Ilmu Bedah Syaraf (Sp.)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Bedah Syaraf (Sp.) by Title
Now showing 1 - 19 of 19
Results Per Page
Sort Options
Item ANALISIS FAKTOR RISIKO PASIEN OSTEOMYELITIS TULANG TENGKORAK AKIBAT LUKA BAKAR LISTRIK DI DEPARTEMEN BEDAH SARAF RS HASAN SADIKIN TAHUN 2012 - 2023(2024-01-09) FIRMAN NUR CHOLIQ; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAngka komplikasi berupa osteomyelitis tulang tengkorak yang tinggi akibat luka bakar listrik di RS Hasan Sadikin memerlukan pendekatan berbagai bidang ilmu. Identifikasi faktor risiko diperlukan agar kewaspadaan dini dapat diaktifkan. Pencegahan munculnya osteomyelitis akan menghemat waktu, tenaga serta biaya yang muncul sebagai akibat dari komplikasi tersebut. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan studi rekam medis pasien yang datang pada periode Januari 2012 hingga Januari 2023. Analisis dilakukan meliputi faktor usia, gender, komorbid, jenis tegangan listrik, titik kontak di area kepala, luas luka bakar di seluruh area tubuh, luas luka bakar di kepala, kedalaman luka bakar, interval waktu kedatangan, abnormalitas haemoglobin, leukosit, sepsis, dan abnormalitas radiologis. Angka kejadian osteomyelitis dibuktikan dengan laporan operasi yang menunjukkan adanya tulang tengkorak yang dilakukan kraniektomi. Hasil peneltian menunjukkan bahwa terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria populasi dan 36 diantaranya memenuhi kriteria penelitian. Tidak terdapat faktor risiko yang signifikan secara statistik yang berhubungan dengan kejadian osteomyelitis. Kesimpulan: tidak terdapat hubungan yang signifikan dari kecurigaan faktor risiko yang diteliti terhadap terjadinya osteomyelitis tulang tengkorak pada pasien akibat luka bakar listrik di RS Hasan Sadikin Bandung.Item ANALISIS KOMPONEN KARAKTERISTIK PASIEN, HIPODENSITAS PERIVENTRIKULER DAN KEJANG SEBELUM PEMASANGAN SHUNT PADA PASIEN HIDROSEFALUS ANAK(2024-01-09) DANNY HALIM; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan: Kejang adalah salah satu masalah utama pada pasien hidrosefalus anak. Besarnya jumlah pasien hidrosefalus anak yang mengalami kejang pasca pemasangan shunt mendasari hipotesis yang menduga bahwa kejadian kejang pada pasien ini berhubungan dengan prosedur pemasangan shunt atau keberadaan shunt secara intrakranial. Hipotesis yang sama tidak dapat menjelaskan kejadian kejang pada pasien hidrosefalus anak yang belum menjalani operasi pemasangan shunt. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi komponen karakteristik, gambaran hipodensitas periventrikuler dan kejang sebelum pemasangan shunt pada pasien hidrosefalus anak. Metode: Penelitian ini adalah studi retrospektif yang melibatkan 334 pasien hidrosefalus anak, yang terdiri dari 147 pasien hidrosefalus anak yang memiliki riwayat kejang sebelum pemasangan shunt dan 187 pasien hidrosefalus anak yang tidak memiliki riwayat kejang sebelum pemasangan shunt. Sejumlah komponen karakteristik pasien dikumpulkan dari rekam medis, termasuk gender, usia, pediatric Glasgow Coma Scale (pGCS) saat masuk rumah sakit dan diagnosis. Hasil pencitraan CT scan pasien dievaluasi kembali untuk mengkonfirmasi diagnosis hidrosefalus dan menilai gambaran hipodensitas periventrikuler. Hasil: Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa insidensi kejang sebelum pemasangan shunt lebih tinggi secara signifikan pada pasien hidrosefalus anak yang berusia 1-5 tahun (63/113 (55%), p=0,0001), didiagnosis dengan hidrosefalus komunikans (97/163 (59%), p=0.0001) atau hidrosefalus infeksius (80/109 (73%), p=0,0001). Adanya hipodensitas periventrikuler berasosiasi secara signifikan dengan insidensi kejang sebelum pemasangan shunt (132/205 (64.3%), p=0,0001). Kesimpulan: Pasien hidrosefalus anak yang berusia 1-5 tahun, didiagnosis dengan hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus infeksius, serta memiliki gambaran hipodensitas periventrikuler pada hasil pencitraan CT scan memiliki resiko tinggi untuk mengalami kejang sebelum dilakukannya operasi pemasangan shunt.Item Analisis Pengaruh Waktu Awal Pemasangan Ventrikuloperitoneal Shunt Terhadap Hasil Luaran Pasien Meningitis Tuberkulosis Dewasa di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung(2020-01-22) MUH ICHSAN FACHRUDDIN FIRDAUS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan: Meningitis Tuberkulosis (TBM) adalah penyakit neurologis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada meningen atau parenkim otak. Hidrosefalus sering menjadi komplikasi meningitis TB dan dianggap sebagai prediktor prognosis yang buruk. Hingga saat ini tidak ada sistem penilaian khusus untuk pasien dengan TBM dan hidrosefalus. Oleh karena itu, kami merencanakan untuk meninjau secara retrospektif berbagai aspek hubungan antara lama waktu gejala klinis hidrosefalus yang disebabkan oleh meningitis tuberkulosis dengan hasil luaran terapi bedah pada pasien dewasa. Tujuan: Untuk mengetahui adanya pengaruh lama waktu ventriculoperitoneal shunt terhadap luaran pada pasien dewasa penderita hidrosefalus akibat meningitis tuberkulosis yang mengalami penurunan kesadaran. Metode: Penelitian ini bersifat retrospektif cohort dengan melakukan pengumpulan data pada pasien dewasa yang didiagnosis meningitis tuberkulosis dengan hidrosefalus yang dirawat dan telah dilakukan ventriculoperitoneal shunt di Bagian Bedah Saraf RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung, dari Mei 2019 s.d Juni 2019. Data pasien termasuk usia, jenis kelamin, pemeriksaan analisa LCS rutin postoperatif, syarat hidrosefalus, rentang waktu antara diagnosis TB dan meningitis TB, rentang waktu antara diagnosis meningitis TB dan pemasangan VP Shunt, gejala klinis, dan hasil luaran. Hasil: Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik pada hubungan antara rentang waktu dengan mortalitas meningitis [p = 0.000 (p < 0.05)], rentang waktu dengan morbiditas [p = 0.009 (p < 0.05)], rentang waktu pemasangan VP shunt dengan mortalitas [p = 0.000 (p < 0.05)], dan rentang waktu pemasangan VP shunt dengan morbiditas [p = 0.001 (p < 0.05)]. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa rentang waktu yang pendek antara diagnosis klinis TB dengan meningitis TB, dan antara meningitis TB dengan pemasangan ventriculoperitoneal shunt untuk hidrosefalus memiliki efek positif pada morbiditas dan mortalitas penderita meningitis tuberkulosis dengan penyerta hidrosefalus pada pasien dewasa. Kata kunci: meningitis tuberkulosis, hidrosefalus, rentang waktu, ventriculoperitoneal shunt.Item ANALISIS PROFIL PASIEN TUMOR GANAS OTAK GLIOMA ASTROSITIK BERDASARKAN PEWARNAAN IMUNOHISTOKIMIA ISOCITRATE DEHYDROGENASE-1 R132H- MUTANT (IDH1-R132H MUTANT) DAN LUARAN KLINISNYA(2020-01-22) HENDRIKUS MASANG BAN BOLLY; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenKlasifikasi tumor saraf pusat berdasarkan WHO 2016 menggabungkan parameter genotif dan fenotif untuk akurasi diagnostik, penentuan prognosis dan pengembangan target terapeutik. Deteksi mutasi isositrate dehydrogenase 1 (IDH1) pada asam amino hot spot Arginin-132 melalui pemeriksaan imunohistokimia akan membedakan kasus glioma astrositik mutant maupun wildtype. Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin dan wilayah Jawa Barat untuk menginvestigasi kejadian mutasi IDH1 pada glioma astrositik grade II, III, IV dan melakukan karakterisasi profil luaran klinis terkait mutasi tersebut. Penelitian potong lintang ini memeriksa 30 block parafin embeeded yang tersimpan di laboratorium Patologi Anatomi RSHS pada periode 2014-2018; terdiri atas 15 glioma astrositoma difus, 6 astrositoma anaplastik dan 9 glioblastoma hasil operasi/biopsy kemudian dilakukan pulasan imunohistokimia menggunakan antibody monoklonal IDH1 R132H mutant dari GeneTex. Selanjutnya dikumpulkan data sekunder pasien dari rekam medis milik RSHS dan basis data laporan harian Departemen Bedah Saraf untuk dianalisis profil luaran akhir pasien. Analisis statistik perbandingan, korelasi dan survival Kaplan-Meier dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 23 untuk Windows. Diperoleh usia median pasien 43 tahun (range 15-73 tahun) dengan dominasi 70% sampel laki-laki. Hasil pewarnaan dibaca oleh dua orang pakar PA berlisensi, diperoleh hasil imunopositif IDH1 R132H total sebesar 12/30 sampel (40%); 46.6% pada astrositoma difus, 50% pada astrositoma anaplastik dan 22.2% pada glioblsatoma; ketiganya berbeda secara bermakna p=0.005. Perhitungan profil rasio prevalensi diperoleh laki-laki 2.1 kali dibanding perempuan memiliki IDH1 R132H mutant. Analisis survival Kaplan-Meier menunjukan overall survival time IDH1 R132H positif pada glioma astrositik sebesar 22.36 bulan (95% KI 17,29-27,43) dibanding yang imunonegatif sebesar 23.41 bulan (95% KI 19,53-27,29). Means Survival Time (MST) glioma derajat rendah (grade II) imunopositif diperoleh 26.71 (95% KI 21.64-31.79) lebih tinggi dibanding glioma derajat tinggi (grade III dan IV) imunopositif sebesar 14.75 bulan (95% KI 9.36-20.14), berbeda bermakna p = 0.002. Penelitian ini telah membuktikan bahwa pemeriksaan IHK IDH1 R132H mutant merupakan alat diagnostik dan prediktor prognostik pasien GliomaItem ANALISIS WAKTU TINDAKAN OPERASI TERHADAP LUARAN PASIEN CEDERA MEDULA SPINALIS SERVIKAL SUBAKSIAL BERDASARKAN ASIA IMPAIRMENT SCALE (AIS) YANG DILAKUKAN LAMINEKTOMI DEKOMPRESI DAN STABILISASI POSTERIOR(2024-01-09) YUSTINUS ROBBY BUDIMAN GONDOWARDOJO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Pendahuluan: Cedera medula spinalis servikal sering menyebabkan kecacatan dan kematian. Tindakan operasi dapat mencegah terjadinya cedera saraf sekunder yang terjadi beberapa jam setelah cedera primer. Namun pemilihan waktu dilakukannya tindakan operasi masih menjadi kontroversi. Penelitian yang mengevaluasi hubungan antara interval waktu tindakan operasi terhadap luaran pasien perlu dilakukan. Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada total 27 pasien cedera medula spinalis servikal subaksial yang menjalani operasi laminektomi dekompresi dan stabilisasi posterior di RS dr. Hasan Sadikin pada 1 Januari 2014 hingga 31 Desember 2020. Pasien yang diinklusi adalah pasien berusia > 18 tahun dengan cedera medula spinalis servikal, memiliki pemeriksaan pencitraan (X-ray servikal atau CT-scan atau MRI servikal), telah dilakukan operasi laminektomi dekompresi dan stabilisasi posterior, serta datang follow-up pada 1 bulan pasca operasi. Data demografis (usia dan jenis kelamin), penyebab cedera, lokasi cedera, waktu tindakan operasi, skor AIS (ASIA Impairment Scale), dan konversi skor AIS dimasukkan ke dalam perangkat lunak dan dilakukan analisis statistik dengan program SPSS. Hasil: Total terdapat 27 subjek yang masuk ke dalam penelitian ini, 85.2% adalah laki-laki. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik awal menunjukkan 63% menderita cedera karena jatuh, 37% mengalami cedera di C5-C6, dan 55.6% datang dengan AIS A preoperasi. Tindakan operasi dilakukan dalam interval 72 jam pada 18.5% subjek, dan >5 hari pada 14.8% subjek. Ditemukan hubungan signifikan antara waktu tindakan operasi terhadap outcome AIS pasca operasi dengan angka p value= 0.024 dan hubungan yang signifikan antara waktu tindakan operasi dengan outcome berdasarkan delta AIS dengan angka p value = 0.016. Berdasarkan statistik, waktu tindakan operasi yang disarankan adalah <72 jam pasca cedera, dengan waktu terbaik adalah <24 jam pasca cedera. Kesimpulan: Waktu tindakan operasi memiliki hubungan dengan luaran pasien cedera medula spinalis servikal dimana semakin cepat interval operasi berhubungan dengan perbaikan konversi AIS. Kata Kunci: waktu tindakan operasi, cedera medula spinalis servikalis, laminektomi dekompresi, stabilisasi posterior, skor AISItem HUBUNGAN ANTARA TUMOR OCCUPANCY RATIO, JENIS TUMOR, LOKASI TUMOR DAN PENAMPANG TUMOR DENGAN GANGGUAN FUNGSI BERKEMIH PADA PASIEN DENGAN TUMOR INTRADURA EXTRAMEDULLA DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN(2023-07-09) MUSTHAFA AFIF WARDHANA; Rully Hanafi Dahlan; Tidak ada Data DosenLatar Belakang. Prevalensi dari tumor intradura extramedulla hanya 0.3/100.000 pasien pertahun. Tumor ini menyebabkan gangguan klinis berupa kelemahan motorik, ganggaun sensorik, gangguan fungsi berkemih dan defekasi. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara tumor occupancy ratio dan penampang tumor terhadap gangguan fungsi berkemih pada pasien dengan tumor intradura extramedulla. Hal ini sangat membantu untuk memperkirakan klinis yang akan terjadi sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan lebih dini dan prognosis yang lebih baik. Metode. Dilakukan penelitian retrospektif antara Januari 2016 - Desember 2021. Data karakteristik dasar, lama keluhan, lokasi tumor, penampang tumor, tindakan reseksi tumor, dan tumor occupancy ratio dievaluasi dan dihubungkan dengan klinis gangguan fungsi berkemih pada pasien tumor intradura extramedulla menggunakan korelasi spearman/pearson dan analisis regresi linear multiple. Hasil. Didapatkan 34 sampel yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Dari analisis univariat didapatkan rata-rata umur pasien 44,9 tahun (44.9±13.4 tahun) dengan jenis kelamin terbanyak adalah perempuan (67.7%). Histopatologi terbanyak adalah meningioma (61.8%) dan schwannoma (35.3%) dengan lokasi tersering pada segmen thorakal (73.5%) kasus. Penampang tumor terbanyak pada sisi posterolateral dengan persentase 44.1% dan pada anterolateral 32.4%. Analisis bivariate didapatkan jenis kelamin, lama keluhan, dan jenis reseksi tumor tidak berkorelasi terhadap gangguan fungsi berkemih yang terjadi. Lokasi tumor (p=0.026), penampang tumor (p=0.008) dan tumor occupancy ratio (p=0.002, OR 5.846) berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan gungsi berkemih. Analisis multivariate penampang tumor dan tumor occupancy ratio merupakan faktor yang simultan terhadap gangguan fungsi berkemih yang terjadi. Simpulan. Didapatkan adanya hubungan antara lokasi, penampang tumor dan tumor occupancy ratio. Klinis gangguan berkemih beresiko 5x jika kompresi tumor > 70%. Hal ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk tatalaksana sedini mungkin.Item HUBUNGAN GCS AWAL DAN INDEX SEVERITY IMAGING TERHADAP LUARAN PASIEN ABSES SEREBRI DI DEPARTEMEN BEDAH SARAF RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN TAHUN 2017 - 2022(2023-07-10) MIRZA ADITYA; Ahmad Faried; Akhmad ImronHUBUNGAN GCS AWAL DAN INDEX SEVERITY IMAGING TERHADAP LUARAN PASIEN ABSES SEREBRI DI DEPARTEMEN BEDAH SARAF RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN TAHUN 2017 – 2022 Mirza Aditya, Akhmad Imron, Ahmad Faried Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Departemen Bedah Saraf, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ABSTRAK Pasien dengan abses serebri memerlukan penanganan yang tepat dan segera untuk mengindarkan pasien dari kondisi yang mengancam jiwa atau dari deficit neurologis jangka panjang. Pasien kerap kali datang dengan rentang klinis yang bervariasi dan hasil pemeriksaan imajing yang beragam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara GCS awal pasien dan Index Severity Imaging (ISI) terhadap luaran pasien abses serebri. Penilitian ini merupakan penelitian observasional analitik, yang dilakukan di RS Hasan Sadikin Bandung di Departemen Bedah Saraf dari rentang tahun 2017 hingga 2022. Terdapat 63 pasien yang masuk dalam kriteria penelitian ini, dengan hasil sebagian besar (57%) pasien berjenis kelamin laki-laki, dengan median umur 43 tahun (IQR 28-51 tahun). Sebagian besar pasien datang dengan GCS antara 13-15 (67%). Dari hasil pengukuran Index Severity Imaging didapatkan hasil jumlah lesi terbanyak lesi tunggal (58,7%), berada di lokasi superficial (57,1%), diameter lesi terbanyak < 2 cm (42,4%), edema perilesional yang minimal (47,6), serta midline shift ringan (68,3). Hasil luaran pasien abses serebri diukur dengan menggunakan skala GOS dengan hasil terbanyak pasien mengalami kecacatan sedamg (44%). Dari hasil uji statistik didapatkan hasil adanya korelasi Pearson Chi Square antara GCS awal dengan GOS sebesar 68,339 (p<0,05) dan Index Severity Imaging dengan GOS sebesar 96,200 (p<0,05). Kesimpulan : terdapat hubungan antara GCS awal dan Index Severity Imaging terhadap luaran pasien abses serebri. Kata Kunci : Abses Serebri, GCS awal, Index Severity Imaging, GOSItem HUBUNGAN KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI MENINGIOMA BERDASARKAN KLASIFIKASI WHO DENGAN IMMUNOHISTOKIMIA KI-67 PADA PASIEN MENINGIOMA SPHENOORBITA DI RSUP DR.HASAN SADIKIN(2024-01-09) FIRMAN MUHARAM; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Pendahuluan: Meningioma merupakan neoplasma intrakranial extraaxial yang paling banyak ditemukan. Pada populasi dewasa meningioma sekitar 30% dari tumor sistem saraf pusat. Berdasarkan klasifikasi WHO 2016, lebih dari 90% meningioma merupakan grade I, dengan tingkat kekambuhan 7–25%. Sekitar 20–25% dari lesi diklasifikasikan sebagai grade II (atipikal) dengan tingkat kekambuhan mendekati 29–52%. Sebagian kecil (1–6%) diklasifikasikan sebagai grade III (anaplastik) dengan tingkat kekambuhan 50–94%. Metode: Penelitian merupakan study observasional retrospektif analistik yang bertujuan untuk menganalisis hubungan grading histopatologi meningioma dengan ekspresi Ki-67 pada blok parafin pasien meningioma sphenoorbita di RSUP Dr. Hasan Sadikin. Teknik pengumpulan data menggunakan rekam medis pasien dengan jumlah minimal sampel berdasarkan rumus analisis korelatif diketahui sebanyak 29 orang pasien meningioma sphenoorbita. Penelitian ini menggunakan uji statistik analitik krelatif Chi Square dengan kemaknaan ditentukan berdasarkan nilai p, yaitu 0,05 dan Confidence Interval (CI) sebesar 95%. Hasil: Penelitian ini mendapatkan 20 dari 31 pasien meningioma pada grade 1 dan 83,3% memiliki ekspresi Ki-67 ≤ 0,90, sedangkan pada grade II sebanyak 85,7% memiliki ekspresi Ki-67 > 0,90. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif dan signifikan antara klasifikasi histopatologi meningioma dengan ekspresi immunohistokimia Ki-67 pada pasien meningioma sphenoorbita dengan koefisien korelasi 0,525 dan p value 0,001 (p<0,05). Simpulan: Nilai Ki-67 yang tinggi dapat digunakan sebagai alat untuk memperkirakana terjadinya kejadian meningioma yang berulang. Kata kunci: grading histopatologi (WHO), meningioma sphenoorbita, ekspresi Ki-67Item HUBUNGAN SKOR INTRA CEREBRAL HAEMORRHAGE GRADING SCALE TERHADAP LUARAN OPERASI PASIEN STROKE PERDARAHAN INTRA SEREBRAL DINILAI DENGAN MODIFIED RANKIN SCALE DI BAGIAN BEDAH SARAF RUMAH SAKIT DR HASAN(2024-01-11) SYAIFUL ANWAR; Bilzardy Ferry Zulkifli; Achmad AdamPendahuluan. Stroke karena perdarahan intraserebral (PIS) merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang tertinggi dibandingkan penyebab stroke lainnya. Prediksi prognosis sangat penting dalam membantu pengambilan keputusan terapi. Penelitian bertujuan untuk menilai hubungan antara skor ICH-GS dan luaran yang dinilai dengan mRS. Metode. Penelitian ini adalah studi observasional kohort prospektif pada pasien stroke PIS yang dioperasi di bagian Bedah Saraf Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung. Pasien yang diinklusi adalah pasien berusia 18 tahun atau lebih yang dilakukan CT-Scan kepala non kontras dan bersedia mengikuti kegiatan penelitian. Pasien dengan perdarahan subaraknoid, tumor apoplexy, kelainan koagulopati, dan PIS karena trauma dieksklusi dari penelitian. Hasil. Total 34 subjek diinklusi ke dalam penelitian dimana 49,0% berjenis kelamin laki-laki. Hipertensi merupakan komorbiditas pada 84,3% subjek. Rerata usia subjek penelitian adalah 57,10 ± 13,18 tahun. Nilai median (IQR) GCS adalah 11 (9 – 13). Perdarahan supratentorial dialami oleh 88,2% subjek dengan rerata volume 52,93 ± 13,32. Perdarahan infratentorial didiagnosis pada 11,8% subjek dengan rerata volume 18,67 ± 7,47. Ekstravasasi intraventrikel dialami oleh 47,1% subjek. Nilai median (IQR) skor ICH-GS adalah 9 (7 – 10). Angka mortalitas saat perawatan di rumah sakit adalah 17,6%. Sistem skoring ICH-GS memiliki hubungan yang signifikan dengan luaran subjek. AUC pada saat keluar dari rumah sakit, follow-up 3 bulan, dan follow-up 6 bulan adalah 0,806, 0,760, dan 0,770, secara berurutan. Kesimpulan. Pengukuran ICH-GS pada saat masuk rumah sakit berhubungan dengan luaran subjek. Semakin tinggi ICH-GS, semakin tinggi risiko luaran yang buruk.Item HUBUNGAN SKOR SWICH DENGAN LUARAN PASCA KRANIEKTOMI DEKOMPRESI TANPA DAN EVAKUASI PADA PASIEN PIS SPONTAN SUPRATENTORIAL(2023-01-15) MEVIRAF BENNY TANIO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenHUBUNGAN SKOR SWICH DENGAN LUARAN PASCA KRANIEKTOMI DEKOMPRESI TANPA DAN EVAKUASI PADA PASIEN PIS SPONTAN SUPRATENTORIAL Latar Belakang: PIS merupakan tipe stroke dengan mortalitas tertinggi dibandingkan tipe stroke lainnya. Penyebab paling umum dari PIS spontan primer adalah hipertensi, mewakili sekitar 60-70% dari penyebab PIS. Peningkatan tekanan darah yang berkelanjutan pada PIS akut membawa risiko peningkatan perdarahan, pembesaran volume PIS, dan prognosis yang lebih buruk. PIS spontan mengakibatkan edema sitotoksik yang mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan efek massa berupa midline shift yang terjadi 48 jam, cedera sekunder terjadi di jaringan sekitarnya mengakibatkan kerusakan jaringan atau nekrosis. Penanganan pada pasien PIS spontan harus dilakukan dengan cepat sebelum cedera sekunder terjadi namun belum ada terapi yang terbukti meningkatkan luaran pasien secara signifikan setelah mengalami PIS, baik secara terapi medikamentosa atau pembedahan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan skor SwICH dengan luaran pasca kraniektomi dekompresi dengan evakuasi dan tanpa evakuasi pada pasien PIS. Metode: Penelitian ini merupakan pendekatan metode kohort retrospektif dengan metode analitik observasi. Populasi penelitian adalah seluruh pasien dengan PIS Spontan yang menjalani kraniektomi dekompresi tanpa kraniotomi evakuasi dan dengan kraniotomi evakuasi masa perdarahan yang dirawat di Departemen Bedah Saraf RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung mulai dari Januari 2018 sampai dengan Desember 2021. Data diambil dari rekam medis untuk kemudian diolah menggunakan SPSS 24 for windows. Hasil: Dalam periode 4 tahun, terdapat 63 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, 35 pasien menjalani kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi massa perdarahan, 28 pasien menjalani kraniektomi dekompresi dengan evakuasi massa perdarahan. Dari hasil analisis, ada perbedaan signifikan rerata kadar skor Swedish ICH antar kelompok luaran. Uji Mann Whitney dilakukan pada skor SwICH yang terpisah antar kedua tindakan, hasil menunjukan bahwa tindakan kraniektomi dekompresi dengan evakuasi memberikan nilai signifikan skor SwICH terhadap luaran tindakan (p<0.05). Kesimpulan: Terdapat perbedaan hasil luaran dari tindakan operasi yang dilakukan pada pasien PIS. Tindakan kraniektomi dekompresi dengan evakuasi memiliki luaran yang lebih baik dibandingkan tindakan kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi dinilai dengan skor SwICH.Item KARAKTERISTIK PADA PASIEN MESH EXPOSED YANG TELAH MENJALANI CRANIECTOMY DI DEPARTEMEN BEDAH SARAF RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG PADA TAHUN 2018-2022(2023-07-10) ILHAM RIZKY ERNAWAN; Akhmad Imron; Roland SidabutarAbstrak Pendahuluan : Mesh exposed adalah salah satu komplikasi yang terjadi setelah operasi perbaikan defek tengkorak terlepas dari etiologi yang mendasari. Titanium mesh adalah salah satu bahan umum yang digunakan dalam prosedur tutup defek setelah kraniektomi. Namun, implan titanium dapat memberikan beberapa komplikasi, seperti mesh exposed. Banyak faktor yang berperan dalam paparan titanium mesh. Tujuan studi ini adalah menggambarkan karakteristik pasien mesh exposed di Departemen Bedah Saraf RS Hasan Sadikin Bandung. Metode : Penelitian ini adalah studi retrospektif dengan teknik total sampling antara januari 2018- juni 2022 yang melibatkan 32 pasien yang mengalami mesh exposed Data dikumpulkan berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi, penyakit primer, gula darah sewaktu, level albumin, hasil kultur dan sensitivitas antibiotik. Data kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil : Hasil penelitian ini menunjukkan dari 32 pasien, 19 pasien (59.37%) adalah laki-laki, 18 pasien (56.25%) pada kelompok umur 41-60 tahun, 8 pasien (25%) dengan lokasi lesi di frontal kanan, 17 pasien (53.12%) dengan penyakit primer tumor, 22 pasien (68.75%) dengan hasil glukosa darah sewaktu normal, 21 pasien (65.63%, p= 0.006) memiliki kadar albumin yang rendah, 14 pasien (43.75%) dengan hasil kultur staphylococcus aureus, dan 26 pasien (86.25%) dengan hasil sensitivitas antibiotic tygecycline. Kesimpulan : Dari data penelitian ini, beberapa variabel karakteristik memiliki peran penting dalam komplikasi paparan mesh, dan dapat membantu dokter membuat stratifikasi faktor risiko untuk menginformasikan proses dan membantu perencanaan praoperasi. Kata kunci: Mesh Exposed, Karakteristik, Kraniektomi Abstract Introduction: Mesh exposed is one of the complications that occur after skull defect repair surgery regardless of its etiology. Titanium mesh one of the common material used in defect closure following craniectomy. However, titanium implant may be associated with complications, such as mesh exposed. Many factors role in titanium mesh exposed. The purpose of this study is to describe the characteristics of mesh exposed patients in the Department of Neurosurgery, Hasan Sadikin Hospital, Bandung Methods: A Retrospective review was conducted with a total sampling technique between January 2018- June 2022 that involved 32 patients with mesh exposed. Data were collected based on age, sex, location, primary diseased, random blood glucose, albumin level, culture result and antibiotic sensitivity. The data were then analyzed descriptively. Results : The Results show us that from 32 mesh exposed patients, 19 patients (59.37% ) are male, 18 patients (56.25%) are between 41-60 years old, 8 patients (25%) are location in right frontal, 17 patients (53.12%) with underlying disease tumor, 22 paients (68.75%) have normal random blood glucose level, 21 patients (65.63%) have low albumin level, 14 patients (43.75%) have culture result of staphylococcus aureus, and 26 patients (86.25%) have sensitive antibiotic results of tygecycline. Conclusion: In our data reviewed, some characteristic variables have role in mesh exposed complication. Our data can help clinicians stratify risk to inform consent process and aid preoperative planning. Keywords: Mesh exposed, Characteristics, CraniectomyItem KARAKTERISTIK PASIEN PERDARAHAN EPIDURAL YANG DILAKUKAN TINDAKAN BURR HOLE EMERGENCY DI RSHS PERIODE 2010-2020(2024-01-09) MUHAMMAD ABDUL AZIZ RAHMAT; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan: Prosedur burr hole emergency pada perdarahan epidural merupakan prosedur kuno yang umumnya sudah ditinggalkan. Prosedur ini dilakukan apabila tindakan kraniotomi tidak dapat dilakukan segera karena keterbatasan dalam pelayanan fasilitas medis. Tujuan studi ini adalah menggambarkan karakteristik pasien epidural hematoma yang dilakukan tindakan burr hole emergency di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Metode: Dilakukan penelitian retrospektif dengan teknik total sampling antara Januari 2010-Desember 2020. Data demografi dasar, GCS, interval waktu tindakan, ukuran pupil, mekanisme trauma, volume perdarahan epidural, midline shift, lokasi lesi, sumber perdarahan, lemah anggota gerak, ventilator, koma, transfusi intra operative, infeksi luka operasi, pneumonia, kejang, sepsis, dan GOS. Data kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil: Didapatkan 25 sampel yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Data deskriptif menunjukkan rata-rata umur perdarahan epidural 26.04 tahun, dengan persentase terbanyak pada laki-laki (72%). GCS saat admisi terbanyak sebelum dilakukan burr hole sekitar 9-13, dengan lama interval waktu tindakan dari saat admisi sampai terjadi perburukan > 2 jam (92%). Pupil anisokor terjadi pada 56% kasus dengan adanya hemiparese. Mekanisme trauma terbanyak disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor (72%). Pada analisis CT Scan didapatkan volume terbanyak sekitar 31-50 cc (60%) dengan adanya midline shift (72%). Untuk lokasi terbanyak pada frontoparietal dan temporoparietal. Selama perawatan didapatkan penggunaan ventilator ≥ 48 jam sebanyak 60% dengan kondisi koma pasca evakuasi ≥ 80% kasus. Transfusi intraoperatif terjadi pada 12% kasus. Infeksi luka operasi, pneumonia, kejang dan sepsis merupakan penyulit yang terjadi selama perawatan. GOS pasca dilakukan burr hole didapatkan pemulihan baik pada 48% kasus. Simpulan: Burr hole emergency merupakan tindakan awal yang cepat dan tepat pada dengan perdarahan epidural dengan penurunan GCS yang cepat namun tidak tersedianya sumber daya pembedahan yang cepat dengan luaran yang cukup baik berdasarkan GOSItem KORELASI OPTIC NERVE SHEATH DIAMETER TERHADAP TEKANAN BUKAAN INTRAVENTRIKULAR PADA PASIEN HIDROSEFALUS ANAK YANG DILAKUKAN TINDAKAN VENTRIKULOSTOMI DI DEPARTEMEN BEDAH SARAF RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN(2024-01-09) NIKKITA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan. Studi saat ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah pengukuran ultrasonografi transorbital diameter selubung saraf optik atau optic nerve sheath diameter (ONSD) memiliki korelasi terhadap tekanan intrakranial (TIK). Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort pada pasien anak dengan diagnosis hidrosefalus dan menjalani prosedur diversi cairan serebrospinal di Bagian Bedah Saraf RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Pengukuran ONSD dilakukan sebelum pengukuran TIK invasif pada anak-anak di bawah anestesi umum. Akurasi diagnostik pengukuran ONSD dibandingkan dengan tekanan bukaan intraventrikular. Hasil. Data dari 30 anak dianalisis. Terdapat korelasi antara pengukuran ONSD terhadap tekanan bukaan intraventrikular pada pasien anak dengan hidrosefalus yang dilakukan tindakan ventrikulostomi di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Pembahasan. Studi kami meneliti kohort pasien yang dilaporkan saat ini dalam literatur dimana pengukuran ONSD secara langsung dibandingkan dengan pengukuran tekanan bukaan intraventrikular invasif. Simpulan. Teknik pengukuran ultrasonografi transorbital ONSD dapat berfungsi sebagai platform untuk untuk memperkirakan tekanan intrakranial pada anak-anak yang mengalami hidrosefalus.Item KORELASI SUBAXIAL INJURY CLASSIFICATION SYSTEM SCORE DENGAN HASIL LUARAN YANG DIUKUR MENGGUNAKAN EUROQOL EQ-5D-5L PADA PASIEN CEDERA SERVIKAL SUBAKSIAL PASCA DEKOMPRESI DAN STABILISASI(2014) LUKAS GALILEO MALAU; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenKORELASI SUBAXIAL INJURY CLASSIFICATION SYSTEM SCORE DENGAN HASIL LUARAN YANG DIUKUR MENGGUNAKAN EUROQOL EQ-5D-5L PADA PASIEN CEDERA SERVIKAL SUBAKSIAL PASCA DEKOMPRESI DAN STABILISASI Lukas Galileo Malau. Rully Hanafi Dahlan. Farid Yudoyono Divisi Neurospine, Saraf Perifer dan Nyeri Bagian Bedah Saraf RS Hasan Sadikin / Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung ABSTRAK Latar Belakang: SLICS Score adalah parameter kuantitatif objektif untuk menentukan tindakan pada pasien cedera servikal subaksial. Kondisi fungsi neurologis pra operasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap luaran pasca operasi dan kualitas hidup pasien. EQ-5D-5L digunakan untuk mengukur kualitas hidup yang diharapkan oleh pasien yang bersangkutan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi antara SLICS Score dengan hasil luaran yang diukur berdasarkan parameter EQ-5D-5L pada pasien cedera servikal subaksial pasca dekompresi dan stabilisasi Metode: Penelitian ini menggunakan studi cross sectional untuk mencari korelasi menggunakan metode pengumpulan data retrospektif dengan consecutive sampling pada 25 pasien cedera servikal subaksial yang dilakukan tindakan dekompresi dan stabilisasi pada Bagian Bedah Saraf RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung pada periode Januari 2012 – Desember 2018. Dilakukan penilaian SLICS Score dan EQ-5D-5L ketika pasien pertama kali datang dan setelah dilakukan tindakan operasi dilakukan penilaian EQ-5D-5L Hasil: Berdasarkan uji Spearman’s, terdapat korelasi yang signifikan secara statistik antara SLICS Score terhadap perbaikan EQ-5D-5L pascaoperasi (P=0,000<0,05; R=0,766) sedangkan EQ-5D-5L praoperasi terhadap EQ-5D-5L pascaoperasi tidak menunjukkan adanya korelasi bermakna. Dari uji Pearson’s Chi-Square dengan menggabungkan beberapa variabel sekaligus terhadap terjadinya perbaikan EQ-5D-5L pascaoperasi, didapatkan bahwa interval waktu operasi memiliki kekuatan korelasi yang signifikan secara statistik (P=0,000<0,05: R=0,857) Kesimpulan: Berdasarkan data diatas terdapat korelasi yang secara statistik bermakna antara SLICS Score dan interval waktu operasi terhadap perbaikan EQ-5D-5L pasca operasi. Hasil ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan bagi ahli bedah saraf tulang belakang dalam menentukan prediksi luaran pasca dekompresi dan stabilisasi pasien cedera servikal subaksial Kata Kunci: SLICS Score, EuroQoL EQ-5D-5L, Cedera Servikal SubaksialItem PERBANDINGAN ANTARA KLASIFIKASI MARSHALL DAN ROTTERDAM TERHADAP GLASGOW OUTCOME SCALE PASIEN DENGAN CEDERA OTAK TRAUMATIK DI DEPARTEMEN BEDAH SARAF RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE TAHUN 2(2024-01-10) ERICKO HARTANTO LAYMENA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan: Cedera otak traumatik (COT) masih merupakan masalah kesehatan global terkait mortalitas dan morbiditasnya. Computed tomography (CT) Scan kepala adalah pilihan utama dalam evaluasi cedera otak traumatik pada fase akut serta menyediakan informasi diagnostik dan rencana intervensi operasinya. Deskripsi pada CT scan dapat dideskripsikan berdasarkan klasifikasi Marshall dan Rotterdam dengan keunggulan dan perbedaan masing-masing. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan antara klasifikasi Marshall dan Rotterdam dalam menggambarkan luaran dengan menilai Glasgow Outcome Scale pasien dengan cedera otak traumatik pada akhir perawatan di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Metode: Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif analisis yang dilakukan antara Agustus 2021 hingga Agustus 2022 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, bandung. Data demografis dasar, GCS saat masuk, Klasifikasi CT scan berdasarkan Marshall dan Rotterdam serta GOS (favorable dan unfavorable) dianalisis. Analisis korelatif dinilai manggunakan uji korelasi Rank Spearman. Sedangkan analisis komparatif menggunakan Mann Whitney. Perbandingan akurasi menggunakan analisis receiver operating characteristic (ROC). Analisis multivariat menggunakan regresi logistik biner Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cedera kepala traumatik lebih sering terjadi pada laki-laki (85,34%) dengan usia rata-rata 34 ± 13 tahun. Mayoritas dari sampel penelitian memiliki lesi campuran (49.14%) dengan lesi terbanyak adalah perdarahan subarachnoid (37.93%), kemudian contusion (29.31%), selanjutnya perdarahan epidural (28.45%), perdarahan intraserebral traumatik (27.59%). Dengan Mortalitas Marshall I – VI (12.5%; 15%; 40%; 37.5%; 9,7%; 37.5%) dan Mortalitas Rotterdam 1 – 6 (0%; 5.6%; 12.8%; 16.7%; 50%; 66.7%). Marshall CT Classification tidak memiliki korelasi yang signifikan terhadap GOS (r = -0.032; p = 0.732) dengan hasil ROC yang tidak dapat digunakan sebagai prediktor (AUC = 0.526; sensitivity 50%; specificity 56.3%), sedangkan Rotterdam CT score memiliki korelasi negatif signifikan yang lemah terhadap nilai GOS (r = -0.389; p < 0.0001) dengan hasil ROC yang dapat digunakan sebagai prediktor yang lemah (AUC = 0.681; sensitivity 88.9%; specificity 61.2%). Dari analisis bivariat yang dilanjutkan analisis multivariat didapatkan bahwa Rotterdam CT Score berhubungan signifikan sebesar 7.650 kali, sedangkan Marshall CT Classification tidak berhubungan secara signifikan terhadap GOS. Kesimpulan: Terdapat perbedaan antara Marshall CT Classification dan Rotterdam CT Score dalam menggambarkan luaran pasien cedera otak traumatik, yang dapat terlihat dari korelasi signifikat dari Rotterdam CT score terhadap nilai GOS. Keywords: Marshall CT Classification, Rotterdam CT Score, Traumatic Brain Injury, Glasgow Outcome ScaleItem PERBANDINGAN HASIL LUARAN TINDAKAN KRANIEKTOMI DEKOMPRESI TANPA EVAKUASI MASSA PERDARAHAN, KRANIEKTOMI DEKOMPRESI DENGAN EVAKUASI MASSA PERDARAHAN DAN KRANIOTOMI EVAKUASI PADA PASIEN DENGAN PERDARAHAN(2020-01-22) FERDINAN TJUNGKAGI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenStroke adalah penyebab kematian nomor satu di Indonesia dengan tingkat kecacatan mencapai 65%. Jawa Barat sendiri ada di posisi ke-13 dari total 33 provinsi dengan prevalensi 6,6 0/00 (Riskesdas, 2013). PIS merupakan tipe stroke dengan mortalitas tertinggi dibandingkan tipe stroke lainnya meskipun hanya terjadi pada sekitar 10 – 15% dari keseluruhan kasus stroke (Hemphill III JC, 2001). Penanganan pada pasien PIS Spontan harus dilakukan dengan cepat namun, belum ada tindakan pembedahan yang terbukti meningkatkan hasil luaran pasien secara signifikan(Acharya A). Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil luaran dari tindakan kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi massa perdarahan, kraniektomi dekompresi dengan evakuasi massa perdarahan dan kraniotomi evakuasi. Diharapkan bahwa hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi klinisi dalam menangani pasien PIS. Penelitian ini bersifat retrospektif kuantitatif dengan metode analitik observasi. Populasi penelitian adalah seluruh pasien dengan PIS Spontan yang menjalani kraniotomi evakuasi, kraniektomi dekompresi dengan evakuasi masa perdarahan atau kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi massa perdarahan yang dirawat di Departemen Bedah Saraf RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung mulai dari Januari 2016 sampai dengan Desember 2018. Data diambil dari rekam medis untuk kemudian diolah menggunakan SPSS 23 for windows. Dalam periode 3 tahun, didapatkan 99 pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Dari 99 pasien, 18 pasien menjalani kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi massa perdarahan, 24 pasien menjalani kraniektomi dekompresi dengan massa perdarahan dan sisanya menjalani kraniotomi evakuasi (57 pasien). Dari hasil analisis, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dalam hal usia dan jenis kelamin. Hampir seluruh manifestasi klinis pre operasi yang dinilai tidak bermakna secara statistik (p >0.05), kecuali GCS pra operasi, interval pra operasi dan volume PIS. Hasil analisis luaran tindakan yang terdiri dari GCS, NIHSS dan midline shift pasca operasi, serta mortalitas juga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0.05). Seluruh kelompok tindakan pembedahan tidak menghasilkan luaran yang berbeda secara signifikan. Oleh sebab itu, kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi massa perdarahan merupakan tindakan yang patut dipertimbangkan. Meskipun terdapat perbedaan yang bermakna pada beberapa variabel preoperasi, namun kaitannya dengan luaran harus dinilai dengan penelitan yang lebih jauh lagi.Item PERUBAHAN KARNOFSKY PERFORMANCE SCALE (KPS) PASKA TINDAKAN PEMBEDAHAN PADA PASIEN HIGH GRADE GLIOMA (HGG) DENGAN GAMBARAN EDEMA PERITUMORAL DI RSUP HASAN SADIKIN, BANDUNG(2023-07-10) HERMAWAN RACHMAN; Ahmad Faried; Firman Priguna TjahjonoPendahuluan: High Grade Glioma (HGG) adalah tumor otak primer yang sangat agresif dan resisten terhadap pengobatan yang biasanya muncul dengan edema vasogenik peritumoral yang merupakan penyumbang penting untuk morbiditas dan mortalitas pada pasien neuro-onkologi. Pemilihan manajemen tindakan pembedahan bergantung pada hasil pencitraan MRI dengan tujuan mendapatkan sampel tumor untuk pemeriksaan histopatologi. Penilaian luaran sebelum dan sesudah tindakan pembedahan dilakukan dengan menggunakan KPS dan GCS dimana terdapat perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perubahan nilai KPS dan GCS sebelum dan sesudah tindakan pembedahan serta hubungannya terhadap jenis pembedahan. Metode: Penelitian ini adalah studi prospektif yang melibatkan 30 pasien High Grade Glioma, yang terbagi dalam 3 grup tindakan yakni gross total, subtotal, dan biopsi. Sejumlah komponen karakteristik pasien dikumpulkan dari rekam medis dengan mengevaluasi kembali hasil pencitraan pasien dan konfirmasi diagnosis High Grade Glioma berdasarkan histopatologis. Hasil: Analisis penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis tindakan pembedahan baik prosedur diagnostik maupun terapeutik terhadap luaran KPS dan GCS paska operatif (p = 0.592 dan p = 0.915) Kesimpulan: Pasien High Grade Glioma dengan edema peritumoral tidak menunjukkan perbedaaan yang signifikan antara jenis tindakan pembedahan terhadap luaran KPS dan GCS paska operatif Kata Kunci: High Grade Glioma, Karnofsky Performance Scale, Glasgow Coma Scale Peritumoral Edema, PembedahanItem POLA PERBURUKAN KLINIS PADA PASIEN CEDERA SERVIKAL DIHUBUNGKAN DENGAN PENOLAKAN TINDAKAN EARLY DECOMPRESSION(2024-01-09) AYU ISWANDARI RAHARJO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan. Cedera servikal adalah lesi traumatik di daerah leher yang dapat mengakibatkan gangguan motorik dan/atau sensorik yang bersifat sementara, permanen, atau bahkan hingga kematian. Kondisi stenosis maupun instabilitas seringkali terjadi dan membutuhkan tindakan dekompresi maupun stabilisasi sedini mungkin. Salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada pasien cedera servikal adalah adanya penolakan terhadap manajemen operatif, hal ini ditunjukkan dengan terjadinya progresivitas perburukan klinis yang cepat dan disertai abnormalnya parameter laboratorium. Objektif. Tujuan studi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perburukan klinis dan hasil laboratorium pada pasien cedera servikal yang menolak tindakan dekompresi dini. Metode. Dilakukan penelitian deskriptif retrospektif antara Januari 2011-Desember 2020. Data demografi dasar, gejala klinis, dan laboratorium diidentifikasi dan dibuat gambaran kurva di masing-masing variabel dari tiap sampel. Hasil. Didapatkan 24 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Gambaran demografis paling sering terjadi pada laki - laki sebesar 79,11% populasi, dalam rentang usia 46-60 tahun sebanyak 41,67%. Karakteristik gambaran radiologis dengan gambaran bilateral facet lock sebesar 41,67%. Gambaran perubahan klinis yang terjadi antara lain penurunan tekanan darah sistol dan diastol, yakni mengalami penurunan masing-masing sekitar 16,2% dan 16,4%, peningkatan kecepatan pernapasan yakni sebanyak 27,8%. Laboratorium darah menunjukan pada 72 jam perawatan didapatkan peningkatan leukosit 5,9% peningkatan kadar ureum 34,2% dan kreatinin 25,9%, pada profil AGD didapatkan adanya kecenderungan peningkatan pH , peningkatan pCO2, penurunan HCO3, dan penurunan BE yang menggambarkan asidosis respiratorik. Dalam 72 jam perawatan sebagian besar pasien meninggal dunia (70,83%), selebihnya dapat bertahan hidup dengan kecacatan. Simpulan. Perburukan klinis dan laboratorium yang terjadi pada pasien cedera servikal yang menolak untuk dilakukan dekompresi dini menunjukkan hasil yang signifikan.Item PROFIL LUARAN KOGNITIF PASIEN CEDERA KEPALA RINGAN DAN SEDANG PASCA PENANGANAN OPERATIF MENGGUNAKAN MMSE, FORWARD DIGIT SPAN, DAN CONSTRUCTIONAL PRAXIS DI RUMAH SAKIT dr. HASAN SADIKIN-BANDUNG(2020-01-22) CHRISTIAN ARIONO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan : Semakin berkembangnya ilmu kedokteran, angka mortalitas akibat cedera kepala semakin menurun. Meningkatnya angka keselamatan pasien paska cedera kepala dapat menimbulkan masalah gangguan fungsi kognitif yang secara langsung mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan antara perubahan fungsi kognitif pada pasien cedera kepala ringan dan sedang yang telah dilakukan tindakan operasi. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observational yang dilakukan pada 79 pasien. Pasien diberikan kuesioner Mini Mental State Examination (MMSE), Forward Digit Span (FDS), dan Constructional Praxis (CP) saat pasien diijinkan untuk rawat jalan. Hasil yang didapat dianalisis secara statistik dengan uji chi square untuk melihat ada atau tidaknya hubungan yang signifikan antara luaran fungsi kognitif dengan variabel. Hasil Penelitian : Dari penelitian ini didapatkan bahwa lebih banyak sampel laki-laki (77,2%) dengan rentang usia terbanyak usia 15-20 tahun (32,9%) dengan pendidikan terakhir terbanyak adalah lulusan SMA (55,7%). Sebanyak 69,6% sampel adalah penderita cedera kepala sedang. Sebanyak 13,9% pasien mengalami gangguan atensi dari pemeriksaan FDS dan memiliki hubungan signifikan dengan derajat cedera kepala (p=0,018), usia (p=0,015), dan tingkat pendidikan (p=0,000). Pada pemeriksaan MMSE didapatkan sebanyak 6,3% pasien mengalami gangguan ringan dan 2,5% mengalami gangguan sedang dan memiliki hubungan signfikan dengan usia (p=0,049), dan tingkat pendidikan (p=0,008). Dari pemeriksaan CP didapatkan 24,1% mengalami gangguan ringan dan 5,1% mengalami gangguan sedang dan memiliki hubungan signifikan dengan derajat cedera kepala (p=0,025) dan jenis lesi intracranial (p=0,009) Diskusi : Gangguan fungsi kognitif paska trauma pada pasien cedera kepala sedang memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan dengan cedera kepala ringan. Faktor usia lanjut dan tingkat pendidikan akhir rendah memiliki tingkat gangguan kognitif paska trauma lebih tinggi.