Bedah Mulut dan Maksilofasial (Sp.)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Bedah Mulut dan Maksilofasial (Sp.) by Author "Andri Hardianto"
Now showing 1 - 5 of 5
Results Per Page
Sort Options
Item EFEKTIVITAS APLIKASI LIVE TRANSCRIBE SEBAGAI MEDIA EVALUASI HURUF KONSONAN PADA PASIEN CELAH PALATUM PASCA PALATOPLASTI(2023-07-30) ERZA KURNIAWAN; Farah Asnely Putri; Andri HardiantoPendahuluan: Evaluasi tentang fungsi bicara telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya tetapi evaluasi tersebut hanya berdasarkan subyektif. Saat ini di dunia mengalami masa dimana terdapat penyakit baru yang menjadi suatu pandemi. Penyakit yang disebabkan oleh coronavirus menimbulkan risiko kesehatan masyarakat yang serius sehingga terapi wicara banyak terhenti akibat dari kondisi pandemi. Live transcribe adalah aplikasi yang secara otomatis mentranskripsikan ucapan hampir secara real-time, sehingga diharapkan dapat membantu terapis wicara menjadi sebagai media evaluasi terapi wicara. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah aplikasi Live Transcribe efektif untuk menilai ketepatan pelafalan kata dan dapat menjadi suatu media untuk evaluasi terapi wicara pada pasien celah palatum pasca palatoplasti. Metode: Penelitian dilakukan pada 35 subjek pada pasien terapi wicara pasca palatoplasti di Pusat Pelayanan Celah Bibir & Langit-langit/Cleft Labio Palatoschiziz (CLP) Rumah Sakit Anak Bunda Harapan Kita Jakarta . Subjek pada penelitian ini dilakukan secara total purposive sampling yaitu mengambil subjek dari sebagian populasi yang memenuhi kriteria inklusi sampai terpenuhi besar subjek minimal. Hasil: Secara keseluruhan, terdapat perbedaan skor terapi wicara yang signifikan antara aplikasi Live Transcribe dan kovensional, dimana secara umum teknik konvensional memiliki nilai rata-rata skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik Live Transcribe dan nilai probabilitas yang lebih kecil dari 0,05. Simpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan teknik konvensional dengan aplikasi Live Transcribe menunjukan perbedaan yang signifikan pada konsonan /p/ dan konsonan /b sedangkan pada konsonan /m/ tidak menunjukan perbedaan yang signifikan.Item HUBUNGAN ANTARA USIA OPERASI TERHADAP DISFUNGSI VELOFARINGEAL PADA PASIEN PASCA PALATOPLASTI(2023-10-11) FADLY RASYID; Andri Hardianto; Indra HadikrishnaPendahuluan: Celah palatum dapat menimbulkan berbagai gangguan tumbuh kembang, salah satu gangguan tersebut adalah gangguan berbicara. Palatoplasti untuk menutup celah palatum dan mengurangi resiko gangguan bicara penderita celah palatum. Usia dilakukannya operasi berpengaruh pada kemampuan bicara yang dihasilkan oleh penderita celah palatum. Tujuan: penelitian ini untuk hubungan antara usia dilakukannya operasi terhadap kemampuan bicara pasca palatoplasti. Metode: Sample penelitian adalah semua penderita celah palatum di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung yang dilakukan palatoplasti. penelitian ini hanya dilakukan pengamatan dan pengukuran dengan intervensi terhadap variabel penelitian kemudian dilakukan analisa. Selanjutnya dilakukan uji perbedaan dan uji korelasi. Teknik pengambilan sampel Consecutive Sampling pasien pasca palatoplasti yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil: Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki 28 (68,29%) dan kategori usia 18 bulan - 24 bulan sebanyak 31 (75,61%). Artikulasi terbanyak pada kategori ringan 34 (82,92%), Pada kategori hipernasalitas terbanyak dengan kategori berat 21 (51,22%), nasal emisi udara terbanyak pada kategori nilai terendah dengan jumlah 19 (46,34%) dan kategori kemampuan bicara terbanyak pada kelompok cukup mampu 22 (53,66%). Terdapat korelasi antara usia operasi dengan artikulasi, hipernasalitas, nasal emisi dan kemampuan bicara (p<0,000). Simpulan: Studi ini menunjukkan pasca palatoplasti terdapat korelasi yang kuat antara usia operasi dengan artikulasi, hipernasalitas, nasal emisi dan kemampuan bicara.Item HUBUNGAN KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) SALIVA DENGAN GAMBARAN KLINIS JARINGAN PARUT PADA PASIEN PASCA OPERASI LABIOPLASTI(2023-08-08) NIKEN LAKSMITARANI; Andri Hardianto; Indra HadikrishnaPendahuluan: Jaringan parut pada labioplasti adalah hasil yang tak dapat dihindarkan dari luka operasi. Jaringan parut ini dapat menimbulkan masalah secara fungsional, kosmetik dan psikologis Penilaian objektif memberikan pengukuran kuantitatif pada jaringan parut, sedangkan penilaian subjektif bergantung pada penilaian pengamat. Skala yang digunakan untuk mengevaluasi berbagai tipe jaringan parut salah satunya Vancouver Scar Scale (VSS). Penilaian objektif yang digunakan pada penelitian ini adalah nilai Vascular endothelial growth factor (VEGF) yang diketahui sebagai mediator angiogenensis yang mempromosi penyembuhan luka kutan dan merangsang pembentukan jaringan parut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa korelasi antara nilai kadar VEGF saliva pada hari ke 21 dengan gambaran klinis jaringan parut pada pasien pasca operasi labioplasti pada hari ke 90. Metode: Penelitian dilakukan pada 36 pasien dengan kasus celah bibir unilateral yang telah dilakukan operasi labioplasti di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran. Subjek pada penelitian ini adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Pemilihan subjek penelitian untuk kelompok uji dilakukan secara acak. Setelah di lakukan tindakan labioplasti, di lakukan pengukuran kadar VEGF pada hari ke 21, selanjutnya dilakukan penilaian gambaran klinis jaringan parut dengan VSS pada hari ke 90. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang kuat dan bermakna secara statistik antara kadar VEGF dengan gambaran klinis jaringan parut. Nilai koefisien korelasi antara VEGF dan gambaran klinis jaringan parut sebesar r=0.804 (p=0.001). Simpulan: Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara nilai VEGF saliva dengan gambaran klinis jaringan parut pada pasien pasca operasi labioplasti.Item PERBANDINGAN TIGA JENIS MATA BUR TERHADAP NILAI TARTRATE-RESISTANT ACID PHOSPHATASE (TRAP) SALIVA PADA PASIEN ODONTEKTOMI MOLAR TIGA MANDIBULA(2023-08-09) MITRA RISWANDA HUTABARAT; Andri Hardianto; Indra HadikrishnaPendahuluan: Pengangkatan gigi terpendam impaksi molar tiga rahang bawah merupakan tindakan yang umum dilakukan oleh bedah mulut. Prosedur odontektomi memiliki tingkat kesulitan berdasarkan Pederson mulai dari ringan hingga berat yang mempengaruhi penyembuhan pasca operasi. Salah satu prosedur dalam odontektomi adalah pembuangan tulang dengan instrumen putar. Penggunaan bur pada odontektomi akan menghasilkan panas dan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak dan osteonecrosis. Tingkat penyembuhan pada tulang alveolar dipengaruhi oleh seberapa besar trauma atau pembuangan tulang yang dilakukan pada saat odontektomi. Kemampuan bur bergantung kepada bahan penyusun dari bur dan dalam menghasilkan panas saat digunakan. Material yang mudah menghasilkan panas akan memiliki kerentanan dalam penggunaannya seperti, lebih cepat tumpul, lebih banyak merusak jaringan, lebih mudah patah, dan membutuhkan waktu lebih lama dalam pengerjaannya. Teknik pembuangan tulang alveolar pada odontektomi akan membuat tartrate-resitant acid phosphatase muncul dan meningkat. TRAP adalah enzim yang dilepaskan akibat aktivasi osteoklas, termasuk didalamnya produk dari degradasi tulang yang menunjukkan proses resorpsi tulang. Tujuan: membandingkan tiga jenis mata bur dalam tindakan odontektomi molar 3 mandibula pada nilai TRAP saliva sebelum dan sesudah odontektomi. Metode: Penelitian dilakukan pada 30 pasien dengan kasus impaksi molar ketiga mandibula yang dilakukan odontektomi dalam anestesi lokal di Poli Bedah Minor Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas Padjadjaran. Subjek pada penelitian ini adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan saliva sebelum dan setelah tindakan odontektomi, kemudian diukur TRAP saliva dan dibandingkan sebelum dan sesudahnya. Data yang terkumpul kemudian diuji dengan T-test pair dan Anova. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan signifikan pada nilai TRAP saliva sebelum dan sesudah odontektomi pada penggunaan bur SS, DB, dan TC, namun perbandingan antara bur DB dan TC tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan mata bur TC dan DB menghasilkan nilai TRAP dengan perbedaan yang minimal yang menunjukkan kerusakan tulang yang minimal, sedangkan penggunaan mata bur SS menunjukkan nilai perbedaan yang signifikan yang berarti kerusakan tulang yang banyakItem PERBEDAAN KADAR PROSTAGLANDIN E2 SALIVA DAN KRITERIA INDIKATOR KLINIS ANTARA SUBJEK YANG MENDAPATKAN TERAPI STANDAR DENGAN YANG MENDAPATKAN VITAMIN D SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PASCA ODONTEKTOMI MOLAR K(2023-08-09) FAUZAN AKMAL; Andri Hardianto; Farah Asnely PutriPendahuluan: Prosedur odontektomi mengakibatkan cedera jaringan pasca operasi yang mengakibatkan respon inflamasi (pembengkakan, nyeri dan keterbatasan membuka mulut) yang dapat menurunkan kualitas hidup subjek. Kadar vitamin D (25OHD) didalam tubuh memiliki peran dalam kondisi inflamasi. Pemberian terapi adjuvan vitamin D (terapi standar kombinasi dengan suplementasi vitamin D) pasca odontektomi molar ketiga mandibula dapat meningkatkan efikasi obat standar dalam mengurangi inflamasi. Tujuan: Tujuan penelitian adalah untuk menganalisa perbedaan pembengkakan, bukaan mulut, nyeri dan kadar PGE2 saliva antara kelompok terapi standar dengan kelompok terapi adjuvan vitamin D pasca odontektomi molar ketiga mandibula. Metode: Penelitian dilakukan pada subjek yang telah dilakukan tindakan odontektomi molar ketiga mandibula, yang dibagi menjadi dua kelompok (terapi standar dan terapi adjuvan vitamin D). Kedua kelompok dilakukan pengukuran pembengkakan wajah, skor nyeri, dan bukaan mulut sebelum operasi, 24 jam dan 168 jam pasca operasi.¬ Pengambilan sampel saliva untuk mengukur kadar PGE2 dilakukan sebelum operasi dan 24 jam pasca operasi. Hasil: Hasil penelitian dari 93 orang didapatkan hasil perbedaan yang signifikan secara statistik pada pembengkakan wajah (p=0,008<0,05), bukaan mulut (p=0,001<0,005), nyeri (p=0,001<0,005) dan kadar PGE2 saliva (p=0,001<0,005). Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok yang diberikan terapi adjuvan vitamin D dibandingkan kelompok terapi standar berdasarkan penilaian klinis dan kadar PGE2 saliva.