Anestesiologi dan Terapi Intensif (Sp.)

Permanent URI for this collection

Browse

Recent Submissions

Now showing 1 - 20 of 32
  • Item
    Perbandingan Efek Pemberian Deksmedetomidin 0,5 g/kgBB Intravena dengan Fentanil 2 g/kgBB Intravena Terhadap Respons Perubahan Tekanan Darah dan Laju Nadi Selama Tindakan Laringoskopi dan Intubasi
    (2024-01-11) TIA ASTRIANA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    ABSTRAK Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat menyebabkan hipertensi dan takikardia yang berbahaya bagi penderita dengan faktor risiko kelainan serebrovaskular, kardiovaskular, dan tirotoksikosis. Salah satu cara mencegah hal tersebut yaitu dengan penggunaan obat-obatan untuk mencegah lonjakan hemodinamik intubasi endotrakeal antara lain agen anestesi lokal, opioid intravena, agonis α2-adrenergik, vasodilator, magnesium, calcium channel blocker, β-adrenergic blocker. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efektifitas dosis bolus deksmedetomidin dan fentanil dalam melemahkan hemodinamik respons stres setelah laringoskopi dan intubasi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan double blind randomized controlled trial yang dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung (RSHS) sejak tanggal 1 April 2023 hingga 31 Mei 2023. Penelitian ini melibatkan empat puluh dua pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok D menerima 0,5 µg/kgBB deksmedetomidin dan kelompok F menerima fentanil 2 µg/kgBB sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Pengamatan dilakukan pada tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, mean arterial pressure dan laju nadi sesaat setelah tindakan intubasi dilanjutkan tiap menit hingga 5 menit setelah tindakan intubasi. Pada penelitian ini digunakan uji statistik untuk membandingkan rerata variabel numerik antara 2 kelompok serta uji t tidak berpasangan. Analisis statistik untuk data kategorik diuji dengan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukan bahwa perubahan tekanan darah sistolik, diastolik, MAP dan laju nadi antara kelompol deksmedetomidin dan kelompok fentanil tidak terdapat perbedaan bermakna (p<0,05). Simpulan penelitian ini bahwa pemberian deksmedetomdin menghasilkan respons perubahan tekanan darah dan laju nadi yang sebanding dengan pemberian fentanil. Kata kunci : Deksmedetomidin, fentanil, intubasi, laringoskopi, respons hemodinamik
  • Item
    PERBANDINGAN PENGGUNAAN NASAL KANUL DENGAN HFNC (HIGH FLOW NASAL CANNULA) TERHADAP KEJADIAN DESATURASI DAN KEBUTUHAN MANUVER JALAN NAPAS PADA PASIEN YANG MENJALANI UPPER GASTROINTESTINAL ENDOSCOPY
    (2024-01-10) ANGGA MUNAWAR; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan suatu prosedur minimal invasive dengan menggunakan endoskop untuk melihat keadaan dalam saluran cerna. Prosedur endoskopi memerlukan tindakan anestesi berupa sedasi dengan menggunakan obat-obatan sedative. Pemantauan ventilasi dan saturasi oksigen serta kedalaman sedasi sangat di perlukan karena adanya risiko hipoksia dan desaturasi selama berlangsungnya prosedur endoskopi. Sehingga suplementasi oksigen tambahan harus diberikan sebagai upaya pencegahan hipoksia. Pemberian oksigen menggunakan nasal kanul saat ini menjadi standar suplementasi oksigen untuk sebagian besar pasien yang menjalani sedasi pada prosedur endoskopi saluran cerna. Penelitian ini bertujuan untuk melihat penggunaan nasal kanul dan HFNC (High Flow Nasal Cannula) terhadap kejadian desaturasi dan kebutuhan manuver jalan napas pada pasien yang menjalani Upper Gastrointestinal Endoscopy. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental menggunakan desain single blind randomized controlled trial. Sampel penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok A dilakukan pemberian oksigen dengan nasal kanul dan kelompok B oksigen dengan HFNC. Hasil penelitian ini menunjukan pada kelompok A yang diberikan nasal canul terdapat 7 pasien (30%) yang mengalami desaturasi. Pada kelompok B yang diberikan HFNC tidak ada yang mengalami desaturasi. Sebanyak 100% pasien yang mendapatkan manuver jalan napas adalah pasien yang menggunakan nasal kanul, sedangkan sebanyak 100% pasien yang tidak mendapatkan manuver jalan napas merupakan pasien yang menggunakan HFNC. Kesimpulan dibandingkan dengan penggunaan Nasal Kanul, HFNC memberikan suplementasi yang lebih baik tanpa mengganggu prosedur pada pasien yang menjalani endoskopi. Penggunaan HFNC juga mengurangi kebutuhan manuver jalan nafas selama prosedur endoskopi saluran cerna bagian atas.
  • Item
    Prevalence of surgery cancelation and challenges in restarting elective surgery in the pandemic: A cross-sectional study
    (2024-01-10) R. AHMAD ANZARI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Objectives: The COVID-19 pandemic caused primary disruption of health services, especially to elective surgery. As the pandemic goes in waves of high and low infection rates in a country, restarting elective surgery must be dynamic while balancing patients’ needs, staff safety and the hospital capacity. We aim to report the prevalence of elective surgery and minimally invasive procedures cancelation due to positive Covid-19 screening and describe steps in restarting elective cases after the third wave of Covid-19 infection. Methods: This study was a descriptive cross-sectional study in Indonesia’s tertiary referral and teaching hospital from January to September 2021. Subjects were patients scheduled for elective surgery or minimally invasive procedures from our outpatient clinic. Subjects were screened for SARS-CoV-2 using real-time polymerase chain reaction (rRT-PCR) 24-48 hours before scheduled surgery or intervention. Data was taken from the hospital information system and the central operating theatre online surgical list. Statistical analysis is presented in percentage. Results: There were 5286 subjects identified for the study, and 3088 were included with an available PCR result from the outpatient department. The average elective cancelation rate was 7.4%, and the highest cancelation was on August 2021, with 14.7%. All subjects with positive results were asymptomatic, with more than 90% cycle time rRT-PCR above 30. Conclusion: Elective surgery cancelation can reflect a trend in community infection, and monitoring its values is crucial for saving elective surgery plans during a pandemic.
  • Item
    Comparison Of Iintravenous Administration Of Remfentanil With Fentayl For Increased Blood Sugar Levels In Post Cardiac Surgery Patients
    (2024-01-08) IRVAN TANPOMAS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    The incidence of hyperglycemia in patients with heart disease undergoing cardiac surgery reaches 50% in patients without a history of Diabetes Mellitus. This condition of hyperglycemia can increase morbidity and mortality. This study aims to assess the effect of using the agent remifentanil intravenously 0.5-1 µg/kgBW bolus followed by maintenance at a dose of 0.05-0.1 µg/kgBW/minute intravenously compared to the use of fentanyl 3-10 µg/kgBW followed by a maintenance dose of 0.03-0.1 µg/kgBW/minute for increased blood sugar levels in patients undergoing cardiac surgery with the Cardiopulmonary Bypass (CPB) procedure. This study is an experimental study with a single blind randomized controlled design. Patients will be divided into 2 groups consisting of 12 patients each, namely group R (remifentanil) who received remifentanil and group F (fentanyl) who received fentanl. Blood sugar levels will be checked before and after surgery. The research has been conducted at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung from February 2023 to May 2023. The average increase in blood sugar levels in the remifentanil group was 74 mg/dl, while in the fentanyl group it was 90 mg/dl. The p-value given is 0.214. Statistical test results showed that the value of p> 0.05. The conclusion of this study is that there is no significant difference in the increase in blood sugar levels between the two groups (remifentanil and fentanyl). This can be caused by the use of opioid doses in the lower range and more complex surgical procedures in our research.
  • Item
    Faktor Risiko Mortalitas Pasien Ventilator Associated Pneumonia (VAP) di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2021-2022
    (2024-01-09) MUHAMMAD MIZAN AL-HAQ; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Mortalitas pasien Ventilator-associated pneumonia (VAP) di ICU dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, diantaranya komorbid, NLR, skor SOFA, malnutrisi, dan patogen MDR. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran faktor risiko mortalitas pasien VAP di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian deskriptif observasional ini dilakukan secara retrospektif di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Tahun 2021-2022. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 64 orang pasien yang mengalami VAP dengan 15 orang pasien (23,4%) mengalami perbaikan kondisi, dan 49 orang pasien (76,6%) meninggal. Karakteristik pasien VAP yang meninggal mayoritas laki-laki (63,3%), median usia adalah 61 tahun, Median BMI 22,2, dengan LOS RS 13 hari, LOS ICU 10 hari, dan LOS ventilator 8 hari. Mayoritas memiliki nilai SOFA antara 10-12 (46,9%), PF rasio adalah 195,1±77,5, nilai albumin 2,11±0,64. Komorbiditas paling banyak adalah hipertensi (40,8%), bukan pasien pascaoperasi (55,1%), dengan nilai NLR tinggi (69,4%). Jenis kuman yang paling banyak ditemukan adalah Acinetobacter baumannii (18,4%) dan sebagian besar pasien mengalami MDR (53,3%), dengan diagnosis terbanyak yang mendasari pasien masuk ICU adalah gangguan sistem respirasi (40,8%). Analisa bivariat menunjukkan LOS RS, ICU, ventilator, PF rasio, komorbid, NLR, SOFA skor, status nutrisi, dan patogen MDR berhubungan dengan mortalitas VAP dengan p value <0,05. Simpulan penelitian ini adalah didapatkan faktor risiko mortalitas pasien VAP di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2021-2022 yaitu faktor komorbid, NLR, SOFA skor, status nutrisi, dan patogen MDR. Identifikasi faktor risiko penting untuk pencegahan dan tatalaksana VAP di ICU sehingga dapat mengurangi angka mortalitas
  • Item
    Foot Surgery in A Patient with Concurrent Hemorrhagic Stroke Under Femorosciatic Nerve Block
    (2024-01-09) DIONISIUS ALBY; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Background : The Stroke due to intracerebral hemorrhage (ICH) is associated with high morbidity and mortality. Concurrent traumas such as crushing injury to extremities or chest and abdominal trauma may demand surgical intervention. The anesthetic management of extracranial surgery becomes challenging in the context of a concurrent intracranial lesion. Peripheral nerve block for foot surgery in those patients offers some advantages but is scarcely reported. Case Illustration : A 63-year-old man presented with an open wound on his left foot due to a grinding wheel injury 1 day before admission. The complaint was accompanied by weakness of the right limbs and inability to speak. He had an ischemic stroke 1 year ago. Motor assessment revealed right hemiparesis. Computed Tomography (CT) scan of the head showed an ICH in the left lentiform nucleus area, old infarcts in the right lentiform nucleus region, and multiple infarcts in the subcortical regions of the bilateral parietal lobes. He was diagnosed with an open fracture of the left proximal phalanx of the middle finger, a closed fracture of the left 4th metatarsal, 1st–4th digitorum tendon rupture of the left foot, and recurrent stroke on the contralateral side due to intracerebral hemorrhage of the left carotid system. The patient was classified as ASA III. He underwent tendon repair, open reduction internal fixation (ORIF) with K wire, and debridement. Anesthesia was done with femorosciatic block using bupivacaine 0.4%. The patient’s motor function was restored eight hours after the procedure without complications. Conclusion : Peripheral nerve block is a safe and effective anesthetic approach for patients undergoing foot surgery with concurrent hemorrhagic stroke. Keywords: Stroke, Intracerebral hemorrhage (ICH), Peripheral nerve block (PNB), Femorosciatic block
  • Item
    Anesthesia Management of Patients with Redo Craniotomy:Cases of Supratentorial Recidive Tumors
    (2024-01-08) NI GUSTI AYU PITRIA SEPTIANI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Background: Compared to non-surgical therapies, redo craniotomy is linked to improved neurological state and a lower mortality rate. But it also carries a higher price tag and complication risk. Aim: The researchers would like to discover anesthesia management of patients with redo craniotomy in patients with supratentorial recidive tumors. Method: The researchers used the case study method. Two cases of redo craniotomy performed at the Santosa Hospital Bandung Central Indonesia are presented. The first case involved a 24-year-old male with a supraorbital tumor, GCS 15, and the second case involved a 43-year-old woman with meningiomas, GCS 15. The first patient underwent redo craniotomy six (6) months after the first operation, while the second patient underwent the procedure three (3) months after the first operation. These patients were subjected to anesthesia using the same techniques and anesthetic drugs. Patients were positioned in a neutral position with 20-30 degrees head up, voluntarily hyperventilated, and adequate anxiolytics. Findings: The bleeding volume of the patients was 800 mL for the first patient and 1,000 mL for the second, and the fluid balance was maintained using the ringerfundin balanced solution. The duration of the operation of the first and second patients was 4 and 6.5 hours, respectively. Postoperatively, patients were treated in the ICU for one day under mechanical ventilation and were transferred to the ward after extubation. Better intraoperative care, improved surgical skills, surgical equipment, and better intensive care support are likely to improve outcomes in patients with redo craniotomy.
  • Item
    Anaesthetic Management of Patient with Left Atrial Myxoma, Coronary Artery Disease 3 Vessels Disease, and Parkinsons Disease
    (2024-01-09) ADWITYA DARMESTA GANDHI NIPUNA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Myxomas are the most common primary benign intracavitatory tumour with the incidence of 0.5 per million populations. Myxomas account for 0.3% of all cardiac surgeries performed. Clinically, they are characterized by a triad of embolisation, obstruction of blood flow, and constitutional symptoms (Goodwin’s triad). Meanwhile Parkinson`s disease is a degenerative neurologic disorder caused by degeneration of nerve cells in the substantia nigra causing weakness motor coordination. Symptoms include tremor, bradykinesia, rigidity, and postural instability. Achieving a satisfactory hemodynamic performance is the primary objective in the management of cardiac surgery patient. Optimal cardiac function ensures adequate perfusion and oxygenation of other organ systems (in particular vital organs) and improves the chances for an uneventful recovery from surgery. A 61-year old female diagnosed with Coronary Artery Disease 3 Vessel Disease (CAD 3 VD), Parkinson’s disease, and left atrial myxoma was brought to the emergency department with dyspnea. The patient has undergone angiography and the echocardiography result was LVEF 59% with global normokinetic, LA myxoma causing non-significant mitral flow. LA myxoma excision under general anaesthesia on CPB was planned. Balanced general anaesthesia on cardiopulmonary bypass forms the basis of Anaesthetic management of Cardiac myxomas. However specific individual considerations will have to be made regarding drugs, doses, regional anaesthetic choices, anticoagulation and post-operative management. There is no simple anesthetic technique for patients with Parkinson’. Therefore, careful preoperative assessment, administration of drugs during and after anesthesia, as well as avoiding agents that are known to trigger Parkinson`s symptoms is a major factor in reducing postoperative morbidity and mortality.
  • Item
    Survei Profil Tatalaksana Nyeri Akut Pascabedah Elektif di RSUP DR Hasan Sadikin Bandung menggunakan Kuesioner APS-POQ-R Periode Maret - April 2023
    (2024-01-08) SUPRI SURYADI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Nyeri akut pascabedah masih merupakan permasalahan diseluruh dunia dalam pelayanan kesehatan. Sebanyak 80% pasien pascabedah elektif mengalami nyeri akut yang berujung terhadap peningkatan morbiditas, gangguan fungsional, penurunan kualitas hidup, keterlambatan pemulihan, pemanjangan durasi penggunaan opioid, peningkatan biaya perawatan dan penurunan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai profil tatalaksana nyeri akut pascabedah elektif di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional melalui pengisian kuesioner American Pain Society Patient Outcome Questionnaire Revised dengan teknik wawancara secara langsung terhadap pasien usia 18-65 tahun yang menjalani bedah elektif dalam 24 jam pascabedah di ruang perawatan periode Maret 2023 sampai April 2023. Hasil penelitian ini mengungkapkan karakteristik subjek yang menjalani operasi elektif mayoritas berjenis kelamin perempuan sebanyak 53,4%. Pendidikan terakhir subjek mayoritas adalah Sekolah Menengah Atas sebanyak 78,3%. Sebagian besar subjek belum pernah menjalani operasi dan anestesi sebesar 62,1%. Mayoritas subjek menjalani operasi daerah kepala leher sebesar 31,7%. Mayoritas subjek menjalani anestesi umum sebanyak 75,2%. Teknik analgesik pascabedah paling banyak digunakan adalah kombinasi Opioid dan NSAID intravena. Derajat nyeri paling berat dalam 24 jam pada skala NRS median 4. Mayoritas subjek telah mendapatkan informasi mengenai tatalaksana nyeri sebanyak 80,1% subjek. Sebagian besar subjek menggunakan metode nonfarmakologi untuk meredakan nyeri sebanyak 68,3% dan metode nonfarmakologi paling banyak digunakan berupa nafas dalam. Simpulan penelitian ini adalah profil tatalaksana nyeri akut pascabedah elektif mengunakan kuesioner American Pain Society Patient Outcome Questionnaire Revised di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung didapatkan tingkat kepuasan pasien terhadap tatalaksana nyeri sudah baik pada skala NRS median 8. Sebanyak 60,9% dan 4,3% subjek masih mengalami nyeri derajat sedang dan berat dalam 24 jam pascabedah. Sebagian besar subjek mengalami efek samping mual dengan intensitas sedang terhadap tatalaksana nyeri sebanyak 59% subjek. Persentase keberhasilan terapi tatalaksana nyeri dalam meredakan nyeri sudah baik sebesar 80%. Tingkat partisipasi pasien dalam tatalaksana nyeri akut yang diberikan masih rendah pada skala NRS median 2. Subjek dengan pendidikan tinggi lebih rendah tingkat kepuasannya dibandingkan subjek dengan pendidikan rendah. Mayoritas subjek memberikan respon tingkat kepuasan tinggi meskipun sebagian besar subjek mengalami nyeri sedang dalam 24 jam pascabedah. Nyeri masih menjadi permasalahan pada pasien yang menjalani pembedahan elektif, tatalaksana nyeri akut pascabedah yang efektif diperlukan untuk memberikan luaran yang lebih baik.
  • Item
    PERBANDINGAN KEDALAMAN SEDASI DAN LAMA BANGUN MENGGUNAKAN BISPECTRAL INDEX SCORE ANTARA KETAMIN-PROPOFOL DENGAN FENTANIL-PROPOFOL YANG DILAKUKAN BONE MARROW PUNCTURE PADA PASIEN LEUKEUMIA ANAK
    (2024-01-09) MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Procedural Sedation and Analgesia (PSA) merupakan salah satu teknik anestesi di luar kamar operasi yang dapat digunakan pada pasien yang tidak kooperatif, seperti pada pasien anak yang akan dilakukan tindakan medis invasif, sebagai contoh pada Bone Marrow Puncture (BMP). Kombinasi pemberian sedasi dan analgesia yang adekuat akan menghasilkan kenyamanan pasien selama tindakan dengan efek samping yang minimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kedalaman sedasi dan lama bangun dengan menggunakan bispectral index (BIS) antara kombinasi ketamin-propofol dengan fentanil-propofol pada pasien yang dilakukan BMP. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan double blind randomized controlled trial terhadap kedua kelompok yaitu kelompok yang diberikan ketamin-propofol (KP) n=20 dan kelompok yang diberikan fentanil-propofol (FP) n=20. Pada kelompok KP diberikan bolus ketamin 0,5 mg/kgBB dan propofol 1 mg/kgBB, sedangkan pada kelompok FP diberikan fentanil 1 µg/kgBB dan propofol 1 mg/kgBB. Nilai BIS dicatat dari sebelum induksi anestesi (T0), segera setelah induksi pada menit ke 2,5 (T1), dilanjutkan tiap 2,5 menit selama tindakan BMP dilakukan (T2, T3, T4, T5, T6, T7, T8 dan T9), sampai menit ke-25 (T10). Hasil penelitian menunjukkan perbedaan nilai BIS dan lama bangun berbeda secara sangat bermakna pada kedua kelompok perlakuan (p<0,01). Kombinasi ketamin-propofol memberikan nilai BIS lebih rendah dan lama bangun yang lebih panjang dibandingkan dengan dengan kombinasi fentanilpropofol pada tindakan BMP.
  • Item
    PERBANDINGAN TRANSVERSUS ABDOMINIS PLANE BLOCK DAN ERECTOR SPINAE PLANE BLOCK TERHADAP NYERI PASCAOPERASI DAN KEBUTUHAN MORFIN PADA PASIEN GINEKOLOGI YANG DILAKUKAN INSISI MEDIANA DI RSUP HASAN SADIKI
    (2023-10-12) AZKA PUTRA RAKHMATULLAH; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Nyeri pascaoperasi ginekologi pada tindakan dengan insisi mediana memiliki skala nyeri sedang berat sehingga berdampak pada pemulihan dan mobilisasi pascaoperasi. Beberapa metode yang dilakukan untuk mengurangi nyeri pascaoperasi termasuk TAP blok maupun cara yang tergolong baru yaitu ESP blok sebagai multimodal analgesia pada operasi di daerah abdomen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan skala nyeri dan kebutuhan morfin pascaoperasi pada pasien yang dilakukan ESP blok dengan TAP blok. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan double blind randomized controlled trial terhadap kedua kelompok penelitian. Pasien akan diminta untuk menilai rasa nyeri dengan Numeric Rating Scale (NRS) yang akan dihitung dengan interval 0-1 jam, 1-6 jam, 6-12 jam, dan 12-24 jam setelah selesai dilakukan TAP blok dan ESP blok. Penelitian telah dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung (RSHS) sejak tanggal 27 Desember 2023 hingga 26 Maret 2023 terhadap 43 subjek yang menjalani operasi ginekologi dalam anestesi umum dengan 3 pasien termasuk kriteria pengeluaran karena prosedur operasi memanjang lebih dari 4 jam dan 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria ekslusi. Analisis data numerik menggunakan uji T tidak berpasangan pada data berdistribusi normal serta uji Mann Whitney pada data tidak berdistribusi normal. Analisis data kategorik menggunakan Uji Exact Fisher. Didapatkan NRS saat diam antara kelompok TAP blok dan ESP blok pada 1-6 jam dan 6-12 jam lebih banyak dimana pada kelompok TAP blok (skala nyeri 3) dibandingkan kelompok ESP blok (skala nyeri 1). Pengukuran NRS saat bergerak pada 0-1 jam dan 1-6 jam lebih banyak didapatkan pada kelompok TAP blok sehingga dinyatakan bermakna secara statistik (p<0,05; Tabel 4.2; Tabel 4.3). Simpulan dari penelitian ini blok ESP dengan menggunakan bupivacaine dosis 0,25% dan volume 20 mL lebih efektif untuk mengurangi nyeri pascaoperasi dan mengurangi kebutuhan morfin pascaoperasi serta memberikan efek samping minimal.
  • Item
    Comparison of Post-operative Analgetics with Transversus Abdominis Block and Spinal Morphine for Post-Caesarean Section: A Randomised Trial Study
    (2024-01-09) MOHAMMAD FIKRY MAULANA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Acute pain after surgery is an important clinical drawback occurs in patients undergoing cesarean sections. Postoperative pain causes various complications, including the risk of chronic pain. The Enhanced Recovery After Caesarean Section (ERACS) protocol recommends intrathecal morphine and the Transversus Abdominis Plane (TAP) block. This study aims to compare the opioid requirement as an analgesic rescue between both techniques in patients undergoing cesarean sections. This is an experimental study with a single-blind randomized controlled trial design. Subjects were divided into two groups, each consists of 22 patients. Patients were selected consecutively and grouped by permuted block randomization. In the intratechal morphine group, the duration of additional opioids was longer, with an average of 600.45 minutes (SD = 68.901), than in the TAP block group, with an average of 438.18 minutes (SD = 46.867), with a p-value of 0.001. The total dose of additional opioids in the intratechal morphine group was smaller, with an average of 38.64 µg (SD = 14.775), than in the TAP block group, with an average of 50.00 µg (SD = 18.898), with a p-value of 0.043. In conclusion, intratechal morphine gives a better postoperative analgesic effect than TAP block in patients undergoing cesarean sections
  • Item
    Pengaruh Pemberian Ketamin 0,5 mg / kgBB sebagai Analgesia Preemptif terhadap Durasi Analgesia dan Kebutuhan Fentanil Pascaoperasi Histerektomi
    (2024-01-11) JACKLIN EDWARD MOKOGINTA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Histerektomi merupakan operasi dengan komplikasi nyeri pascaoperasi yang tinggi dan termasuk kategori sedang berat jika di ukur dengan Numeric Rating Scale (NRS). Konsep analgesia preemptif adalah meminimalkan rasa nyeri pascaoperasi dengan mencegah sensitisasi sentral sebelum operasi sehingga hiperesthesia pascaoperasi tidak terjadi. Terdapat beberapa analgesia preemptif yang bisa digunakan untuk mengatasi nyeri akut pascaoperasi antara lain antagonis N-methyl -D-aspartate (NMDA) yaitu ketamin. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh pemberian ketamin 0,5 mg/kgBB sebagai analgesia preemptif terhadap durasi analgesia dan kebutuhan fentanil pascaoperasi histerektomi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan double blind randomized controlled trial terhadap kedua kelompok yaitu kelompok yang diberikan preemptif analgesia ketamin 0,5 mg/kgBB (n=20) dan kelompok kontrol (n=20). Penilaian durasi analgesia pada pasien dihitung sejak selesai operasi hingga diperlukan analgetik tambahan berupa fentanil 25 µg melalui PCA selama 24 jam pascaoperasi. Analisis statistik data numerik menggunakan uji T tidak berpasangan pada data berdistribusi normal serta uji Mann Whitney pada data tidak berdistribusi normal. Analisis statistik data kategorik menggunakan Uji Exact Fisher. Terdapat perbedaan durasi analgesia dan total kebutuhan analgetik tambahan yang bermakna pada kedua kelompok (p<0,05). Pemberian ketamin 0,5 mg/kgBB sebagai analgesia preemptif menghasilkan durasi analgesia yang lebih lama dan total kebutuhan analgetik tambahan pascaoperasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang tanpa pemberian analgesia preemptif.
  • Item
    Ketorolac Administration with Ketorolac and Bilateral Superficial Cervical Plexus Blocks Comparison to Total Post-Thyroidectomy Analgesic Rescue Needs
    (2023-07-13) SANDI FATHIR; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Thyroidectomy is generally performed by a surgeon with a short operating duration. Inadequate postoperative pain treatment results in several physiological and psychological outcomes, including prolonged hospital stays and the development of chronic pain. This study aims to compare the administration of ketorolac with a combination of ketorolac and bilateral superficial cervical plexus blocks to the total need for analgetic rescue after thyroidectomy surgery. This study used an experimental study with a single-blind randomized control trial method for both study groups. After surgery, group A was given an IV injection of 30 mg ketorolac, while group B was given IV injections of 30 mg ketorolac and bilateral superficial cervical plexus block under ultrasound guidance and 10 ml of 0.25% bupivacaine on each side of the neck before surgery was completed. Both groups would be monitored for 2 hours. The average value of total analgetic rescue needs in the patient group given ketorolac was 195.24 ± 72.72 mcg. While the total need for analgetic rescue in the group of patients who were given a combination of ketorolac and bilateral superficial cervical plexus blocks was 44.05 ± 19.21 mcg. The results of the unpaired T-test showed a p-value of 0.001. There is a significant difference in the total need for analgetic rescue in patients receiving ketorolac.
  • Item
    FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MORBIDITAS DAN MORTALITAS PASIEN DENGAN COVID-19 YANG MENJALANI PEMBEDAHAN DI RSUP HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE TAHUN 2021
    (2023-07-11) EDDY ESAU PASANGKA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    ABSTRAK Tindakan operasi pada pasien dengan COVID-19 dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas perioperatif. Berbagai faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko perioperatif meliputi stres fisiologis untuk menghadapi operasi, kebutuhan ventilasi mekanik, dan peningkatan risiko infeksi lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka mortalitas dan morbiditas pada 30 hari pasca operasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi luaran di antara pasien bedah dengan infeksi COVID-19 di RS Hasan Sadikin. Studi ini merupakan studi observasional deskriptif dengan desain cross-sectional. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan studi observasional, studi ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Pengumpulan data pada studi ini dilakukan secara retrospektif. Dari 252 subjek penelitian, sebanyak 8,7% pasien memiliki komorbid hipertensi dalam kehamilan dan 3.6% memiliki keganasan. Selain itu, mayoritas pasien merupakan kategori COVID-19 Moderate sebanyak 75.4%, diikuti oleh derajat severe sebanyak 21.0% dan derajat critical sebanyak 3.6%. Tingkat morbiditas pasien pada penelitian ini adalah 16,7%. Sedangkan berdasarkan luaran mortalitas, dapat diidentifikasi bahwa mortalitas pasien dalam 30 hari adalah 11,1%. Pada pasien morbiditas paling banyak ialah jenis kelamin perempuan, kelas ASA 3, derajat kesulitan operasi level 3, komorbid keganasan, derajat keparahan Covid-19 berat, kegawatdaruratan urgency, jenis operasi obstetric genikologi, serta pasien dengan waktu respons sangat <24 jam. Pada pasien mortalitas 30 hari paling banyak ialah jenis kelamin perempuan, kelas ASA 3, derajat kesulitan operasi level 2, dengan komorbid keganasan dan Hipertensi, derajat keparahan Covid-19 kritis, kegawatdaruratan emergency, jenis operasi bedah digestif dan obstetri genikologi, serta pasien dengan waktu respons 24-72 jam. Kata kunci: COVID-19, infeksi, mortalitas, morbiditas, pembedahan
  • Item
    Anesthesia Management of Oculocardiac Reflex in Strabismus Surgery: A Case Study
    (2023-07-12) DIVA ZUNIAR RITONGA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Terdapat banyak jenis operasi pada mata, setiap operasi membutuhkan penanganan anestesi yang khusus. Operasi strabismus memiliki beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian, salah satunya adalah refleks okulokardiak. Refleks okulokardiak merupakan konisi yang ditandai dengan penurunan denyut jantung disebabkan oleh tekanan pada bola mata atau penarikan pada otot-otot ekstraokular pada konjungtiva atau strukur orbita. Tanpa penanganan refleks ini dapat menyebabkan asistol. Sebuah laporan kasus mengenai laki-laki 19 tahun dengan klasifikasi ASA 1, dengan esotropi pada kedua mata yang akan dilaksanakan operasi strabismus. Anestesi umum dilaksanakan dengan obat-obat induksi fentanil 100 mcg, propofol 100 mg, dan atrakurium 25 mg, LMA ukuran 3 digunakan untuk managemen jalan napas. Sevofluran 2–3% dengan oxygen dan nitrous oxide digunakan untuk rumatan. Sewaktu operasi denyut nadi menurun sampai 35 kali per menit ketika operator menarik otot medial rektus pada mata pertama, kemudian operasi diminta dihentikan sementara, kemudian denyut nadi meningkat perlahan kembali ke 65 kali per menit tanpa pemberian intervensi lain. Kemudian, ketika operatot menarik otot medial rektus pada mata kedua denyut jantung menurun ke 55 kali per menit, operasi dilanjutkan dan denyut jantung meningkat tanpa intervensi lain. Operasi berlangsung tanpa kejadian lain. Pengetahuan dan penanganan awal kondisi refleks okulokardiak perlu diketahui oleh dokter anestesi untuk mencegah kondisi yang lebih berbahaya.
  • Item
    Intubasi Fiber Optic pada Pasien Anak dengan Syngnathia dan Pseudoankilosis Sendi Temporomandibular: Laporan Kasus
    (2019) HAFIZH BUDHIMAN MAHMUD; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Manajemen jalan napas pada pasien anak dengan malformasi kraniofasial merupakan tantangan karena sulit dilakukan. Laporan kasus ini bertujuan menjelaskan manajemen anestesi pada pasien anak dengan syngnathia anterior dan pseudoankilosis temporomandibular. Seorang anak perempuan berusia 2 tahun dengan diagnosis syngnathia segmen anterior dan pseudoankilosis temporomandibular dijadwalkan untuk operasi elektif. Intubasi fiber optic dilakukan pada pernapasan spontan (spontaneous breathing) melalui insuflasi menggunakan perangkat jalan napas nasofaring yang dimodifikasi. Dilakukan teknik “spray-as- you-go” dengan lidokain yang diencerkan dan intubasi nasal menggunakan fiber optic dari saluran hidung kontralateral menggunakan tabung endotrakeal uncuffed ukuran 4,5. Metode intubasi fiber optic dapat berhasil digunakan pada anak dengan malformasi kraniofasial.
  • Item
    HUBUNGAN ANTARA LAMA WAKTU PINTAS JANTUNG PARU DENGAN LAMA WAKTU PERAWATAN DI RUANGAN INTENSIF PADA PASIEN PASCABEDAH PINTAS ARTERI KORONER DI RSUP DR HASAN SADIKIN BANDUNG
    (2019) M. ARIS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Bedah pintas arteri koroner (BPAK) adalah suatu tindakan intervensi pada penyakit jantung koroner (PJK) yang tidak dapat ditangani hanya dengan intervensi farmakologis. Pasien pasca BPAK membutuhkan penanganan yang seksama di unit perawatan intensif, PJP beserta komplikasinya dan anestesi yang lebih panjang memiliki pengaruh terhadap lenght of stay (LoS). Pasien yang masa rawatnya memanjang berpotensi penundaan tindakan pada pasien jantung lain. Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui korelasi lama waktu PJP dengan lama waktu perawatan di ruangan intensif pada pasien yang menjalani BPAK. Data subjek yang menjalani BPAK pada periode 2020-2021 diambil lalu dipilih dengan menggunakan metode simple random sampling. Data diambil dari rekam medis meliputi usia, jenis kelamin, FEVK, komorbid, lama PJP, lama waktu klem aorta dan lama perawatan di unit perawatan intensif (n=49) dengan mengekslusi subjek yang meninggal pada masa perawatan di unit perawatan intensif. Analisis statistik data numerik menggunakan uji korelasi pearson pada data berdistribusi normal serta uji Kolmogorov-smirnov pada data tidak berdistribusi normal. Hasil penelitian menunjukkan lama waktu PJP yang secara statistik mempengaruhi (nilai p 0,032) dan menyatakan hubungan keeratan cukup kuat (nilai r 0,426) sedangkan lama waktu klem aorta yang bermakna secara statistik (p 0,001) dan memiliki hubungan keeratan cukup kuat (r 0,478) dengan masa perawatan di unit perawatan intensif pasca BPAK. Kesimpulan dari penelitian ini adalah semakin lama waktu PJP berkorelasi terhadap memanjangnya lama perawatan di unit perawatan intensif pasca BPAK.
  • Item
    Anesthetic Management of Patient with Preeclampsia, Pulmonary Edema, and Peripartum Cardiomyopathy in Pregnancy Undergoing Caesarean Section: A Case Report
    (2019) PUTRI CITRA BARLIANA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Preeclampsia is a disease that occurs in pregnancy after 20 weeks of gestation with manifestations involving multi organ systems such as pulmonary edema and ventricle dysfunction. Cardiomyopathy is a heart disorder characterized by myocardial dysfunction unrelated to any other previous heart disease. Case: A 31-year-old woman diagnosed with G1P0A0 full-term pregnancy, preeclampsia, pulmonary edema, cardiomyopathy, and fetal distress, who underwent cesarean section. On physical examination, shortness of breath was found in semi-Fowler position. Patient had high blood pressure and global hypokinesis was found on echocardiography results. She was planned for general anesthesia with semi-closed intubation technique and breath controlled. Anesthetic management should optimize the preoxygenation, provide positive pressure ventilation with positive end-expiratory pressure (PEEP), maintain the minimal myocardial depressant effect of drugs, and maintain a normovolemic state. It could improve the good outcomes. Conclusion: Three things that must be considered when starting the induction are oxygenation, fluid status, and selection of drugs that do not make the heart work harder. The combination of fentanyl, midazolam, and sevoflurane is the drug of choice used for induction, because it can minimize the cardiac depressant effect.
  • Item
    Nilai uji diagnostik parameter Thromboelastography (TEG) terhadap Sepsis Induced Coagulopathy (SIC) pada pasien sepsis yang dirawat di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
    (2023-07-10) UTA PROVINSIANA SUKMARA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Sepsis dikaitkan dengan gangguan hemostasis yang dimulai dari aktivasi koagulasi secara subklinis yang disebut keadaan hiperkoagulabilitas. Proses koagulopati terjadi dalam patogenesis sepsis dikenal dengan Sepsis-Induced Coagulopathy (SIC). Informasi yang tepat untuk mendeteksi gangguan hemostasis dapat diperoleh dengan pemeriksaan Thromboelastography (TEG). Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai uji diagnostik parameter TEG terhadap SIC pada pasien didiagnosis sepsis. Penelitian observasional analitik dengan rancangan crossectional dilakukan terhadap 35 pasien sepsis yang dirawat di ruang Intensif Care Unit (ICU). Kurva ROC (Receiver Operating Characteristic) digunakan menguji kualitas nilai diagnostik dengan menentukan nilai diskriminasi AUC (Area Under Curve). Simpulan dari penelitian ini adalah parameter TEG Pasien dengan SIC memiliki rerata abnormal dan skor SOFA yang lebih tinggi daripada pasien tanpa SIC (P <0,001). Parameter α angle sensitivitas 85,7% dan spesifisitas 78,6%, dan MA sesitivitas 80,9% spesifisitas 78,6%, sedangkan Coagulation Index (CI) sensitivitas 90,5% dan spesifisitas 85,7%. Nilai AUC CI mendiagnosis SIC 0,876 dan MA 0,886. Parameter TEG memiliki nilai diagnostik yang sedang hingga kuat untuk SIC. TEG dapat dijadikan pemeriksaan rutin dalam pentalaksanaan pasien sepsis. Keadaan hiperkoagubilitas dapat diketahui lebih awal dengan TEG, sehingga intervensi lebih dini, dan dapat menurunkan mortalitas pasien sepsis