Ilmu Bedah Anak (Sp.)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Bedah Anak (Sp.) by Issue Date
Now showing 1 - 4 of 4
Results Per Page
Sort Options
Item Hubungan Rasio Sakrum Terhadap Fungsi Kontinensia Feses Berdasarkan Skor Krickenbeck Pada Penderita Malformasi Anorektal Pasca-Anorektoplasti(2024-01-10) MEYZA GINA FARIKA; Emiliana Lia; Vita IndriasariPendahuluan: Rasio sakrum diketahui menjadi prediktor inkontinensia feses pada anak dengan malformasi anorektal (MAR). Inkontinensia feses adalah ketidakmampuan penderita MAR untuk mengontrol buang air besar. Namun penelitian mengenai korelasinya pada penderita MAR di Asia, khususnya di Indonesia, masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara keduanya pada penderita MAR di RSUP Hasan Sadikin. Metode: Ini adalah studi kohort observasional terhadap pasien MAR yang dirawat di rumah sakit rujukan tersier. Rasio sakrum diperoleh dengan membandingkan panjang sakrum dengan parameter tulang pada rontgen pelvis. Setelah anorektoplasti, inkontinensia feses dinilai menggunakan skor Krickenbeck, dan korelasinya dengan rasio sakrum dianalisis dengan uji Spearman (p<0,05=signifikan) Hasil: Sebanyak 63 pasien pada penelitian ini, 65,1% adalah laki-laki, dengan usia rata-rata 3,18 ± 1,444 tahun. Fistula rektouretra adalah jenis MAR yang paling umum (42,9%). Rata-rata rasio sakrum adalah 0,46±0,216, dan rata-rata skor Krickenbeck adalah 5,84±1,081 (p=0,580). Kesimpulan: Dalam penelitian kami, rasio sakrum tidak berkorelasi dengan inkontinensia feses pada anak dengan MAR. Kata kunci: Malformasi Anorektal, anorektoplasti, rasio sakrum, inkontinensia feses, skor KrickenbeckItem Perbandingan Anal Resting Pressure Dengan Luaran Pasca Pull-through Berdasarkan Skor Krickenbeck pada Penderita Hirschsprung di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung(2024-01-10) SITI FATIMAH; Rizki Diposarosa; Emiliana LiaLatar Belakang: Penyakit Hirschsprung merupakan suatu kelainan kongenital yang dikarakteristikkan tidak adanya sel ganglion segmen usus distal dan menjadi penyebab obstruksi fungsional paling sering pada kelompok usia anak-anak. Pull-through merupakan tindakan definitif untuk terapi Penyakit Hirschsprung dengan membuang segmen aganglionik usus dengan tujuan pasien dapat defekasi spontan. Beberapa pasien berlanjut mengalami gejala obstruktif dan / atau inkontinensia setelah pull-through. Evaluasi fungsi anorektal dapat dilakukan dengan pengukuran resting pressure di anus dan rektum distal menggunakan anorektal manometri. Luaran postoperatif pasca pull-through dinilai menggunakan skoring Krickenbeck. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi nilai anal resting pressure dan perbandingannya dengan luaran pasca pull-through berdasarkan skor Krickenbeck pada penderita Hirschsprung. Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan potong lintang pada 24 penderita Hirschsprung yang telah dilakukan pull-through dari tahun 2018 hingga 2022. Seluruh pasien dilakukan pemeriksaan anorektal manometri selanjutnya dilakukan pendataan tentang hasil pascabedah berdasarkan kuisioner Krickenbeck. Hasil: Rata-rata usia pasien saat dilakukan pull-through adalah 56 bulan (rentang 9-169 bulan). Anorektal manometri dilakukan pada 16 pasien laki-laki dan 8 pasien perempuan dengan lama waktu dari operasi ke penelitian rata-rata 20,5 bulan (rentang 3-54 bulan). Luaran pasca pull-through berdasarkan skor Krickenbeck didapatkan 3 pasien dengan buang air besar volunter (12,5%), 18 pasien dengan soiling (75%) dan 3 pasien dengan konstipasi (12,5%). Nilai rata-rata anal resting pressure pada pasien dengan buang air besar volunter adalah 47 mmHg dibandingkan 26,65 mmHg pada pasien soiling dan 72 mmHg pada pasien konstipasi, berdasarkan hasil anorektal manometri. Tidak ada perbedaan signifikan antara nilai anal resting pressure dan luaran pasca pull-through (p = 0,602). Kesimpulan: Nilai anal resting pressure tidak memiliki perbedaan secara signifikan terhadap luaran pasca pull-through berdasarkan skor Krickenbeck. Sebagian besar pasien dengan kontinensia yang buruk memiliki nilai anal resting pressure rendah.Item PERBANDINGAN REAKSI LOKAL KULIT, HITUNG KOLONI BAKTERI, DAN INFEKSI DAERAH OPERASI ANTARA PREPARASI PREOPERASI MENGGUNAKAN OCTENIDINE DIHYDROCHLORIDE DENGAN CHLORHEXIDINE PADA PREPUTIUM ANAK HIPOSPADI(2024-01-10) YODYA EVILA; Vita Indriasari; Tidak ada Data DosenPendahuluan : Hipospadia adalah suatu kelainan kongenital pada genitalia eksterna laki-laki yang membutuhkan rekonstruksi. Walaupun berbagai teknik operasi telah dikembangkan, komplikasi pascaoperasi seperti infeksi daerah operasi dan fistula uretrokutan masih tinggi. Jumlah koloni bakteri pada area operasi, metode preparasi dan pembersihan daerah operasi merupakan faktor-faktor yg mempengaruhi komplikasi pascaoperasi tersebut. Sampai saat ini belum ada metode preparasi dan agen antiseptik terstandar untuk penderita hipospadia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa perbandingan reaksi kulit lokal, hitung koloni bakteri dan infeksi daerah operasi antara preparasi preoperasi menggunakan octenidine dihydrochloride dengan chlorhexidine pada preputium anak hipospadia. Metode: Penelitian ini merupakan studi uji acak terkendali pada 34 pasien hipospadia. subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang dilakukan aplikasi chlorhexidine dan kelompok yang dilakukan aplikasi octenidine dihydrochloride. Apus preputium pertama diambil pada saat pasien masuk ruangan sebelum operasi, apus kedua diambil pada intraoperasi setelah aplikasi antiseptik, apus ketiga diambil pascaoperasi hari ketiga untuk dilakukan hitung koloni bakteri, dilihat pula kejadian reaksi kulit lokal setelah aplikasi antiseptik dan komplikasi infeksi daerah operasi yang dinilai pascaoperasi dan fistula uretrokutan pada pascaoperasi hari ke-7. Hasil: Kejadian reaksi kulit lokal secara signifikan lebih sering terjadi pada pemakaian chlorhexidine (p=0,013; RR= 3,33). Kejadian infeksi daerah operasi dan fistula uretrokutan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok (p>0,05 ; p=1,00). Jumlah koloni kuman pada apus preputium yang dilakukan intraoperasi menurun secara signifikan pada kedua kelompok penelitian (p=0,049), namun lebih siginifikan pada kelompok chlorhexidine (p=0,08) Jumlah koloni kuman pada apus preputium pascaoperasi mengalami peningkatan pada kedua kelompok namun tidak signifikan (p=0,658). Kesimpulan: Hitung koloni kuman menurun secara signifikan pada apus preputium intraoperasi setelah aplikasi octenidine dihydrochloride maupun chlorhexidine dibandingkan hitung koloni kulit preoperasi, dengan kejadian infeksi yang tidak berbeda secara signifikan, namun reaksi lokal secara signifikan lebih rendah pada aplikasi octenidine dihydrochloride.Item PERBANDINGAN LUARAN PASCAOPERASI ANTARA SWENSON-LIKE DAN ENDORECTAL TRANSANAL PULLTHROUGH PADA ANAK DENGAN PENYAKIT HIRSCHSPRUNG(2024-01-11) SILMINA KUSMAHEIDI; Emiliana Lia; Vita IndriasariPendahuluan : Teknik operasi terbaik untuk penyakit Hirschsprung pada anak masih diperdebatkan. Pendekatan transanal untuk pullthrough seperti Swenson-like (SWL) dan endorectal pullthrough (TEPT) sering digunakan akhir-akhir ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan luaran antara teknik transanal SWL dan TEPT. Metode : Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan rancangan kohort. Follow-up pascaoperasi dilakukan pada pasien yang menjalani teknik SWL di institusi kami, selama bulan Maret-September 2023. Sebagai perbandingan, pasien yang menjalani TEPT diambil dari rekam medis. Karakteristik perioperatif dan luaran pascaoperasi dianalisis. Analisis uji-T dan Chi-square dilakukan. Hasil : Terdapat 87 pasien (SWL 41, TEPT 46) yang dilibatkan dalam penelitian ini. Usia dan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Waktu full oral feeding kelompok SWL 1.93±1.212 hari dan TEPT 2.43±1.205 hari. Kami mencatat perbedaan yang signifikan dalam waktu feeding pertama dan full oral feeding antara 2 kelompok tersebut (P<0,05). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam lama rawat di rumah sakit pascaoperasi dan komplikasi pascaoperasi (P<0,05). Kesimpulan : Waktu feeding pertama dan full oral feeding pada metode transanal Swenson-like lebih singkat dibandingkan teknik endorektal. Namun waktu lama rawat di rumah sakit pascaoperasi dan komplikasi dari kedua teknik tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.