara progresif. Minoksidil merupakan satu dari dua obat AGA yang telah mendapat persetujuan FDA (Food and Drug Administration). Aktivitas antialopesia minoksidil yaitu mempercepat fase anagen, memperpendek fase telogen dan meningkatkan ukuran folikel rambut. Khasiat minoksidil kurang optimal dalam mengurangi kerontokan rambut dan merangsang pertumbuhan rambut, setelah satu tahun empat bulan pemberian minoksidil 5%, hanya sekitar 38,6% menunjukkan perkembangan pertumbuhan rambut. Iritasi kulit kepala yang dapat terjadi akibat penggunaan minoksidil topikal, khasiatnya yang kurang optimal, serta terbatasnya pilihan pengobatan untuk pasien AGA, merupakan beberapa alasan pasien mencari pengobatan alternatif dengan menggunakan tanaman tradisional. Hal ini menjadi dasar perlu dilakukan pencarian bahan baku obat baru yang lebih efektif dan aman, bersumber terutama dari bahan alam. Daun lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) secara empiris telah digunakan sebagai antialopesia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan, menentukan dan mengungkap potensi senyawa bioaktif daun lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) sebagai antialopesia. Pengujian aktivitas antialopesia melalui pendekatan Bioassay Guided Isolation secara in vivo menggunakan metode Tanaka yang dimodifikasi dan metode Matias yang dimodifikasi, dengan parameter panjang pertumbuhan rambut, gambaran mikroskopik folikel rambut, proporsi pertumbuhan rambut dan rasio anagen telogen. Hewan uji yang digunakan dalam pengujian aktivitas antialopesia terhadap ekstrak dan fraksi daun lidah mertua adalah kelinci jantan sebanyak 4 ekor (Metode Tanaka). Punggung kelinci dicukur dan dibuat 6 plot/kompartemen yang menunjukkan kelompok perlakuan yaitu KI (kontrol, Na CMC 1%); KII (minoksidil 2%); KIII (ekstrak etanol daun lidah mertua (DLM) 20%); KIV (fraksi n-heksan DLM 20%); KV (fraksi etil asetat DLM 20%); KVI (fraksi air DLM 20%). Metode Matias menggunakan 24 ekor kelinci yang diinduksi alopesia menggunakan hormon dehidrotestosteron (DHT) dan ditambah 4 ekor kelinci sebagai kontrol normal. Hewan uji tersebut dibagi menjadi 7 kelompok seperti pembagian kelompok pada metode Tanaka ditambah kelompok K(-). Pengujian antialopesia pada subfraksi etil asetat dibagi menjadi 8 kelompok yaitu KI (kontrol, Na CMC 1%); KII (minoksidil 2%); KIII (subfraksi A DLM 20%); KIV (subfraksi B DLM 20%); KV (subfraksi C DLM 20%), KVI (subfraksi D DLM 20%); KVII (subfraksi E DLM 20%) dan KVIII (subfraksi F DLM 20%). Data disajikan dalam Mean ± SD. Data dibandingkan dengan kelompok kontrol menggunakan IBM SPSS Statistik 24 ANOVA satu arah. Identifikasi senyawa bioaktif subfraksi C, D, E dan F fraksi etil asetat DLM melalui analisis LC-MS/MS dan aktivitas penghambatan senyawa bioaktif terhadap reseptor androgen (PDB ID:4K7A) dievaluasi secara molekuler menggunakan studi penambatan molekul dan simulasi dinamika molekul dengan membandingkan energi ikatan, interaksi, dan stabilitasnya terhadap minoksidil. Hasil penelitian aktivitas antialopesia terhadap ekstrak dan fraksi menggunakan metode Tanaka yang dimodifikasi dengan parameter panjang pertumbuhan rambut yaitu sebagai berikut; ekstrak etanol daun lidah mertua 20% dapat menumbuhkan rambut kelinci pada hari ke-18 sebesar 2,06 cm ±0,32 yang berbeda bermakna (p<0,05) terhadap kelompok KI. Fraksi etil asetat DLM 20% dapat menumbuhkan rambut kelinci sebesar 2,07 cm ±0,06 sampai pada hari ke-18 yang berbeda bermakna p<0,05 terhadap kelompok KI dan memiliki efektivitas yang sama dengan minoksidil 2% dalam merangsang pertumbuhan rambut. Hasil penelitian terhadap ekstrak dan fraksi dengan parameter gambaran mikroskopik folikel rambut, persen proporsi rambut dan rasio anagen (A) telogen (T) (A/T) menggunakan metode Matias yang dimodifikasi yaitu; hormon DHT pada dosis 0,01 mg/mL yang diberikan secara subkutan selama 21 hari dapat menyebabkan terjadinya alopesia pada kelinci dengan parameter indeks alopesia 3-4. Kelinci alopesia kemudian diterapi berdasarkan kelompoknya, dua kali sehari secara topikal selama 21 hari. Evaluasi mikroskopik pada biopsi kulit kelinci kelompok KII (kontrol negatif) menunjukkan miniaturisasi folikel rambut yang ditandai dengan proporsi rambut anagen lebih sedikit dari rambut telogen yaitu 39,47% : 60,56% dengan rasio 1:1,5 (A/T), pada kelompok KIII (minoksidil 2%) mengalami peningkatan jumlah anagen dibanding telogen dengan proporsi rambut anagen 69,73% dan telogen 30,26% dengan rasio 2:1 (A/T). Kelompok KVI yang diberi terapi fraksi etil asetat 20% lebih baik dalam memperbaiki pertumbuhan rambut dibanding kelompok hewan uji lainnya yaitu proporsi rambut anagen 89,47% dan telogen 10,52% dengan rasio 8,5:1 (A/T). Hasil peneltian pada tahap ini diperoleh bahwa fraksi etil asetat daun lidah mertua merupakan fraksi yang paling aktif sebagai antialopesia. Penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan pemisahan senyawa bioaktif daun lidah mertua yang berperan sebagai antialopesia. Berdasarkan hasil pemisahan menggunakan KCV (Kromatograksi Cair Vakum) diperoleh 16 subfraksi. Subfraksi dengan profil pemisahan dan nilai Rf yang sama selanjutnya digabungkan dan diperoleh 6 subfraksi gabungan utama yaitu subfraksi A (gabungan subfraksi 1-4), subfraksi B (gabungan subfraksi 5-7), subfraksi C (gabungan subfraksi 8-9), subfraksi D (subfraksi 10), subfraksi E (subfraksi 11-14), subfraksi F (subfraksi 15-16). Setelah penggabungan subfraksi kemudian dilakukan uji farmakologi terhadap enam subfraksi tersebut untuk mengetahui subfraksi aktif antialopesia daun lidah mertua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subfraksi C, D, E dan F DLM dengan konsentrasi masing-masing 20% memiliki aktivitas pertumbuhan rambut dari hari ke-6 hingga hari ke-18 yang berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan dengan KI, dengan panjang pertumbuhan rambut secara beurut yaitu 2,80 cm ± 0,00; 2,17 cm ± 0,29; 2,20 cm ± 0,35; dan 2,17 cm±0,40 dan memiliki efektivitas yang sama dengan minoksidil 2% dalam merangsang pertumbuhan rambut. Parameter lain yang digunakan untuk menilai aktivitas antialopesia pada subfraksi etil asetat DLM yaitu melalui gambaran mikroskopis folikel rambut, rasio anagen telogen (A:T), dan proporsi pertumbuhan rambut melalui biopsi kulit kelinci. Evaluasi mikroskopik ditemukan jumlah anagen lebih banyak dari jumlah telogen, yang ditandai dengan proporsi anagen lebih banyak dibanding telogen pada kelompok yang diberi subfraksi C, D, E dan F berturut-turut adalah 84,44:15,56%; 80,76:19,24%; 82,05:17,95%; dan 80,95:19,05%. Rasio anagen tertinggi terjadi pada kelompok yang diberikan subfraksi C yaitu 5,43:1 (A/T). Berdasarkan uji aktivitas antialopesia terhadap subfraksi etil asetat daun lidah mertua diperoleh empat subfraksi aktif, yaitu subfraksi C, D, E, dan F. Selanjutnya dilakukan identifikasi senyawa bioaktif terhadap ke-4 subfraksi tersebut menggunakan metode LC-MS/MS. Hasil analisis LC-MS/MS diperoleh dua puluh senyawa, tujuh senyawa terindentifikasi melalui data based MS, yaitu Methyl pyrophaeophorbide A (1), Oliveramine (2), (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane (3), 1-Acetyl-β-carboline ( 4), Digiprolactone (5), Trichosanic acid (6) dan Methyl gallate (7) dari subfraksi daun tanaman ini. Ke-tujuh senyawa ini kemudian dilakukan kajian mekanisme molekularnya yang berperan sebagai antialopesia terhadap reseptor androgen secara in silico. Potensi penghambatan reseptor androgen dievaluasi menggunakan penambatan molekul dan simulasi dinamika molekul. Senyawa Methyl pyrophaeophorbide A, Oliveramine, (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane, 1-Acetyl-β-carboline, memiliki skor penambatan molekul lebih rendah dari minoksidil yaitu -7,0, -6,3, -5,8, dan -5,2 kkal/mol. Analisis interaksi molekuler dari hasil penambatan mengungkapkan bahwa empat senyawa yaitu Methyl pyrophaeophorbide A, Oliveramine, (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane, 1-Acetyl-β-carboline, mampu berikatan dengan tempat ikatan kofaktor. Situs katalitik ini berada di wilayah residu Tyr857, Gln858, Lys861, Glu793, Trp796, dan Leu797. Interaksi senyawa Methyl pyrophaeophorbide A menunjukkan bahwa gugus karboksil-metil membentuk ikatan hydrogen (H) dengan residu asam amino Glu793. Interaksi hidrofobik dengan Trp796, Leu797, dan His789 pada masing-masing kelompok metil-siklopentana. Senyawa Oliveramine, terdapat dua ikatan H yang berbeda, yaitu residu His789 dan Leu862, dengan atom oksigen pada setiap cincin tetrahidro-piran. Senyawa (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane tidak menunjukkan adanya ikatan H dengan reseptor AR tetapi memiliki tiga interaksi hidrofobik dengan residu Trp796, Leu797, dan Lys861. Senyawa 1-Acetyl-β-carboline membentuk ikatan H dengan residu Gln858 pada gugus karbonilnya, yang tidak teramati pada senyawa lain, dan interaksi hidrofobik dengan residu Tyr857. Akhirnya, semua senyawa membentuk ikatan Pi-Anion dengan residu Glu793 di situs katalitik AR, diketahui bahwa pengikatan terhadap residu Glu793 berperan penting dalam menghambat AR. Simulasi dinamika molekul senyawa Methyl pyrophaeophorbide A, Oliveramine, (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane, 1-Acetyl-β-carboline, menunjukkan stabilitas yang sama berdasarkan analisis RMSD (Root Mean Square Deviation), RMSF (Root Mean Square Fluctuation), dan SASA (Solvent-Accessible Surface Area). Senyawa Methyl pyrophaeophorbide A lebih stabil pada analisis Rg (Radius Gyration) dan PCA (Principal Component Analysis) selama simulasi 100 ns. Energi ikatan senyawa yang terkandung pada daun lidah mertua terhadap AR diketahui dengan menggunakan metode MM-PBSA (Molecular Mechanics Poisson Boltzmann Surface Area) untuk memprediksi bahwa potensi ke-empat senyawa lebih baik dari pada minoksidil, dengan energi bebas ikatan sebesar Methyl pyrophaeophorbide A; -66,13 kJ/mol, Oliveramine; -40,39 kJ/mol, (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane; 59,36 kJ/mol, dan 1-Acetyl-β-carboline; -40,25. Penelitian ini berhasil membuktikan, dan mengungkap aktivitas antialopesia senyawa bioaktif daun lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) melalui studi in vivo dan in silico, serta menentukan tujuh senyawa menggunakan analisis LC-MS/MS. Senyawa yang diperoleh tersebut teridentifikasi sebagai senyawa yang baru dilaporkan terdapat dalam Sansevieria trifasciata P berdasarkan analisis LC-MS/MS. Senyawa Methyl pyrophaeophorbide A, Oliveramine, (2S)-3`,4`-Methylenedioxy-5,7-dimethoxyflavane, 1-Acetyl-β-carboline diprediksi memiliki aktivitas antialopesia yang lebih baik dari minoksidil dalam menghambat reseptor androgen melalui pendekatan in silico.Item Anti-oral mucosal activity and mechanism of ethanol extract of Kaempferia galanga L. rhizome via inhibition of COX-2 expression(2022-04-14) INDAH SUASANI WAHYUNI; Jutti Levita; Irna SufiawatiOral health is an integral part of overall body health. Therefore, oral mucosal inflammation can have an impact on the body`s health. Oral mucosal inflammation can be managed by administering anti-inflammatory drugs, both steroids and non-steroidal, but sometimes cause side effects, especially if used in the long term and in large doses. Research on medicinal plants for alternatives has recently been carried out. One of the plants in Indonesia that is known to have an anti-inflammatory effect is Kaempferia galanga L. The rhizome part of this plant contains a lot of secondary metabolites and this has not been widely explored in plants harvested in the rainy season and dry season, according to Indonesia`s geographical conditions. The difference in harvest time between these two seasons will affect the content of secondary metabolites. One of the anti-inflammatory mechanisms that can be investigated for drug development is through the cyclooxygenase (COX) enzyme inhibition pathway, particularly COX-2. Thus, this study aimed to explore the potential of the Kaempferia galanga L. as an anti-oral mucosal ulcer, which is often used in traditional medicine, has anti-inflammatory effects, and is known to have low toxicity. The research methods used were phytochemical screening/color test method, spectrophotometric analysis, and chromatogram profiles analysis: Thin Layer Chromatography (TLC) and Reversed-Phase High-Performance Liquid Chromatography (RP-HPLC), for identification of secondary metabolites in the ethanolic extract of K. galanga L. (EEKG). Ethyl p-methoxycinnamate (EPMC) levels in the EEKG from plants harvested in the rainy season (EEKG-R) and that of harvested in the dry season (EEKG-D) were determined using validated RP-HPLC method. The in vitro studies were carried out to obtain the IC50 value of the EEKG in inhibiting prostaglandins production catalyzed by COX-2, as well as in vivo studies on acetic acid 70%-induced oral mucosal ulcers in Wistar rats. The effect of EEKG topical application was measured macroscopically, histopathologically, and using the western blot method. The results showed that the secondary metabolites contained in the EEKG were Polyphenols, Flavonoids, Alkaloids, Tannins, Terpenoids, and Saponins; EPMC and flavonoids detected in the EEKG using TLC and spectrophotometric analysis, meanwhile, only EPMC was detected in the EEKG using RP-HPLC. The EPMC level of the EEKG-R was 10 times greater (0.01%) than that of EEKG-D (0.001%). The relative IC50 of EEKG was 39.85 ppm (r = 1) and the IC50 of EEKG was 58.88 ppm (r2 = 0.97/r = 0.99). This in vitro study also revealed that low-dose EEKG (15.625 ppm and 31.25 ppm) showed a statistically significant (p<0.05) effect in inhibiting PGG2 production catalyzed by COX-2. The in vivo study showed that topical application of EEKG 0.5%, macroscopically, achieved the percent recovery of ulcer area (85.24%) more than the negative control (79.82%) and also showed a better percent recovery of inflammation sign scores (76.67%) than the negative control (71.67%). Thus, EEKG doses of 0.5% to 2% reduced the histopathology score, even, the EEKG 1% (p = 0.0348) and 2% (p = 0.0462) reduced the histopathology score significantly compared to the negative control. In vivo study using the Western blot, method revealed that EEKG doses of 0.5% to 2% were able to reduce the expression of COX-2. In conclusion, lower doses of EEKG have exhibited anti-inflammatory activity by inhibiting COX-2 expression, therefore, the rhizome of Kaempferia galanga is prospective to be developed as an alternative topical drug for oral mucosal ulceration.Item Desain Komputasi, Sintesis, dan Karakterisasi Polimer Tercetak Molekul untuk Analisis Salmeterol Xinafoat dalam Sampel Biologis(2022-08-15) SHENDI SURYANA; Mutakin; Yudi RosandiSalmeterol xinafoat (SLX) merupakan agonis β-2 adrenergik yang digunakan sebagai obat untuk terapi asma jangka panjang. Menurut ketentuan WADA (organisasi antidoping dunia), salmeterol termasuk kedalam daftar obat yang terlarang penggunaannya didalam olahraga karena efeknya yang dapat meningkatkan kinerja anabolik. Namun demikian, pada atlit dengan asma masih diperbolehkan dengan dosis maksimal 200 µg secara inhalasi. Dosis yang rendah dalam cairan biologis memerlukan preparasi sampel yang efektif untuk bisa menganalisisnya. Polimer tercetak molekul berpotensi untuk menjadi sorben pada ekstraksi fase padat untuk memekatkan dan mengekstraksi salmeterol xinafoat dari matrik yang kompleks seperti halnya cairan biologis. Sampai saat ini belum pernah dibuat polimer tercetak molekul untuk analisis salmeterol xinafoat dalam cairan biologis oleh karena itu pada penelitian ini akan disintesis material Polimer Tercetak Molekul-Ekstraksi Fase Padat (PTM-EFP) untuk ekstraksi salmeterol dari sampel biologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) monomer fungsional serta pengikat silang mana yang menghasilkan interaksi terbaik dengan molekul cetakan secara komputasi, 2) bagaimana gambaran interaksi monomer fungsional terpilih, pengikat silang terpilih serta molekul cetakan dalam larutan pra-polimerisasi melalui simulasi dinamika molekular, 3) bagaimana metode pembuatan Polimer Tercetak Molekul-Ekstraksi Fase Padat (PTM-EFP) salmeterol yang menghasilkan kapasitas adsorpsi dan imprinting faktor terbaik, 4) bagaimana hasil selektivitas dan nilai perolehan kembali PTM-EFP salmeterol yang dibuat dibandingkan dengan ekstraksi fase padat (EFP) konvensional. Dalam upaya mencapai tujuan penelitian, dilakukan tahapan penelitian sebagai berikut: 1) penentuan jenis monomer fungsional, jenis pengikat silang dan rasio antara molekul cetakan dan monomer fungsional dengan simulasi secara komputasi. Simulasi dimulai dengan perhitungan energi ikatan antara molekul cetakan dan beberapa monomer fungsional serta antara molekul cetakan dengan pengikat silang menggunakan pendekatan semiempiris PM3. Selanjutnya simulasi molekular dinamik dilakukan untuk mengetahui interaksi yang terjadi antara molekul cetakan dengan komponen lain dalam campuran pra-polimerisasi menggunakan program LAMMPS dengan medan gaya Reaxff. Tahap kedua (2) penelitian adalah penentuan konstanta asosiasi antara molekul cetakan dan monomer fungsional dalam beberapa pelarut yang dilanjutkan dengan penentuan stoikiometri reaksi menggunakan metode Jobs Plot untuk menentukan rasio antara molekul cetakan dan monomer fungsional. Tahap ketiga (3) penelitian adalah sintesis polimer tercetak molekul dengan menggunakan metode ruah dan pengendapan berdasarkan rasio molekul cetakan: monomer fungsional: pengikat silang yang diperoleh dari simulasi komputasi dan jobs plot. Tahapan ketiga dilanjutkan dengan karakterisasi terhadap polimer yang telah disintesis meliputi karakterisasi fisik dengan FTIR, SEM dan BET, perhitungan kemampuan adsorpsi dan kapasitas adsorpsi. Selanjutnya tahapan keempat (4) penelitian dilakukan optimasi serta aplikasi PTM-EFP untuk ekstraksi salmeterol xinafoat dari serum dengan dan tanpa adanya senyawa analog. Aplikasi juga dilakukan dengan membandingkan hasilnya terhadap ekstraksi salmeterol xinafoat dengan EFP komersial. Perhitungan energi ikatan melalui pendekatan semiempiris PM3 terhadap delapan monomer fungsional menunjukkan tiga monomer fungsional dengan ikatan terbaik dengan salmeterol xinafoat yaitu 4-hidroksi etil metakrilat (HEMA), 4-vinil asam benzoat (VBA) dan 4-vinil piridin (4-Vp) dengan energi ikatan masing-masing: -29,37; -26,095 dan -23,087 kkal/mol. Pada penentuan ikatan antara salmeterol xinafoat dengan pengikat silang dilakukan terhadap kompleks salmeterol xinafoat dengan etilen glikol dimetakrilat (EGDMA), trimetilolpropan trimetakrilat (TRIM) dan divinil benzen (DVB) untuk memperoleh pengikat silang terbaik. Berdasarkan simulasi, diperoleh hasil TRIM memiliki energi terlemah yaitu sebesar -5,9829 kkal/mol diikuti oleh EGDMA dan DVB masing-masing dengan energi ikatan -10,714 dan -17,670 kk al/mol. Simulasi molekular dinamik terhadap campuran pre-polimerisasi menunjukkan bahwa rasio 1:6:20 antara salmeterol xinafoat, HEMA dan TRIM menunjukkan interaksi yang terkuat ditinjau dari aspek fungsi distribusi radial dengan jarak ikatan antara 1,8-3,2 Å (ikatan hidrogen). Pada tahapan kedua penelitian, dilakukan penentuan konstanta asosiasi monomer fungsional-molekul cetakan dan diperoleh konstanta asosiasi tertinggi HEMA-SLX pada pelarut campur metanol:isopropanol sebesar 1,4 x103 M-1. Penentuan rasio molekul cetakan dan monomer fungsional dengan metode Jobs Plot menghasilkan rasio 1:6 sebagai rasio terbaik untuk sintesis polimer. Sintesis polimer tercetak molekul dilakukan dengan dua metode yaitu metode polimerisasi ruah dan metode polimerisasi pengendapan Dari metode ruah ini diperoleh 4 polimer PTM (PTM1, 2, 3 dan 4) dan 4 polimer PTTM (PTTM1, 2, 3 dan 4) demikian juga dari metode pengendapan juga diperoleh 4 polimer PTM (PTM5, 6, 7 dan 8) dan 4 polimer PTTM (PTTM5, 6, 7 dan 8). Adapun komposisi dari PTM tersebut adalah sebagai berikut: PTM1 dan PTM5 terdiri dari SLX:HEMA:EGDMA dengan rasio 1:6:20, PTM2 dan PTM7 terdiri dari SLX:HEMA:EGDMA dengan rasio 1:4:20, PTM3 dan PTM6 terdiri dari SLX:HEMA:TRIM dengan rasio 1:6:20 serta PTM4 dan PTM8 terdiri dari SLX:HEMA:TRIM dengan rasio 1:4:20. Komposisi polimer tidak tercetak molekul (PTTM) sama dengan PTM tanpa adanya SLX. Analisis FTIR terhadap polimer-polimer baik hasil metode ruah maupun pengendapan menujukkan bentuk spektrum yang sama antara PTM dan PTTM dan tidak adanya puncak kembar pada daerah bilangan gelombang 900-1000 cm-1 menunjukkan tidak adanya gugus vinil yang berarti proses polimerisasi telah selesai secara sempurna. Karakterisasi dengan SEM terhadap polimer tersebut diperoleh kondisi bahwa PTM memiliki morfologi yang lebih berongga daripada PTTM, PTM yang dihasilkan melalui metode pengendapan memiliki ukuran partikel yang lebih kecil daripada PTM hasil metode ruah. Pengujian BET menunjukkan luas permukaan PTM lebih besar dari PTTM dan PTM yang diperoleh melalui metode pengendapan memiliki luas permukaan lebih besar daripada PTM yang dihasilkan melalui metode ruah. Pemeriksaan kapasitas adsorpsi terhadap polimer-polimer tersebut menujukkan hasil bahwa sifat dan karakteristik adsorpsi SLX terhadap PTM mengikuti model isoterm Freundlich yang artinya serapan terjadi pada lapisan yang heterogen. Afinitas tertinggi untuk PTM hasil metode ruah ditunjukkan oleh PTM3 sebesar 0,2847 mg/g sedangkan untuk PTM hasil metode pengendapan ditunjukkan oleh PTM7 sebesar 0,8909 mg/g. Selanjutnya dari hasil optimasi PTM-EFP diperoleh kondisi sebagai berikut: pelarut pengkondisian: metanol, pelarut loading: air, pelarut pencucian: asetonitril dan pelarut pengekstraksi campuran metanol:asam asetat (99:1). Aplikasi 8 (delapan) buah PTM-EFP dalam mengekstraksi salmeterol dari serum diperoleh hasil persen perolehan kembali terbesar pada PTM7 sebesar 96,59±2,24% dengan pembanding PTTM7 sebesar 21,28±0,82%. Uji selektifitas dilakukan terhadap salmeterol dalam serum yang berada bersama dengan molekul struktur analognya yaitu salbutamol (SAL) dan terbutalin (TER) dan diperoleh persen perolehan kembali terbaik pada PTM7 sebesar 35,23±3,34% (SAL), 28,71±2,61% (TER), 92,25±1,12% (SLX) dengan imprinting faktor 3,91. Sementara EFP C-18 sebagai sorben komersial standar untuk ekstraksi salmeterol memberikan hasil persen perolehan kembali sebesar 79,11±2,96%. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan polimer yang diperoleh dengan teknik pencetakan molekular yang disintesis dengan metode polimerisasi pengendapan dengan komposisi SLX sebagai molekul cetakan, HEMA sebagai monomer fungsional, TRIM sebagai pengikat silang dengan komposisi 1:6:20 menunjukkan kemampuan pengenalan molekular terhadap senyawa target yaitu salmeterol, dan dapat digunakan sebagai sorben pada ekstraksi fase padat yang selektif untuk menganalisis SLX baik tunggal maupun dalam campuran dengan senyawa analognya dalam serum darah.Item DESAIN MUKOADHESIF FILM BUKAL NATRIUM VALPROAT SEBAGAI ANTI EPILEPSI(2023-02-20) IWAN SETIAWAN; Anas Subarnas; Yoga Windhu WardhanaSediaan bukal pada beberapa tahun ini menarik perhatian para peneliti yang mengkaji topik pengembangan obat dan sistem penghantaran obat. Sediaan bukal memiliki kemampuan untuk melekat pada permukaan mukosa dan selanjutnya menghidrasi untuk melepaskan dan menghantarkan obat melintasi membran bukal. Berdasarkan Biopharmaceutics Drug Disposition Classification System (BDDCS), senyawa obat natrium valproat termasuk ke dalam kelas 1 yang memiliki kelarutan dan permeabilitas sangat baik. Sehingga dengan dibuat sediaan bukal akan diperoleh aksi onset lebih cepat, bioavailabilitas meningkat dan memudahkan dalam penggunaan. Natrium valproat adalah pilihan lini pertama sebagai antikonvulsan untuk epilepsi parsial, gangguan bipolar (gangguan psikotik) dan terapi migrain. Penelitian yang telah dilakukan ini bertujuan untuk melakukan pembuatan natrium valproat ke dalam bentuk sediaan film bukal mukoadhesif dengan menggunakan metode solvent casting. Formula sediaan dengan variasi kitosan dan natrium karboksimetilselulosa (NaCMC) dengan jumlah proporsi yang konstan dioptimasi menggunakan pendekatan simplex lattice design pada program Design expert 10. Hasil sediaan optimum film bukal mukoadhesif natrium valproat yang sudah diperoleh kemudian dilakukan pengujian disolusi secara in vitro dan in vivo untuk mengamati aktivitas anti epilepsi dan analisis farmakokinetika pada hewan uji yang sebelumnya diinduksi dengan senyawa pentilenetetrazol dengan desain Post Randomized Controlled Group Design. Hasil penelitian ini diketahui bahwa natrium valproat dapat dikembangkan ke dalam bentuk sediaan film bukal mukoadhesif. Parameter kualitas kritis seperti ketebalan, indeks pembengkakan dan waktu tinggal mukoadhesif dipengaruhi secara nyata oleh polimer. Analisis simplex lattice design oleh software design expert 10.0 menunjukkan bahwa formula dengan komposisi kitosan dan NaCMC berdasarkan hasil respons parameter kritis seperti pH permukaan, indeks pembengkakan, pengukuran daya tahan lipat, waktu tinggal mukoadhesif paling optimum didapatkan pada perbandingan kitosan : NaCMC (0,64:0,36). Uji disolusi dan pengolahan menggunakan perangkat lunak Kinet DS 3.0 dilakukan untuk mendapatkan profil pelepasan formula optimum film bukal mukoadhesif yakni mendekati model kinetika Michaelis-Menten. Hasil pengujian in vivo aktivitas anti epilepsi dan farmakokinetika diperoleh sediaan ini memiliki aktivitas anti epilepsi dengan onset lebih panjang, durasi kejang yang lebih pendek, dan frekuensi kejang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok hewan uji dengan pemberian tablet natrium valproat. Film bukal mukoadhesif natrium valproat memiliki profil farmakokinetika dengan nilai parameter absorbsi Ka 0,0033/jam, Tmax 3,93/jam, Cmax 4,55 mg/L, Vd 3,03 L, T1/2 el 21,8 menit dan Kel 0,0053/menit. Maka dapat disimpulkan bahwa sediaan film bukal mukoadhesif natrium valproat dapat dikembangkan menjadi sediaan anti epilepsi yang memiliki profil pelepasan tertunda, namun memiliki onset yang cukup cepat sehingga terapi untuk antiepilepsi dapat didapatkan serta mencegah kejadian epileptikus yaitu kematian yang disebabkan oleh penyakit epilepsiItem EFEK ANTIMETASTASIS ISOLAT RIMPANG Etlingera alba A.D.Poulsen TERHADAP MIGRASI SEL DAN EKSPRESI GEN CD44 DAN FAK PADA LINI SEL KANKER PAYUDARA MDA-MB-231(2022-10-19) WAHYUNI; Ajeng Diantini; Mohammad GhozaliKanker payudara mempunyai prevalensi cukup tinggi serta penyebab utama kedua mortalitas di seluruh dunia. Penyebab kematian tersebut akibat terjadinya metastasis yang sampai saat ini belum ada pengobatan spesifiknya. Kanker yang bermetastasis dapat ditangani dengan metode kemoterapi, namun resistensi multi obat menjadi penyebab terjadinya kegagalan. Penelitian menunjukkan bahwa resistensi kemoterapi dapat dilakukan dengan penghambatan reseptor adhesi permukaan sel CD44 yang berperan dalam lokalisasi Matriks Metalloproteinase pada jalur pensinyalan NF-κB. Pada jalur ini, MMP-1 juga dapat menginduksi FAK sehingga penekanan pada gen ini diharapkan mampu menghambat terjadinya metastasis. Upaya penemuan obat sebagai terapi antikanker dapat dilakukan dengan mengekspolarasi bahan bioaktif dari tanaman obat Indonesia yang potensial dan selektif dengan menggunakan pendekatan biomolekuler. Etlingera merupakan genus tumbuhan dari famili Zingiberaceae yang memiliki jumlah spesies besar dengan potensi aktivitas yang menarik. Salah satunya adalah Etlingera elatior yang memiliki efek sitotoksik terhadap sel line CEM-SS, MCF-7 dan sel leukemia P-388, aktivitas anti-tumor terhadap MDA-MB-231 dan MCF-7. Populasi Etlingera di Pulau Sulawesi tumbuh sekitar 48 spesies dengan 7 spesies endemik berada di Sulawesi Tenggara, salah satunya adalah E. alba. Studi kimia dan farmakologi dari spesies ini belum banyak diketahui sehingga menjadi daya tarik bagi peneliti untuk melakukan isolasi kandungan senyawa kimia dari rimpang E. alba dan melakukan pengujian efek antimetastasisnya. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengisolasi senyawa kimia dari rimpang E. alba, menentukan struktur molekulnya, mengetahui efek sitotoksisitasnya serta efek antimetastasis senyawa tersebut terhadap migrasi sel serta ekspresi gen CD44 dan FAK pada lini sel kanker payudara MDA-MB-231. Tahapan penelitiannya yaitu isolasi senyawa dari rimpang E. alba yang meliputi ekstraksi, fraksinasi dan pemurnian; penentuan struktur dengan identifikasi spektroskopi IR, NMR dan spektroskopi massa; pengujian sitotoksik serta pengujian aktivitas senyawa kimia tersebut terhadap migrasi sel dan ekspresi gen CD44 dan FAK pada lini sel kanker payudara MDA-MB-231. Hasil determinasi dari LIPI Biologi Cibinong menjelaskan bahwa tumbuhan yang diperoleh dari Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara adalah spesies E. alba. Sebanyak 5,5 kg rimpang E. alba dimaserasi dengan 40 L pelarut etanol 96% selama 3x24 jam. Pemekatan filtrat menggunakan rotary evaporator memperoleh 160 gram ekstrak pekat dengan rendamen 2,91%. Proses fraksinasi dan pemurnian senyawa-senyawa kimia dilakukan dengan berbagai teknik kromatografi, yaitu kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi vakum cair (KVC) dan kromatografi radial. Analisis KLT ekstrak pada fasa gerak heksan:etilasetat (v/v) 9:1, 5:5, dan 1:9 menunjukkan pola pemisahan yang baik, sehingga dijadikan sebagai acuan pada pemisahan. Seluruh ekstrak dipisahkan dengan teknik kromatografi vakum cair (KVC). Kromatogram analisis KLT hasil KVC mendeskripsikan sebaran pemisahan senyawa kimia, dan selanjutnya fraksi dengan spot senyawa yang sama digabungkan untuk mendapatkan kelompok fraksi yang lebih sederhana. Enam fraksi hasil pemisahan KVC menunjukkan pola senyawa yang cukup berbeda dan terdistribusi berdasarkan kepolarannya. Hasil skrining awal dengan uji CCK-8 terhadap sel MDA-MB-231 menghasilkan aktivitas sitotoksik dari masing-masing fraksi yaitu fraksi A 252.240 mg/L, fraksi B 65.433 mg/L, fraksi C 389.339 mg/L, fraksi D 262.500 mg/L, fraksi E 345.300 mg/L, fraksi F 1840.850 mg/L, ekstrak 453.358 mg/L, dan cisplatin 53.369 mg/L. Fraksi B yang menunjukkan aktivitas terbaik dengan nilai penghambatan mendekati cisplatin sebagai kontrol positif pengujian dan selanjutnya dimurnikan senyawa kimia yang terkandung didalamnya. Sepuluh senyawa dari fraksi B berhasil diisolasi dan diidentifikasi struktur molekulnya berdasarkan spektroskopi FT-IR, NMR dan LC-MS/MS. Senyawa tersebut adalah 1,7-diphenyl-6-hepten-3- on (1), sitostenon (2), 1,7-diphenyl-3-heptanol (3), yakuchinone A (4), 7-(4″- hydroxy-3″- methoxyphenyl)-1-phenyl-hept-4-en-3-one (5), 3,5-dimethoxy-4- acetoxycinnamyl alcohol acetate (6), oxyphyllacinol (7), 5-hydroxy-7-(4”- hydroxyphenyl)-1- phenyl-1-heptene (8), 1-(3’-methoxy-4’-hydroxyphenyl)-7-(4”- hydroxyphenyl)-3- heptanone (9) dan 3,5-dimethoxy-4-acetoxycinnamyl alcohol (10). Pengujian sitotoksik dengan uji CCK-8 isolat 7 (oxyphyllacinol) memiliki aktivitas sitotoksisitas terbaik terhadap sel kanker payudara MDA-MD-231 dengan nilai IC50 35,71 mg/L dengan kategori aktif. Isolat 7 (oxyphyllacinol) juga memiliki aktivitas antimetastasis terbaik terhadap penghambatan migrasi sel kanker payudara MDA-MB-231 dalam waktu 24 jam pada konsentrasi 50, 100 dan 200 mg/L sebesar 0,74; 0,36; dan 0,14 %. Isolat 3, 7,dan 8 berdasarkan statistik mampu menghambat ekspresi gen CD44 sel kanker payudara MDA- MD-231dengan tingkat ekspresi masing-masing sebesar 0,615; 0,6151; dan 0,7194. Isolat 4,5,8, dan 9 berdasarkan statistik mampu menghambat ekpresi gen FAK dengan tingkat ekspresi masing-masing sebesar 0,1128; 0,2501; 0,1862; dan 0,2403. Adanya pengaruh yang signifikan dalam menurunkan regulasi ekspresi gen penanda metastasis dalam hal ini CD44 dan FAK, menjadikan temuan menjadi kandidat yang potensial sebagai anti metastasis dari bahan alam.Item Kompleks α-mangostin/siklodekstrin dalam sediaan film hidrogel mukoadhesif alginat-kitosan untuk Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS)(2022-04-06) INE SUHARYANI; Marline Abdassah Bratadiredja; Muchtaridiα-Mangostin (α-M) merupakan salah satu senyawa golongan xanthon yang terdapat dalam kulit buah manggis (Garcinia mangostana). Senyawa ini memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antikanker, antibakteri, antifungi, antitirosin, antituberkulosis, antiinflamasi, dan antioksidan. Namun kelarutannya yang rendah dalam air menyebabkan keterbatasan dalam penggunaannya. Berbagai metode peningkatan kelarutan α-Mangostin terus dikembangkan, diantaranya pembuatan nanomisel dan kompleks inklusi α-Mangostin dengan hidroksipropil-β-siklodekstrin. Sementara studi lainnya baru dilakukan secara in-silico, adalah pembentukan kompleks α-Mangostin dengan α-, β-, dan γ-siklodekstrin serta studi penggunaan etanol untuk meningkatkan afinitas α-Mangostin terhadap β-siklodekstrin. Penelitian ini melanjutkan hasil studi sebelumnya yaitu studi pembuatan kompleks α-Mangostin dengan α, β dan γ-siklodekstrin secara in-silico, yang dilanjutkan dengan formulasi kompleks ke dalam sediaan HMF serta uji aktivitasnya untuk RAS secara in-vivo. Penelitian diawali dengan optimasi pembentukan kompleks untuk mengetahui tipe siklodekstrin yang mampu membentuk kompleks dengan α-mangostin. Tahap selanjutnya adalah studi pembentukan kompleks α-mangostin/γ-siklodekstrin. Kompleks yang terbentuk dievaluasi kelarutannya dan dikarakterisasi dengan FTIR, XRD, NMR. Kompleks yang diperoleh, kemudian diformulasikan dalam sediaan HMF dan diuji aktivitas anti-RAS terhadap hewan uji. Berdasarkan hasil karakterisasi dan evaluasi, α-mangostin tidak dapat terjerat ke dalam rongga α- maupun β-siklodekstrin tetapi dapat membentuk kompleks inklusi dengan γ-siklodekstrin dengan entrapment efficiency (EE) sebesar 84,25+6,8% serta ΔG sekitar −5.019±0.224 kkal/mol, dan ΔH sebesar −5.520 kkal/mol. Kompleks terbentuk dengan perbandingan 1:1 menghasilkan serbuk berwarna kuning dan bersifat amorf. Kompleks ini memiliki kelarutan 31,74 kali lebih tinggi dibandingkan dengan α-nngostin yang tidak dikompleks (p<0,05). Kompleks ini dapat diformulasikan dalam sediaan HMF menghasilkan film α-M/γ-CD CX HMF yang memiliki karakteristik fisikokimia yang lebih baik. Film α-M/γ-CD CX HMF memiliki daya mukoadhesif lebih besar terhadap mukosa lidah dengan waktu mukoadhesif lebih tinggi dibanding HMF lainnya. Tipe pelepasan obat dari α-M/γ-CD CX HMF mengikuti Model Higuchi dan Korsmeyer-Peppas dengan konsentrasi pada akhir uji sebanyak 80,34+0,32%, Kompleks α-M/γ-CD CX HMF memiliki aktivitas anti-RAS yang lebih baik dibandingkan dengan basis HMF, α-M HMF, dan α-M/γ-CD PM HMF, dengan penurunan luas luka sekitar 79,05+3,30%, ketebalan epitel 1,24+0,09 μm, dan skor neutrofil 1,10+0,26. Hasil menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas anti-RAS dari α-M yang dibuat kompleks dan diformulasikan dalam sediaan film hidrogel mukoadhesif dengan basis natrium alginat-kitosan, sehingga sediaan ini berpotensi untuk digunakan dalam terapi RAS.Item MEKANISME ANTI ULSER LAMBUNG EKSTRAK KITIN DAN SERBUK CANGKANG RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linn.) MELALUI PENGHAMBATAN NF-κB p65 PADA LAMBUNG TIKUS YANG DIINDUKSI ETANOL SERTA TOKSISITAS AKUT EKSTR(2022-10-25) RENNY AMELIA; Sri Adi Sumiwi; Nyi Mekar SaptariniPenyakit ulser lambung atau peptic ulcer desease (PUD) adalah lesi pada lapisan mukosa lambung yang disebabkan oleh kerja pepsin, asam lambung, dan faktor lainnya. Terdapat peningkatan prevalensi PUD sebesar 25,82% dari tahun 1990 hingga tahun 2019. Eradikasi dalam mengatasi PUD telah banyak dilakukan dengan menggunakan obat sintesik. Namun obat sintesik dapat menyebabkan efek samping apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang atau diberi dalam dosis besar. Kitin dapat diperoleh dari berbagai macam sumber, produksinya diperoleh dari golongan krustasea. Dalam beberapa penelitian, kitin mampu berefek sebagai penyembuh luka dan pencegah ulser lambung. Pada umumnya kitin yang diuji merupakan kitin hasil ekstraksi dari pelarut konvensional seperti HCl dan NaOH. Pada penelitan ini, dilakukan ekstraksi kitin dari cangkang rajungan menggunakan pelarut ramah lingkungan, natural deep eutectic solvents (NADES), yaitu campuran kolin klorida dan asam malat dengan perbandingan molaritas (1:1) memiliki rendemen sebesar 35,43%. Ekstraksi dilakukan dua kali untuk mengurangi kandungan abu di dalam ekstrak. Pengujian jenis isomer ekstrak kitin telah dilakukan dengan fourier transform infrared (FTIR). Beberapa pita yang terbentuk dari ekstrak kitin adalah adanya puncak di bilangan gelombang 1100 cm-1 (C-O alifatik); 1380 cm-1 (C-N stretch); 1600 cm-1 (C=O stretch); 2890-2968 cm-1 (C-H alkil); and 3400-3550 cm-1 (OH alkohol). Pita yang terdapat pada bilangan gelombang 2900 cm-1 biasanya digunakan sebagai referensi pita dalam menganalisis kitin. Berdasarkan hasil FTIR terdapat adanya puncak tak terbagi gugus amida I di bilangan gelombang 1620 cm-1 yang menunjukkan jenis isomer kitin yang didapat adalah β-kitin. Uji proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar lipid, kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat. Metode pengujian kadar abu, kadar air kadar protein, kadar lipid berdasarkan SNI 01-2891:1992. Penentuan kadar karbohidrat dengan metode by difference. Kadar air dan abu dari ekstrak kitin secara berturut turut 1,93% dan 30,61% dengan syarat kadar air dan abu menurut SNI secara berturut-turut adalah 12% dan 5%. Dapat disimpulkan kadar abu dari ekstrak kitin tidak memenuhi persyaratan SNI. Sedangkan kadar logam diuji dengan Inductively Coupled Plasma – Optical Emission Spectrometry (ICP-OES). Kadar logam ekstrak kitin yang disyaratkan SNI meliputi As dan Pb. Kadar As dan Pb ekstrak kitin keduanya adalah < 0,0001 mg/kg dan syarat SNI maksimal keduanya adalah 5 mg/kg. Sehingga dapat disimpulkan ekstrak kitin memenuhi syarat logam. Aktivitas anti ulser lambung telah dilakukan dengan metode in vivo dimana induksi ulser diberikan setelah pemberian sampel. Mekanisme penghambatan protein NF-κB p65 diujikan menggunakan metode western blot. Dosis ekstrak kitin yang digunakan pada uji anti ulser lambung adalah 150, 300, dan 600 mg/kgBB sedangkan dosis serbuk cangkang rajungan yang digunakan adalah 500 dan 1000 mg/kgBB. Dari hasil pengujian, semua kelompok perlakuan mampu menurunkan indeks ulser lambung dibandingkan kelompok kontrol negatif. Kelompok ekstrak kitin 600 mg/kgBB merupakan kelompok yang memiliki indeks ulser lambung (1,08±0,77%) paling mendekati kelompok normal (0,06±0,06%) dibanding kelompok perlakuan lain. Hasil uji mikroskopik organ lambung menunjukkaan kelompok ekstrak kitin 150 mg/kgBB adalah kelompok yang paling mendekati kelompok normal baik dilihat dari parameter kualitatif maupun kuantitatif. Berdasarkan pengujian ekspresi protein NF-κB p65, terlihat bahwa kelompok ekstrak kitin 600 mg/kgBB memiliki kemampuan menghambat ekspresi NFκB p65 paling kuat dengan nilai rasio relatif NF-κB p65 (0,188±0,114) lebih baik dibanding kelompok normal (0,366±0,208). Toksisitas akut diujikan pada ekstrak kitin dengan prosedur yang telah disesuaikan pedoman BPOM. Dosis ekstrak kitin yang digunakan pada uji toksisitas meliputi 500, 1000, 2000, 4000 dan 6000 mg/kgBB. Hasil uji toksisitas akut menunjukkan persentase relatif berat organ (lambung, jantung, hati, ginjal, dan paru-paru) semua kelompok secara statistik tidak berbeda signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Jumlah sel normal pada dosis ekstrak kitin 6000 mg/kgBB pada semua organ mengalami penurunan yang signifikan dibanding kelompok kontrol, hal ini diikuti peningkatan jumlah sel yang mengalami nekrosis Berdasarkan data yang dihasilkan pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa ekstrak kitin dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pengobatan ulser lambung. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan guna memaksimalkan kemampuan kitin sebagai anti ulser lambung.Item MEKANISME MOLEKULAR SENYAWA α-MANGOSTIN SEBAGAI ANTIKANKER PAYUDARA TIGA NEGATIF MELALUI JALUR PENSINYALAN WNT/β-CATENIN(2023-10-31) CITRA DEWI; Riezki Amalia; MuchtaridiKanker payudara memiliki prevalensi yang sangat tinggi dan penyebab utama kematian pada wanita. Berdasarkan data Globocan tahun 2020, angka kejadian kanker payudara di Indonesia menduduki urutan pertama sebesar 16,7%. Salah satu tipe kanker payudara adalah kanker payudara tiga negatif (Triple Negative Breast Cancer, TNBC) yang merupakan tipe kanker payudara yang tidak dapat mengekspresikan reseptor estrogen, progesteron, dan Human Epidermal Growth Receptor-2 (HER-2). Kanker ini memiliki perilaku klinis spesifik, seperti invasif yang tinggi, metastasis, dan prognosis yang buruk. Tipe kanker ini tidak merespon terapi hormon sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan terapi tertarget yang tepat. Jalur pensinyalan Wnt/β-catenin telah banyak diidentifikasi terkait terjadinya beberapa kanker, salah satunya kanker payudara tiga negatif. β-catenin merupakan substrat Glycogen synthase kinase-3 beta (GSK-3β) dan difosforilasi oleh GSK-3β untuk didegradasi oleh proteasom melalui ubiquitinasi. Meskipun GSK-3β terkait dengan beberapa jalur patogenesis beberapa kanker, tetapi inhibitor selektif GSK-3β belum ada yang disetujui untuk pengobatan kanker. Oleh karena itu, pencarian inhibitor GSK-3β sebagai target terapi penyakit kanker payudara tiga negatif terus dilakukan, salah satunya dari bahan alam. Bahan alam yang telah diketahui memiliki potensi terhadap penghambatan kanker payudara tiga negatif adalah senyawa α-mangostin. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi terapi α-mangostin dengan target GSK-3β pada kanker payudara tiga negatif menggunakan model lini sel MDA-MB-231. Pada penelitian ini dilakukan studi in silico untuk mengetahui afinitas pengikatan senyawa α-mangostin terhadap GSK-3β, uji penghambatan proliferasi lini sel oleh α-mangostin pada keadaan persinyalan Wnt teraktivasi, serta kuantifikasi ekspresi target persinyalan Wnt CCND1 (Cyclin D1) dan MYC (c-Myc) dengan perlakuan α-mangostin pada keadaan pensinyalan Wnt teraktivasi. Studi in silico pada penelitian ini dilakukan melalui simulasi penambatan molekular AutoDock 4.2, dinamika molekular dengan perhitungan nilai Molecular Mechanics Poisson-Boltzmann and Surface Area (MM-PBSA) menggunakan Gromacs dan uji farmakofor menggunakan LigandScout Advanced 4.5 untuk mengidentifikasi interaksi α-mangostin terhadap Glycogen Synthase Kinase-3β (GSK-3β) (PDB ID: 4ACC). Studi penghambatan proliferasi dilakukan dengan menggunakan metode WST-8 terhadap lini sel MDA-MB-231 dengan pembanding lini sel MCF-7. Kuantifikasi ekspresi CCND1 (Cyclin D1) dan MYC (c-Myc) pada lini sel MDA-MB-231 dilakukan menggunakan metode RT-qPCR, hasil kuantifikasi dianalisis menggunakan metode 2–∆∆Ct dan data dinormalisasi terhadap level ekspresi GAPDH. Keadaan pensinyalan Wnt teraktivasi dibuat dengan perlakuan LiCl yang memiliki kemampuan inhibisi aktivitas fosforilasi β-catenin oleh GSK-3β. Visualisasi hasil analisis dilakukan dengan menggunakan software GraphPad Prism 10.0.0. Hasil studi in silico melalui penambatan molekular menunjukkan bahwa energi ikatan bebas α-mangostin yaitu -8,22 kkal/mol sama dengan energi ikatan bebas ligan alami -8,92 kkal/mol, sedangkan pada analisis interaksi ikatan asam-asam amino menunjukkan α-mangostin membentuk ikatan hidrogen pada Asp133 sedangkan pada ligan alami terbentuk juga ikatan hidrogen pada Asp133 dan Arg141. Selain itu, interaksi asam-asam amino yang lain pada α-mangostin terbentuk juga interaksi asam-asam amino yang sama dengan ligan alami seperti Ala83, Val70, Leu188, Tyr134, Val135, Ile62, Glu137, Pro136, Thr138, Val110, Cys199, Asp200, Lys85, Leu132, Leu130 sehingga kemungkinan α-mangostin memiliki afinitas terhadap GSK-3β. Pada hasil simulasi dinamika molekular menggunakan metode perhitungan Molecular Mechanics Poisson-Boltzmann and Surface Area (MM-PBSA) menunjukkan α-mangostin memiliki afinitas yang lebih baik ΔG total -114,463 kJ/mol dibandingkan ligan alami dengan nilai ΔG total -75,158 kJ/mol. Hasil farmakofor yang dibagun dari hasil penambatan molekular menunjukkan fitur farmakofor pada ligan alami memiliki 2 ikatan hidrofobik, 2 akseptor ikatan hidrogen, dan 1 donor ikatan hidrogen, sedangkan α-mangostin menunjukkan fitur farmakofor dengan 4 ikatan hidrofobik, 1 akseptor ikatan hidrogen, dan 2 donor ikatan hidrogen. Secara kuantitas, α-mangostin menunjukkan jumlah interaksi yang lebih tinggi dibandingkan ligan alami. Hal ini mengindikasikan spesifitas yang tinggi dari farmakofor α-mangostin terhadap GSK-3β, namun belum dapat diverifikasi secara spesifik, peran spesifik α-mangostin sebagai inhibitor atau aktivator GSK-3β. Uji proliferasi sel menggunakan metode WST-8 menunjukkan bahwa α-mangostin menurunkan jumlah lini sel MDA-MB-231 yang viabel dengan penambahan LiCl, sedangkan tanpa penambahan LiCl jumlah sel viabel secara signifikan lebih kecil. Hal ini menunjukkan potensi penghambatan proliferasi lini sel MDA-MB-231 oleh α-mangostin terjadi tidak hanya melalui pensinyalan Wnt, sedangkan pada lini sel MCF-7 penghambatan proliferasi terjadi tanpa penambahan LiCl. Kuantifikasi ekspresi CCND1 (Cyclin D1) pada lini sel MDA-MB-231 menunjukkan bahwa α-mangostin pada konsentrasi 10 µM dapat menurunkan level ekspresi tanpa dan dengan adanya LiCl, dibandingkan kontrol sel. Kuantifikasi ekspresi MYC (c-Myc) menunjukkan bahwa α-mangostin pada konsentrasi 10 µM dapat menurunkan level ekspresi tanpa penambahan LiCl dibandingkan dengan kontrol sel. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan melalui studi in silico bahwa α-mangostin berpotensi sebagai antikanker melalui interaksi dengan GSK-3β. Selain itu, melalui uji in vitro menggunakan lini sel kanker payudara tiga negatif MDA-MB-231, α-mangostin berpotensi menghambat faktor transkripsi TCF/LEF dengan menurunkan level ekspresi target gen pensinyalan Wnt, CCDN1 (Cyclin D1) dan MYC (c-Myc). Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan peran α-mangostin pada pensinyalan Wnt pada kanker payudara tiga negatif, salah satunya dengan melihat pengaruh langsung α-mangostin pada status fosforilasi β-catenin yang secara langsung difosforilasi oleh GSK-3β.Item MEKANISME SITOTOKSISITAS PROTEIN RICIN DARI BIJI JARAK (Ricinus communis L.) TERHADAP SEL KANKER PARU-PARU A549 SECARA IN SILICO DAN IN VITRO(2022-10-17) IRMA ERIKA HERAWATI; Anas Subarnas; RonnyKanker paru-paru merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia. Terapi kanker dapat dilakukan dengan menghambat atau membunuh sel kanker dan perkembangannya melalui apoptosis (program kematian sel) yang dapat diamati secara in vitro. Obat antikanker yang sekarang banyak digunakan secara klinis terbukti memiliki sifat sitotoksik dan dapat menyebabkan kematian secara apoptosis. Saat ini tidak sedikit hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bahan alam dan metabolit sekundernya memiliki aktivitas antikanker yang dapat menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis pada berbagai jenis sel kanker. Salah satu tanaman toksik yang memiliki potensi antikanker dan masih membutuhkan eksplorasi lebih lanjut terhadap sel kanker paru-paru adalah tanaman jarak (Ricinus communis L.) yang termasuk ke dalam keluarga Euphorbiaceae. Jarak merupakan tanaman tropis yang banyak ditanam di Jawa Timur, Indonesia. Daun dan biji tanaman ini telah digunakan secara tradisional untuk menyembuhkan penyakit hati, gangguan lambung, peradangan, demam, sakit kepala, dll. Ricin, zat beracun yang diisolasi dari biji jarak, adalah protein polipeptida heterodimer yang mencakup rantai A (30 kDa) dan rantai B (35 kDa) dihubungkan oleh ikatan disulfida. Menariknya, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa ricin memiliki sifat sitotoksisitas terhadap berbagai sel kanker. Dalam penelitian ini, protein ricin yang diekstraksi dari biji jarak diidentifikasi dengan menggunakan (1) liquid chromatography (LC); (2) column liquid chromatography (CLC); dan (3) fast protein liquid chromatography (FPLC), diikuti oleh sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Crude ricin (CR) diteliti untuk diketahui sitotoksisitasnya pada sel kanker paru-paru A549 dengan uji Presto Blue, dieksplorasi pengaruhnya pada proses apoptosis menggunakan flow cytometry dan Western blot, kemudian kemampuan migrasi selnya diukur dan dieksplorasi pengaruhnya dalam proses autofagi dengan Western blot. Selain itu, dilakukan juga studi in silico untuk menelaah ikatan yang terjadi antara ricin rantai A terhadap protein-protein yang berperan pada tahap apoptosis (caspase-3, -8, dan -9) dan protein-protein yang berperan pada setiap tahap proses autofagi (Beclin-1, ATG5, LC3 atau Light Chain 3, dan p62/Sequistrosome1). Struktur kristal sinar-X dari caspase-3, -8, -9, Beclin-1, ATG5, LC3, dan p62 diunduh dari https://www.rcsb.org/structure/. Docking protein-protein dilakukan dengan menggunakan server online ClusPro (https://cluspro.org/). Identifikasi CR menunjukkan bahwa semua teknik kromatografi yang digunakan secara positif mengkonfirmasi keberadaan protein ricin. Adanya protein ricin ditunjukkan dengan puncak doblet ricin rantai A dan rantai B pada semua kromatogram. Hasil elektroferogram SDS-PAGE membuktikan bahwa protein ricin dapat teridentifikasi pada BM 35 kDa. Dari hasil elektroferogram, metode CLC ternyata dapat memisahkan dua protein pada BM 33 kDa (ricin rantai A) dan 36 kDa (ricin rantai B), sementara metode FPLC hanya dapat mengekspresikan satu protein 35 kDa. Hasil studi in silico menyatakan bahwa ricin rantai A memiliki mode pengikatan yang serupa dengan Ac-DEVD-AFC (substrat caspase-3) yaitu ikatan hidrogen (Ser205, Arg207, Ser209) dan interaksi hidrofobik (Trp206 dan Phe256). Ricin rantai A berinteraksi dengan Arg413 dan Ser411 yang terletak antiparalel di kantong pengikat caspase-8. Sebagian ricin rantai A juga berikatan dengan Val410, residu yang terletak di kantung S2 caspase-8. Selain itu, ricin rantai A berinteraksi dengan beberapa residu asam amino di caspase-9. Sementara hasil docking ricin rantai A dengan protein-protein autofagi, menunjukkan bahwa ricin rantai A dapat berinteraksi dengan Beclin-1, ATG5, LC3, dan p62 melalui pembentukan ikatan hidrogen pada residu-residu asam amino. Hasil pengujian secara in vitro membuktikan bahwa CR memiliki sitotoksisitas terhadap sel kanker paru-paru A549 dengan nilai IC50 40,94 ppm, lebih tinggi dibandingkan cisplatin yang memiliki IC50 10,98 ppm. Hal ini mengindikasikan bahwa sitoksisitas CR terhadap sel kanker paru-paru A549 lebih rendah dari pada cisplatin. Analisis flow cytometry mengidentifikasikan bahwa kematian sel oleh CR disebabkan oleh apoptosis serta nekrosis, tetapi apoptosis terjadi lebih sering daripada nekrosis, yang menunjukkan bahwa CR lebih kuat dalam menginduksi apoptosis daripada nekrosis. Terjadinya apoptosis kemungkinan lebih cepat karena sebagian besar sel mengalami apoptosis pada fase awal. Pengujian apoptosis dengan metode Western blot memperlihatkan bahwa CR dapat menginduksi apoptosis melalui aktivasi caspase-9 dan caspase-3, yang ditandai oleh peningkatan ekspresi kedua protein apoptosis tersebut. Pada pengujian migrasi sel, CR dan cisplatin menghambat migrasi sel secara signifikan yang bergantung pada konsentrasi dan waktu, dan efek tertingginya diberikan oleh konsentrasi 1,0 ppm dengan penutupan celah masing-masing 3,10 dan 3,28% dalam inkubasi 48 jam. Pengujian aktivitas autofagi mengindikasikan bahwa CR dapat menurunkan kadar Beclin-1 dan meningkatkan kadar ATG5, serta menurunkan kadar LC3-II dan meningkatkan kadar p62. Beclin-1 merupakan komponen penting untuk langkah nukleasi fagofor autofagi, sedangkan ATG5 adalah protein yang sangat diperlukan untuk membentuk autofagosom. LC3-II dikenal sebagai satu-satunya biomarker protein yang secara andal terkait dengan pembentukan autofagosom dan pematangan, dan p62 adalah protein pengikat yang berfungsi sebagai penghubung antara LC3 dan substrat autofagi. Hal ini membuktikan bahwa CR dapat menghambat autofagi pada tahap awal di sel kanker paru-paru A549. Penghambatan autofagi juga ditunjukkan oleh cisplatin karena efeknya pada protein penanda autofagi sama dengan CR. Berdasarkan hasil keseluruhan dari penelitian ini, CR memiliki potensi sebagai kandidat obat antikanker, tetapi penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengungkapkan profil aktivitas antikanker yang lebih lengkap.Item Modifikasi Karagenan dengan Metode Enzimatik untuk Pengembangan Eksipien Sediaan Tablet(2018) RIVAL FERDIANSYAH; Anis Yohana Chaerunisaa; Achmad ZainuddinKaragenan dibentuk oleh unit-unit alternatif dari D-galaktosa dan 3,6-AG yang bergabung dengan α-1,3 dan β-1,4-glikosidik yang terhubung. Karagenan dalam penelitian ini adalah jenis karagenan yang diekstrak dari ganggang laut Euchema cottonii. Penelitian ini bertujuan mendapatkan karagenan dengan karakter fisik dan Bobot molekul (BM) dan modifikasi enzimatik untuk aplikasi sebagai bahan pengisi, penghancur dan pengikat pada sediaan tablet. Tahapan kerja pada penelitian dibagi dalam 3 tahap yaitu optimasi ekstraksi karagenan menggunakan variasi pelarut jenis alkali dan konsentrasi (KOH, NaOH dan Ca(OH)2 pada pH 9 ; 11 dan 13), evaluasi mutu serta karakteristik fisika-kimia. Optimasi dan modifikasi karagenan secara enzimatik menggunakan enzim α-amilase dengan variasi waktu inkubasi serta evaluasi mutu dan karakteristik fisika-kimia. Aplikasi karagenan sebagai pengisi, penghancur dan pengikat pada sediaan tablet. Semua perlakuan ekstraksi menghasilkan karagenan yang memenuhi persyaratan mutu dan karaketeristik fisika-kimia serta BM yang berbeda. Kar-NaOH pH 13, Kar-NaOH pH 9 dan Kar-Ca(OH)2 pH 13 dipilih berdasarkan BM dan viskositas paling besar, serta parameter mutu yang memenuhi syarat. Konsentrasi enzim α-amilase yang digunakan yaitu 38 unit/g sampel dengan variasi waktu inkubasi 30, 90 dan 180 menit. Modifikasi enzimatik menghasilkan perubahan BM, dan perubahan karakteristik fisik dibandingkan karagenan sebelum modifikasi. Karagenan hasil modifikasi 180 menit dipilih untuk diaplikasikan sebagai ekspien sediaan tablet karena pada hasil pengujian karakter fisika padatan yang memperlihatkan tidak ada perbedaan yang besar antara satu sampel dengan sampel yang lainnya, sehingga dasar pemilihannya di ambil dari karakter BM yang paling kecil. Pada aplikasi karagenan sebagai pengisi dengan metode kempa langsung, nilai laju alir dan kompresibilitas lebih baik dibandingkan Microcrystalline Cellulose (MCC). Nilai kekerasan lebih kecil, friksi dan friabilitas tablet besar dibandingkan MCC dan karagenan sebelum modifikasi yaitu >1%. Hasil disolusi karagenan modifikasi dan karagenan sebelum modifikasi serta MCC sesuai syarat Farmakope Indonesia VI yaitu persen konsentrasi disolusi pada waktu 30 menit melebihi 80%. Hasil pengujian aplikasi karagenan sebagai penghancur menggunakan metode kempa langsung dengan pembanding Sodium Starch Glycolate (SSG), memperlihatkan hasil evaluasi laju alir dari karagenan konsentrasi variasi 5, 10 dan 15% lebih besardibandingkan SSG 4%. Kekerasan tablet yang dihasilkan dari sampel dan pembanding tidak jauh berbeda yaitu pada rentang 5-7 kg. Nilai friksi dan friabilitas memperlihatkan Kar-NaOH pH 9 dan Kar-KOH pH 13 hasil modifikasi memberikan nilai yang lebih besar dibandingkan SSG, sedangkan Kar-Ca(OH)2 pH 13 hasil modifikasi lebih kecil dari SSG. Nilai friksi dan friabiltas yang baik yaitu <1%. Waktu hancur dari semua sampel kurang dari 15 menit. Hasil uji disolusi semua sampel memenuhi syarat FI VI. Aplikasi karagenan sebagai pengikat menggunakan metode granulasi basah, dengan Polivinilpirolidon K30 (PVP K30) sebagai pembanding. Laju alir dan kompresibiltas yang dihasilkan karagenan lebih rendah dibandingkan dengan PVP K30. Kekerasan tablet yang dihasilkan oleh Kar- KOH pH 13 dan Kar-Ca(OH)2 pH 13 hasil modifikasi lebih tinggi dibandingkan PVP K30. Nilai friksi dan friabilitas dari karagenan dengan konsentrasi 3% dan 6% sama baiknya dengan PVP K30 pada konsentrasi 5%. Waktu hancur PVP K30 memberikan nilai lebih cepat dibandingkan karagenan modifikasi. Hasil uji disolusi pada variasi konsentrasi karagenan 1,5%, 3% dan 6% dan pembanding memberikan nilai yang memenuhi syarat FI VI. Kesimpulan penelitian ini Kar-Ca(OH)2 pH 13 dan Kar-KOH pH 13 hasil dimodifikasi enzimatik memiliki potensi fungsi sebagai pengisi. Kar-NaOH pH 9 dan Kar-Ca(OH)2 pH 13 hasil dimodifikasi enzimatik memiliki potensi fungsi sebagai penghancur dengan minimum konsentrasi 5%. Kar-KOH pH 13 dan Kar-KOH pH 13 hasil modifikasi enzimatik memiliki potensi fungsi sebagai pengikat dengan minimum konsentrasi 3%.Item PENELUSURAN GOLONGAN SENYAWA AKTIF BUAH MENGKUDU (Morinda citrifolia L.) SEBAGAI ANTI-ALOPESIA: STUDI IN VITRO, IN VIVO DAN IN SILICO(2023-09-24) LAILA SUSANTI; Dikdik Kurnia; Eli HalimahAlopesia merupakan suatu kelainan pada kulit kepala berupa hilangnya sebagian atau seluruh rambut, yang disebabkan rentang waktu folikel rambut pada fasa telogen (fasa istirahat) lebih lama dibandingkan dengan fasa anagen (fasa pertumbuhan) pada siklus pertumbuhan rambut, sehingga jumlah rambut yang rontok lebih banyak daripada jumlah rambut yang tumbuh. Penyebab alopesia umumnya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor ekstrinsik seperti nutrisi yang buruk, penyakit lupus, stress, scabies dan dermatitis seboroik, serta faktor intrinsik seperti genetik, usia, dan gangguan hormon. Pada penelitian ini, peneliti mengambil dua kajian penyebab alopesia yakni karena dermatitis seboroik (ekstrinsik) dan karena androgenik (intrinsik). Dermatitis seboroik disebabkan karena jamur Malassezia globosa mengakibatkan peradangan kulit kepala dan mengganggu siklus folikel rambut sehingga terjadi kerontokan rambut. Kajian selanjutnya adalah alopesia androgenik, yang terjadi karena ketidakseimbangan jumlah hormon DHT (dihidrotestosteron) yang berikatan kuat dengan reseptor androgen pada folikel rambut, yang menyebabkan miniaturisasi folikel rambut sehingga folikel rambut menjadi tidak aktif. Terapi dermatitis seboroik umumnya diberikan antijamur ketoconazole 2%, namun karena dermatitis seboroik termasuk penyakit kambuhan (relapsing disease), terapi ketoconazole dalam jangka panjang selain menimbulkan efek samping iritasi, alergi dan peradangan kulit kronis juga menghasilkan resistensi obat. Terapi alopesia karena androgenik yang disetujui FDA adalah minoxidil dan finasteride, namun dilaporkan efek samping minoxidil berbahaya bagi wanita hamil, serta terjadinya hipertrikosis wajah dan dermatitis kontak. Efek samping finasteride menyebabkan penurunan libido, feminisasi pada fetus laki-laki, disfungsi ereksi pada pria, dan kerontokan rambut dapat terjadi kembali setelah pengobatan dihentikan. Profil efek samping dari obat sintetik tersebut menjadi latar belakang peneliti untuk mengangkat potensi tanaman sebagai anti-alopesia yang diyakini memiliki toksisitas dan efek samping rendah. Buah mengkudu dipilih karena secara etnobotani digunakan sebagai masker rambut untuk mengatasi rambut rontok, ketombe, dan menghilangkan kutu rambut. Ketersediaan tanaman Mengkudu di berbagai daerah di Indonesia juga melimpah dan secara ilmiah penelitian tentang buah mengkudu sebagai anti-alopesia karena dermatitis seboroik dan androgenik belum pernah dilaporkan. Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yaitu (1) menentukan dan menganalisis aktivitas dari ekstrak, fraksi dan sub-fraksi buah mengkudu terhadap jamur M. globosa penyebab dermatitis seboroik, mengetahui komponen senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung dalam sub-fraksi aktif, dan untuk mengetahui aktivitas molekularnya terhadap reseptor LIP1(SMG1) (kode PDB: 3UUF). (2) menentukan dan menganalisis aktivitas dari ekstrak, fraksi dan sub-fraksi buah mengkudu terhadap kelinci model alopesia yang diinduksi DHT, mengetahui komponen senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung dalam sub-fraksi aktif, dan untuk mengetahui aktivitas molekularnya terhadap reseptor androgen (kode PDB: 4K7A). Pengujian aktivitas dilakukan melalui pendekatan bioassay-guided mulai dari ekstrak hingga sub-fraksi menggunakan serangkaian metode dimulai dari ekstraksi, standardisasi ekstrak, fraksinasi, skrining fitokimia, kolom kromatografi, uji aktivitas dermatitis seboroik dengan metode difusi agar dan mikrodilusi. Uji aktivitas genetik (androgenik) dengan metode pemodelan kelinci alopesia induksi DHT, dengan parameter densitas folikel, rasio A/T (anagen/telogen), hingga uji aktivitas penambatan molekul dan molekular dinamik dari senyawa-senyawa hasil sub-fraksi aktif terhadap reseptornya berdasarkan penelusuran LC-MS/MS. Hasil ekstraksi etanol buah mengkudu menghasilkan ekstrak kental berwarna coklat gelap dengan rendemen 14,65%, standardisasi ekstrak menunjukkan hasil yang sesuai dengan rujukan Farmakope Herbal Indonesia (2017) untuk buah mengkudu. Fraksinasi ekstrak menghasilkan rendemen 49,23% untuk fraksi air (FA), 37,21% untuk fraksi etil asetat (FEA), dan 3,5% untuk fraksi n-heksana (FH). Skrining fitokimia dengan reagen uji pada fraksi-fraksi, positif mengandung metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, saponin dan tannin untuk FA dan FEA, sedangkan pada FH positif mengandung phytosterol dan antraquinon. Uji aktivitas anti-alopesia karena dermatitis seboroik (in vitro) didahului dengan uji aktivitas ekstrak etanol buah mengkudu terhadap jamur M. globosa menunjukkan daya hambat pada konsentrasi 10% dengan zona hambat 5,78 ± 0,56 mm, kemudian dilanjutkan dengan uji aktivitas fraksi-fraksi dengan metode difusi agar, menghasilkan data zona hambat terbaik pada FEA sebesar 10,19 ± 0,05 mm. Berdasarkan data ini, maka dipilih FEA untuk dilakukan pemisahan menggunakan kolom kromatografi terbuka I untuk menghasilkan sub-fraksi dan diuji aktivitasnya. Uji aktivitas sub-fraksi dengan metode difusi agar terhadap jamur M. globosa menghasilkan data zona hambat terbaik pada kelompok [FEA-6] 10% di 12,9 ± 0,42 mm. Kelompok [FEA-6] dipilih untuk dilakukan pemisahan kembali dengan kolom kromatografi terbuka II menghasilkan sub-fraksi dan diuji aktivitasnya menggunakan metode mikrodilusi menghasilkan data % inhibisi terbaik pada kelompok [FEA-6-3] 10% sebesar 25,3%, sehingga kelompok ini dipilih untuk dilakukan pemisahan selanjutnya. Pemisahan [FEA-6-3] menggunakan medium pressure liquid chromatography (MPLC) menghasilkan sub-fraksi dan diuji aktivitasnya kembali menggunakan metode mikrodilusi, menghasilkan data % inhibisi terbaik pada kelompok 3 [FEA-6-3-3] 10% sebesar 12,44% dengan nilai optical density (OD) paling kecil 0,645±0,17. Hasil karakterisasi aktivitas sampel [FEA-6-3-3] dengan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan jumlah koloni jamur M. globosa nampak berkurang dan terjadi kerusakan spora dan hifa. Karakterisasi dengan FTIR menunjukkan serapan dengan intensitas kuat pada 3287,5 cm-1 menunjukkan adanya gugus N-H atau O-H dan 1013,8 cm-1 menunjukkan regangan C-N dan C-O. Karakterisasi dilanjutkan dengan LC-MS/MS, dan dihasilkan 6 puncak dengan 1 puncak mayor intensitas 100% pada waktu retensi 11,10 menit m/z 306,292 memiliki rumus molekul C19H35N3 milik 1,2,3-Tricyclohexylguanidine. Puncak mayor kedua muncul dengan intensitas 50% pada waktu retensi 10,75 m/z 445,212, rumus molekul teridentifikasi dengan nama sebagai 1-[4-(3,5-dimethoxybenzoyl)-1-piperazinyl]-2,2-diphenylethanone. Puncak lainnya muncul dengan intensitas rendah pada waktu retensi 8,47; 9,14; 12,22 dan 12,90 menit. Uji aktivitas anti-alopesia karena androgenik (in vivo) didahului dengan pemodelan kelinci alopesia yang diinduksi DHT 0,01 mg/0,1 mL secara subkutan selama 17 hari dan diukur luas area kebotakannya. Uji pendahuluan dilakukan terhadap ekstrak etanol buah mengkudu dengan konsentrasi 5, 15 dan 25% sebanyak 0,2 mL (2x1) selama 21 hari terhadap kelinci model alopesia. Hasil uji pendahuluan ini menunjukkan konsentrasi 25% ekstrak etanol memberikan aktivitas terbaik dengan nilai densitas folikel 67,62 ± 1,37 dan jumlah anagen 44,73 ± 0,72 lebih banyak dibandingkan dengan densitas folikel kelompok 5 dan 15%. Uji aktivitas dilanjutkan terhadap fraksi-fraksi dengan metode yang sama, menghasilkan data densitas folikel 76,78 ± 0,83 dan rasio A/T 1,84/1 terbaik dari fraksi etil asetat (FEA)-25%, dan dikonfirmasi dengan luas area kebotakan yang mengecil setelah perlakuan sampel dari 3,16 ± 0,05 cm2 menjadi 1,77 ± 0,06 cm2 sehingga kelompok FEA dipilih untuk dilakukan pemisahan menggunakan kolom kromatografi terbuka. Hasil pemisahan sampel [FEA] menghasilkan beberapa sub-fraksi dan diuji aktivitas kembali menggunakan metode yang sama, dari hasil uji aktivitas sub-fraksi diperoleh kelompok [FEA-3] yang paling aktif dengan densitas folikel 78,00 ± 1,56 dan rasio A/T 1,64/1. Hasil ini dikonfirmasi dengan luas area kebotakan yang mengecil setelah perlakuan sampel uji dari 3,14 ± 0,22 cm2 menjadi 1,67 ± 0,04 cm2. Sampel terbaik [FEA-3] dilakukan karakterisasi dengan FTIR menghasilkan pita melebar dan tajam di 3332,2 cm-1 menunjukkan serapan gugus O-H atau N-H, gugus karbonil (C=O) dengan intensitas sedang pada bilangan gelombang 1580,4 cm-1. Serapan dengan intensitas lemah pada bilangan gelombang 2325,9 cm-1 dan 2109,7 cm-1 menunjukkan regangan dari C-H alkana sp3. Serapan pada bilangan gelombang 1401,5 cm-1 dengan intensitas sedang menunjukkan adanya regangan ikatan C=C aromatik, dan serapan pada 1080,8 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-N dan C-O. Karakterisasi sampel [FEA-3] dilanjutkan dengan LC-MS/MS menghasilkan 6 puncak tajam dengan intensitas paling tinggi muncul pada waktu retensi 9,96 dan 11,40 menit yang teridentifikasi m/z 343,294 dan 371,328 dengan nama senyawa 1-[4-(2-Hydroxyethyl)-1-piperazinyl]-3-[(2-isopropyl-5-methylcyclohexyl)oxy]-2-propanol (C19H38N2O3) dan 11-[(1-Hydroxy-2,2,6,6-tetramethyl-4-piperidinyl)(methyl)amino]undecanoic acid (C21H42N2O3). Puncak lainnya muncul dengan intensitas rendah pada waktu retensi 4,53; 12,86; 14,35 dan 15,19 menit. Hasil in vitro dan in vivo yang telah dilakukan, dikonfirmasi dengan uji in silico dengan parameter penambatan molekul, molekular dinamik dan profil ADME-Tox. Penambatan molekul sampel hasil uji in vitro [FEA-6-3-3] dilakukan terhadap senyawa A, B, C, D, E dan F hasil LC-MS/MS dengan reseptor 3UUF, diperoleh senyawa C dan D dengan nilai afinitas ikatan sebesar -5,61 dan -6,48 kkal/mol lebih rendah dibandingkan dengan ketoconazole (standard) -5,31 kkal/mol. Dua senyawa ini terpilih untuk tahap uji molekular dinamik simulasi 100 ns yaitu senyawa C (1-[4-(3,5-Dimethoxybenzoyl)-1-piperazinyl]-2,2-diphenylethanone), senyawa D (1,2,3-Tricyclohexylguanidine) dan ketoconazole (standard). Secara keseluruhan, diperoleh data RMSD, RMSF dan energi ikat (∆G) total berturut-turut adalah senyawa C (1,314 Å, 0,653 Å, dan -9,7313 kkal/mol), senyawa D (1,629 Å, 0,765 Å, dan -18,6552 kkal/mol) dan ketoconazole (1,251 Å, 0,636 Å, dan -19,1358 kkal/mol). Penambatan molekul sampel hasil uji in vivo [FEA-3] dilakukan terhadap senyawa G, H, I, J, K dan L hasil LC-MS/MS dengan reseptor 4K7A, diperoleh tiga senyawa berpotensi sebagi inhibitor yaitu H, I dan J dengan nilai afinitas ikatan sebesar -4,99, -4,60 dan -4,57 kkal/mol yang tidak berbeda jauh dengan minoxidil (standard) -4,71 kkal/mol. Ketiga senyawa ini dilanjutkan dengan analisis molekular dinamik, dengan minoxidil sebagai pembanding. Secara keseluruhan, diperoleh data RMSD, RMSF dan energi ikat total berturut-turut adalah senyawa H (1,315 Å, 0,703 Å, dan -28,7688 kkal/mol), senyawa I (1,393 Å, 0,694 Å, dan -21,1905 kkal/mol), senyawa J (1,010 Å, 0,655 Å, dan -25,0424 kkal/mol) dan minoxidil (1,097 Å, 0,648 Å, dan -4,5305 kkal/mol). Berdasarkan hasil uji in vitro dan dikonfirmasi dengan uji in silico, senyawa C (1-[4-(3,5-Dimethoxybenzoyl)-1-piperazinyl]-2,2-diphenylethanone) dan senyawa D (2,3-Tricyclohexylguanidine) merupakan golongan alkaloid dengan kerangka piperazin dan guanidine, menariknya ketoconazole sebagai standard diketahui memiliki nama IUPAC 1-[4-[4-[[2-(2,4-dichlorophenyl)-2-(imidazol-1-ylmethyl)-1,3-dioxolan-4-yl]methoxy]phenyl]piperazin-1-yl]ethanone, juga merupakan golongan alkaloid dengan kerangka dasar alkaloid piperazine. Berdasarkan hasil uji in vivo dan dikonfirmasi dengan uji in silico, senyawa H (1-[4-(2-Hydroxyethyl)-1-piperazinyl]-3-[(2-isopropyl-5-methylcyclohexyl)oxy]-2-propanol), senyawa I (11-[(1-Hydroxy-2,2,6,6 tetramethyl-4-piperidinyl)(methyl)amino]undecanoic acid, dan senyawa J (2-Methyl-2-propanyl[(3S,4S,6S)-4-hydroxy-6-tridecyl-3-piperidinyl]carbamate) juga merupakan golongan alkaloid dengan kerangka dasar piperazin dan piperidin, menariknya minoxidil sebagai standard diketahui memiliki nama IUPAC 3-hydroxy-2-imino-6-piperidin-1-ylpyrimidin-4-amine, juga merupakan golongan alkaloid dengan kerangka dasar piperidin dan pirimidin. Hasil profil ADME-Tox menunjukkan beberapa senyawa memiliki permeabilitas yang baik terhadap kulit dengan nilai SP Log Kp < −2,5, dan semua senyawa tidak bersifat karsinogenik. Penelitian ini berhasil membuktikan, bahwa golongan alkaloid piperazin dan guanidin dari buah mengkudu memiliki aktivitas anti-alopesia karena dermatitis seboroik berdasarkan uji in vitro dan pendekatan in silico. Golongan alkaloid piperazin dan piperidin dari buah mengkudu memiliki aktivitas anti-alopesia karena androgenik berdasarkan uji in vivo dan pendekatan in silico.Item PENGEMBANGAN GLIBENKLAMID SEBAGAI TRANSETOSOM UNTUK SISTEM PENGHANTARAN TRANSDERMAL(2023-10-13) NURUL ARFIYANTI YUSUF; Marline Abdassah Bratadiredja; Anis Yohana ChaerunisaaGlibenklamid merupakan antidiabetik oral pada pasien hiperglikemia dengan kelarutan yang rendah dalam air dan memiliki permeabilitas yang baik. Transetosom sebagai sistem vesikuler menawarkan permeasi kulit yang tinggi sehingga diharapkan dapat meningkatkan kelarutan dan permeabilitas obat glibenklamid yang sukar larut. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efek surfaktan, fosfolipid, dan waktu sonikasi terhadap sifat fisikokimia, kelarutan dan pelepasan glibenklamid; mengevaluasi karateristik fisikokimia, dan pelepasan patch transetosom glibenklamid; dan mengevaluasi efektivitas patch transetosom glibenklamid dalam menurunkan kadar glukosa darah. Penelitian diawali dengan pembuatan transetosom glibenklamid berdasarkan pendekatan Box Behnken Design dengan variabel bebas yaitu ukuran partikel, indeks polidispersitas, zeta potensial, dan efisiensi penjerapan, kemudian dilanjutkan dengan uji stabilitas. Karakterisasi lebih lanjut dilakukan dengan dengan TEM, FTIR, DSC, serta uji kelarutan dan studi pelepasan obat secara in vitro. Tahap selanjutnya adalah formulasi patch transetosom glibenklamid dengan variasi kombinasi polimer HPMC dan PVP K30 dengan evaluasi meliputi keseragaman bobot, ketahanan lipat, ketebalan, daya serap kelembaban, susut pengeringan, kandungan obat, dan pelepasan obat patch transetosom glibenklamid secara in vitro. Uji efektivitas in vivo pada patch transetosom glibenklamid menggunakan beberapa kelompok pembanding (kontrol negatif, pemberian glibenklamid melalui rute oral, dan transdermal dalam bentuk patch). Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula yang optimal adalah dengan komposisi fosfolipid 75 mg, tween 80 5 mg dan waktu sonikasi 18,79 menit. Respons tersebut berupa ukuran partikel 166,8±5,3 nm, indeks polidispersitas 0,463±0,1, potensial zeta -44,7±2,2 mV dan efisiensi penjerapan sebesar 87,18±3,8%. Transetosom glibenklamid menunjukkan morfologi berbentuk sferis, tanpa agregasi yang terlihat. Studi FTIR mengungkapkan bahwa tidak ada interaksi kimia antara glibenklamid dengan eksipien. Kelarutan dan uji pelepasan obat in vitro menunjukkan peningkatan yang signifikan dari transetosom glibenklamid (p<0,05) dibandingkan dengan bahan aktif glibenklamid. Hasil evaluasi patch transetosom glibenklamid menunjukkan keseragaman bobot patch pada range 0,051-0,063 g dan nilai CV (Coefficient of Variation) kurang dari 5%. Ketahanan lipat yang dihasilkan dari patch dapat bertahan tanpa robek lebih dari 200 lipatan. Ketebalan patch transetosom glibenklamid yaitu pada range 0,14-0,24 cm. Daya serap kelembaban patch yaitu pada range 2,1-23,5%. Susut pengeringan patch antara 4,7-7,4%. Kandungan obat patch adalah antara 6,7-12,7 g/cm2. Pelepasan obat dari patch yaitu pada range 0,274-0,526 µg.cm-2.jam-1 setelah 480 menit. Hasil uji efektivitas patch transetosom glibenklamid menunjukkan penurunan kadar glukosa darah tikus yang terus terjadi hingga 10 jam setelah pemberian obat, setelah itu kadar glibenklamid tetap bertahan hingga 24 jam setelah pemberian obat. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, transetosom glibenklamid yang dirancang dengan Box Behnken Design menghasilkan karakteristik fisikokimia yang memenuhi persyaratan, peningkatan kelarutan dan peningkatan pelepasan obat dibandingkan dengan etosom glibenklamid dan serbuk glibenklamid sebagai pembanding. Patch transetosom glibenklamid menunjukkan karakteristik fisikokimia yang memenuhi persyaratan dan stabil selama uji stabilitas. Kombinasi polimer juga secara signifikan mempengaruhi pelepasan obat selama uji stabilitas. Patch transetosom glibenklamid memiliki kemampuan dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus secara signifikan (p<0,05) dibandingkan kontrol negatif, tablet glibenklamid, dan patch transdermal glibenklamid.Item Pengembangan Mikrokapsul Ekstrak Etanol Daun Kesambi (Schleichera oleosa L.) Sebagai Sediaan Padat Kandidat Hepatoprotektor(2023-10-12) ZULHAM; Anas Subarnas; Anis Yohana ChaerunisaaSchleichera oleosa L. (Sapindaceae) telah dilaporkan penggunaannya sebagai obat tradisional dan berpotensi memiliki beberapa aktivitas farmakologis seperti aktivitas antikanker, antioksidan dan antimikroba. Potensi aktivitas antioksidan akibat besarnya kandungan polifenol cukup menarik antara lain dengan kemampuannya menangkap radikal bebas. Aktivitas dalam menangkal radikal bebas umumnya terkait dalam penanganan penyakit kronis, termasuk penyakit hati. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas hepatoprotektif ekstrak daun S. oleosa dan melakukan evaluasi toksisitas untuk menilai keamanannya untuk dilanjutkan ke tahap pengembangan bentuk sediaan farmasi. Telah dilakukan standardisasi dengan menentukan parameter spesifik dan nospesifik untuk menjamin keamanan dan mutu ekstrak yang akan dilanjutkan ke tahapan pengujian aktivitas (baik secara invitro maupun invivo), pengujian toksisitas (akut dan subkronik), proses mikroenkapsulasi ekstrak dan pembuatan sediaan (tablet dan granul instan). Aktivitas antioksidan pada ekstrak daun S. oleosa diuji dengan menggunakan 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH), dan aktivitas hepatoprotektif diuji dengan menggunakan metode induksi parasetamol dosis tinggi pada hewan tikus. Penilaian keamanan ekstrak dilakukan dengan menguji toksisitas akut menggunakan hewan mencit (jantan dan betina) dan toksisitas subkronik menggunakan hewan tikus (jantan dan betina). Dosis yang digunakan pada uji toksisitas akut adalah 1000, 2000, 3000, 4000 dan 5000 mg/kg berat badan, dan pada pengujian toksisitas subkronis menggunakan dosis 100, 200, dan 400 mg/kg BB. Proses mikroenkapsulasi ekstrak menggunakan alat fluid bed coating dengan menggunakan variasi polimer yaitu polivinil alkohol dan Ethocel 10 cP, kemudian dilanjutkan ke tahap formulasi sediaan tablet dan granul instan. Hasil standardisasi ekstrak dari 3 wilayah (Sulawesi Selatan, Kalimantan Utara dan Nusa Tenggara Timur) telah memenuhi standar sesuai yang dipersyaratkan dan telah ditetapkan nilai parameter spesifik dan nonspesifiknya. Hasil pengujian antioksidan menunjukkan bahwa ekstrak daun S. oleosa yang berasal dari wilayah Sulawesi Selatan memiliki nilai IC50 yang paling baik yaitu sebesar 11,43 µg/mL yang dapat dikategorikan sebagai antioksidan kuat yang dibandingkan dengan vitamin C (IC50: 3,54 µg/mL). Ekstrak pada semua dosis (50, 100, dan 150 mg/kg BB) menurunkan kadar SGOT dan SGPT secara signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif, dan efek tertinggi ditunjukkan pada dosis 100 mg/kg, namun efek ini lebih rendah dibandingkan dengan kurkumin yang telah terbukti sebagai hepatoprotektor. Pada uji toksisitas akut, ekstrak daun S. oleosa pada semua dosis yang digunakan (1000, 2000, 3000, 4000, dan 5000 mg/kg BB) tidak menyebabkan kematian hewan coba selama 14 hari pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai LD50 ekstrak lebih tinggi dari 5000 mg/kg BB, yang menunjukkan bahwa ekstrak ini praktis tidak toksik menurut kriteria toksisitas. Hasil pengujian toksisitas subkronik menunjukkan bahwa pemberian ekstrak pada tikus jantan dan betina dengan dosis harian 100 dan 200 mg/kg BB selama 90 hari tidak menyebabkan perubahan signifikan pada hematologi darah, biokimia darah dan gambaran histopatologi hati, ginjal, jantung, limfa dan paru-paru yang disimpulkan bahwa pada dosis tersebut penggunaan ekstrak daun S. oleosa dalam jangka panjang relatif aman. Sedangkan untuk kelompok dosis harian 400 mg/kg BB, hasil pemeriksaan hematologi tikus betina menunjukkan perbedaan yang signikan dibandingkan dengan kelompok kontrol untuk nilai parameter sel darah merah dan platelet dan hasil analisis histopatologi untuk organ limfa pada tikus jantan dan betina mengalami inflamasi, tetapi jika dibandingkan dengan kelompok satelit 400 mg/kg BB tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol dan dapat disimpulkan bahwa terjadi perbaikan setelah penghentian pemberian ekstrak pada dosis tersebut. Senyawa biokimia pada ekstrak daun S. oleosa yang mudah terurai oleh faktor eksternal dapat dijaga kestabilannya dengan metode mikroenkapsulasi. Pembuatan mikrokapsul ekstrak daun S. oleosa menggunakan fluid bed coating dengan penyalut polivinil alkohol dan Ethocel 10 cP berhasil melindungi senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak terhadap perubahan lingkungan selama proses sampai tahap penyimpanan. Mikrokapsul yang dibuat dapat mempertahankan kandungan total fenol dan flavonoid selama produksi, pengujian, dan penyimpanan pada berbagai suhu. Berbagai hasil pengujian mulai dari pembuatan mikrokapsul sampai tahap pembuatan sediaan tablet dan granul instan menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan in vitro serta pembuktian aktivitas hepatoprotektif setelah pengujian stabilitas memberikan hasil yang konsisten. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun S. oleosa berpotensi sebagai antioksidan dan hepatoprotektor. Hasil pengujian toksisitas termasuk kategori praktis tidak toksik dan penggunaannya dalam jangka panjang dengan dosis efektif relatif aman. Tumbuhan S. oleosa memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai salah satu alternatif terkait aktivitasnya sebagai hepatoprotektor, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan aktivitasnya dan mendapatkan bukti yang lebih lengkap mengenai aktivitas tersebut.