Anestesiologi dan Terapi Intensif (Sp.)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Anestesiologi dan Terapi Intensif (Sp.) by Title
Now showing 1 - 20 of 33
Results Per Page
Sort Options
Item Anaesthetic Management of Patient with Left Atrial Myxoma, Coronary Artery Disease 3 Vessels Disease, and Parkinsons Disease(2024-01-09) ADWITYA DARMESTA GANDHI NIPUNA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenMyxomas are the most common primary benign intracavitatory tumour with the incidence of 0.5 per million populations. Myxomas account for 0.3% of all cardiac surgeries performed. Clinically, they are characterized by a triad of embolisation, obstruction of blood flow, and constitutional symptoms (Goodwin’s triad). Meanwhile Parkinson`s disease is a degenerative neurologic disorder caused by degeneration of nerve cells in the substantia nigra causing weakness motor coordination. Symptoms include tremor, bradykinesia, rigidity, and postural instability. Achieving a satisfactory hemodynamic performance is the primary objective in the management of cardiac surgery patient. Optimal cardiac function ensures adequate perfusion and oxygenation of other organ systems (in particular vital organs) and improves the chances for an uneventful recovery from surgery. A 61-year old female diagnosed with Coronary Artery Disease 3 Vessel Disease (CAD 3 VD), Parkinson’s disease, and left atrial myxoma was brought to the emergency department with dyspnea. The patient has undergone angiography and the echocardiography result was LVEF 59% with global normokinetic, LA myxoma causing non-significant mitral flow. LA myxoma excision under general anaesthesia on CPB was planned. Balanced general anaesthesia on cardiopulmonary bypass forms the basis of Anaesthetic management of Cardiac myxomas. However specific individual considerations will have to be made regarding drugs, doses, regional anaesthetic choices, anticoagulation and post-operative management. There is no simple anesthetic technique for patients with Parkinson’. Therefore, careful preoperative assessment, administration of drugs during and after anesthesia, as well as avoiding agents that are known to trigger Parkinson`s symptoms is a major factor in reducing postoperative morbidity and mortality.Item Anesthesia Management of Oculocardiac Reflex in Strabismus Surgery: A Case Study(2023-07-12) DIVA ZUNIAR RITONGA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenTerdapat banyak jenis operasi pada mata, setiap operasi membutuhkan penanganan anestesi yang khusus. Operasi strabismus memiliki beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian, salah satunya adalah refleks okulokardiak. Refleks okulokardiak merupakan konisi yang ditandai dengan penurunan denyut jantung disebabkan oleh tekanan pada bola mata atau penarikan pada otot-otot ekstraokular pada konjungtiva atau strukur orbita. Tanpa penanganan refleks ini dapat menyebabkan asistol. Sebuah laporan kasus mengenai laki-laki 19 tahun dengan klasifikasi ASA 1, dengan esotropi pada kedua mata yang akan dilaksanakan operasi strabismus. Anestesi umum dilaksanakan dengan obat-obat induksi fentanil 100 mcg, propofol 100 mg, dan atrakurium 25 mg, LMA ukuran 3 digunakan untuk managemen jalan napas. Sevofluran 2–3% dengan oxygen dan nitrous oxide digunakan untuk rumatan. Sewaktu operasi denyut nadi menurun sampai 35 kali per menit ketika operator menarik otot medial rektus pada mata pertama, kemudian operasi diminta dihentikan sementara, kemudian denyut nadi meningkat perlahan kembali ke 65 kali per menit tanpa pemberian intervensi lain. Kemudian, ketika operatot menarik otot medial rektus pada mata kedua denyut jantung menurun ke 55 kali per menit, operasi dilanjutkan dan denyut jantung meningkat tanpa intervensi lain. Operasi berlangsung tanpa kejadian lain. Pengetahuan dan penanganan awal kondisi refleks okulokardiak perlu diketahui oleh dokter anestesi untuk mencegah kondisi yang lebih berbahaya.Item Anesthesia Management of Patients with Redo Craniotomy:Cases of Supratentorial Recidive Tumors(2024-01-08) NI GUSTI AYU PITRIA SEPTIANI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenBackground: Compared to non-surgical therapies, redo craniotomy is linked to improved neurological state and a lower mortality rate. But it also carries a higher price tag and complication risk. Aim: The researchers would like to discover anesthesia management of patients with redo craniotomy in patients with supratentorial recidive tumors. Method: The researchers used the case study method. Two cases of redo craniotomy performed at the Santosa Hospital Bandung Central Indonesia are presented. The first case involved a 24-year-old male with a supraorbital tumor, GCS 15, and the second case involved a 43-year-old woman with meningiomas, GCS 15. The first patient underwent redo craniotomy six (6) months after the first operation, while the second patient underwent the procedure three (3) months after the first operation. These patients were subjected to anesthesia using the same techniques and anesthetic drugs. Patients were positioned in a neutral position with 20-30 degrees head up, voluntarily hyperventilated, and adequate anxiolytics. Findings: The bleeding volume of the patients was 800 mL for the first patient and 1,000 mL for the second, and the fluid balance was maintained using the ringerfundin balanced solution. The duration of the operation of the first and second patients was 4 and 6.5 hours, respectively. Postoperatively, patients were treated in the ICU for one day under mechanical ventilation and were transferred to the ward after extubation. Better intraoperative care, improved surgical skills, surgical equipment, and better intensive care support are likely to improve outcomes in patients with redo craniotomy.Item Anesthetic Management of Patient with Preeclampsia, Pulmonary Edema, and Peripartum Cardiomyopathy in Pregnancy Undergoing Caesarean Section: A Case Report(2019) PUTRI CITRA BARLIANA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPreeclampsia is a disease that occurs in pregnancy after 20 weeks of gestation with manifestations involving multi organ systems such as pulmonary edema and ventricle dysfunction. Cardiomyopathy is a heart disorder characterized by myocardial dysfunction unrelated to any other previous heart disease. Case: A 31-year-old woman diagnosed with G1P0A0 full-term pregnancy, preeclampsia, pulmonary edema, cardiomyopathy, and fetal distress, who underwent cesarean section. On physical examination, shortness of breath was found in semi-Fowler position. Patient had high blood pressure and global hypokinesis was found on echocardiography results. She was planned for general anesthesia with semi-closed intubation technique and breath controlled. Anesthetic management should optimize the preoxygenation, provide positive pressure ventilation with positive end-expiratory pressure (PEEP), maintain the minimal myocardial depressant effect of drugs, and maintain a normovolemic state. It could improve the good outcomes. Conclusion: Three things that must be considered when starting the induction are oxygenation, fluid status, and selection of drugs that do not make the heart work harder. The combination of fentanyl, midazolam, and sevoflurane is the drug of choice used for induction, because it can minimize the cardiac depressant effect.Item Angka Kejadian De;irium dan Faktor Risiko di Intensive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung(2015-07-21) RAKHMAN ADIWINATA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Delirium, dapat ditandai dengan perubahan status mental, tingkat kesadaran, perhatian yang akut dan fluktuatif. Memiliki tingkat insidensi yang tinggi pada pasien dengan penyakit kritis. Hal ini merupakan kelainan yang serius berhubungan dengan pemanjangan lama perawatan di unit perawatan intensif, biaya yang lebih tinggi, memperlambat pemulihan fungsional, serta peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tujuan penelitian untuk mengetahui angka kejadian delirium dan mengetahui faktor risiko terjadinya delirium di Intensive Care Unit (ICU) Rumah sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Pengambilan sampel dilakukan selama tiga bulan (Januari-Maret 2015) di ICU RSHS Bandung. Metode penelitian ini deskriptif observasional secara kohort prospektif, menggunakan alat ukur Confusion assessment methode-Intensive Care Unit (CAM-ICU), sebelumnya dilakukan penilaian dengan Richmond agitation-sedation scale (RASS) pada pasien yang tersedasi. Hasil penelitian ini dari 105 jumlah pasien, 22 pasien dieksklusikan, dari 83 pasien didapatkan 31 pasien positif delirium, angka kejadian 37.3%. Faktor risiko pada pasien positif delirium terdiri atas: geriatri 48.4%, pemakaian ventilator mekanik 38.7%, pemberian analgesik morfin 29%, sepsis atau infeksi 29%, kelainan jantung 25.8%, acute physiology and chronic health evaluation (APACHE) II skor tinggi 25.8%, kelainan ginjal 22.6%, laboratorium abnormal 22.6%, pemberian sedasi midazolam 19.4%, kelainan endokrin 16.1%, pemberian analgesik fentanil 6.5%, dan stroke 3.2%. Simpulan angka kejadian delirium di ICU RSHS Bandung cukup tinggi sebesar 37,3%, dengan faktor risiko terbesar adalah pasien geriatrik. Kata kunci: CAM-ICU, delirium, faktor risiko, RASS.Item ANGKA MORTALITAS DAN MORBIDITAS KEGIATAN BAKTI SOSIAL OPERASI BIBIR SUMBING DAN CELAH LANGIT-LANGIT DENGAN ANESTESI UMUM DI LUAR RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN TAHUN 2003-2013(2015-07-14) LANDOSAR PARSAULIAN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenSejak tahun 2003 sampai 2013, tim dokter dan paramedis Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) telah menyelenggarakan kegiatan Bakti Sosial Operasi Bibir Sumbing di seluruh Indonesia. Beberapa studi di luar negeri menunjukan pelaksanaan operasi labioplasti dan palatoplasti dengan teknik anestesi umum di daerah dengan sarana terbatas dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Studi ini bertujuan untuk mengetahui angka mortalitas dan morbiditas operasi bibir sumbing dengan menggunakan anestesi umum dan mengetahui kendala yang dialami pada pelaksanaan kegiatan bakti sosial tersebut. Penelitian dilakukan secara deskriptif serial kasus dari data Laporan Pelaksanaan Kegiatan Bakti Sosial Bibir Sumbing Periode Tahun 2003-2013. Dari data tersebut diketahui jumlah peserta operasi labioplasti dengan anestesi lokal (n=1.614), operasi labioplasti dengan anestesi umum (n=2.702) dan operasi palatoplasti dengan anestesi umum (n=1.919). 22 pasien dengan anestesi umum mengalami morbiditas yang sebagian besar terdiri dari perdarahan post operasi (0,19%), spasme larynx post extubasi (0,06%), mual dan muntah (0,06%). Angka morbiditas semakin menurun setiap tahun dan lebih rendah dari negara lain. Selain itu, ditemukan empat pasien meninggal dalam kegiatan bakti sosial akibat malnutrisi, diare, aspirasi dan lepasnya Endotracheal Tube. Simpulan penelitian ini adalah kegiatan Bakti Sosial Operasi Bibir Sumbing di luar RSHS Periode 2003-2013 dengan anestesi umum memiliki angka mortalitas 0,09% dan angka morbiditas 0,47%. Kendala yang dialami pada pelaksanaan berdasarkan laporan yang terkumpul adalah persiapan pre operatif yang tidak terjadwal dengan baik dan peralatan operasi yang terkadang kurang lengkap di lokasi bakti sosialItem Comparison Of Iintravenous Administration Of Remfentanil With Fentayl For Increased Blood Sugar Levels In Post Cardiac Surgery Patients(2024-01-08) IRVAN TANPOMAS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenThe incidence of hyperglycemia in patients with heart disease undergoing cardiac surgery reaches 50% in patients without a history of Diabetes Mellitus. This condition of hyperglycemia can increase morbidity and mortality. This study aims to assess the effect of using the agent remifentanil intravenously 0.5-1 µg/kgBW bolus followed by maintenance at a dose of 0.05-0.1 µg/kgBW/minute intravenously compared to the use of fentanyl 3-10 µg/kgBW followed by a maintenance dose of 0.03-0.1 µg/kgBW/minute for increased blood sugar levels in patients undergoing cardiac surgery with the Cardiopulmonary Bypass (CPB) procedure. This study is an experimental study with a single blind randomized controlled design. Patients will be divided into 2 groups consisting of 12 patients each, namely group R (remifentanil) who received remifentanil and group F (fentanyl) who received fentanl. Blood sugar levels will be checked before and after surgery. The research has been conducted at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung from February 2023 to May 2023. The average increase in blood sugar levels in the remifentanil group was 74 mg/dl, while in the fentanyl group it was 90 mg/dl. The p-value given is 0.214. Statistical test results showed that the value of p> 0.05. The conclusion of this study is that there is no significant difference in the increase in blood sugar levels between the two groups (remifentanil and fentanyl). This can be caused by the use of opioid doses in the lower range and more complex surgical procedures in our research.Item Comparison of Post-operative Analgetics with Transversus Abdominis Block and Spinal Morphine for Post-Caesarean Section: A Randomised Trial Study(2024-01-09) MOHAMMAD FIKRY MAULANA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAcute pain after surgery is an important clinical drawback occurs in patients undergoing cesarean sections. Postoperative pain causes various complications, including the risk of chronic pain. The Enhanced Recovery After Caesarean Section (ERACS) protocol recommends intrathecal morphine and the Transversus Abdominis Plane (TAP) block. This study aims to compare the opioid requirement as an analgesic rescue between both techniques in patients undergoing cesarean sections. This is an experimental study with a single-blind randomized controlled trial design. Subjects were divided into two groups, each consists of 22 patients. Patients were selected consecutively and grouped by permuted block randomization. In the intratechal morphine group, the duration of additional opioids was longer, with an average of 600.45 minutes (SD = 68.901), than in the TAP block group, with an average of 438.18 minutes (SD = 46.867), with a p-value of 0.001. The total dose of additional opioids in the intratechal morphine group was smaller, with an average of 38.64 µg (SD = 14.775), than in the TAP block group, with an average of 50.00 µg (SD = 18.898), with a p-value of 0.043. In conclusion, intratechal morphine gives a better postoperative analgesic effect than TAP block in patients undergoing cesarean sectionsItem EFEK EUTECTIC MIXTURE OF LOCAL ANESTHETICS TERHADAP NYERI PENYUNTIKAN JARUM SPINAL DI RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG(2020-01-23) YUANDA RIZAWAN PUTRA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAnestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sering dilakukan dan efektif dalam pembiusan tubuh bagian bawah. Nyeri saat penyuntikan jarum spinal merupakan alasan untuk menolak anestesi spinal karena ketakutan akan jarum dan rasa nyeri akibat penyuntikan jarum. Metode yang dilakukan untuk mengurangi nyeri akibat penyuntikan jarum spinal yaitu aplikasi anestesi topikal. Anestesi topikal yang sering digunakan adalah EMLA (eutectic mixtures of local anesthetics). EMLA terbukti memiliki efek analgetik pada saat pemasangan jalur intravena, pungsi lumbar, prosedur bedah dermatologi dan kosmetik serta prosedur medis minor. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek EMLA saat penyuntikan jarum spinal. Uji klinis acak buta ganda dilakukan terhadap 68 pasien yang menjalani operasi elektif dalam anestesi spinal di Ruang Operasi Sentral RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok EMLA dan plasebo. EMLA krim dosis 2 gram diaplikasikan 120 menit sebelum dilakukan penyuntikan jarum spinal ukuran 25G. Penilaian skor nyeri dilakukan setelah penyuntikan jarum spinal menggunakan Numeric Pain Rating Score. Skor nyeri setelah aplikasi EMLA yaitu 1,53±1,60; lebih rendah dibanding skor nyeri pada plasebo yaitu 3,94±1,30. Hasil ini signifikan secara statistik berdasarkan uji Mann-Whitney (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah EMLA memiliki efek untuk mengurangi nyeri saat penyuntikan jarum spinal.Item Faktor Risiko Mortalitas Pasien Ventilator Associated Pneumonia (VAP) di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2021-2022(2024-01-09) MUHAMMAD MIZAN AL-HAQ; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenMortalitas pasien Ventilator-associated pneumonia (VAP) di ICU dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, diantaranya komorbid, NLR, skor SOFA, malnutrisi, dan patogen MDR. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran faktor risiko mortalitas pasien VAP di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian deskriptif observasional ini dilakukan secara retrospektif di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Tahun 2021-2022. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 64 orang pasien yang mengalami VAP dengan 15 orang pasien (23,4%) mengalami perbaikan kondisi, dan 49 orang pasien (76,6%) meninggal. Karakteristik pasien VAP yang meninggal mayoritas laki-laki (63,3%), median usia adalah 61 tahun, Median BMI 22,2, dengan LOS RS 13 hari, LOS ICU 10 hari, dan LOS ventilator 8 hari. Mayoritas memiliki nilai SOFA antara 10-12 (46,9%), PF rasio adalah 195,1±77,5, nilai albumin 2,11±0,64. Komorbiditas paling banyak adalah hipertensi (40,8%), bukan pasien pascaoperasi (55,1%), dengan nilai NLR tinggi (69,4%). Jenis kuman yang paling banyak ditemukan adalah Acinetobacter baumannii (18,4%) dan sebagian besar pasien mengalami MDR (53,3%), dengan diagnosis terbanyak yang mendasari pasien masuk ICU adalah gangguan sistem respirasi (40,8%). Analisa bivariat menunjukkan LOS RS, ICU, ventilator, PF rasio, komorbid, NLR, SOFA skor, status nutrisi, dan patogen MDR berhubungan dengan mortalitas VAP dengan p value <0,05. Simpulan penelitian ini adalah didapatkan faktor risiko mortalitas pasien VAP di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2021-2022 yaitu faktor komorbid, NLR, SOFA skor, status nutrisi, dan patogen MDR. Identifikasi faktor risiko penting untuk pencegahan dan tatalaksana VAP di ICU sehingga dapat mengurangi angka mortalitasItem FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MORBIDITAS DAN MORTALITAS PASIEN DENGAN COVID-19 YANG MENJALANI PEMBEDAHAN DI RSUP HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE TAHUN 2021(2023-07-11) EDDY ESAU PASANGKA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Tindakan operasi pada pasien dengan COVID-19 dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas perioperatif. Berbagai faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko perioperatif meliputi stres fisiologis untuk menghadapi operasi, kebutuhan ventilasi mekanik, dan peningkatan risiko infeksi lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka mortalitas dan morbiditas pada 30 hari pasca operasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi luaran di antara pasien bedah dengan infeksi COVID-19 di RS Hasan Sadikin. Studi ini merupakan studi observasional deskriptif dengan desain cross-sectional. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan studi observasional, studi ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Pengumpulan data pada studi ini dilakukan secara retrospektif. Dari 252 subjek penelitian, sebanyak 8,7% pasien memiliki komorbid hipertensi dalam kehamilan dan 3.6% memiliki keganasan. Selain itu, mayoritas pasien merupakan kategori COVID-19 Moderate sebanyak 75.4%, diikuti oleh derajat severe sebanyak 21.0% dan derajat critical sebanyak 3.6%. Tingkat morbiditas pasien pada penelitian ini adalah 16,7%. Sedangkan berdasarkan luaran mortalitas, dapat diidentifikasi bahwa mortalitas pasien dalam 30 hari adalah 11,1%. Pada pasien morbiditas paling banyak ialah jenis kelamin perempuan, kelas ASA 3, derajat kesulitan operasi level 3, komorbid keganasan, derajat keparahan Covid-19 berat, kegawatdaruratan urgency, jenis operasi obstetric genikologi, serta pasien dengan waktu respons sangat <24 jam. Pada pasien mortalitas 30 hari paling banyak ialah jenis kelamin perempuan, kelas ASA 3, derajat kesulitan operasi level 2, dengan komorbid keganasan dan Hipertensi, derajat keparahan Covid-19 kritis, kegawatdaruratan emergency, jenis operasi bedah digestif dan obstetri genikologi, serta pasien dengan waktu respons 24-72 jam. Kata kunci: COVID-19, infeksi, mortalitas, morbiditas, pembedahanItem Foot Surgery in A Patient with Concurrent Hemorrhagic Stroke Under Femorosciatic Nerve Block(2024-01-09) DIONISIUS ALBY; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenBackground : The Stroke due to intracerebral hemorrhage (ICH) is associated with high morbidity and mortality. Concurrent traumas such as crushing injury to extremities or chest and abdominal trauma may demand surgical intervention. The anesthetic management of extracranial surgery becomes challenging in the context of a concurrent intracranial lesion. Peripheral nerve block for foot surgery in those patients offers some advantages but is scarcely reported. Case Illustration : A 63-year-old man presented with an open wound on his left foot due to a grinding wheel injury 1 day before admission. The complaint was accompanied by weakness of the right limbs and inability to speak. He had an ischemic stroke 1 year ago. Motor assessment revealed right hemiparesis. Computed Tomography (CT) scan of the head showed an ICH in the left lentiform nucleus area, old infarcts in the right lentiform nucleus region, and multiple infarcts in the subcortical regions of the bilateral parietal lobes. He was diagnosed with an open fracture of the left proximal phalanx of the middle finger, a closed fracture of the left 4th metatarsal, 1st–4th digitorum tendon rupture of the left foot, and recurrent stroke on the contralateral side due to intracerebral hemorrhage of the left carotid system. The patient was classified as ASA III. He underwent tendon repair, open reduction internal fixation (ORIF) with K wire, and debridement. Anesthesia was done with femorosciatic block using bupivacaine 0.4%. The patient’s motor function was restored eight hours after the procedure without complications. Conclusion : Peripheral nerve block is a safe and effective anesthetic approach for patients undergoing foot surgery with concurrent hemorrhagic stroke. Keywords: Stroke, Intracerebral hemorrhage (ICH), Peripheral nerve block (PNB), Femorosciatic blockItem GAMBARAN ACUTE PHYSIOLOGIC AND CHRONIC HEALTH EVALUATION (APACHE) II, LAMA PERAWATAN, DAN LUARAN PASIEN DI RUANG INTENSIF RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PADA TAHUN 2017(2012) BRAMANTYO PAMUGAR; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenSkor acute physiologic and chronic health evaluation (APACHE) II, lama perawatan, dan luaran pasien merupakan indikator penting di Intensive Care Unit (ICU). Ketiga indikator ini dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ketiga indikator ini dapat dibandingkan di tempat lain dalam rangka peningkatan pelayanan ICU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran skor APACHE II, lama perawatan, dan luaran pasien yang dirawat di ICU RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2017. Metode yang digunakan adalah deskriptif observasional yang dilakukan secara retrospektif terhadap 303 obyek penelitian. Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medis pada bulan April 2018. Penelitian ini memperoleh hasil skor APACHE II berkisar antara 0−56 dengan rerata 16,68, angka mortalitas sebesar 130 (42,3%), dan lama perawatan berkisar antara 2−79 hari dengan rerata 9,89 hari. Data lain yang diperoleh mengemukakan ketidaksesuaian angka mortalitas aktual yang dapat dikarenakan perbedaan acuan prediksi mortalitas, derangement pada pasien cedera kepala, bias yang disebabkan karena penatalaksanaan pasien pre-ICU, dan satu waktu pemeriksaan skor APACHE II. Skor APACHE II pada pasien yang dirawat di ruang intensif membentuk gambaran grafik bell-shaped terhadap lama perawatan.Item GAMBARAN SKALA POST-COVID-19 FUNCTIONAL STATUS PASCA PERAWATAN INFEKSI COVID-19 DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG(2022-12-29) FITYAN AULIA RAHMAN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenCoronavirus Disease 2019 (COVID-19) menyebabkan penyakit pernapasan dengan bermacam gejala ringan sampai berat yang berkembang menjadi kondisi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan dapat memengaruhi perubahan kondisi fisiologis tubuh bahkan sampai pasca infeksi. Kuesioner Post Covid Functional Scale (PCFS) adalah sebuah alat ukur untuk menilai status fungsional pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada bulan ketiga dan keenam pasca infeksi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional terhadap pasien yang terkonfirmasi COVID-19 derajat sedang dan berat yang dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin selama periode Juni-Agustus 2021 pada bulan ketiga dan keenam pasca perawatan di rumah sakit. Metode penelitian dilakukan melalui wawancara via telepon terhadap subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan setuju untuk diikutsertakan dalam penelitian. Terdapat sebanyak 153 sampel penelitian dengan rentang usia terbanyak pada kelompok usia 18-64 tahun yaitu 127 pasien (83%), dengan jumlah pasien laki-laki sebanyak 80 orang (52,3%), dan pasien dengan indeks massa tubuh normal sebanyak 91 orang (59,4%). Pasien dengan derajat berat berjumlah 37 pasien (24,2%) dan derajat sedang berjumlah 116 pasien (75,8%). Pada pemantauan bulan ketiga terdapat 47 responden dengan skala 0 (30,7%), 50 responden skala 1 (32,7%), 32 responden dengan skala 2 (20,9%), 19 responden skala 3 (12,4%) dan 55 responden memiliki skala 4 (3,3%). Pada pemantauan bulan keenam terdapat 125 responden dengan skala 0 (81,7%), 23 responden dengan skala 1 (15%), dan 5 responden dengan skala 2 (3,3%). Penilaian status fungsional pada pasien pasca infeksi COVID-19 memiliki peranan penting dalam mengetahui proses penyakit dan pemulihan pada pasien pasca infeksi COVID-19. Pada penyintas COVID-19 derajat sedang dan berat yang telah dirawat di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung, sebagian besar pasien yang mengalami penurunan status fungsional mengalami perbaikan pada bulan keenam pasca infeksi berdasarkan kuesioner PCFS.Item HIPERKAPNIA SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS PASIEN COVID-19 DI RUANG RAWAT INTENSIF(2022-12-29) INDRA WIJAYA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenVirus SARS-CoV-2 menyebabkan penyakit pernapasan akut yang disebut COVID- 19 dan menyebabkan pandemi global. Proses aktivasi trombosis intravascular pada COVID-19 menyebabkan komplikasi trombosis mikrovaskular dan makrovaskular sehingga terjadi peningkatan ruang mati paru dan meningkatkan kadar PaCO2. Hiperkapnia menyebabkan banyak banyak perubahan fisiologis dalam tubuh, meliputi sirkulasi paru dan sistemik dan diketahui meningkatkan resiko mortalitas pasien ARDS yang di rawat di ICU. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hiperkapnia sebagai prediktor mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat diruang rawat intensif isolasi RSUP Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan berdasarkan data pasien pada periode Maret 2020 Desember 2021. Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan rancangan kohort retrospektif. Data PaCO2 pasien diambil saat hari pertama pasien dirawat di ICU dan status mortalitas pasien di hari rawat ke-7 dan 28 hari. Dari hasil analisis statistik diperoleh nilai P <0,05 dengan OR = 7,07 (CI 2,519 19,850) pada mortalitas hari ke-7, dan nilai P <0,05 dengan OR 44,33 (CI 9,182 214,062) pada mortalitas hari ke-28. Kondisi hiperkapnia merupakan prediktor mortalitas hari ke-7 dan ke-28 perawatan pada pasien COVID-19 yang dirawat di ruang rawat intensif isolasi.Item HUBUNGAN ANTARA LAMA WAKTU PINTAS JANTUNG PARU DENGAN LAMA WAKTU PERAWATAN DI RUANGAN INTENSIF PADA PASIEN PASCABEDAH PINTAS ARTERI KORONER DI RSUP DR HASAN SADIKIN BANDUNG(2019) M. ARIS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenBedah pintas arteri koroner (BPAK) adalah suatu tindakan intervensi pada penyakit jantung koroner (PJK) yang tidak dapat ditangani hanya dengan intervensi farmakologis. Pasien pasca BPAK membutuhkan penanganan yang seksama di unit perawatan intensif, PJP beserta komplikasinya dan anestesi yang lebih panjang memiliki pengaruh terhadap lenght of stay (LoS). Pasien yang masa rawatnya memanjang berpotensi penundaan tindakan pada pasien jantung lain. Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui korelasi lama waktu PJP dengan lama waktu perawatan di ruangan intensif pada pasien yang menjalani BPAK. Data subjek yang menjalani BPAK pada periode 2020-2021 diambil lalu dipilih dengan menggunakan metode simple random sampling. Data diambil dari rekam medis meliputi usia, jenis kelamin, FEVK, komorbid, lama PJP, lama waktu klem aorta dan lama perawatan di unit perawatan intensif (n=49) dengan mengekslusi subjek yang meninggal pada masa perawatan di unit perawatan intensif. Analisis statistik data numerik menggunakan uji korelasi pearson pada data berdistribusi normal serta uji Kolmogorov-smirnov pada data tidak berdistribusi normal. Hasil penelitian menunjukkan lama waktu PJP yang secara statistik mempengaruhi (nilai p 0,032) dan menyatakan hubungan keeratan cukup kuat (nilai r 0,426) sedangkan lama waktu klem aorta yang bermakna secara statistik (p 0,001) dan memiliki hubungan keeratan cukup kuat (r 0,478) dengan masa perawatan di unit perawatan intensif pasca BPAK. Kesimpulan dari penelitian ini adalah semakin lama waktu PJP berkorelasi terhadap memanjangnya lama perawatan di unit perawatan intensif pasca BPAK.Item HUBUNGAN ANTARA RASIO NETROFIL LIMFOSIT TERHADAP SKOR SEQUENCIAL ORGAN FAILURE ASESSMENT PADA PASIEN-PASIEN YANG DIRAWAT DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN(2013-06-27) ADI NUGROHO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenRespon sistem imunitas terhadap kerusakan jaringan akibat infeksi ataupun luka fisik adalah reaksi inflamasi. Inflamasi ini berfungsi melindungi tubuh dari rangsangan luar yang merusak, tapi pada kondisi tertentu proses ini justru dapat mengakibatkan gangguan atau kerusakan fungsi organ. Respon fisiologis sistem imunitas terhadap inflamasi sistemik adalah peningkatan jumlah netrofil dan penurunan jumlah limfosit atau peningkatan peningkatan rasio netrofil-limfosit (RNL). Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan inflamasi sistemik ditandai peningkatan RNL terhadap kegagalan fungsi organ-ditandai dengan skor SOFA pada pasien yang dirawat di ICU. Penelitian ini dilakukan dengan mengobsevasi RNL dan skor SOFA pada jam ke-0, jam ke-24 dan jam ke-48 dari 78 pasien yang dirawat di ICU. Pasien dibagi menjadi 3 kategori sepsis A, B dan C. Didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara RNL dan skor SOFA terhadap kategori sepsis dengan masing-masing nilai p5 (B) dengan nilai p<0,001. Dengan uji korelasi Pearson didapatkan hubungan antara RNL dan skor SOFA dengan nilai p<0,05 dengan R=0,63. Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara keadaan inflamasi sistemik yang ditandai dengan RNL dengan kegagalan fungsi organ yang ditandai dengan skor SOFA pada pasien-pasien yang dirawat di ICU RS Hasan Sadikin Bandung.Item Intubasi Fiber Optic pada Pasien Anak dengan Syngnathia dan Pseudoankilosis Sendi Temporomandibular: Laporan Kasus(2019) HAFIZH BUDHIMAN MAHMUD; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenManajemen jalan napas pada pasien anak dengan malformasi kraniofasial merupakan tantangan karena sulit dilakukan. Laporan kasus ini bertujuan menjelaskan manajemen anestesi pada pasien anak dengan syngnathia anterior dan pseudoankilosis temporomandibular. Seorang anak perempuan berusia 2 tahun dengan diagnosis syngnathia segmen anterior dan pseudoankilosis temporomandibular dijadwalkan untuk operasi elektif. Intubasi fiber optic dilakukan pada pernapasan spontan (spontaneous breathing) melalui insuflasi menggunakan perangkat jalan napas nasofaring yang dimodifikasi. Dilakukan teknik “spray-as- you-go” dengan lidokain yang diencerkan dan intubasi nasal menggunakan fiber optic dari saluran hidung kontralateral menggunakan tabung endotrakeal uncuffed ukuran 4,5. Metode intubasi fiber optic dapat berhasil digunakan pada anak dengan malformasi kraniofasial.Item Ketorolac Administration with Ketorolac and Bilateral Superficial Cervical Plexus Blocks Comparison to Total Post-Thyroidectomy Analgesic Rescue Needs(2023-07-13) SANDI FATHIR; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenThyroidectomy is generally performed by a surgeon with a short operating duration. Inadequate postoperative pain treatment results in several physiological and psychological outcomes, including prolonged hospital stays and the development of chronic pain. This study aims to compare the administration of ketorolac with a combination of ketorolac and bilateral superficial cervical plexus blocks to the total need for analgetic rescue after thyroidectomy surgery. This study used an experimental study with a single-blind randomized control trial method for both study groups. After surgery, group A was given an IV injection of 30 mg ketorolac, while group B was given IV injections of 30 mg ketorolac and bilateral superficial cervical plexus block under ultrasound guidance and 10 ml of 0.25% bupivacaine on each side of the neck before surgery was completed. Both groups would be monitored for 2 hours. The average value of total analgetic rescue needs in the patient group given ketorolac was 195.24 ± 72.72 mcg. While the total need for analgetic rescue in the group of patients who were given a combination of ketorolac and bilateral superficial cervical plexus blocks was 44.05 ± 19.21 mcg. The results of the unpaired T-test showed a p-value of 0.001. There is a significant difference in the total need for analgetic rescue in patients receiving ketorolac.Item Nilai uji diagnostik parameter Thromboelastography (TEG) terhadap Sepsis Induced Coagulopathy (SIC) pada pasien sepsis yang dirawat di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung(2023-07-10) UTA PROVINSIANA SUKMARA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenSepsis dikaitkan dengan gangguan hemostasis yang dimulai dari aktivasi koagulasi secara subklinis yang disebut keadaan hiperkoagulabilitas. Proses koagulopati terjadi dalam patogenesis sepsis dikenal dengan Sepsis-Induced Coagulopathy (SIC). Informasi yang tepat untuk mendeteksi gangguan hemostasis dapat diperoleh dengan pemeriksaan Thromboelastography (TEG). Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai uji diagnostik parameter TEG terhadap SIC pada pasien didiagnosis sepsis. Penelitian observasional analitik dengan rancangan crossectional dilakukan terhadap 35 pasien sepsis yang dirawat di ruang Intensif Care Unit (ICU). Kurva ROC (Receiver Operating Characteristic) digunakan menguji kualitas nilai diagnostik dengan menentukan nilai diskriminasi AUC (Area Under Curve). Simpulan dari penelitian ini adalah parameter TEG Pasien dengan SIC memiliki rerata abnormal dan skor SOFA yang lebih tinggi daripada pasien tanpa SIC (P <0,001). Parameter α angle sensitivitas 85,7% dan spesifisitas 78,6%, dan MA sesitivitas 80,9% spesifisitas 78,6%, sedangkan Coagulation Index (CI) sensitivitas 90,5% dan spesifisitas 85,7%. Nilai AUC CI mendiagnosis SIC 0,876 dan MA 0,886. Parameter TEG memiliki nilai diagnostik yang sedang hingga kuat untuk SIC. TEG dapat dijadikan pemeriksaan rutin dalam pentalaksanaan pasien sepsis. Keadaan hiperkoagubilitas dapat diketahui lebih awal dengan TEG, sehingga intervensi lebih dini, dan dapat menurunkan mortalitas pasien sepsis