Browsing by Author "Kartika Indah Sari"
Now showing 1 - 15 of 15
Results Per Page
Sort Options
Item Body Mass Index dan Hubungannya dengan Tekanan Darah Mahasiswa Preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran(2017-04-25) VELLA ATIKA; Rosiliwati Wihardja; Kartika Indah SariBody Mass Index (BMI) dan tekanan darah telah lama menjadi subjek penelitian epidemiologi. Umumnya, tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik meningkat seiring dengan meningkatnya BMI. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui Body Mass Index dan hubungannya dengan tekanan darah mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan korelasi. Sampel terdiri dari 156 mahasiswa yang diperoleh dengan teknik total sampling. Penelitian dilakukan dengan cara menghitung berat badan, tinggi badan, dan tekanan darah mahasiswa. Analisis data yang dilakukan adalah dengan menggunakan analisis korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa dengan kategori underweight sebesar 15,38%, normal 53,85%, overweight 14,74%, obesitas tingkat I 13,46%, dan obesitas tingkat II sebesar 2,56%. Tekanan darah sistolik mahasiswa berada pada kategori hipotensi sebesar 9,62%, normal 85,26%, dan prehipertensi 5,13%, sedangkan untuk tekanan darah diastolik sebesar 7,69% hipotensi, 73,72% normal, 16,03% prehipertensi, serta 2,56% hipertensi tingkat I. Simpulan dari penelitian ini yaitu terdapat hubungan yang sangat rendah antara Body Mass Index dengan tekanan darah mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.Item Description of Mastication Efficiency Profile in Cognitive Impaired of Elderly Population(2019-08-20) MANMEET KAUR; Kartika Indah Sari; Tidak ada Data DosenIntroduction: The mastication efficiency varies with the increase in age. Mastication dysfunction may influence cognitive impairment. In this research, the mastication efficiency in cognitive impairment is described. Methode: The population sample consist of 54 elderly male and female who are aged 60 years old and above using cross-sectional sampling. The data was collected in Kelurahan Dago, Bandung. Cognitive function of the subjects were evaluated using MMSE and categorized into normal (26-30), mild (20-25), moderate (10-19) and severe (0-9). Colour changing chewing gum and number of masticatory cycles were used as an assessment for masticatory efficiency. Results: The results showed that 75.93% were of normal cognitive with an average masticatory cycle of 145.78 ± 24.77. Mastication efficiency in cognitived impaired elderly are such that mild (18.52%) has an average masticatory cycle of 138.30 ± 35.26 and moderate (5.56%) at 119.67 ± 59.50 and severe at 0.0%. Subjects with normal MMSE score has an average delta E of 42.22 ± 6.17, mild cognitive impairment has an average delta E of 41.11 ± 5.38 and moderate cognitive impairment has an average delta E of 43.77 ± 31.06 and severe at 0.0%. Discussion: Elderly population with cognitive impairment has a lower number of masticatory cycle and a lower delta E value. Conclusion: In conclusion, the highest delta score and masticatory cycle is from the normal cognitive function, followed by the mild, moderate and severe cognitive impairment.Item Gambaran Durasi Mastikasi Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Kota Bandung(2018-10-17) MUTHI LARASMITA; Taufik Sumarsongko; Kartika Indah SariPenderita diabetes melitus tipe 2 memiliki komplikasi di rongga mulut berupa peningkatan terjadinya kehilangan gigi. Kehilangan gigi akan berdampak pada durasi mastikasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran durasi mastikasi pasien diabetes melitus tipe 2. Metode penelitian bersifat deskriptif dengan subjek penelitian sebanyak 20 orang dengan metode convenient sampling. Pada awal penelitian, subjek dilakukan pemeriksaan rongga mulut dan pengisian kuesioner. Selanjutnya, subjek melakukan tes durasi mastikasi dengan makanan yang sudah disiapkan. Hasil penelitian pada kelompok titik kontak 0-4, 5-9, dan 10-14 rata-rata penelanan pertama adalah 60,5 detik, 15 detik, dan 38,6 detik. Rata-rata durasi mastikasi yang berlangsung sampai makanan habis pada kelompok 0-4, 5-9, dan 10-14 adalah 89 detik, 58,7 detik, dan 109 detik. Simpulan penelitian ini gambaran durasi mastikasi pada pasien diabetes melitus tipe 2 bervariasi. Kehilangan gigi akibat komplikasi diabetes melitus terkait dengan durasi mastikasi namun kebiasaan mengunyah menjadi faktor yang harus diperhatikan.Item Gambaran Functional Tooth Units dan Kemampuan Mastikasi Subjektif pada Lansia(2020-06-17) FATIMAH RINI DWININGRUM; Rasmi Rikmasari; Kartika Indah SariPendahuluan: Lansia adalah kelompok umur yang paling sering mengalami kehilangan gigi sehingga berpengaruh terhadap fungsi mastikasi. Fungsi mastikasi dipengaruhi oleh jumlah gigi posterior yang berkontak atau functional tooth units (FTUs). Namun, penelitian mengenai gambaran FTUs dan kemampuan mastikasi subjektif masih sedikit dilakukan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran FTUs dan kemampuan mastikasi subjektif pada lansia. Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian potong lintang. Subjek diambil dengan teknik purposive sampling. Penelitian dilakukan di Kelurahan Lebakgede Kota Bandung. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mengenai data karakteristik subjek dan kuesioner kemampuan mastikasi subjektif, serta pemeriksaan rongga mulut untuk memproleh data FTUs. Hasil: Diperoleh subjek sebanyak 74 lansia yang terdiri dari 63 orang perempuan (85,14%) dan 11 orang laki-laki (14,86%). Usia rata-rata subjek yaitu 68,49 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata total FTUs pada subjek dengan kemampuan mastikasi subjektif baik yaitu 5,9 FTUs, sedangkan pada subjek dengan kemampuan mastikasi subjektif buruk yaitu 1,5 FTUs. 31 orang lansia (41,89%) memiliki skor total FTUs nol. Lansia yang memiliki status kemampuan mastikasi subjektif baik sebanyak 26 lansia (35,14%) dan 48 lansia (64,86%) memiliki status kemampuan mastikasi subjektif buruk. Simpulan: Mayoritas lansia pada penelitian ini memiliki skor total FTUs yang rendah sehingga status kemampuan mastikasi subjektif pada lansia cenderung buruk.Item Gambaran Nilai Gula Darah 2 Jam Post Prandial pada Pasien Rawat Jalan Kasus Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Kota Bandung dengan Kecepatan Pengunyahan Terkontrol(2018-07-17) MAGHFIRA INDRIAWATI; Riani Setiadhi; Kartika Indah SariDiabetes melitus tipe II merupakan penyakit metabolik akibat tidak pekanya jaringan tubuh terhadap insulin yang disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat, salah satunya adalah pola makan. Kecepatan pengunyahan mempengaruhi tingkat obesitas serta faktor risiko dari penyakit diabetes melitus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran nilai gula darah 2 jam post prandial pada pasien rawat jalan kasus diabetes melitus tipe II di RSUD Kota Bandung dengan kecepatan pengunyahan terkontrol. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan teknik purposive sampling. Penelitian dilakukan dengan melihat nilai gula darah 2 jam post prandial setelah memberikan makanan porsi diet khusus pasien diabetes melitus tipe II yang dikunyah dengan kecepatan 40 kali kunyahan dalam satu menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 16 dari 20 responden mengalami penurunan nilai gula darah dengan rentan 0-150 mg/dL dibandingkan dengan bulan sebelumnya, dan 4 sisanya mengalami kenaikan nilai gula darah dengan rentan 0-50 mg/dL. Simpulan dari penelitian ini adalah nilai gula darah 2 jam post prandial pada penderita diabetes melitus tipe II di RSUD Kota Bandung dengan kecepatan pengunyahan terkontrol mengalami penurunan pada 16 dari 20 responden.Item Hubungan antara Kecepatan Pengunyahan dengan Indeks Massa Tubuh(2018-07-16) RIO GUNTUR MAHARSI; Nanan Nur aeny; Kartika Indah SariKecepatan pengunyahan termasuk dalam salah satu parameter dari masticatory performance. Masticatory performance merujuk kepada kemampuan suatu individu untuk mencampur dan/atau mengolah bolus makanan. Kecepatan pengunyahan memiliki dampak yang bervariasi terhadap status gizi seseorang. Status gizi dapat ditinjau melalui Indeks Massa Tubuh (IMT). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecepatan pengunyahan dengan IMT. Jenis penelitian yang dilakukan yaitu korelasional dengan pendekatan cross-sectional. Sampel diambil berdasarkan teknik purposive sampling. Sampel pada penelitian ini sebanyak 48 orang (37 perempuan; 11 laki-laki) yang merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran angkatan 2017. Pengukuran kecepatan pengunyahan menggunakan stopwatch. Pengukuran IMT menggunakan alat pengukur tinggi badan dan timbangan digital berat badan. Pembuktian hipotesis penelitian menggunakan rumus uji korelasional rank Spearman dengan level signifikansi p<0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara kecepatan pengunyahan dengan IMT adalah sebesar 0,311 dengan p-value sebesar 0,031. Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang bersifat lemah antara kecepatan pengunyahan dengan IMT. Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kecepatan pengunyahan dengan IMT.Item HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEKUATAN OTOT GENGGAM DENGAN TINGKAT KEBERSIHAN MULUT LANSIA(2020-07-24) FRISKA NUR RIZKI; Kartika Indah Sari; Ira KomaraPendahuluan: Seiring dengan bertambahnya usia, individu akan mengalami proses penuaan yang dapat mengakibatkan penurunan kekuatan otot, termasuk penurunan kekuatan otot genggam. Penurunan kekuatan otot genggam dapat berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari, termasuk perawatan kebersihan mulut. Salah satu hal yang penting dalam menyikat gigi adalah gagang sikat gigi harus digenggam cukup kuat agar dapat menghilangkan plak yang tersisa. Namun, penelitian mengenai hubungan antara tingkat kekuatan otot genggam dengan tingkat kebersihan mulut lansia masih sedikit dilakukan Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik korelasional dengan rancangan penelitian crossectional dengan teknik consecutive sampling. Penelitian dilakukan di Desa Sinartanjung Kota Banjar. Diperoleh subjek sebanyak 42 lansia yang terdiri dari 31 perempuan (73,80%) dan 11 orang laki-laki (26,19%). Data diperoleh dengan melakukan wawancara mengenai data karakteristik subjek, pemeriksaan kekuatan otot genggam dengan alat Electronic Hand Dynamometer Camry EH 101, serta pemeriksaan kebersihan mulut menggunakan indeks plak O’Leary. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata otot genggam lansia (19,80 ± 7,23 kg) dan rata-rata kebersihan rongga mulut dengan indeks plak (0,34 ± 0,16). Hasil penelitian berdasarkan uji statistik Rank Spearmann koefisien korelasi 0,521, p=0,000, p<0,05 Simpulan: Kekuatan otot genggam berkorelasi kuat dan searah dengan tingkat kebersihan mulut, dimana semakin meningkat kekuatan otot genggam maka jumlah plak yang dapat dihilangkan akan semakin tinggi, sehingga didapatkan indeks plak dengan kriteria yang baik.Item Hubungan Kehilangan Gigi Menurut Klasifikasi Indeks Eichner dengan Kemampuan Mastikasi pada Pasien Stroke(2020-07-24) NABIILAH TIYAS BUDIYATI; Kartika Indah Sari; Lisda AmaliaPendahuluan: Stroke dianggap sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan di Indonesia. Dampak stroke terhadap fungsi motorik, salah satunya terjadi penurunan kemampuan mastikasi. Kehilangan gigi pada pasien stroke akan memperburuk kemampuan mastikasi dan memengaruhi kualitas hidup pasien stroke. Namun, penelitian mengenai hubungan kehilangan gigi dengan kemampuan mastikasi pada pasien stroke masih sedikit dilakukan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan kehilangan gigi menurut klasifikasi indeks Eichner dengan kemampuan mastikasi pada pasien stroke. Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik korelasional dengan pendekatan cross-sectional. Subjek diambil dengan teknik purposive sampling. Penelitian dilakukan pada pasien stroke di poli rawat inap Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Data kehilangan gigi diperoleh melalui pemeriksaan intra oral dan kemampuan mastikasi diukur menggunakan kuesioner. Hasil: Penelitian dilakukan pada 29 orang pasien stroke rawat inap, terdiri dari 17 orang laki-laki (58,62%) dan 12 orang perempuan (41,38%). Subjek rata-rata berusia ≥ 60 tahun (58,62%). Pasien stroke dengan kehilangan gigi menurut klasifikasi indeks Eichner A (30,77%), B1 (15,38%), B2 (20,08%), dan B3 (15,38%) mayoritas memiliki kemampuan mastikasi baik, sedangkan pasien stroke dengan klasifikasi indeks Eichner B4 (43,75%) dan C (31,25%) mayoritas memiliki kemampuan mastikasi buruk. Uji Rank Spearman menunjukkan hubungan yang bermakna antara kehilangan gigi menurut klasifikasi indeks Eichner dan kemampuan mastikasi pada pasien stroke (rs -0,44*, p-value 0,008). Simpulan: Terdapat hubungan moderat dan berlawanan arah bahwa semakin banyak kehilangan gigi menurut klasifikasi indeks Eichner, maka kemampuan mastikasi pasien stroke rawat inap semakin buruk dan berlaku juga sebaliknya.Item Laju Aliran Saliva pada Berbagai Zona Dukungan Oklusal Berdasarkan Klasifikasi Eichner Index pada Lansia(2020-07-14) ASKANI MAULIDA; Kartika Indah Sari; Sri TjahajawatiPendahuluan: Saliva memiliki peran penting dalam rongga mulut, salah satunya membantu dalam mastikasi. Air dalam saliva membasahi partikel makanan, sedangkan mucin saliva mengikat makanan yang dikunyah menjadi bolus yang licin agar mudah ditelan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laju aliran saliva pada berbagai zona dukungan oklusal berdasarkan klasifikasi Eichner Index pada lansia. Metode: Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan desain potong lintang (cross-sectional study). Jumlah subjek diperoleh sebanyak 36 lansia di Kelurahan Lebak Gede. Zona dukungan oklusal diklasifikasikan menggunakan klasifikasi Eichner Index. Laju aliran saliva terstimulasi diukur dengan Saxon test. Hasil: Rata-rata laju aliran saliva pada lansia adalah 1,35 ± 0,65 ml/menit. Rata-rata laju aliran saliva berdasarkan Eichner Index A, B1, B2, dan B3 adalah 1,56 ± 0,78 ml/menit, 1,52 ± 0,56 ml/menit, 1,18 ± 0,45 ml/menit, dan 0,95 ± 0,86 ml/menit. Pembahasan: Rata-rata laju aliran saliva menurun pada lansia yang masih memiliki zona dukungan oklusal disebabkan karena lansia mengalami penuaan yang disertai dengan perubahan struktural pada kelenjar saliva, seperti pengurangan volume asinus, hilangnya jaringan sekretori, dan peningkatan adiposa. Rata-rata laju aliran saliva mengalami penurunan seiring berkurangnya zona dukungan oklusal berdasarkan klasifikasi Eichner Index karena pada zona dukungan oklusal yang berkurang terjadi penurunan kekuatan gigitan yang menyebabkan laju aliran saliva menurun. Simpulan: Rata-rata laju aliran saliva terstimulasi cenderung menunjukkan penurunan seiring berkurangnya zona dukungan oklusal dari Eichner Index A, B1, B2 dan B3.Item PERBEDAAN KAPASITAS BUFER SALIVA BERDASARKAN FREKUENSI PENGGUNAAN OBAT INHALASI PADA PENDERITA ASMA BRONKIAL(2019-03-27) PETRA KEZHIA HENDRAJAYA; Rosiliwati Wihardja; Kartika Indah SariPendahuluan: Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas. Penatalaksanaan pada asma yang paling sering diberikan adalah obat inhalasi ꞵ2 agonis sehingga dapat menimbulkan berbagai efek samping bagi rongga mulut. Beberapa studi menyatakan pasien asma dengan penggunaan obat inhalasi mengeluhkan mulut kering yang mengindikasikan penurunan laju aliran saliva sehingga berpengaruh pada penurunan kapasitas bufer saliva. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penurunan kapasitas bufer saliva pada pasien asma bronkial dengan frekuensi pemakaian inhalasi 1 kali, 2 kali dan 3 kali. Metode: Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan dengan teknik convenience sampling pada pasien asma bronkial berusia 15-60 tahun yang menggunakan obat inhalasi di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Bandung. Setiap pasien dikelompokkan berdasarkan frekuensi penggunaan obat inhalasi dan diambil sampel salivanya untuk pemeriksaan kapasitas bufer saliva. Hasil: Terdapat 47 pasien asma bronkial yang menjadi sampel penelitian ini (12 orang dengan frekuensi penggunaan inhalasi satu kali, 27 orang dengan frekuensi dua kali, 8 orang dengan frekuensi tiga kali). Kelompok pertama rata-rata kapasitas bufer salivanya sebesar 8,667 ; kelompok kedua 5,519 ; kelompok ketiga 2,875. Simpulan: Terdapat perbedaan kapasitas bufer saliva pada penderita asma bronkial berdasarkan frekuensi penggunaan obat inhalasi.Item Perbedaan Kecepatan Pengunyahan pada Berbagai Karakeristik Tekstur Makanan pada Lansia(2020-07-14) SHAFIRA ILMIANA HAYAT; Robi Andoyo; Kartika Indah SariABSTRAK Pendahuluan: Seiring dengan bertambahnya usia, maka menurunnya fungsi organ tubuh karena proses degeneratif tidak dapat dihindari, khususnya pada lansia. Pada keadaan lanjut usia biasanya terjadi perubahan kondisi pada rongga mulut seperti kehilangan gigi yang berpengaruh pada fungsi mastikasi. Tekstur makanan diketahui dapat mempengaruhi proses mastikasi dan memiliki pengaruh yang besar dalam jumlah siklus mengunyah yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan supaya dapat ditelan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kecepatan pengunyahan pada berbagai karakteristik tekstur makanan pada lansia. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian komparatif dengan desain penelitian potong lintang. Subjek diambil dengan teknik purposive sampling. Penelitian ini dilakukan pada lansia di Kota Bandung sebanyak 30 orang yang memiliki zona dukungan oklusal kelas A pada Eichner Index. Kecepatan pengunyahan pada tiga sampel makanan dihitung menggunakan rumus massa makanan dibagi dengan waktu pengunyahan. Hasil: Hasil pemeriksaan pada 30 orang lansia (20 perempuan, 10 laki-laki) menunjukkan kecepatan pengunyahan yang lambat pada sampel makanan yang lebih keras dengan rata-rata sampel A (0,1600 ± 0,6038 gr/s), sampel B (0,1597 ± 0,6035 gr/s) dan sampel C (0,1340 ± 0,5952 gr/s). Hasil penelitian melalui uji-T tidak terlihat perbedaan kecepatan pengunyahan yang signifikan antara sampel A, sampel B dan sampel C. Simpulan: Tidak terdapat perbedaan kecepatan pengunyahan pada ketiga sampel makanan.Item Perbedaan Laju Aliran Saliva pada Penderita Asma Bronkial Berdasarkan Frekuensi Penggunaan Obat Inhalasi(2019-03-28) STEPHANIE ADIGUNA SUSANTO; Rosiliwati Wihardja; Kartika Indah SariPendahuluan: Penderita asma bronkial menggunakan obat pengontrol secara rutin untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih serius. Obat yang direkomendasikan merupakan kombinasi kortikosteroid inhalasi dan beta-2 agonist kerja lambat. Penggunaan beta-2 agonist dalam jangka panjang dapat menurunkan laju aliran saliva. Penurunan laju aliran saliva mengakibatkan peningkatan risiko terjadinya masalah kesehatan gigi dan mulut. Metode: Subjek penelitian sebanyak 47 orang penderita asma bronkial pengguna obat inhalasi di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Bandung dengan rentang usia 15-60 tahun. Subjek dikategorikan dalam 3 kelompok berdasarkan frekuensi penggunaan obat inhalasi: 1 kali, 2 kali, dan 3 kali per hari. Kemudian subjek diinstruksikan untuk mengumpulkan saliva tidak terstimulasi untuk mengukur laju aliran saliva. Hasil: Kelompok pengguna obat inhalasi dengan frekuensi 1 kali per hari (n=12) menunjukkan rata-rata laju aliran saliva sebesar 0,392ml/menit. Kelompok pengguna obat inhalasi dengan frekuensi 2 kali per hari (n=27) menunjukkan rata-rata laju aliran saliva sebesar 0,248ml/menit. Kelompok pengguna obat inhalasi dengan frekuensi 3 kali per hari (n=8) menunjukkan rata-rata laju aliran saliva sebesar 0,125ml/menit. Hasil uji statistik menunjukkan p<0,005. Simpulan: Frekuensi penggunaan obat inhalasi memengaruhi laju aliran saliva. Berdasarkan penelitian, terdapat perbedaan laju aliran saliva yang signifikan antara penggunaan obat inhalasi dengan frekuensi 1 kali per hari, 2 kali per hari, dan 3 kali per hari. Semakin tinggi frekuensi penggunaan obat inhalasi, maka laju aliran saliva semakin rendah.Item Perbedaan Laju, Buffer, dan pH Saliva Berdasarkan Lama Penggunaan Obat Inhalasi pada Penderita Asma Bronkial(2020-04-24) NAOMI T.A SINAGA; Kartika Indah Sari; Rosiliwati WihardjaPendahuluan : Asma adalah proses inflamasi kronik saluran pernafasan yang melibatkan banyak sel beserta elemennya dan berpotensi serius menyebabkan respon yang berlebihan dari saluran pernapasan. Pemberian obat inhalasi merupakan pengobatan utama dalam penanganan penyakit asma. Obat inhalasi yang diberikan sesuai dengan dosis dan waktu penggunaan yang didasari oleh tingkat keparahan penyakit asma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan laju, buffer, dan pH saliva berdasarkan lama penggunaan obat inhalasi pada penderita asma bronkial. Metode : Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif-komparatif melibatkan 40 subjek (6 orang laki-laki dan 34 orang perempuan) yang merupakan pasien asma di BBKPM Bandung. Subjek akan diminta untuk mengumpulkan saliva di dalam saliva collection cup dengan metode draining kemudian diperiksa laju aliran, buffer, dan pH saliva dengan menggunakan saliva-check buffer kit. Hasil : Subjek pada kelompok penggunaan obat inhalasi >10 tahun memiliki kategori laju, buffer, dan pH saliva yang rendah dan sangat rendah. Semakin lama penggunaan obat inhalasi, laju, buffer, dan pH saliva akan semakin rendah. Terdapat perbedaan signifikan laju, buffer, dan pH saliva pada penderita asma bronkial berdasarkan lama penggunaan obat inhalasi 1-5 tahun, >5 tahun-10 tahun, dan >10 tahun, dengan nilai p<0,05. Simpulan : Terdapat perbedaan laju, buffer, dan pH saliva berdasarkan lama penggunaan obat inhalasi pada penderita asma bronkial.Item PERBEDAAN PH SALIVA BERDASARKAN FREKUENSI PENGGUNAAN OBAT INHALASI PADA PENDERITA ASMA BRONKIAL(2019-03-25) CINDY FELLICIA; Kartika Indah Sari; Rosiliwati WihardjaPendahuluan: Asma merupakan penyakit inflamasi saluran napas yang bersifat kronis ditandai dengan ditemukannya riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada, dan batuk. Pemberian obat merupakan penatalaksanaan utama untuk penyakit asma. Dosis, durasi, dan frekuensi dari penggunaan obat inhalasi dipengaruhi oleh keparahan penyakit pada masing-masing penderita dan frekuensi serangan asma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pH saliva berdasarkan frekuensi penggunaan obat inhalasi 1 kali, 2 kali, dan 3 kali pada penderita asma bronkial. Metode: Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif-komparatif melibatkan 47 subjek (38 orang perempuan dan 9 orang laki-laki) yang merupakan pasien asma di BBKPM Bandung. Subjek diminta untuk mengumpulkan salivanya ke dalam saliva collection cup dengan metode draining kemudian diperiksa pH saliva dengan menggunakan pH strip. Hasil: Rata-rata pH saliva pada kelompok dengan frekuensi penggunaan obat inhalasi 1 kali adalah 7,400 ± 0,307, pada kelompok dengan frekuensi 2 kali adalah 6,733 ± 0,272, dan pada kelompok dengan frekuensi 3 kali adalah 6,075 ± 0,320. Semakin tinggi frekuensi penggunaan obat inhalasi, pH saliva semakin rendah. Terdapat perbedaan signifikan pH saliva pada penderita asma dengan frekuensi penggunaan obat inhalasi 1 kali, 2 kali, dan 3 kali, dengan nilai (p<0,05). Simpulan: Terdapat perbedaan pH saliva berdasarkan frekuensi penggunaan obat inhalasi pada penderita asma.Item Status Kesehatan Periodontal dan Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal pada Pasien Stroke Rawat Inap Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung(2020-04-24) RANI SUKMAWATI; Lisda Amalia; Kartika Indah SariPendahuluan: Stroke adalah segala bentuk kelainan otak atau susunan saraf pusat yang disebabkan oleh kelainan aliran darah sehingga menyebabkan gangguan fungsi motorik dan fungsi kognitif. Gangguan fungsi motorik dan kognitif tersebut menyebabkan penderita kesulitan dalam melakukan oral hygiene sehingga rentan terhadap masalah kesehatan gigi, seperti penyakit periodontal. Sebagian besar dari mereka membutuhkan bantuan dari keluarga untuk melakukan perawatan diri. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan periodontal dan kebutuhan perawatan periodontal pada pasien stroke rawat inap Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan Study Cross Sectional. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada pasien stroke tingkat ringan sampai sedang sebanyak 30 orang. Pemeriksaan status periodontal dan kebutuhan perawatan periodontal dilakukan dengan menggunakan indeks dari WHO yaitu Community Periodontal Index of Treatment Needs (CPITN). Hasil: Tidak ada pasien yang memiliki status jaringan periodontal yang sehat (skor 0), perdarahan gingiva saat atau setelah probing (skor 1), dan memiliki poket periodontal ≥6 mm. Terdapat 9 pasien (30%) memiliki kalkulus supragingiva atau subgingiva (skor 2) dan 21 pasien (70%) memiliki poket periodontal 4-5 mm (skor 3). Simpulan: Kondisi kesehatan periodontal pada pasien stroke rawat inap Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung sebagian besar memiliki kedalaman poket 4-5mm dan membutuhkan perawatan scaling, root planing, penghilangan faktor retentif plak dan instruksi untuk menjaga kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut.