Browsing by Author "Yurika Ambar Lita"
Now showing 1 - 13 of 13
Results Per Page
Sort Options
Item DESKRIPSI GAMBARAN KESALAHAN RADIOGRAF SEFALOMETRI YANG SERING TERJADI DI RSGM UNPAD(2020-04-17) AULIA MADINI FAWAZ; Suhardjo; Yurika Ambar LitaPendahuluan:Sejumlah publikasi telah menunjukkan bahwa banyak radiografi gigi yang diambil memiliki kualitas yang buruk sehingga tidak memiliki nilai diagnostik. Kesalahan radiograf sefalometri yang paling sering terjadi diantaranya adalah kesalahan posisi kepala dan kontras.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kesalahan radiograf sefalometri yang sering terjadi di RSGM Unpad.Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa 102 radiograf sefalometri pasien berusia 6-22 tahun dari Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Padjdjaran. Sampel diambil dalam rentang bulan Mei-November 2019 menggunakan teknik random sampling.Kesalahan radiograf posisi kepala terhadap bidang transversal, posisi kepala terhadap bidang vertikal, dan kontras diukur menggunakan aplikasi ImageJ.Realibilitas pengukuran dianalisa dengan intraclass correlation coefficient.Hasil: Kesalahan posisi kepala terhadap bidang transversal 91,17%, kesalahan posisi kepala terhadap bidang vertikal 94,11%, dan kesalahan kontras 27,45% Pembahasan:Kesalahan posisi kepala dapat terjadi akibat kesalahan protokol, keadaan anatomi pasien, dan kesalahan penentuan titik pada radiograf. Kesalahan kontras pada radiograf dapat dipengaruhi oleh tegangan tabung x-ray, arus tabung x-ray, waktu pemaparan dan kualitas mesin x-ray yang digunakan. Kesalahan paling sering terjadi pada pasien perempuan bisa dipengaruhi oleh karena jumlah populasi perempuan yang lebih besar dari laki-laki.Kesalahan paling sering terjadi pada anak-anak karena motorik serta emosi yang masih dalam tahap perkembangan, pada dewasa muda akibat kejelasan protokol operator.Simpulan:Kesalahan radiograf sefalometri yang sering terjadi di RSGM Unpad didominasi oleh kesalahan identifikasi landmark akibat kontras dan proyeksi akibat rotasi kepala. Kesalahan radiograf sefalometri yang paling sering terjadi adalah kesalahan posisi kepala terhadap bidang vertikal.Kesalahan paling sering terjadi pada pasien perempuan. Kelompok usia yang paling sering mengalami kesalahan adalah anak-anak dan dewasa muda.Item Deskripsi Karakteristik Lokasi, Bentuk dan Tepi Lesi Radiopak pada Rahang dengan Metode Invert Ditinjau dari Radiograf Panoramik(2020-04-17) JEANNIFER EMMALINE CHRISTY CORPUTTY; Ria Noerianingsih; Yurika Ambar LitaPendahuluan: Kasus lesi radiopak pada rahang merupakan kasus yang umum dalam bidang kedokteran gigi dan seringkali tidak sengaja ditemui pada saat perawatan gigi tertentu atau pemeriksaan radiografi rutin. Pasien biasanya tidak menyadari adanya lesi radiopak karena sifatnya asimtomatik dan/atau dokter gigi sebagai klinisi terkadang kurang memperhatikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran lesi berdasarkan karakteristik lokasi, bentuk dan tepi. Metode: Penelitian dilakukan terhadap 114 sampel radiograf panoramik dengan total 151 kasus lesi radiopak pada rahang, kemudian dilakukan invert untuk memperjelas gambaran karakteristik bentuk dan tepi lesi, lalu dianalisis dan diklasifikasikan berdasarkan lokasi, bentuk dan tepi lesi. Hasil: Sebanyak 151 kasus lesi radiopak pada rahang, ditemukan 98.01% lesi terjadi pada rahang bawah, 96.69% lesi berbentuk unilokuler dan 82.78% lesi memiliki tepi well-defined. Pembahasan: Karakteristik lesi radiopak pada rahang di RSGM Unpad menunjukkan lokasi rahang bawah, bentuk unilokuler dan tepi well-defined. Penggunaan metode invert untuk menunjang interpretasi karakteristik lesi membutuhkan persepsi kualitatif peneliti. Simpulan: Karakteristik lesi radiopak dari arsip Instalasi Radiologi Kedokteran Gigi RSGM Unpad yaitu banyak terjadi pada rahang bawah, berbentuk unilokuler, dan memiliki tepi well-defined ditinjau dari radiograf panoramik dengan metode invert.Item Gambaran Asimetri Ketinggian Kondilus pada Pasien Edentulous Melalui Radiografi Panoramik(2023-07-13) RAUZANYA AMARA; Yurika Ambar Lita; Belly SamPendahuluan: Asimetri kondilus merupakan keadaan terjadinya disproporsi ketinggian vertikal kondilus kiri dan kanan. Edentulisme, atau keadaan hilangnya gigi, dapat mengganggu fungsi mastikasi, estetik, dan bicara. Migrasi patologis gigi yang disebabkan oleh kehilangan gigi dapat menyebabkan maloklusi, yang selanjutnya memberikan beban berlebih pada TMJ. Beban berlebih telah dihubungkan dengan perbedaan morfologi kondilus kanan dan kiri. Peneliti belum banyak menemukan publikasi mengenai hubungan edentulisme dengan asimetri kondilus. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran asimetri ketinggian kondilus pada pasien edentulous. Metode: Penelitian observasional secara potong lintang pada pasien edentulous yang datang ke Instalasi Radiologi RSGM Unpad untuk mengambil foto radiograf panoramik. Pasien diminta untuk mengisi kuesioner pertanyaan TMD-DI dan pertanyaan terkait keterangan edentulisme pasien. Radiograf panoramik dilakukan pengukuran menggunakan indeks Habets untuk menentukan ada atau tidaknya asimetri kondilus. Hasil kuesioner dan data panoramik digunakan untuk membagi kluster sampel. Data ditampilkan dalam distribusi frekuensi. Hasil: Didapatkan 54 sampel yang mengalami edentulisme parsial pada gigi posterior. Asimetri kondilus ditemukan pada 51.85% sampel. Asimetri kondilus lebih sering ditemukan pada sampel perempuan dan sampel di kelompok usia 50-60 tahun. Berdasarkan variabel edentulisme, sampel lebih sering mengalami asimetri kondilus pada kelompok kehilangan 6 – 10 gigi, sampel dengan kehilangan gigi di 4 kuadran, dan sampel dengan durasi edentulisme 3 bulan – 1 tahun. Asimetri kondilus juga lebih sering ditemui pada sampel yang mendapatkan hasil skoring TMD-DI negatif. Simpulan: Asimetri ketinggian kondilus ditemukan lebih banyak pada pasien edentulous. Penelitian ke depannya dibutuhkan untuk menentukan korelasi antara asimetri kondilus dan variabel-variabel edentulisme.Item Gambaran Morfologi Kepala Kondilus pada Edentulous dengan Radiografi Panoramik(2020-03-05) ALDIRRA NAUFA KAMILA; Yurika Ambar Lita; AzhariPendahuluan: Beberapa konsekuensi akan terjadi saat gigi hilang. Pada kondisi edentulous, mandibula akan mengalami beberapa transformasi sebagai adaptasi dari kondilus terhadap perubahan beban yang diterima. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran kepala kondilus pada pasien edentulous dengan radiografi panoramik. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa 30 radiograf panoramik pasien edentulous dari Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Padjadjaran. Sampel diambil menggunakan teknik purposive sampling. Kondilus disegmentasi dengan aplikasi ImageJ plugin MorphLlibJ. Bentuk kepala kondilus diklasifikasikan menjadi round, convex, angled, dan flattened berdasarkan penilaian secara visual. Hasil: Distribusi kepala kondilus bentuk round 43%, convex 33%, flattened 15%, dan angled 8%. Kesamaan bentuk kondilus pada kedua sisi sebanyak 87%, sementara 13% lainnya berbeda. Pembahasan: Morfologi kepala kondilus pada pasien edentulous memiliki empat variasi yang didominasi oleh bentuk round dan kesamaan bentuk kondilus pada kedua sisi lebih banyak ditemukan. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor, diantaranya lamanya pasien mengalami edentulous, penggunaan gigi tiruan, usia, besarnya beban kunyah yang diterima kondilus pada kedua sisi, dan remodeling. Simpulan: Gambaran morfologi bentuk kepala kondilus bervariasi pada edentulous. Bentuk yang paling sering ditemukan adalah bentuk round dan yang paling sedikit adalah bentuk angled. Kesamaan bentuk antara kondilus pada kedua sisi lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan perbedaan bentuk. Kata kunci: Kondilus, edentulous, sendi temporomandibula.Item Karakteristik Impaksi Molar Ketiga Rahang Atas pada Populasi Kota Bandung(2021-07-09) ALIFYA FAHIRA; Indra Hadikrishna; Yurika Ambar LitaPendahuluan: Gigi molar ketiga (M3) adalah gigi yang paling sering mengalami impaksi karena paling terakhir erupsi sehingga seringkali tidak memperoleh tempat yang cukup untuk erupsi karena tertahan oleh gigi di depannya. Karakteristik impaksi gigi M3 dapat berbeda pada setiap orang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik impaksi M3 rahang atas berdasarkan usia, jenis kelamin, klasifikasi, tindakan, dan anestesi pada populasi Kota Bandung. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data sekunder berupa rekam medis, dan radiografi panoramik di RSGM Unpad menggunakan teknik purposive sampling. Penentuan karakteristik impaksi menggunakan klasifikasi berdasarkan Archer, Shiller, Jung dan Cho serta Killy dan Kay yang dianalisis melalui software ImageJ secara interobserver, dan intraobserver. Hasil diuji menggunakan metode perhitungan Kappa untuk reliabilitas data. Hasil: Terdapat 134 gigi impaksi dari 102 pasien kasus impaksi dengan 67 (66,34%) perempuan. Kasus impaksi gigi paling banyak terjadi pada kelompok usia 17-25 tahun (60,4%). Impaksi Kelas B, 82 kasus (60,9%); distoangular, 76 kasus (56,72%); hubungan dengan sinus maksilaris Kelas 3, 70 kasus (52,24%); dan jumlah akar satu fusi, 87 kasus (64,93%) adalah kasus impaksi yang paling banyak ditemukan. Mayoritas tindakan dilakukan melalui odontektomi 89 kasus (87,25%) dan menggunakan anestesi lokal 65 (63,73%). Simpulan: Penelitian mengenai karakteristik M3 rahang atas, baik dalam hal posisi, angulasi, dan kaitannya dengan usia serta jenis kelamin, diperlukan dalam menegakkan diagnosis sehingga rencana perawatan dan tatalaksana yang dilakukan oleh klinisi menjadi lebih tepat dan aman. Radiografi panoramik masih dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi dan diagnosis dalam menyusun rencana perawatan walaupun memiliki keterbatasan.Item Korelasi Antara Pola Sidik Bibir Metode Suzuki dan Tsuchihashi dengan Sidik Jari Telunjuk(2020-10-23) VALENSIA SUWARLAND; Dewi Zakiawati; Yurika Ambar LitaPendahuluan: Sidik jari merupakan sarana identifikasi primer, sementara sidik bibir adalah sarana identifikasi sekunder. Penelitian mengenai sidik bibir dan sidik jari telunjuk telah dilakukan pada beberapa negara, namun masih belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi sidik bibir dengan sidik jari telunjuk. Metode: Metode penelitian ini yaitu analitik korelasional. Sampel penelitian ini sebanyak 135 orang mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran yang diambil secara purposive non-random sampling. Pengambilan data sidik bibir secara fotografi dengan kamera DSLR dan sidik jari menggunakan fingerprinter. Data sidik bibir diolah dengan aplikasi ImageJ. Penentuan pola sidik bibir berdasarkan klasifikasi Suzuki dan Tsuchihashi dan sidik jari berdasarkan klasifikasi FBI. Hasil: Pola yang paling sering muncul pada sidik bibir adalah tipe II (76,50%) dan pada sidik jari telunjuk adalah Loop (52,60%). Uji korelasi antara sidik bibir dan sidik jari menggunakan statistik Cramer’s V, secara keseluruhan menunjukkan korelasi yang rendah, baik dengan telunjuk kanan maupun telunjuk kiri. Akan tetapi, jika sidik bibir dibagi per kuadran ditemukan adanya beberapa korelasi sedang antara kuadran 1 dengan telunjuk kanan (0,308) dan kiri (0,310), serta kuadran 5 dengan telunjuk kiri (0,316). Pembahasan: Jari telunjuk setiap individu memiliki satu pola yang khas, sementara sidik bibir setiap orang memiliki beberapa pola, bahkan pada setiap kuadrannya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini menunjukkan hanya sedikit pola sidik jari telunjuk dan sidik bibir yang memiliki korelasi sedang. Simpulan: Terdapat korelasi lemah antara pola sidik bibir dengan sidik jari telunjuk dan saat dibagi per kuadran terdapat korelasi sedang antara kuadran 1 dengan sidik jari telunjuk kanan dan kiri, serta kuadran 5 dan sidik jari telunjuk kiri.Item Korelasi antara Sidik Bibir Metode Suzuki dan Tsuchihashi dengan Sidik Rugae Palatina(2020-07-14) SALSABILA RIZKI PUTRI; Dewi Zakiawati; Yurika Ambar LitaPendahuluan: Rugae Palatina dan sidik bibir merupakan sarana identifikasi alternatif apabila identifikasi primer tidak dapat dilakukan. Keduanya memiliki pola yang dapat mewakili suatu individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara sidik bibir dan sidik rugae palatina. Metode: Penelitian ini dilakukan pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran dengan jumlah sampel 135 orang menggunakan metode purposive sampling. Sampel diambil dengan bantuan kamera DSLR. Klasifikasi Suzuki dan Tsuchihashi dipakai untuk penentuan pola sidik bibir, sementara sidik rugae palatina ditentukan dengan klasifikasi Martin Dos Santos. Selanjutnya sidik bibir dan sidik rugae palatina dianalisis dengan aplikasi ImageJ, namun sidik rugae palatina harus diolah terlebih dahulu menggunakan bantuan aplikasi lainnya, yaitu Photoshop. Hasil: Bentuk sidik bibir yang paling sering muncul adalah Branched Grooves (Tipe II) dengan persentase 57% dan bentuk sidik rugae palatina yang paling sering muncul adalah Curve (C) dengan persentase 21% pada rugae palatina kanan dan kiri. Berdasarkan analisis statistik menggunakan Cramer’s v, terdapat korelasi sedang antara sidik bibir dan sidik rugae palatina dengan korelasi terbanyak pada sidik rugae ke-1 kanan dan kuadran 3,5,6 dan 7 pada bibir. Pembahasan: Sidik bibir memiliki pola yang berbeda pada setiap kuadran, dan sidik rugae palatine juga memiliki bentuk yang spesifik pada setiap rugae. Sidik rugae palatina dan sidik bibir menunjukkan korelasi yang lebih signifikan apabila sidik rugae palatina dihubungkan dengan sidik bibir yang dibagi berdasarkan delapan kuadran bibir dengan rentang nilai berkisar antara 0,3-0,5. Simpulan: Terdapat korelasi sedang antara sidik rugae palatina dan sidik bibir. Kombinasi yang paling sering muncul yaitu sidik rugae palatina ke-1 kanan dengan kuadran 3,5,6 dan 7 pada sidik bibir dengan rentang nilai berkisar antara 0,3-0,5.Item KORELASI USIA KRONOLOGIS DENGAN AREA CERVICAL VERTEBRAE MATURATION (CVM) 2,3,4 MENGGUNAKAN RADIOGRAF SEFALOMETRI PADA SUBRAS DEUTRO-MELAYU(2020-01-24) EKI AZZAKY; Fahmi Oscandar; Yurika Ambar LitaPendahuluan: Identifikasi usia pada individu remaja dalam berbagai kasus tindak pidana masih menemui banyak kesulitan. Penentuan usia menggunakan cervical vertebrae merupakan salah satu pendekatan ilmiah yang dapat dijadikan sebagai alternatif metode. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi usia kronologis dengan area cervical vertebrae maturation (CVM) 2,3,4 menggunakan radiograf sefalometri pada Subras Deutro-Melayu. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa 96 radiograf sefalometri pasien berusia 9-20 tahun dari Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Padjdjaran. Sampel diambil dalam rentang tahun 2016-2018 menggunakan teknik purposive non-random sampling. Luas area cervical vertebrae diukur menggunakan aplikasi Fiji Imagej dengan plugin Morphological Segmentation dalam satuan mm2. Hasil pengukuran dianalisa dengan intraclass correlation dan uji korelasi pearson. Hasil: Luas area cervical vertebrae maturation (C2,C3,C4) dengan usia kronologis menunjukkan tingkat korelasi yang sangat kuat. Koefisien korelasi (r) CVM 2 = 0,959, CVM 3 = 0,968 , dan CVM 4 = 0,966. Pembahasan: Pola pertambahan luas cervical vertebrae cenderung meningkat pada usia 9-17 tahun dan cenderung mendatar pada usia 17-20 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia 9-17 merupakan masa pubertas sehingga terjadi peningkatan aktivitas hormon yang mengakibatkan pesatnya pertumbuhan cervical vertebrae. Setelah selesai masa pubertas tingkat pertumbuhannya sedikit. Simpulan: Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara usia kronologis dengan area cervical vertebrae maturation (CVM 2,3,4) pada Subras Deutro-melayu.Item Korelasi Usia Kronologis dengan Ketebalan Dentin Radikular Gigi Kaninus Subras Deutro-Melayu dengan Aplikasi ImageJ(2020-07-13) AMALINA CANDRADITYA PUTRI; Nani Murniati; Yurika Ambar LitaPendahuluan: Proses estimasi usia merupakan metode penting yang dibutuhkan dalam kepentingan peradilan dan tindak kriminal pada individu hidup. Penggunaan ketebalan dentin radikular menggunakan radiograf CBCT merupakan metode alternatif yang non-invasif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya korelasi antara ketebalan dentin radikular gigi kaninus dengan usia kronologis pada Subras Deutro-Melayu. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa 153 file radiograf CBCT pasien Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Padjadjaran dari tahun 2013-2018 dengan usia 14-60 tahun secara purposive sampling. Ketebalan dentin radikular diukur dengan aplikasi ImageJ dan plugin Morphological Segmentation. Pada hasil pengukuran dilakukan uji Interclass Correlation Coefficient dan uji korelasi Pearson. Hasil: Ketebalan dentin radikular total dengan usia kronologis sebesar r = 0,591 dengan p-value 0,000, nilai korelasi pada laki-laki sebesar r = 0,586 dengan p-value 0,000 dan nilai korelasi pada perempuan sebesar r = 0,592 dengan p-value 0,000. Hasil uji regresi menunjukkan nilai yang rendah pada perempuan (R² = 0,351) dan laki-laki (R² = 0,334). Pembahasan: Ketebalan dentin radikular meningkat seiring dengan pertambahan usia disebabkan karena pembentukan dentin sekunder di sekitar pulpa. Ketebalan dentin radikular pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Ketebalan dentin radikular pada sisi lingual lebih besar dibandingkan pada sisi labial. Simpulan: Terdapat korelasi antara usia kronologis dengan ketebalan dentin radikular gigi kaninus pada Subras Deutro-Melayu.Item KORELASI USIA KRONOLOGIS DENGAN KETEBALAN DENTIN SERVIKAL GIGI KANINUS SUBRAS DEUTRO- MELAYU MENGGUNAKAN APLIKASI IMAGE J(2020-07-13) NADIA CINDY PRAMITA; Yurika Ambar Lita; Nani MurniatiPendahuluan: EstimasiIusia memiliki peran penting dalamImengidentifikasi individu terutama dalam beberapa insiden bencana alam dan dapat dilakukan dengan cara mengukur ketebalanidentin servikal pada radiograf. Deposisi dentin sekunder berlangsung seumur hidup sehingga dapat dijadikan indikator untuk mengestimasi usia. TujuanIpenelitian ini untuk mengetahui adanya korelasi antara ketebalan dentin servikal gigi kaninus denganIusia kronologis pada Subras Deutro-Melayu Metode: Jenis penelitianIini adalah analitik korelasi dengan sampel yang diambil secara purposive non-random sampling menggunakan data sekunder berupa 150 slice radiograf CBCT pasien Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas PadjadjaranIdari tahun 2013-2018 dengan usia 14-60 tahun. Ketebalan dentin servikal diukur dengan aplikasi ImageJ dan plugin Morphological Segmentation. Pada hasil pengukuran dilakukan uji interclass correlation coefficient dan ujiIkorelasi Pearson. Hasil: Menunjukkan adanya korelasi dengan nilai korelasi keseluruhan sebesar 0,663, nilai korelasi pada perempuan sebesar 0,720 dan nilai korelasi pada laki-laki sebesar 0,612 Pembahasan: Ketebalan dentin servikal meningkat seiring dengan pertambahan usia karenaIdeposisi dentin sekunder. Rata- rata ketebalanIdentin servikal pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Ketebalan dentin servikal pada sisi lingual lebih besar dibandingkan pada sisi labial. Simpulan: Terdapat korelasi antara usia kronologis dengan ketebalan dentin servikal gigi kaninus pada subras deutro-Melayu. Kata kunci: Forensik odontologi, estimasi usia, ketebalan dentin servikal, gigi kaninusItem KORELASI USIA KRONOLOGIS DENGAN LUAS DENTIN PADA RADIOGRAF POTONGAN SAGITAL GIGI KANINUS SUBRAS DEUTERO-MELAYU(2020-04-24) FAJAR REZHA NURSYA`BAN; Yurika Ambar Lita; Fahmi OscandarABSTRAK Pendahuluan: Identifikasi usia pada individu hidup maupun yang sudah meninggal khususnya di negara indonesia masih belum memiliki metode yang bersifat cepat, aplikatif dan bersifat non-invasive. Identifikasi usia menggunakan gigi pada penelitian terdahulu telah terbukti sebagai metode yang akurat serta dapat dijadikan sebagai metode alternatif dalam melakukan identifikasi usia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data pengukuran serta mengetahui apakah terdapat korelasi usia kronologis dengan luas dentin gigi kaninus subras Deutero � Melayu menggunakan radiograf CBCT potongan sagital. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa 158 radiografi CBCT gigi kaninus potongan bidang sagital pada pasien berusia 14 � 60 tahun dari Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Padjadjaran. Sampel diambil dalam rentang tahun 2013-2018 dengan menggunakan teknik purposive non-random sampling. Luas dentin diukur dengan menggunakan aplikasi Fiji ImageJ dengan plugin Morphological segmentation dalam satuan mm2. Hasil pengukuran dianalisa dengan menggunakan software SPSS dengan uji intraclass correlation dan uji korelasi pearson. Hasil: Luas dentin gigi kaninus pada potongan bidang sagital dengan usia kronologis menunjukan hasil korelasi yang kuat menurut Schober. Koefisien korelasi (r) = 0,700. Pembahasan: Berdasarkan pengklasifikasian usia menurut WHO yang dibagi kedalam lima kelompok usia. Pola pertambahan luas dentin menunjukan hasil yang terus meningkat seiring bertambahnya usia. Adapun pola peningkatan terbesar terjadi pada kelompok usia early adulthood hingga midle adulthood. Hal ini terbukti merupakan pengaruh dari adanya hormon seks yang mempengaruhi fungsi lapisan odontoblas. Simpulan: Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat korelasi yang kuat antara usia kronologis dengan luas dentin pada radiograf potongan sagital gigi kaninus Subras Deutero-Melayu.Item Korelasi Usia Kronologis Manusia dengan Volume Dentin pada Gigi Kaninus Maksila(2022-07-11) ALISHA ZUCHRAINI PANDJI; Yurika Ambar Lita; Winny YohanaPendahuluan: Salah satu metode identifikasi dalam odontologi forensik adalah dengan memperkirakan usia melalui karakteristik gigi. Seiring bertambahnya usia, sel odontoblast yang melapisi kavitas pulpa akan melanjutkan proses deposisi dentin sekunder dengan laju yang lebih rendah. Gigi kaninus maksila pada umumnya merupakan gigi yang dapat bertahan di rongga mulut hingga usia tua dan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami keausan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara usia kronologis manusia dengan volume dentin gigi kaninus maksila menggunakan radiograf CBCT. Metode: Studi analitik uji korelasi Pearson dilakukan pada 114 sampel radiograf CBCT gigi kaninus maksila dari Unit Radiologi Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran. Kriteria inklusi penelitian ini merupakan gigi kaninus dalam keadaan apeks tertutup sempurna, tidak karies, tidak atrisi, tanpa restorasi, tanpa perawatan ortodonti, dan dalam keadaan sehat secara umum. Volume dentin gigi kaninus maksila diukur menggunakan aplikasi ITK-SNAP versi 3.8.0.. Hasil perhitungan volume dentin dilakukan analisis uji korelasi Pearson menggunakan SPSS IBM Statistik 25. Hasil: Analisis korelasi Pearson menunjukkan nilai koefisien korelasi (r= 0.270) pada sampel laki-laki dan nilai koefisien korelasi Pearson (r = 0.427) pada sampel perempuan. Simpulan: Terdapat korelasi yang sedang antara usia kronologis dengan volume dentin gigi kaninus maksila pada sampel perempuan dan korelasi yang lemah pada sampel laki-laki. Korelasi antara usia kronologis manusia dengan volume dentin gigi kaninus maksila tidak cukup kuat untuk dijadikan parameter tunggal dalam metode estimasi usia.Item Studi retrospektif profil impaksi kaninus rahang atas di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Padjadjaran(2021-07-09) GINDA ADILLA SUWANDI; Farah Asnely Putri; Yurika Ambar LitaPendahuluan: Gigi kaninus rahang atas memiliki peran kunci dalam hal estetika dan kontinuitas lengkung gigi. Impaksi kaninus merupakan gigi ketiga paling sering mengalami impaksi selain gigi molar tiga baik pada rahang atas dan rahang bawah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendapat deskripsi mengenai profil impaksi gigi kaninus rahang atas di RSGM UNPAD berdasarkan usia, jenis kelamin, klasifikasi, jenis rencana tindakan perawatan. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif studi retrospektif yang dilakukan pada Februari hingga Maret 2021 berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian diambil menggunakan teknik purposive sampling dan penentuan gambaran impaksi menggunakan klasifikasi berdasarkan Stivaros Mandal, Ghenoima, dan Yamammoto. Hasil dan pembahasan: Terdapat 76 pasien memiliki kasus impaksi kaninus pada rahang atas dengan prevalensi usia rentang 10-25th dan mayoritas terjadi pada wanita (42,56%) dan laki-laki (15,20%). Analisis klasifikasi Stivaros dan Mandall banyak pasien impaksi kaninus Derajat III 59,40%, klasifikasi Ghenoima prevalensi paling besar pada Tipe E 27,00% dan klasifikasi Yamammoto prevalensi terbesar pada Tipe II 41,40%. Hasil analisis rencana tindakan perawatan pasien dilakukan tindakan bedah eksposur memiliki persentase 0,03% dan Odontektomi 0,03%. Simpulan: Prevalensi impaksi gigi kaninus rahang atas mayoritas terjadi pada usia 10-25 tahun dengan angulasi derajat III, posisi mesioangular dengan letak diantara anterior-inferior sinus maksilaris.