Ilmu Lingkungan (S2)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Lingkungan (S2) by Author "Budhi Gunawan"
Now showing 1 - 17 of 17
Results Per Page
Sort Options
Item Adaptasi Dan Resiliensi Nelayan Pantai Terhadap Perubahan Lingkungan Pesisir (Studi Kasus: Desa Sungai Samak Kecamatan Badau Kabupaten Belitung)(2018-01-08) SATYA WARDHANA; Budhi Gunawan; IskandarADAPTASI DAN RESILIENSI NELAYAN PANTAI TERHADAP PERUBAHAN LINGKUNGAN PESISIR (Studi Kasus: Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung) ABSTRAK Terjadinya perubahan lingkungan di pesisir akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan nelayan pantai sebagai satu kesatuan Sistem Ekologi Sosial (SES). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi nelayan pantai di Desa Sungai Samak terhadap perubahan lingkungan pesisir; dampak perubahan lingkungan pesisir terhadap kehidupan sosial ekonomi nelayan pantai; adaptasi yang dilakukan nelayan pantai dalam menghadapi perubahan lingkungan pesisir dan bagaimana resiliensi nelayan pantai melalui adaptasi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode campuran sekuensial eksploratoris untuk mengkaji beberapa indikator yaitu kondisi sistem ekologi sosial, adaptasi nelayan pantai, access mechanism, flexibility, capacity to organize dan capacity to learn. Pada tahap kualitatif, data diperoleh dengan melakukan pengamatan, wawancara dan penelusuran dokumen/internet untuk kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis model interaktif. Hasil analisis tahap kualitatif kemudian digunakan sebagai acuan untuk melakukan survei menggunakan kuesioner yang kemudian dianalisis menggunakan teknik statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi para nelayan pantai di Desa Sungai Samak, perubahan sumber daya perikanan (penurunan hasil tangkapan) merupakan perubahan lingkungan pesisir yang paling disadari mereka sebagai akibat terjadinya over eksploitasi sumber daya perikanan. Terjadinya perubahan lingkungan pesisir memberikan dampak terhadap sosial (pola pemanfaatan sumber daya perikanan dari subsisten menjadi tujuan ekonomis) dan ekonomi (penghasilan) nelayan pantai di Desa Sungai Samak. Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan pantai di Desa Sungai Samak terbagi kedalam 3 (tiga) aspek yaitu aspek teknik penangkapan ikan (penggunaan teknologi (motorisasi perahu) dan berpindah/memperjauh lokasi penangkapan ikan), aspek sosial (pembentukan jaringan sosial, mobilisasi peran anggota keluarga dan perubahan status nelayan), dan aspek ekonomi (patron-klien, diversifikasi pekerjaan, diversifikasi alat tangkap, ekstensifikasi alat tangkap dan pengelolaan modal melaut). Melalui adaptasi yang dilakukan, nelayan pantai di Desa Sungai Samak pada dasarnya masih dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari (subsisten) akan tetapi cenderung lemah dan tidak bisa berkembang/meningkat diakibatkan oleh penurunan kondisi sumber daya perikanan dan tingkat pemanfaatan/penggunaan terhadap akses modal yang cenderung tidak maksimal. Kata kunci: Adaptasi, Nelayan Pantai, Perubahan Lingkungan Pesisir, ResiliensiItem ANALISIS PERUBAHAN SISTEM PENGELOLAAN SAWAH DUSUN SINDANG, DESA RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG(2020-03-15) RAHMI AULIA HIDAYAT; Johan Iskandar; Budhi GunawanPetani memiliki pengetahuan ekologi tradisional terkait pengelolaan sawahnya meliputi pengetahuan tentang iklim, jenis-jenis tanah, kesuburan tanah, beragam tumbuhan dan binatang, hama tanaman, dan irigasi. Pengetahuan ini dilandasi oleh adat istiadat, kepercayaan serta kosmos. Seiring berjalannya waktu, kebijakan pemerintah di bidang pertanian seperti Revolusi Hijau diterapkan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menginisiasi perubahan sistem pertanian masyarakat dari pertanian subsisten menjadi pertanian komersil. Belum lagi adanya perubahan iklim yang menuntut masyarakat beradaptasi. Perubahan ini memberi dampak pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial yang menarik untuk dikaji. Studi ini dilakukan di Dusun Sindang, Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang diketahui masih membudidayakan kultivar padi lokal dan masih menerapkan ritual terkait pengelolaan sawah. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengkaji perubahan sistem pengelolaan sawah di Dusun Sindang, dampak introduksi Revolusi Hijau dan perubahan iklim secara ekologi, ekonomi dan sosial, kemudian merumuskan pengelolaan pertanian berkelanjutan di Dusun Sindang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran, kombinasi kualitatif dan kuantitatif, dengan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara semi-struktur, dan wawancara terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan sistem pengelolaan sawah terutama dalam hal pengelolaan lahan, tapi petani masih melakukan ritual terkait pengelolaan sawah. Perubahan pengelolaan sawah memberikan dampak negative dari aspek ekonomi, ekologi serta lingkungan. Strategi pengembangan sitem pengelolaan sawah yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan “Intergated Farming System” dan pertanian organik.Item Arahan Revitaslisasi Derah Resapan Air Sebagai Akibat dari Perkembangan Perkotaan (urban sprawl) di Kecamatan Lembang)(2016-10-18) MUSNAWATI DODE; Erri Noviar Megantara; Budhi GunawanARAHAN REVITALISASI DAERAH RESAPAN AIR SEBAGAI AKIBAT DARI PERKEMBANGAN PERKOTAAN (URBAN SPRAWL) DI KECAMATAN LEMBANG Abstrak Gejala Urban sprawl di Kecamatan Lembang di tunjukan dengan adanya pertambahan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk. Jumlah penduduk Kecamatan Lembang dalam kurun waktu 10 tahun mengalami pertumbuhan yang lambat dengan laju pertumbuhan penduduk 2005-2015 sebesar 1,31 % akan tetapi di perkirakan pada tahun mendatang akan meningkat sejalan dengan perkembangan perkotaan (Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2015). Diindikasikan terjadinya Urban sprawl di Kecamatan Lembang juga di tunjukan dengan adanya alih fungsi lahan yang terjadi yaitu maraknya pembangunan lahan terbangun yang mengakibatkan laju perubahan daerah resapan menjadi lahan terbangun semakin cepat. Hal ini di buktikan dengan luasan lahan non terbangun pada tahun 2002-2013 sebesar 90,873 ha dan berkurang sebesar 11, 838 ha menjadi lahan terbangun dengan tingkat konversi tertinggi di Desa Cikole dan Jayagiri (Putri dan Purwadio, 2013). Penelitian mengenai arahan revitalisasi dearah resapan air karena adanya urban sprawl ini dilakukan seberapa besar pengaruh urban sprawl terhadap berkurangnya fungsi resapan di Kecamatan Lembang. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan melakukan analisis spasial menggunakan sistem informasi geografis (GIS) dengan teknik observasi lapangan dalam konteks ground check. Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui seberapa luas urban sprawl yang terjadi di Kecamatan Lembang, perkembangan urban sprawl terjadi pada: (1) daerah imbuhan (recharge area), (2) daerah kurang potensial, dan (3) daerah lepasan (discharge area), dengan teknik tumpang susun (overlay) sehingga menghasilkan peta zonasi resapan air dan peta kawasan resapan air yang mengalami urban sprawl di Kecamatan Lembang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sudah terjadi urban sprawl di 8 desa yang mengacu pada kriteria dan indikator perkotaan. Desa yang mengalami urban sprawl adalah Desa Gudangkahuripan, Desa Cibodas, Desa Cibogo, Desa Jayagiri, Desa Pagerwangi, Desa Langensari, Desa Lembang dan Desa Kayuambon, dengan Jenis urban sprawl yang terjadi di Kecamatan Lembang adalah Perembetan Meloncat (Leap Frog Development). Urban sprawl di Kecamatan Lembang berdampak pada berkurangnya fungsi resapan air yaitu terjadi perubahan luasan kawasan resapan air di Kecamatan Lembang dengan luas perubahan terbesar terdapat di Desa Kayuambon dengan luasan awal sebesar 596,18 ha berubah menjadi 416,86 ha dengan selisih perubahan sebesar 240,16 ha atau 18,78 %, perubahan terbesar berikut terjadi pada Desa Lembang dengan luasan awal sebesar 196,56 ha berubah menjadi -9,68 ha dengan selisih perubahan 206,24 ha atau 16,13 serta Desa Cibodas dengan luasan awal sebesar 596,18 ha berubah menjadi 416,86 ha dengan selisih perubahan sebesar 179,32 ha atau 14,02. Berikut disusul dengan Desa Cibogo, Desa Jayagiri dan Desa Langensari. Sehingga diperlukan adanya suatu arahan revitalisasi daerah resapan air agar fungsi resapan tetap terjaga. Kata Kunci: Arahan, Revitalisasi, Urban Sprawl, Resapan AirItem Implementasi SDGs Desa Dalam Penanganan Kelangkaan Air Bersih(2023-02-15) IQRA SUGANDI; Budhi Gunawan; Oekan Soekotjo AbdoellahKelangkaan air bukan hanya menjadi isu nasional, tetapi juga menjadi masalah yang dihadapi masyarakat di pedesaan. Menurut laporan Bappenas, ketersediaan air layak konsumsi di sebagian besar wilayah Indonesia diproyeksikan akan menjadi langka atau kritis pada tahun 2045. Bertambahnya populasi, konsumsi air secara berlebihan, sistem pertanian yang tidak efisien, konflik kepentingan ekonomi, kekeringan akibat perubahan iklim serta kerusakan ekosistem menyebabkan ketersediaan air semakin kritis. Oleh sebab itu, pada tahun 2020 Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, mengambil langkah strategis dengan memasukan SDGs kedalam tujuan pembangunan di pedesaan guna mempercepat penanganan berbagai masalah degradasi lingkungan yang terjadi di pedesaan. Tesis ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana implementasi SDGs Desa dalam penanganan kelangkaan air bersih di pedesaan dengan mengambil studi kasus di Desa Lembah Kuamang, Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo yang mengalami masalah serupa yaitu kelangkaan air bersih. Penelitian ini menggunakan metode campuran dimana kualitatif dan kuantitatif dilakukan secara bersamaan untuk mengukur capaian program SDGs Desa serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dari beberapa indikator yang diukur dapat diambil kesimpulan bahwa implementasi SDGs Desa dalam penanganan kelangkaan air bersih di Desa Lembah Kuamang telah tercapai. Namun demikian ada penurunan capaian pada tahun anggaran 2022 yang diakibatkan oleh perubahan peraturan penggunaan dana desa oleh pemerintah pusat. Maka rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini adalah perlunya penyesuaian kembali terkait tata aturan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa, untuk menentukan prioritas pembangunan sesuai kebutuhan masing-masing.Item Implementing The National Energy Policy (KEN) : A Study of Energy Security and Interrelation Among The Actors, Case Study : The Province of Jambi (Indonesia)(2017-10-05) ALFAN ENZARY; Budhi Gunawan; Budhi GunawanManaging natural resources is facing dilemmas in most of energy sources producer countries. The conflict between political interest and socio-economic has been the major problem that caused the dilemmas, option to sell (export) rather than to use for the domestic fulfillment seems to be the most choice that been undertaken by the producer states. Therefore, energy policy is considered the best instrument in energy management. However, effective implementation of the policy becomes the critical point beyond the policy on paper. The Province of Jambi (Indonesia) is taken as a case study, with aims to analyze the implementation process of the National Energy Policy (KEN) in the province. The Contextual Interaction Theory (CIT) is used as the theoretical framework to explain the interaction among the actors based on their characteristics and the contextual factors that influence the implementation process. The primary data of this research were derived from semi-structured interviews and a working group with the key informants of energy authorities: the policy makers and the national utility company. The secondary data supporting the primary data were derived from preliminary study of energy in Jambi Province, policy documents, energy statistical data, and sources from media. The qualitative methods with the case study approach applied to explain condition in Jambi Province by comparing the impact of the policy in the urban and rural areas. This study has found that the electrification ratio was increased significantly (82%) in 2016, proving that the KEN (policy) influenced the electricity services supply in the province. However, the delay of several projects of power generation has been identified as the barrier in the KEN implementation, which has influenced the secure supply of electricity services in the province. These factors have been discovered in the analysis of the internal and external contexts that influence the implementation of the KEN policy. Moreover, recommendations and evaluations of the study have been discussed to confirm the contribution of the research to the existing body of knowledge with suggestions for advanced research.Item Keberlanjutan Sistem Pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat(2018-01-10) YUKI ALANDRA; Johan Iskandar; Budhi GunawanMasyarakat yang tinggal di Nagari Paru, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat merupakan komunitas lokal Minangkabau yang mengelola hutan sesuai dengan kearifan lokal yang diwarisi oleh leluhurnya. Dalam melindungi hutan, mereka menerapkan sistem pengelolaan hutan yang disebut dengan Rimbo Larangan. Namun dalam perkembangannya, praktik pengelolaan Rimbo Larangan tersebut telah mendapatkan gangguan. Oleh karena itu, kajian mengenai keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sejarah Rimbo Larangan dan keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran dengan kualitatif yang lebih dominan dan kuantitatif yang kurang dominan. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui sejarah Rimbo Larangan dan menentukan keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Sementara metode kuantitatif digunakan untuk mengukur keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberlanjutan dari aspek ekologi masih terjamin karena sumberdaya air, keberadaan tumbuhan penting dan hewan yang dilindungi masih terperlihara dengan baik. Keberlanjutan dari aspek ekonomi masih terjamin karena masyarakat memperoleh manfaat ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan ketersediaan sumberdaya hutan yang masih berlimpah. Keberlanjutan dari aspek sosial masih terjamin karena masyarakat telah berpartispasi mengelola Rimbo Larangan dalam hal pengawasan, kelembagaan lokal masyarakat mampu menegakkan hukum adat dan peraturan lain serta askes masyarakat terhadap sumberdaya hutan terjamin dengan penuh keadilan. Sehingga secara keseluruhan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru diprediksikan bisa keberlanjutan untuk masa mendatang karena begitu kuat dan selarasnya peran kelembagaan lokal dengan pemerintahan nagari dalam mengatur hubungan antar masyarakat terhadap praktik pengelolaan Rimbo Larangan. Selain itu masyarakat juga semakin menyadari bahwa dengan menjaga kelestarian Rimbo Larangan merupakan sebuah jaminan bagi kelangsungan usaha pertanian sawahnya.Item Literasi Bencana Berbasis Pengetahuan Lokal Pada Petani Lahan Gambut (Studi Kasus di Kelurahan Baru dan Desa Kumpai Batu Bawah Kecamatan Arut Selatan Kabupaten Kotawaringin Barat)(2023-01-11) DEWI SINTA; Johan Iskandar; Budhi GunawanMasyarakat yang hidup di ekosistem gambut memiliki warisan pengetahuan tradisional dalam pengelolaan lahan tersebut. Namun sejak lahan gambut dibuka besar-besaran untuk mendukung program ketahanan pangan, degradasi lahan gambut dan bencana kebakaran terjadi dan menimbulkan kerugian ekologi, ekonomi serta sosial politik. Kelurahan Baru dan Desa Kumpai Batu Bawah dihuni komunitas lokal dan transmigran, memiliki luasan lahan gambut besar, dikanalisasi dan mengalami bencana kebakaran dengan luasan besar setiap tahun di level kabupaten. Penelitian ini bertujuan memetakan sistem literasi bencana dan menghitung tingkat literasi bencana berbasis pengetahuan lokal pada petani lokal dan petani transmigran lahan gambut di kedua wilayah tersebut, serta menyusun model pengelolaan bencana kebakaran lahan gambut berbasis masyarakat. Metode penelitian ini adalah metode campuran, kombinasi kualitatif dan kuantitatif dengan beberapa teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara semi terstruktur dan kuesioner penelitian. Hasil penelitian terhadap sistem literasi bencana menunjukkan perbedaan pilar pengetahuan lokal kedua komunitas yang tercermin dalam pengelolaan lahan gambutnya, dimana sistem yang dimiliki petani lokal lebih berkelanjutan dan lebih baik dalam pencegahan bencana kebakaran. Sementara pengukuran tingkat literasi bencana berbasis pengetahuan lokal menunjukkan nilai survei petani lokal di Kelurahan Baru 55,15% dan petani transmigran 50,04%, dimana artinya literasi bencana kedua komunitas tersebut berada pada kategori sedang. Berdasarkan sistem dan tingkat literasi tersebut, disusun model pengelolaan bencana kebakaran lahan gambut berbasis masyarakatItem Partisipasi Masyarakat di Kawasan Kumuh Perkotaan Dalam Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Program Kota Tanpa Kumuh di Kota Depok)(2018-01-23) SASONGKO; Opan Suhendi Suwartapradja; Budhi GunawanKetersediaan Ruang Terbuka Hijau minimalnya 30% dari luas wilayah, sedangkan di Kota Depok hanya 15,53% dari total luas wilayah. Program Kota Tanpa Kumuh merupakan program Pemerintah, yang salah satu kegiatannya adalah penyediaan dan penataan Ruang Terbuka Hijau dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimanakah bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat, serta faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perencanaan Ruang Terbuka Hijau. Penelitian ini menggunakan metode campuran berupa data kualitatif dan kuantitatif, yang hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif. Data primer diperoleh dari responden dan informan dengan purposive sampling, sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur. Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan Analisis Jalur. Hasil kajian menunjukkan bahwa umumnya bentuk partisipasi masyarakat hanya berupa ide dan informasi, sedangkan tingkat partisipasi masyarakat masih berada dalam tahap Dissimulasi, dalam artian bahwa walaupun masyarakat memiliki kewenangan untuk memberikan masukan dan informasi di dalam setiap tahapan, namun pengambilan keputusan yang terkait dengan Program Kota Tanpa Kumuh merupakan kewenangan dari penyelenggara kegiatan, yang dalam hal ini Pemerintah Daerah. Seluruh variabel bebas (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jenis pekerjaan), secara signifikan mempengaruhi variabel terikat (partisipasi masyarakat). Terdapat dua variabel bebas yang secara dominan memiliki pengaruh paling besar terhadap variabel terikat, yaitu tingkat pendidikan sebesar 17,69% dan tingkat pendapatan sebesar 11,64%. Hal tersebut dikarenakan bahwa umumnya masyarakat kumuh memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta hanya memiliki pendapatan di bawah UMK Kota Depok. Variabel residu yang merupakan variabel lain yang tidak dikaji, memberikan pengaruh sebesar 45,4% terhadap partisipasi masyarakat dalam perencanaan Ruang Terbuka Hijau.Item Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Konservasi Hutan: Studi Kasus Masyarakat Perdesaan di Indonesia dan Jepang(2016-10-20) SEPTARIS BERNADETTA PARHUSIP; Budhi Gunawan; Tidak ada Data DosenKeterlibatan masyarakat dalam konservasi hutan merupakan poin penting dalam skema konservasi hutan lestari. Perbedaan permasalahan yang dihadapi dan upaya mengatasi masalah dalam konservasi hutan di negara yang berbeda menimbulkan ketertarikan untuk membuat studi perbandingan atas kegiatan partisipasi masyarakat dalam konservasi hutan di dua taman nasional yang berbeda di Jepang dan Indonesia. Penelitian ini dilakukan di Komono, daerah perdesaan yang terletak di zona penyangga Suzuka Quasi National Park, dan Desa Taman Jaya yang terletak di zona penyangga Taman Nasional Ujung Kulon. Pentingnya konservasi hutan bagi masyarakat lokal diamati dengan menilai prinsip konservasi hutan berbasis masyarakat, yaitu tata kelola, nilai-nilai lokal, dan manfaat hutan bagi masyarakat lokal. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang didistribusikan secara acak dan observasi langsung sebagai sumber data primer serta dokumen yang diperoleh dari pemerintah dan NPO sebagai data sekunder. Konservasi berbasis masyarakat di Komono dan Desa Taman Jaya cukup bertentangan. Skor nilai tata kelola dan nilai lokal di Komono cenderung lebih tinggi sementara manfaat hutan yang diperoleh secara langsung oleh masyarakat lokal lebih rendah dibandingkan dengan Desa Taman Jaya. Pengembangan ekowisata dan edukasi lingkungan di kedua lokasi disarankan untuk meningkatkan nilai manfaat, tata kelola dan nilai lokal.Item PEMBINAAN MASYARAKAT PESISIR DALAM PENGELOLAAN BUDIDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN PADA PROGRAM SEA FARMING DI KELURAHAN PULAU PANGGANG(2014) ADLINA KHAIRUNNISA; Budhi Gunawan; IskandarSea Farming merupakan program perikanan berkelanjutan dengan pola pengelolaan berbasis masyarakat dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi peningkatan perekonomian masyarakat. Program Sea Farming diterapkan di Perairan Karang Lebar, Pulau Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Utara, Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini fokus terhadap proses pembinaan masyarakat yang dilihat perkembangannya dari awal kegiatan hingga saat ini. Tujuan dari penelitian ini ialah menggambarkan proses pembinaan masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang pada program Sea Farming dalam kegiatan pengelolaan budidaya dengan sistem KJA yang telah dilakukan kelompok pembudidaya beserta jalannya partisipasi masyarakat dalam kegiatan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dan menggunakan teknik triangulasi data. Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tergabung dalam kelompok Sea Farming. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil observasi dan wawancara mendalam dengan informan. Sedangkan data sekunder didapatkan dari dokumen-dokumen instansi terkait. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan tiga tahapan analisis data yaitu reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembinaan masyarakat sudah melalui tahapan pembinaan sesuai dengan teori pembinaan, yaitu; tahap penyadaran dan pembentukan perilaku, tahap transformasi kemampuan dan tahap peningkatan kemampuan intelektual. Dilihat dari tangga partisipasi Choguill, kelompok Sea Farming telah berada di tahap partnership. Hal yang perlu ditingkatkan dalam proses pembinaan ini ialah meningkatkan modal sosial pada masyarakat.Item PENGELOLAAN AIR LIMBAH BERBASIS PRINSIP WATER GOVERNANCE (Studi Kasus Pengelolaan Air Limbah di Kota Bandung)(2017-10-09) RIZKY ISMAN KUSUMAH; Budhi Gunawan; Budhi GunawanABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perkembangan konsep water governance yang tersebar luas di berbagai Negara. Konsep ini menjadi rujukan bagaimana pengelolaan air yang dianggap baik dan berkelanjutan. Kota Bandung sebagai lokus studi kasus penelitian menghadapi persoalan-persoalan terkait penanganan air limbah atau air buangan, mulai dari aspek pencemaran air sungai oleh limbah-limbah berbahaya sampai pada aspek kesadaran masyarakat dalam pengelolaan air limbah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengelolaan air limbah di Kota Bandung sudah berbasis Water Governancedan mencari model/skema pengelolaan air limbah berbasis prinsip water governance yang sesuai untuk diterapkan di Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. hal ini bertujuan untuk mengeksplorasi mengenai pengelolaan air limbah di Kota Bandung dengan prinsip water governance. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara wawancara dan dokumentasi dengan informan yang ditentukan melalui teknik purposive. Metode analisis dilakukan dengan proses awalan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pengelolaan air limbah ini yang kemudian diteliti dan dievaluasi dengan konsep water governance dengan metodelogi kualitatif yang melibatkan pelbagai pihak, maka berbuah kesimpulan bahwa pemerintah Kota Bandung belum menerapkan konsep water governance ini. Namun berbagai pengembangan tengah dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pengelolaan air limbah ini. Pemutakhiran teknologi, kerjasama dengan negara luar, pelatihan bagi sumber daya manusia, dan tata aturan yang dikelola dengan tegas. Hasil evaluasi memunculkan kapasitas dan kerjasama kelembagaan yang masih kurang baik. Di samping itu pelibatan pertisipatif pihak lain yang belum ada. Sehingga munculah model pengelolaan air limbah berdasarkan prinsip water governance untuk diterapkan di Kota Bandung. Semua hal tersebut guna mencapai keoptimalan pengelolaan air limbah yang optimal. Selain itu, model water governance yang bisa diterapkan di Kota Bandung adalah Model Consultative Governance dengan alasan, dari segi pengambilan keputusan masih terpusat atau berada di tangan pemerintah sepenuhnya. Hal ini karena secara institusi dan kelembagaan pengelola air di Kota Bandung belum sepenuhnya siap. Alasan berikutnya dari segi partisipasi masyarakat yang diharapkan tinggi mengingat warga Kota Bandung merupakan warga yang aktif mendukung maupun mengkritisi program pemerintah. Kata Kunci: Air Limbah, Water Governance, Model ABSTRACT This research is motivated by the development of water governance concept that is widespread in various countries. This concept is a reference to how water management is considered good and sustainable. Bandung as a research case study center faces issues related to the handling of wastewater or waste water, from the aspect of river water pollution by hazardous wastes to public awareness aspect in waste water management. This study aims to determine whether waste water management in Bandung City has been based on Water Governancedan looking for model/wastewater management scheme based on water governance principles that are suitable to be applied in Bandung. This research uses a qualitative approach with case study method. It aims to explore the management of waste water in the city of Bandung with the principle of water governance. Data collection techniques are done by way of interviews and documentation with informants determined through purposive techniques. The method of analysis is done with data reduction prefix, data presentation and conclusion/verification. The results obtained that the wastewater management is then researched and evaluated with the concept of water governance with qualitative methodology involving various parties, it is fruitful conclusion that the government of Bandung has not applied the concept of water governance. However, various developments are being undertaken by the government in managing this wastewater. Technological upgrades, cooperation with outside countries, training for human resources, and strictly managed rules. The results of the evaluation led to poor institutional capacity and cooperation. In addition, the involvement of other parties that do not yet exist. So the emergence of waste water management model based on water governance principles to be applied in the city of Bandung. All of these are to achieve optimum wastewater management. In addition, the model of water governance that can be applied in the city of Bandung is the Model of Consultative Governance on the grounds, in terms of decision-making is still centralized or in the hands of the government completely. This is because institutionally and the institution of water manager in Bandung city not yet fully ready. The next reason in terms of community participation is expected high considering the citizens of Bandung is an active citizen support or criticize government programs. Keywords: Wastewater, Water Governance, ModelItem PENGELOLAAN KAWASAN PASCATAMBANG SECARA KOLABORATIF(2023-02-27) INDI AGUNG PRATAMA; Oekan Soekotjo Abdoellah; Budhi GunawanSektor pertambangan menjadi salah satu sektor yang berkontribusi besar dalam struktur pendapatan negara. Namun, dibalik keuntungan materiil yang diterima, persoalan-persoalan yang ditimbulkan kerap terjadi. Salah satu contoh terjadi pada pertambangan Timah, selain menyisakan lubang-lubang bekas galian, kawasan pascatambang yang telah dilakukan upaya reklamasi oleh perusahaan masih berpotensi untuk digarap kembali oleh masyarakat karena masih dapat ditemukan sisa-sisa endapan timah. Salah satu upaya yang dilakukan pada kegiatan reklamasi yaitu dengan melibatkan berbagai stakeholders melalui pendekatan Collaborative Management. Saat ini, pengelolaan kawasan pascatambang yang telah dilakukan dengan menggunakan pendekatan Collaborative Management berada di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang, Kecamatan Merawang. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur capaian pengelolaan kawasan pascatambang secara kolaboratif yang dilaksanakan di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Metode Penelitian Campuran (Mixed Methods) dengan model concurrent design yang diukur melalui tiga variabel yaitu Ekonomi, Sosial dan Ekologis. Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil capaian pengelolaan kawasan pascatambang secara kolaboratif yang dilakukan di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang masuk ke dalam kategori “berhasil” dengan koefisien keberhasilan sebesar 83,64%. Secara dampak yang dihasilkan telah memberikan perubahan ke arah positif namun masih perlu adanya perbaikan di beberapa sisi agar dapat membawa perubahan yang lebih baik lagi. Selain itu, pada beberapa indikator, dampak masih dirasakan dalam skala program yang berada dalam lingkup kawasan. Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam serta pada level dan skala penelitian yang lebih luas, agar dapat mengukur dampak yang dihasilkan dalam lingkup yang lebih besar.Item PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP SENSITIF GENDER/ GENDER SENSITIVE BASED ENVIRONMENTAL MANAGEMENT (GSBEM) DI PERDESAAN JAWA BARAT : ANALISIS EKOLOGI POLITIK KRITIS(2017-04-17) ALFA BUDHITALIA; Oekan Soekotjo Abdoellah; Budhi GunawanSensitif gender merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan resiliensi alam-budaya melalui suatu mekanisme adaptif masyarakat berupa pembagian peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan lingkungan hidupnya. Upaya ini menjadi pertahanan suatu sistem sosioekologikal dalam menghadapi permasalahan subordinasi dan marjinalisasi yang merupakan fokus permasalahan dari ekologi politik. Digunakannya paradigma kritis dalam penelitian ini, menyebabkan pengkajian aspek politik menjadi lebih komprehensif dalam lingkup gender. Hal tersebut penting untuk dilakukan dalam memahami kenyataan utama gender pada masyarakat yang dikonstruksi secara sosiokultural dalam berbagai skala ruang dan waktu sebagai suatu mekanisme adaptif masyarakat. Dimana dalam konstruksinya tersebut terdapat konsekuensi untuk dapat mengakomodir semua kepentingan masyarakat (perempuan dan laki-laki) dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan hidupnya. Akomodasi kepentingan yang sensitif gender tidak ditekankan pada keadilan gender namun pada kesetaraan gender. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing individu manusia Desa Cikurubuk merupakan pondasi dari konstruksi sosiokultural kenyataan gender pada masyarakatnya. Pengetahuan tersebut merupakan hasil intersectionality antara identitas indegeneity, ability/ disability, kelas/ struktur sosial, umur dan sex/ jenis kelamin yang mempengaruhi pemaknaan gender pada masing-masing individu manusianya. Pengetahuan tentang makna gender inilah yang membuat masing-masing individu manusia mampu menentukan identitas dirinya dalam masyarakatnya sehingga mempengaruhi kekuatan negosiasi antar aktor perempuan dan laki-laki (gender politics) dalam pengelolaan lingkungan hidupnya. Ditemukan pada kasus masyarakat Desa Cikurubuk bahwa pemaknaan gender yang menjadi dasar pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dipengaruhi oleh identitas indegeneity sebesar 45% melalui pembagian tanggung jawab sebagai konsekuensi atas dimilikinya local area belonging; identitas ability/ disability sebesar 32% melalui pembagian kerja (peran dan fungsi) sebagai konsekuensi atas dimilikinya kekuatan fisik, wawasan dan skill/ keterampilan; identitas kelas/ struktur sosial sebesar 12% melalui pembagian kontrol sebagai konsekuensi atas dimilikinya properti/ hak kepemilikan sumber daya alam; dan identitas umur sebesar 11% melalui pembagian luasnya akses, intensitas aktivitas dan alokasi waktu sebagai konsekuensi atas siklus produktivitas hidupnya.Item Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat di Pantai Amping Parak Kabupaten Pesisir Selatan(2019-03-05) REPI ERITA; Budhi Gunawan; Budhi GunawanPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS MASYARAKAT DI PANTAI AMPING PARAK KABUPATEN PESISIR SELATAN ABSTRAK Upaya masyarakat mengelola pantai Amping Parak yang semula merupakan pantai yang gersang dan tidak produktif, dalam waktu 5 (lima) tahun telah mengubah pantai tersebut menjadi pantai yang rimbun dan asri. Perubahan lingkungan pesisir yang sangat signifikan ini merupakan suatu bentuk keberhasilan masyarakat dalam melakukan pengelolaan pantai tersebut. Oleh karena itu, kajian tentang keberhasilan dan keberlanjutan pengelolaan Pantai Amping Parak ini menjadi perlu untuk dilakukan agar dapat dicontoh daerah pesisir di wilayah lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor pendorong keberhasilan pengelolaan pantai Amping Parak dalam waktu singkat oleh masyarakat dan mengetahui keberlanjutan pengelolaan kedepannya ditinjau dari aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Desain penelitian ini menggunakan metode kombinasi (mixed method) kualitatif dan kuantitatif. Metode tersebut digunakan untuk menjelaskan proses pengelolaan, faktor-faktor pendorong keberhasilan pengelolaan, tingkat partisipasi masyarakat dan keberlanjutan pengelolaan Kawasan Pantai Amping Parak dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan informan, observasi, pengumpulan data sekunder, dan kuesioner kepada masyarakat Kampung Pasar Amping Parak sebanyak 85 KK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengelolaan Pantai Amping Parak yang dilakukan masyarakat setempat dengan kelompok LPPL sebagai ujung tombaknya dapat dikatakan berhasil dengan fakta-fakta keberhasilan adalah pantai yang semula gersang dan tidak produktif menjadi rimbun dengan ditumbuhi oleh cemara laut (Casuarina equisetifolia) dan mangrove jenis Rhizopora, spp yang subur, produktif, dan masyarakat sekitar merasakan manfaatnya serta adanya konservasi penyu. Adapun faktor–faktor pendorong keberhasilannya adalah tingginya partisipasi masyarakat dan adanya dukungan pemerintah. Sementara keberlanjutan pengelolaan dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi dapat diketahui bahwa secara umum pengelolaan pantai Amping Parak berkelanjutan. Kata Kunci: Pengelolaan pesisir berbasis masyarakat; pantai Amping Parak; kelompok LPPL; keberhasilan pengelolaan; keberlanjutan pengelolaanItem Pengetahuan Lokal Pengelolaan Pohon Sialang Pada Orang Rimba dan Pengelolaan Taman Nasional Bukit 12, Provinsi Jambi(2019-03-01) JIMMY PARDOMUAN M; Johan Iskandar; Budhi GunawanPengelolaan kawasan konservasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat yang ada di dalam maupun di sekitar kawasan konservasi. Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) di Provinsi Jambi adalah salah satu kawasan konservasi di Indonesia yang penunjukannya memiliki tujuan khusus untuk melindungi ruang hidup dan penghidupan masyarakat lokal, Orang Rimba. Salah satu sumber daya hutan yang telah lama dimanfaatkan oleh Orang Rimba di kawasan hutan TNBD adalah madu hutan yang dihasilkan oleh lebah madu hutan (Apis dorsata F.) yang membuat sarangnya pada pohon Sialang. Orang Rimba memiliki pengetahuan lokal dalam pengelolaan pohon Sialang dan menerapkan aturan adat yang ketat untuk melindungi keberadaan pohon Sialang sebagai tempat lebah madu bersarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengetahuan lokal Orang Rimba di TNBD dalam pengelolaan sumber daya pohon Sialang dan lebah madu hutan, serta implikasinya terhadap konservasi dan pengelolaan kawasan TNBD. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan beberapa teknik pengumpulan data lapangan yang diterapkan dalam penelitian yaitu observasi, observasi partisipatif dan wawancara semi terstruktur atau deep interview dengan para informan serta didukung studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan lokal Orang Rimba dalam pengelolaan sumber daya pohon Sialang dan lebah madu hutan mendukung konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati di TNBD. Implikasi pengelolaan sumber daya pohon Sialang oleh Orang Rimba terhadap konservasi dan pengelolaan kawasan TNBD antara lain: 1) adanya pengaturan ruang adat Selayang daun Sialang; 2) adanya aturan denda adat terhadap jenis-jenis pohon Sialang; 3) proses survey keberadaan sarang siap panen yang merupakan bentuk monitoring sumber daya alam secara tradisional; 4) Jumlah sarang minimal yang dapat dipanen sehingga menjamin keberlanjutan regenerasi koloni lebah; 5) pengambilan madu Sialang yang dilakukan pada malam hari pada saat suasana gelap yang memberikan kondisi tenang pada lebah dan meminimalisir gangguan pada lebah sehingga mengurangi jumlah lebah yang mati setelah menyengat; dan 6) pengambilan sarang lebah yang hanya berisi madu dan meninggalkan sarang yang berisi anakan agar tidak mengganggu proses regenerasi lebah. Selain pengetahuan lokal pengelolaan pohon Sialang, Orang Rimba juga memiliki pengetahuan dalam penatagunaan hutan dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya sebagai wujud dari kedekatan mereka dengan hutan. Hal ini terlihat dari pengetahuan mereka terhadap pengaturan pengelolaan ruang adat yang dapat diintegrasikan ke dalam konteks pengelolaan kawasan dengan sistem zonasi.Item SISTEM PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERTAMBANGAN BAUKSIT PT. WELL HARVEST WINNING ALUMINA REFINERY DI KECAMATAN KENDAWANGAN KABUPATEN KETAPANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT(2016-10-20) DEDI ARYADI; Budhi Gunawan; Martha Fani CahyanditoABSTRAK Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan dokumen perencanaan dan pencegahan sehingga bagi kegiatan yang dinilai mempunyai dampak penting terhadap lingkungan, wajib melakukan kajian lingkungan secara cermat dan mendalam termasuk rencana pengelolaan dan pemantauan. Hal ini merupakan salah satu usaha perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam rangka pencegahan kerusakan lingkungan. Di Kabupaten Ketapang terdapat lebih dari 30 pelaku usaha dan/atau kegiatan yang telah membuat AMDAL pertambangan, 12 diantaranya adalah usaha pertambangan. PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery merupakan perusahaan besar di Kabupaten Ketapang dengan luas konsesi 1.520 ha dengan kapasitas produksi satu juta ton/tahun dan telah memiliki dokumen lingkungan (AMDAL) dan Izin Lingkungan. Selama ini PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery, dalam operasionalnya, telah melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (RKL-RPL) di wilayah pertambangannya, tetapi di sisi lain jumlah pengaduan masyarakat akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup oleh aktivitas PT. WHWAR tetap terjadi sehingga banyak dipertanyakan pelaksanaan (RKL-RPL) nya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sistem pengelolaan lingkungan (SPL) dan mengevaluasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan RKL-RPL pertambangan bauksit PT. WHWAR. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif-kuantitatif (mix method) dengan model strategi triangulasi konkuren. Data penelitian diperoleh melalui cara observasi, wawancara, angket dan telaah pustaka. Data kualitatif dianalisis secara naratif deskriptif dan data kuantitatif dengan skoring dan proporsi. Sedangkan faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelaksanaan RKL-RPL dijelaskan secara naratif deskriptif mengacu pada causal explanation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan RKL-RPL PT. WHWAR dikatakan berhasil dan baik sesuai dengan masing-masing aspek ketaatan 92,5%, kelembagaan 83,33%, pengawasan 85,71% dan penanganan pengaduan masyarakat 66,67%. Adapun faktor yang mempengaruhi kinerja pelaksanaan RKL-RPL PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery adalah komunikasi dan koordinasi, sumber daya (staf, skill, informasi, wewenang dan fasilitas), regulasi dan kebijakan pemerintah, pendanaan, penegakkan dan kepastian hukum (insentif/disinsentif), dan struktur birokrasi kelembagaan.Item Sistem Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Teripang Berbasis Masyarakat Di Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat(2022-10-07) GULAM ARAFAT; Iskandar; Budhi GunawanPengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis masyarakat, di berbagai tempat di dunia, dalam skala tertentu dan di tengah keterbatasan negara, telah banyak disebutkan sebagai satu bentuk pengelolaan yang mampu menjamin keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan yang dikelola. Sejalan dengan gagasan tersebut, penelitian ini menguraikan hasil kajian tentang salah satu sistem pengelolaan berbasis masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (teripang) pada salah satu komunitas warga yang berada di kawasan pesisir utara Papua yang disebut dengan Egek. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan sistem egek yang dipraktikkan secara kolektif oleh warga masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Selain itu, studi ini juga megumpulkan data status pengelolaan perikanan teripang dengan pendekatan ekosistem atau EAFM yang terdiri dari indikator-indikator yang melingkupi 6 domain yaitu (1) sumberdaya teripang, (2) habitat dan ekosistem, (3) teknik penangkapan ikan, (4) ekonomi, (5) sosial, dan (6) kelembagaan. Pendekatan ekosistem ini untuk mengetahui kondisi sumberdaya teripang yang dikelola oleh masyarakat. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sistem pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di Kampung Malaumkarta telah memenuhi unsur pengelolaan yang baik dimana telah terdapat batasan wilayah pengelolaan, sistem aturan dan sanksi, hak pemanfaatan, sistem monitoring dan otoritas kelembagaan. Hal ini tentu berdampak positif terhadap kelestarian sumberdaya perikanan (teripang) yang merupakan salah satu objek biota egek. Berdasarkan penilaian indikator-indikator EAFM, nilai indikator domain berada pada kisaran nilai 157,5 – 300, dengan nilai agregat keseluruhan adalah 233,75. Hal ini merupakan indikasi status pengelolaan sumberdaya perikanan teripang di Kampung Malaumkarta berada dalam kategori “Baik“ yang artinya kondisi sumberdaya perikanan yang dikelola masyarakat masih baik dan layak sehingga dapat terus dimanfaatkan oleh masyarakat secara berkelanjutan