S3 - Doktor
Permanent URI for this community
Browse
Browsing S3 - Doktor by Title
Now showing 1 - 20 of 40
Results Per Page
Sort Options
Item Analisis Asupan Zat Gizi Berdasarkan FFQ Dan Kandungan Zat Gizi Dalam Karang Gigi, Kadar Leptin Dalam Saliva Dan Darah, Serta Polimorfisme Gen LepR, Pada Individu Dengan Obesitas Dan Normal(2015) IGNATIUS SETIAWAN; Irna Sufiawati; Dewi Marhaeni Diah HerawatiMeningkatnya epidemi obesitas terkait dengan pola makan dan gaya hidup. Penilaian asupan makanan saat ini masih memiliki banyak kendala, terutama terkait objektifitas pengumpulan data. Karang gigi dapat menjadi penyedia berbagai informasi oral termasuk asupan makanan. Asupan makanan juga dipengaruhi faktor biologis seperti hormon dan gen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis asupan zat gizi berdasarkan FFQ dan kandungan zat gizi dalam karang gigi, kadar leptin dalam saliva dan darah, serta polimorfisme gen LepR pada pasien dengan obesitas dan normal. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain penelitian case control. Sampel yang terdiri dari 35 pasien obesitas dan 21 pasien normal diambil dengan menggunakan quota sampling. Data asupan nutrisi diperoleh dengan menggunakan FFQ. Kandungan zat gizi dalam karang gigi diperiksa menggunakan uji kolorimetri. Kadar Leptin dalam darah dan saliva diukur dengan menggunakan ELISA dan polimorfism gen LepR dinilai dengan PCR-sekuensing. Perbandingan antara pasien obesitas dan pasien dengan berat badan normal diuji menggunakan uji Mann-Whitney dan uji-T. Korelasi antara variabel penelitian diukur menggunakan korelasi rank-order Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi yang kuat ditemukan antara asupan lemak dengan kandungan lemak total dalam karang gigi (rs = 0,521) dan korelasi antara asupan karbohidrat dengan total kandungan karbohidrat dalam karang gigi dengan rs = 0,519. Kadar leptin darah berhubungan dengan persentase lemak tubuh pada pasien dengan obesitas dan normal (p <0,001), sedangkan kadar leptin saliva pada pasien dengan obesitas dan normal tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Frekuensi polimorfisme pada gen LepR pasien dengan obesitas lebih tinggi daripada pasien normal, polimorfisme gen LepR rs1137101 memiliki hubungan yang bermaka dengan obesitas. Disimpulkan bahwa rata-rata asupan karbohidrat, protein dan lemak berdasarkan FFQ dan kandungan zat gizi dalam karang gigi pada pasien dengan obesitas, lebih tinggi daripada pasien normal. Terdapat perbedaan asupan zat gizi, kadar leptin dan polimorfisme gen LepR antara pasien dengan obesitas dan pasien normal. Karang gigi berpotensi menjadi sumber alternatif biomarker makanan yang non-invasif, murah, dan spesifik.Item Analisis Ekspresi TNF-A, BMP-2, Jumlah Osteoblas DanOsteoklas Serta Gambaran Micro-CT Dengan Pemberian Ekstrak Gambir (Uncariagambir (Hunter) Roxb.) Pada Proses Osteointegrasi Titanium Implan Gigi Di(2023-12-18) FARINA PRAMANIK; Mieke Hemiawati Satari; AzhariKegagalan pemasangan implan masih sering terjadi, sedangkan biaya perawatan implan gigi cukup tinggi. Salah satu upaya dalam meningkatkan dan mempercepat penyembuhan adalah dengan cara menambahkan suatu bahan yang memiliki sifat antiinflamasi, antioksidan dari tanaman herbal ke tulang. Tanaman Gambir sumbernya melimpah dan merupakan tanaman herbal asli Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis penambahan ekstrak Gambir (Unacaria Gambir (Hunter Roxb.) terhadap ekspresi tumor necrosis factor-α (TNF-A), bone morphogenic protein 2 (BMP-2), jumlah osteoblas dan osteoklas serta gambaran micro-CT pada proses osseointegrasi titanium implan gigi di tibia kelinci.Item ANALISIS HUBUNGAN IMUNOEKSPRESI p53 DAN RASIO CD8+/FOXP3+ TERHADAP KEJADIAN RESISTENSI TERAPI ENDOKRIN PRIMER PADA KANKER PAYUDARA LUMINAL B HER-2 NEGATIF STADIUM LANJUT LOKAL(2023-08-02) FREDA SUSANA HALIM; Bethy Suryawathy Hernowo; Raden YohanaPendahuluan: Kanker Payudara Luminal B Her-2 negatif stadium lanjut lokal sering ditemukan di Indonesia dengan kejadian resistensi terapi endokrin primer tinggi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan imunoekspresi p53 dan rasio CD8+/FOXP3+ dengan kejadian resistensi terapi endokrin primer. Metode: Studi analitik retrospektif dengan desain potong lintang ini melibatkan 66 pasien KP Luminal B Her-2 negatif stadium lanjut di empat rumah sakit. Blok parafin pada biopsi awal dikumpulkan dan dilakukan pulasan Immunohistokimia untuk ekspresi p53, CD8+ dan FOXP3+; rekam medik dari awal pengobatan sampai dua tahun terapi endokrin dikumpulkan. Hasil: Didapatkan 66 kasus: 29 kasus dengan dan 37 kasus tanpa resistensi terapi endokrin primer. Terdapat hubungan antara kejadian resistensi terapi endokrin primer pada pasien KP Luminal B Her-2 negatif dengan imunoekspresi p53 yang tinggi (rasio odds 15,21; IK 95% 3,86 – 59,89; nilai p < 0,0001). Terdapat hubungan kejadian resistensi terapi endokrin primer pada pasien KP Luminal B Her-2 negatif dengan rasio CD8/FOXP3+ tinggi (rasio odds 4.69; IK 95% 1,19 – 18,44; nilai p 0,027). Tidak terdapat hubungan antara imunoekspresi p53 dengan tingkat rasio CD8+/FOXP3+ dalam studi ini (rasio odds 1,5; IK 95% sebesar 0,569 – -3,94; nilai p 0,411). Simpulan: Imunoekspresi p53 dan rasio CD8+/FOX3+ berhubungan signifikan dengan kejadian resistensi terapi endokrin primer pada kanker payudara luminal B Her-2 negatif stadium lanjut lokal. Namun tidak ada hubungan signifikan antara p53 dan rasio CD8+ dan FOXP3+.Item ANALISIS MEKANISME MOLEKULAR POTENSIAL 1,25(OH)2D3 TERHADAP PROLIFERASI DAN APOPTOSIS SEL CAL27 KARSINOMA SEL SKUAMOSA ORAL MELALUI JALUR PERSINYALAN MRNA P38α MAPK, COX-2, CASPASE-1 DAN IL-1β(2023-10-30) INDRAYADI GUNARDI; Irna Sufiawati; Dewi Marhaeni Diah HerawatiPendahuluan: Cisplatin memiliki aktivitas antitumor terhadap berbagai jenis kanker dan merupakan obat pilihan pertama untuk terapi KSS (karsinoma sel skuamosa) oral. Kombinasi cisplatin dan calcitriol (1,25-(OH)2D3) memberikan hasil positif terhadap terapi kanker ini. Tujuan: untuk mengetahui perbedaan ekspresi mRNA p38α MAPK, COX-2, caspase-1 dan IL-1β setelah pemberian calcitriol pada sel CAL27 KSS oral. Metoda: penelitian laboratorium eksperimental di Laboratorium Sentral Universitas Padjadjaran (Januari-Mei 2023) menggunakan sel CAL27, terbagi atas kelompok calcitriol (dosis 4.48, 11.21, 22.43, 44.87 ppm) dan kombinasi cisplatin-calcitriol (dosis 3.69, 9.22, 18.45, 36.91 ppm). Kontrol positif menggunakan cisplatin. Kontrol negatif menggunakan media CAL27 yang tidak diberi perlakuan. Seluruh penanda biologis dilakukan pengujian sebanyak dua kali. Pengukuran IC50 menggunakan uji viabilitas sel. Ekspresi mRNA dievaluasi menggunakan RT-PCR. Analisis data menggunakan ANOVA untuk data berdistribusi normal dan Kruskal-Wallis untuk data berdistribusi tidak normal. Hasil: IC50 calcitriol sebesar 44.87 ppm, IC50 cisplatin sebesar 9.99 ppm dan IC50 kombinasi cisplatin-calcitriol sebesar 36.91 ppm. Tidak terdapat perbedaan ekspresi mRNA p38α MAPK antara seluruh kelompok (p=0.08). Terdapat perbedaan ekspresi mRNA COX-2 antara kelompok cisplatin, calcitriol dan kombinasi cisplatin-calcitriol (p=0.005). Uji post hoc menunjukkan kombinasi cisplatin-calcitriol 36.91 ppm berbeda bermakna ekspresi mRNA COX-2 terhadap kelompok kontrol positif, kelompok calcitriol (4.48, 11.21, 22.43, 44.87 ppm) dan kelompok kombinasi cisplatin-calcitriol (3.69, 9.22 ppm). Kombinasi cisplatin-calcitriol 18.45 ppm berbeda bermakna ekspresi mRNA COX-2 terhadap kelompok calcitriol (4.48, 11.21, 22.43, 44.87 ppm) dan kelompok kombinasi cisplatin-calcitriol (3.69, 9.22 ppm). Tidak terdapat perbedaan ekspresi mRNA caspase-1 antara seluruh kelompok (p=0.604). Terdapat perbedaan ekspresi mRNA IL-1β antara seluruh kelompok (p=0.016), tetapi perbedaan hanya ditemukan antara kelompok kontrol negatif dan kontrol positif. Kesimpulan: Terdapat perbedaan ekspresi mRNA COX-2 pada sel CAL27 karsinoma sel skuamosa oral yang diberi perlakukan calcitriol, cisplatin dan kombinasi cisplatin-calcitriol. Kombinasi cisplatin dan calcitriol pada dosis 18.45 dan 36.91 ppm nampak berbeda bermakna ekspresi mRNA COX-2 dibandingkan pemberian cisplatin atau calcitriol secara tunggal. Tidak terdapat perbedaan ekspresi p38α MAPK, caspase-1 dan IL-1β pada sel CAL27 karsinoma sel skuamosa oral yang diberi perlakukan calcitriol, cisplatin dan kombinasi cisplatin-calcitriol. Pemberian calcitriol pada sel CAL27 karsinoma sel skuamosa dapat menyebabkan kematian sel melalui jalur inflamasi yang ditandai adanya ekspresi ekspresi p38α MAPK, COX-2, caspase-1 dan IL-1β. P38α MAPK tidak dapat menjadi penanda biologis penentuan kematian sel CAL27 setelah pemberian terapi calcitriol, namun penanda biologis ini berperan untuk evaluasi efektivitas terapi menggunakan calcitriol dan cisplatin.Item Analisis Perbedaan Ekspresi Enzim Steroidogenic Acute Regulatory, 3-Hydroxysteroid Dehydrogenase, P450 Aromatese Pada Sel Granulosa Folikel Ovarium dan Maturasi Oosit Setelah pemberi(2022-12-19) FRANCISCUS CARACCIOLO CHRISTOFANI EKAPATRIA; Johanes Cornelius Mose; Meita DhamayantiCadangan ovarium buruk pada proses Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) adalah kondisi yang cukup membuat frustrasi bagi pasien maupun klinisi, karena angka keberhasilan program hanya berkisar 14%. Keberhasilan TRB berhubungan erat dengan respon ovarium terhadap stimulasi untuk menghasilkan oosit dengan maturitas yang baik, kondisi ini menjadi kompleks pada pasien dengan cadangan ovarium yang sudah buruk. Proses steroidogenesis berperan penting dalam proses maturasi oosit melalui mekanisme kerja enzim dan hormon yang kompleks. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemberian vitamin D terhadap proses steroidogenesis melalui ekspresi enzim steroidogenic acute regulatory (StAR), 3β-hydroxysteroid dehidrogenase (3βHSD) dan p450 aromatase pada sel granulosa serta dampaknya terhadap maturasi oosit. Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan merupakan penelitian eksperimental murni terhadap 34 tikus betina Rattus norvegicus yang diberikan terapi 4-Vinylcyclohexene diepozide (VCD) untuk mendapatkan tikus model yang memiliki cadangan ovarium yang buruk. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan yang mendapatkan terapi vitamin D. Pemberian terapi serta pemeriksaan awal vitamin D didasarkan pada fase reproduksi tikus (diestrus, proestrus, estrus, dan metestrus). Penilaian kadar vitamin D, pregnenolon, progesteron, dan estradiol dilakukan melalui darah perifer ekor tikus menggunakan metode Enzyme-linked immunosobent assay (ELISA), selanjutnya akan dilakukan operasi pengambilan jaringan ovarium dari tikus untuk menilai maturasi oosit. Data yang terkumpul diolah menggunakan uji T, dengan p=0,05. Hasil penelitian didapatkan peningkatan kadar 3HSD dan p450 aromatase serta jumlah oosit matur yang menunjukkan perbedaan yang bermakna (p0.05). Simpulan, vitamin D berperan pada peningkatan jumlah oosit matur serta ekspresi 3HSD dan p450 aromatase pada sel granulosa ovarium tikus dengan cadangan ovarium yang buruk. Namun tidak didapatkan hubungan antara pemberian vitamin D dengan ekspresi StAR.Item ASOSIASI ANTARA POLIMORFISME GEN SLC22A1 rs2282143, rs628031, rs622342 DAN FARMAKOKINETIK METFORMIN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2(2020-07-30) VYCKE YUNIVITA KUSUMAH DEWI; Rovina; Budi SetiabudiawanDiabetes Melitus (DM) tipe 2 masih menjadi epidemi di Indonesia. Penelitian terdahulu mendapatkan farmakokinetik obat lini pertama untuk pasien DM tipe 2; metformin, dipengaruhi oleh farmakogenetik gen SLC22A1 yang menyandi transporter OCT1 dalam mentransport metformin masuk dan keluar sel sehingga memengaruhi farmakokinetik metformin. Pemeriksaan farmakogenetik diperlukan pada pasien DM tipe 2 yang menggunakan metformin, untuk membuktikan pengaruh genetik terhadap farmakokinetik metformin. Belum ada data mengenai farmakogenetik gen SLC22A1 rs2282143, rs628031, rs622342, dan farmakokinetik metformin pada pasien DM tipe 2 di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi antara polimorfisme gen SLC22A1 rs2282143, rs628031, rs622342 dan farmakokinetik metformin pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik potong lintang. Sebanyak 117 bahan biologi tersimpan (BBT) DNA diambil dari penelitian TANDEM di Pusat Studi Infeksi Klinis, FK Unpad. Dilakukan pemeriksaan polimorfisme gen SLC22A1 rs2282143, rs628031, dan rs622342 dengan metode Sanger sekuensing PCR. Hanya 35 subjek dari 117 yang dapat dianalisis dalam penelitian farmakokinetik metformin. Sebanyak 20 sampel BBT diambil dari penelitian terdahulu dan 15 sampel diambil secara prospektif. Pada setiap subjek diambil sampel darah pada jam ke 0, 1, 2, dan 5 setelah subjek minum metformin, kemudian diukur konsentrasi metformin dengan UPLC. Parameter farmakokinetik (Cmax, AUC0-5, dan tmax) metformin dianalisis dengan software WinNonLin. Penelitian dilakukan di Gedung RSP FK Unpad pada bulan Januari 2017 sampai Desember 2018. Perbedaan rerata Cmax dan AUC0-5 metformin antara subjek dengan dan tanpa polimorfisme gen SLC22A1 rs2282143, rs628031 dan rs622342 dianalisis dengan uji t tidak berpasangan, dan nilai tengah tmax metformin dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Parameter farmakokinetik metformin pada pasien DM tipe 2 dengan dan tanpa polimorfisme gen SLC22A1 rs2282143, rs628031 dan rs622342 adalah Cmax 2,4 (0,8) mg/L dan 2,6 (0,8) mg/L, p=0,495, AUC0-5 9,1 (3,0) mgh/L dan 10,4 (2,8) mgh/L, p=0,250, dan tmax 1,9 (0,9-5,0) jam dan 1,6 (1,0-5,2) jam, p=0,216. Tidak ada asosiasi antara polimorfisme gen SLC22A1 rs2282143, rs628031, rs622342 dan farmakokinetik metformin pada pasien DM tipe 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai analisis farmakogenetik gen SLC22A1, SLC22A2, SLC22A3, SLC29A4, dan farmakokinetik metformin pada pasien yang baru terdiagnosis DM tipe 2. Pemeriksaan genetik dapat dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan respon obat untuk mengetahui adanya pengaruh genetik terhadap farmakokinetik dan farmakodinamik obat tersebut. Apabila terbukti adanya pengaruh, maka faktor genetik dapat menjadi salah satu faktor perhatian dalam pertimbangan penyesuaian dosis obat untuk mencapai target terapi.Item ASOSIASI KADAR IGF-1, TSH, T4 BEBAS, VITAMIN 25(OH)D, KALSIUM, FOSFOR, DAN MAGNESIUM DENGAN KEJADIAN PERAWAKAN PENDEK PADA ANAK USIA 24−59 BULAN(2023-08-29) NOVINA; Yoyos Dias Ismiarto; Budi SetiabudiawanPertumbuhan seorang anak merupakan proses interaksi faktor genetik, endokrin, nutrisi, dan lingkungan. Seorang anak dikatakan memiliki perawakan pendek bila panjang/tinggi badan menurut usia dibawah -2 SD kurva WHO Child Growth Standards 2006 (WHOCGS 2006). Seorang anak bertambah tinggi badannya melalui proses osifikasi endokondral jaringan kartilago di ujung lempeng pertumbuhan yang dipengaruhi oleh kadar IGF-1, TSH, FT4, vitamin 25(OH)D, kalsium, fosfor, dan magnesium. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kadar IGF-1, TSH, FT4, Vitamin 25(OH)D, kalsium (Ca), fosfor (Ph), dan magnesium (Mg) antara perawakan pendek underweight, perawakan pendek berat badan (BB) normal dan perawakan normal BB normal serta mengetahui asosiasi kadar IGF-1, TSH, FT4, vitamin 25(OH)D, Ca, Ph, dan Mg dengan kejadian perawakan pendek anak usia 24−59 bulan. Penelitian analitik potong lintang menggunakan data registri dan BBT 225 anak (84 perawakan pendek underweight, 70 perawakan pendek BB normal, 71 perawakan normal BB normal berdasarkan kurva WHOCGS 2006) berusia 24−59 bulan bertempat tinggal di Kabupaten Bandung selama periode Mei−Agustus 2021. BBT disimpan pada suhu -80 oC. Uji statistik t-student, chi-kuadrat, Mann Whitney, Kruskal Walis, ANOVA, analisis regresi linier berganda, dan analisis regresi logistik dipakai untuk melihat perbandingan karakteristik dasar, perbedaan kadar IGF-1, TSH, FT4, vitamin 25(OH)D, Ca, Ph, dan Mg antar kelompok serta asosiasinya dengan kejadian perawakan pendek pada anak usia 24−59 bulan. Pada penelitian ini, didapatkan kadar IGF-1, TSH, FT4, Ca, Ph, dan Mg bermakna lebih rendah pada anak perawakan pendek underweight dibanding dengan perawakan pendek BB normal dan perawakan normal BB normal (semua nilai P<0,05). Uji regresi linier berganda dengan mengendalikan variabel perancu menunjukkan selisih bermakna rerata kadar IGF-1, TSH, FT4, vitamin 25(OH)D, Ca, Ph, dan Mg perawakan pendek underweight lebih rendah dibanding dengan perawakan normal BB normal secara berturut-turut 40,406 ng/mL; 0,329 μIU/mL, 0,175 ng/dL; 2,131 ng/mL; 0,320 mg/dL; 0,794 mg/dL; dan 0,086 mg/dL (semua nilai P<0,05). Kadarnya tidak berbeda bermakna antara perawakan pendek BB normal dan perawakan normal BB normal (semua nilai P≥0,05). Terdapat asosiasi kadar IGF-1, FT4, Ca, Ph, dan Mg dengan kejadian perawakan pendek anak usia 24−59 bulan dengan uji regresi logistik (semua nilai P<0,05). Disimpulkan bahwa kadar IGF-1, TSH, FT4, Vitamin 25(OH)D, Ca, Ph, dan Mg lebih rendah pada perawakan pendek underweight dibanding dengan perawakan pendek BB normal dan perawakan normal BB normal dan terdapat asosiasi kadar IGF-1, FT4, Ca, Ph, dan Mg dengan kejadian perawakan pendek anak usia 24−59 bulan.Item EFEK SENYAWA NOVEL DENGAN KODE ZINC000022339916 TERHADAP VIABILITAS SEL, KADAR INTERLEUKIN-8, DAN KADAR KALLIKREIN-5 PADA MODEL KULTUR KERATINOSIT ROSASEA(2023-12-04) DEIS HIKMAWATI; Endang Sutedja; Reiva Farah DwiyanaRosasea merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan terapi yang belum memuaskan karena patogenesis yang sangat kompleks. Toll-like receptor (TLR-2) memegang peranan penting dalam terjadinya inflamasi yang merupakan dasar patogenesis rosasea. Toll-like receptor-2 akan menginisiasi produksi sitokin proinflamasi, yaitu interleukin-8 (IL-8) sebagai neutrophil chemotacting factor dan pemrosesan salah satu peptida anti mikrobial yaitu Cathelicidin, dari bentuk inaktif human cathelicidin antimicrobial protein (hCAP18) menjadi bentuk aktif LL-37 dengan bantuan kalikrein-5 (KLK-5). Berdasarkan hal tersebut, penghambatan aktivitas LL-37 dan KLK-5 menjadi tujuan utama dari tatalaksana rosasea. Asam azaleat (AzA) merupakan obat baku emas rosasea yang bekerja pada jalur tersebut, tetapi tidak menghambat pada jalur chemotacting neutrophil IL-8, sehingga perlu dicari senyawa baru yang dapat bekerja pada KLK-5 dan IL-8. Pada penelitian pendahuluan in silico, didapatkan senyawa novel yang memiliki efek inhibitor paling stabil pada KLK-5, yaitu senyawa dengan kode ZINC000022339916. Tujuan dari penelitian ini menganalisis efek senyawa novel dengan kode ZINC000022339916 terhadap viabilitas sel, kadar IL-8 dan kadar KLK-5 pada model kultur keratinosit rosasea. Penelitian ini, merupakan penelitian eksperimental in vitro menggunakan sel lini keratinosit HaCaT (ATCCÒ, kode PCS-200-011Ô). Selanjutnya, dibuat sel model kultur keratinosit rosasea yang berasal dari kultur keratinosit sel lini HaCaT yang diberi paparan LL-37. Terhadap sel tersebut diberi perlakuan senyawa ZINC000022339916 sebagai senyawa uji dan AzA sebagai pembanding. Parameter penelitian adalah viabilitas sel, kadar IL-8 dan kadar KLK-5. Viabilitas disini berdasarkan sel hidup pada cawan kultur yang dihitung secara semikuantitatif dan kadar IL-8 dan kadar KLK-5 menggunakan ELISA. Penelitian dilakukan Laboratorium Biomedik Divisi Kultur Sel dan Divisi Imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung. Hasil penelitian didapatkan hasil optimasi konsentrasi LL37 ialah 60 μg/mL, ZINC000022339916 0.5 μM, dan AzA 500 μM. Berdasarkan gambaran morfologi, pada kelompok model kultur keratinosit rosasea yang diberikan perlakuan ZINC000022339916 0,5 μM tampak jumlah sel normal lebih banyak dibandingkan tanpa perlakuan, yang menunjukkan viabiltas sel meningkat. Namun, berdasarkan perhitungan statistik perbandingan kedua jenis perlakukan ini tidak bermakna (p>0,05). Hasil analisis ELISA pada IL-8 terdapat penurunan pada durasi 24 dan 48 jam sedangkan pada KLK-5 terdapat menurunan pada durasi 24 jam, antara sebelum dan setelah diberikan ZINC000022339916, meskipun secara statistik tidak bermakna yang kemudian dibandingkan dengan AzA. Simpulan senyawa ZINC000022339916 mempunyai potensi memperbaiki viabilitas sel, menurunkan IL-8 dan KLK-5 meskipun secara statistik tidak bermakna, sehingga ZINC000022339916 masih memiliki potensi sebagai terapi rosasea namun perlu diteliti lebih lanjut.Item EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL AKAR ALANG-ALANG (Imperata cylindrica) TERHADAP EKSPRESI PKC, STAT3, DAN mTOR PADA LINI SEL KANKER PARU A549(2023-07-30) RADEN ANITA INDRIYANTI; Eko Fuji Ariyanto; Diah Dhianawaty DjunaediKanker paru merupakan jenis kanker yang mengakibatkan angka kematian tertinggi di dunia dan 85% tipe terbanyak dari jenis non-small cell lung carcinoma. Biomarker EGFR ditemukan over-ekspresi pada 62% kejadian kanker paru jenis NSCLC dan mengaktivasi berbagai pathway intraseluler, termasuk jalur PI3K/AKT/mTOR, jalur RAS/RAF/ MAPK, jalur JAK-STATs, serta jalur PLCɤ-PKC yang akan menghasilkan proliferasi sel, metastasis, dan mencegah apoptosis. Alang-alang terbukti memiliki efek antikanker pada berbagai lini kultur sel kanker. Senyawa aktif yang terkandung didalamnya memiliki efek sitotoksik dan mengintervensi jalur yang melibatkan ekspresi gen maupun protein PKCα, STAT3, dan mTOR pada lini sel kanker paru A549. Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari skrining fitokimia, pengukuran kadar senyawa fenol dan flavonoid, aktivitas antioksidan, identifikasi serta kuantifikasi senyawa sinensetin dan imperatorin, kemudian dilakukan uji sitotoktik pada lini sel kanker paru A549 post treatment 48 jam dengan metoda MTT assay untuk menemukan dosis IC50, yang selanjutnya diuji secara terpisah maupun secara kombinasi dengan erlotinib. Penelitian dilanjutkan uji apotosis pada dosis ekstrak akar alang-alang 150, 300, dan 600 µg/mL menggunakan metode flowsitometri FACS-BD, pengukuran ekspresi mRNA PKCα, STAT3, dan mTOR dengan metode RT-qPCR dan pengukuran ekspresi protein PKCα, STAT3, dan mTOR dengan metode Western Blot. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Farmasi UNISBA, laboratorium kultur sel - sitogenetika dan laboratorium genetika molekuler, Eyckman UNPAD, dari bulan Januari 2022 hingga Maret 2023. Hasil analisis fitokimia ekstrak etanol akar alang-alang secara kualitatif mengandung senyawa aktif seperti alkaloid, polifenol, flavonoid, antrakuinon, tanin, dan derivat terpena dengan jumlah senyawa fenol 1,109% (GAE), senyawa flavonoid 0,1% (QE), aktivitas antioksidan IC50 824,30 µg/mL, kadar sinensetin 0,0157 dan imperatorin 0,0178 mg/kg ekstrak. Hasil MTT assay menunjukkan ekstrak etanol akar alang-alang memiliki IC50 sebesar 541 µg/mL (sitotoksik lemah) dan IC50 senyawa erlotinib 29 µM (sitotoksik sedang). Hasil normalisasi Isobologram didapatkan 11 kombinasi dosis dalam zona sinergis, 4 dalam zona aditif, dan 1 dalam zona antagonis. Uji apoptosis didapatkan rerata apoptosis tertinggi pada kelompok erlotinib (52,123,40), sedangkan pemberian ekstrak alang-alang dengan dosis 150, 300, dan 600 µg/mL memberikan efek apoptosis sel kanker berkisar 31,917,54 hingga 35,355,78 yang lebih tinggi dibanding kontrol negatif (15,911,45). Perhitungan ekspresi mRNA PKCα, STAT3, dan mTOR dengan metode RT-qPCR menggunakan uji statistik Kruskall-Wallis didapatkan nilai p untuk tiap-tiap gen adalah 0,049; 0,046; dan 0,041 berarti < 0,05 sehingga bermakna signifikan. Hasil scanning Western Blot ekspresi protein PKCα, STAT3, dan mTOR menunjukkan hasil band pemberian ekstrak etanol akar alang-alang secara kualitatif menghasilkan hasil band lebih tipis dibanding dengan kelompok kontrol negatif, berarti terdapat penurunan ekspresi protein pada kelompok perlakuan. Simpulan, ekstrak etanol akar alang-alang mampu menekan ekspresi gen dan protein PKCα, STAT3, dan mTOR pada lini sel kanker paru A549. Meskipun ekstrak etanol akar alang-alang memiliki efek sitotoksik dan kemampuan apoptosis yang lemah, namun apabila diberikan bersamaan dengan erlotinib menghasilkan efek yang sinergis. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan penggunaan ekstrak akar alang-alang sebagai terapi komplementer pada pengobatan kanker paruItem EKSPRESI GEN HUMAN BETA-DEFENSIN-3 DAN CATHELICIDIN SERTA KOMPOSISI DAN DIVERSITAS MIKROBIOM PADA KULIT PASIEN KUSTA DAN NARAKONTAK KUSTA(2023-02-18) FIFA ARGENTINA; Oki Suwarsa; Afiat BerbudiKusta adalah penyakit infeksi granulomatosa kronik yang disebabkan Mycobacterium leprae (M. leprae). Narakontak kusta merupakan orang yang kontak erat dengan pasien kusta dan berpeluang mengidap kusta lebih tinggi dibanding populasi umum. Salah satu faktor yang berperan dalam patogenesis kusta adalah sistem imun bawaan, contohnya human beta defensin-3 (HBD-3) dan cathelicidin, yang merupakan peptida antimikrobial. Perubahan komposisi dan diversitas mikrobiom kulit diketahui berperan pada penyakit kulit, termasuk kusta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi gen HBD-3 dan cathelicidin serta komposisi dan diversitas mikrobiom pada kulit pasien kusta dan narakontak kusta. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional secara potong lintang mulai Juni 2021 hingga Juni 2022. Peserta penelitian terdiri dari masing-masing 18 orang pasien kusta, narakontak kusta, dan individu sehat. Sampel penelitian berupa swab yang diambil dari lesi kulit, kulit non-lesi pasien kusta, kulit narakontak, dan kulit individu sehat, kemudian dilakukan pemeriksaan ekspresi gen HBD-3 dan cathelicidin menggunakan real-time polymerase chain reaction, serta pemeriksaaan mikrobiom kulit menggunakan next generation sequencing. Hasil penelitian menunjukkan nilai median ekspresi gen HBD-3 pada lesi kulit kusta 260,61 (0,193734,10); kulit non-lesi kusta 1,91 (0,01151,17); kulit narakontak 7,93 (0,27121,10); dan kulit individu sehat 1,00 (1,001,00), dengan uji Kruskal Wallis didapatkan nilai p 0,05). Analisis korelasi antara ekspresi gen HBD-3 dengan diversitas mikrobiom menunjukkan nilai r = 0,200 dan p = 0,105, sedangkan korelasi antara ekspresi gen cathelicidin dengan diversitas mikrobiom menunjukkan nilai r = 0,149 dan p = 0,286. Simpulan penelitian ini terdapat perbedaan ekspresi gen HBD-3 dan cathelicidin pada lesi kulit, kulit non-lesi pasien kusta, dan kulit narakontak kusta yang diambil dari swab kulit. Oleh karena itu, ekspresi gen HBD-3 dan cathelicidin berpotensi menjadi penanda infeksi kusta pada narakontak. Komposisi mikrobiom kulit bervariasi baik pada kelompok kusta, maupun narakontak kusta, dan tidak berhubungan dengan ekspresi gen HBD-3 dan cathelicidin.Item Ekspresi Glucose Transporter-1, Vascular Endothelial Growth Factor-A, Platelet Derived Growth Factor-B, dan Tumor Necrosis Factor-a pada korioretina tikus model diabetes, setelah pemberian Sodium Gluc(2023-12-20) LIA MEUTHIA ZAINI; Arief Sjamsulaksan Kartasasmita; Tidak ada Data DosenSodium Glucose Co-transporter-2 Inhibitor merupakan obat anti diabetes yang bekerja pada ginjal dengan cara mencegah reabsorbsi glukosa. Selain menurunkan kadar gula darah, SGLT-2 inhibitor juga dikatakan memiliki efek lain, yaitu sebagai kardio-protektor dan reno-protektor. Penelitian ini bertujuan melihat efek SGLT-2 inhibitor pada mata tikus diabetes, dengan cara melihat ekspresi molekul-molekul yang sangat berperan pada penyakit tersebut seperti GLUT-1, VEGF-A, PDGF-B, dan TNF-a. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Sentral Padjadjaran, mulai Oktober 2020 hingga Januari 2021. Penelitian merupakan penelitian eksperimental pada empat kelompok tikus Wistar (Kontrol Negatif, Kontrol Positif (Streptozotocin 60 mg/kgBB dosis tunggal), tikus diabetes + Metformin (100 mg/kgBB), serta tikus diabetes + Empagliflozin (30 mg/kgBB), n=6 untuk tiap kelompok). Obat anti- diabetes (Metformin dan Empagliflozin) diberikan 2 minggu setelah injeksi Streptozotocin, dan diberikan selama 8 minggu. Pada akhir penelitian, dilakukan euthanasia, mata tikus di enukleasi, dan diambil jarian korioretina untuk dilakukan pemeriksaan ekspresi SGLT-2, GLUT-1, VEGF-A, PDGF-B, dan TNF-a dengan teknik Western Blot. Data kemudian di analisis dengan one-way ANOVA. Hasil penelitian menemukan bahwa SGLT-2 dan GLUT-1 ditemukan pada jaringan korioretina tikus model. Pemberian Empagliflozin menurunkan ekspresi SGLT-2, namun tidak signifikan secara statistik (p=0.499). Empagliflozin terbukti menurunkan ekspresi GLUT-1 secara signifikan (p=0.005). Analisis Multiple comparisons mendapatkan perbedaan bermakna, dimana tikus yang diterapi dengan Empagliflozin lebih baik dalam menekan ekspresi GLUT-1 dibandingkan dengan Metfromin (p=0.02). Empagliflozin terbukti secara signifikan dapat menekan ekspresi molekul angiogenik VEGF-A (p=0.012) dan PDGF-B (p=0.003). Namun pemberian Empagliflozin tidak terbukti secara signifikan mampu menekan ekspresi TNF-a (p=0.064). Analisis multiple comparisons mendapatkan bahwa walaupun Empagliflozin tidak lebih superior dibandingkan dengan Metformin dalam menekan ketiga molekul tersebut, namun perbedaannya tidak signifikan secara statistik, VEGF-A (p=0.15), dan PDGF-B (p= 0.07), dan TNF-a (p= 0.33) Simpulan penelitian adalah Empagliflozin memiliki potensi dalam pencegahan Retinopati Diabetik, dengan cara mengontrol kadar gula darah. Potensi perannya dalam mencegah progresivitas Retinopati Diabetik salah satunya juga dapat dilihat dari efeknya dalam menekan molekul angiogenik, seperti VEGF-A dan PDGF- B.Item Ekspresi PGC 1 a, Reseptor Dopamin, Synaptophysin dan BDNF sebagai indicator Fungsi Kognitif pada Cerebrum dan Hippokampus Rattus Novergicus setelah Pemberian Ekstrak Biji Pala(2023-09-04) FIFI VERONICA; Ambrosius Purba; Ahmad RizalProses tumbuh kembang dan fungsi kognitif seorang anak erat kaitannya dengan kualitas asupan makro dan mikronutrien dalam kandungan makanan anak sehari hari. Pada fase perkembangan fungsi kognitif anak diawali dari tahap perkembangan maturasi otak dan sensitivitas terhadap rangsangan stimulus eksternal yang optimal pada satu periode tertentu yang disebut dengan periode kritis dan terjadi pada lima tahun pertama kehidupan seorang anak. Pada periode kritis ini terjadi peningkatan densitas sinaps dan fungsi otak. Pemberian suplemen neurotropik bertujuan untuk meningkatkan neurogenesis, neurotransmisi, sinaptoplastisitas. Perkembangan cerebrum dan hipokampus dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain aktivasi beberapa proteinneurotropik seperti BDNF, Synaptophysin dan Dopamin yang berperan pada proses biogenesis mitokondria pada otak anak. Berbagai upaya untuk mengoptimalkan proses metabolisme pada biogenesis mitokondria yang berkaitan dengan peningkatan fungsi kognitif antara lain dapat dilakukan dengan suplementasi neurotropik antara lain melalui pemberian Ekstrak Biji Pala (Myristica fragrans Houtt) dalam kaplet Glucopala. Glucopala merupakan Ekstrak Biji Pala yang mengandung zat aktif PPAR-γ agonis.Selain itu fungsi kognitif pada anak melibatkan beberapa aktivasi protein neurotropik seperti BDNF dan aktivasi beberapa protein utama pada vesikel sinaptik di neuron, seperti SYP. Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus Rattus Novergicus jantan umur 7-8 minggu (lepas sapih), dengan berat 100-120 gram yang setara dengan masa remaja pada manusia, bertujuan untuk mengembangkan penelitian molecular terkait pengaruh pemberian Ekstrak Biji Pala terhadap ekspresi mRNA PGC 1-α, Synaptophysin, DR dan BDNF pada jaringan Cerebrum dan Hipokampus. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi mRNA PGC-1α, DR, Synaptophysin dan BDNF pada perlakuan 6 minggu dibandingkan dengan 12 minggu berbeda secara sgnifikan (p=0,001). baik pada sampel Cerebrum maupun Hipokampus.Ekspresi mRNA PGC-1α (p=0,018) , D1A (p=0,006), Synaptophysin (p=0,0000) dan BDNF (p=0,000) lebih meningkat pada hipokampus dibandingkan dengan cerebrum. Sedangkan ekspresi mRNA D1B menurun baik pada hipokampus, maupun pada cerebrum selama perlakuan 6 dan 12 minggu. (p=0,0001). Simpulan hasil penelitian menunjukkan Ekstrak Biji Pala mempunyai potensi meningkatkanindikator fungsi kognitif terutama pada bagian Hipokampus dibandingkan dengan area cerebrum pada tikus muda Jantan dengan perlakuan pemberian Ekstrak Biji Pala selama 12 minggu. Kata Kunci : Ekstrak Biji Pala, PGC-1α, Reseptor Dopamin, Synaptophysin, BDNF, Cerebrum, HipokampusItem EXPLORATIVE STUDY OF SPINOCEREBELLAR ATAXIA 3: GENETIC AND CLINICAL ANALYSIS(2023-05-19) SITI AMINAH SOBANA; Yunia Sribudiani; Tri Hanggono AchmadThis study aims to explore the phenotype and genotype aspects of a family with SCA3. This book contains eight chapters. Chapter 1 presents the background on SCA3 that the research addresses and the pathomechanism and any issues related to SCA3 disease investigated in this study. In Chapter 2, three index patients with SCA3 from different families are evaluated. The patients had the same polyQ stretch length, yet the clinical profiles, progression of symptoms, and worsening of their condition over time were considerably different. These symptoms included ataxia, speech problems, peripheral motor and sensory nerve complaint, and cognitive impairment. Patients therefore presented with a wide variety of symptoms and clinical features when SCA3 first manifested. Chapter 3 describes the clinical profile of five subjects from the same family with an ATXN3 mutation with expanded CAG repeat showing a broad range of manifestations. All patients with SCA3 had prominent non-ataxia features besides ataxia signs. Subjects with the prodromal stage showed a less severe disease with only nystagmus, the symptom of peripheral nerve abnormalities, and mild cognitive impairment (CI). Subjects with the ataxic stage of SCA3 had more extensive neurological manifestations, including the cerebellar, extrapyramidal, pyramidal, oculomotor, peripheral nerve symptoms, and mild CI. The non-motor symptoms of SCA3 include peripheral nerve symptoms and cognitive impairment. In Chapter 4, four subjects from the same family tree are examined with abnormalities in the peripheral nerve, presenting with symptoms but with or without clinical signs. Peripheral nerve abnormalities already shown in the prodromal stage are also discussed. Nerve Conduction Study (NCS) analysis showed a varied peripheral nerve involvement, including the axonal and demyelinating lesion in sensory, motor, and motor nerves. Chapter 5 reports the peripheral neuropathy of one patient with SCA3 who experienced peripheral nerve symptoms preceding gait symptoms. However, the sensory examination was normal, even when the NCS revealed axonal demyelinating sensory-motor peripheral neuropathy. Chapter 6 discusses cognitive impairment consisting of general and cerebellar cognitive function of patients with SCA3. Fifteen subjects from the same family tree had their MMSE and MoCA-INA scores examined. The results show that the general cognitive function in SCA3 subjects tended to be lower than that of normal subjects. Then, seven subjects underwent further CCAS examination and showed impairment in executive function (cognitive flexibility), attention (short-term memory), language (verbal fluency), and memory (immediate memory). In the subjects with SCA3, the cognitive function was more likely affected by the pathological disease process rather than age and education level. The involvement of the brain region that resulted in the abnormality of the motor and cognitive function was shown in the brain MRI volumetry findings. In Chapter 7, seven subjects who underwent an MRI examination are discussed. This research found a decrease in corpus callosum volume and cerebellum lobules I-II as well as lobule IX, which control motor function and cognition, respectively.Item Hubungan Hypoxia Inducible Factor 1 Alfa (HIF-1alfa) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan Luaran Klinis Stroke Iskemik AKut(2021-10-28) LISDA AMALIA; Ahmad Rizal; Ida Parwati SantosoLatar Belakang: Stroke iskemik merupakan salah satu penyebab stroke tersering, disebabkan oleh oklusi pembuluh darah serebral dan penyebab kematian ketiga.Mediator sitotoksik seperti glutamat dan radikal oksigen bebas tidak selalu menyebabkan kematian sel, tetapi juga dapat bertindak sebagai stimulus prekondisi iskemik. Prekondisi iskemik akan menghasilkan fenotipe tahan hipoksia yakni protein hypoxia inducible factor (HIF)-1 pada awitan 24 jam pertama. HIF-1 bertindak sebagai protein sinyal yang dapat meregulasi gen protein lain yaitu eritropoitin dan vascular endothelial growth factor (VEGF)untuk meningkatkan pengiriman oksigen melalui induksi angiogenesis di daerah iskemik sehingga akan meningkatan luaran klinis stroke iskemik fase akut. Penelitian ini bertujuan mengukur hubungan kadar HIF-1α dan VEGF dengan luaran klinis stroke iskemik fase akut. Metode: Penelitian bersifat observasi analitik studi potong lintangprospektif yang dilakukan pada 57 pasien stroke yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di Instalasi Rawat Inap dan Rawat Jalan KSM/Departemen Neurologi RSUP Hasan Sadikin Bandung dan RS Muhammadiyah Bandung sejak bulan April sampaiNovember 2018. Pemeriksaan kadar HIF-1α dilakukan saat masuk RS sedangkan peeriksaan VEGF dilakukan saat rawat inap 72 jam. Penilaian luaran klinis dengan menggunakan National Institute Health Stroke Scale (NIHSS) pada saat masuk RS dan awitan 72 jam serta Modified Rankin Scale (MRS) pada awitan 30 hari. Korelasi antara kadar HIF-1α dan VEGF dinilai menggunakan analisis statistik rank Spearman, signifikan jika p <0,05. Hasil: Terdapat hubungan negatif bermakna antara kadar HIF-1α dengan NIHSS pada stroke iskemik awitan 24 jam (r= -0.331, p=0.040), awitan 7 hari (r=-0.342, p=0.035), dan awitan 30 hari (r= -0.393, p=0.018). Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar VEGF dan NIHSS awitan 24 jam (r=0.404, p=0.015), tetapi tidak bermakna dengan awitan 72 jam (r=0.202, p=0.063) dan awitan 30 hari (r=0.012, p=0.83). Terdapat hubungan positif bermakna antara kadar VEGF dan NIHSS awitan 24 jam Kesimpulan:Terdapat hubungan bermakna antara kadar HIF-1α dengan luaran klinis stroke iskemik fase akut dan tidak bermakna antara kadar VEGF dan luaran klinis stroke iskemik fase akut. Semakin tinggi kadar HIF-1α maka akan semakin tinggi pula kadar VEGF pada stroke iskemik fase akut.Item HUBUNGAN KADAR VITAMIN D, ENZIM ᾱ-HIDROKSILASE (CYP27B1) DAN 24-hidroksilase (CYP24A1) IBU HAMIL TERHADAP KEJADIAN BAYI KECIL MASA KEHAMILAN DAN GAMBARAN HISTOPATOL(2020-11-03) SETYORINI IRIANTI; Yusuf Sulaeman Effendi; Budi SetiabudiawanPertumbuhan janin terhambat dan Bayi KMK merupakan masalah kesehatan penting karena menyumbangkan morbiditas dan mortalitas perinatal kedua setelah prematuritas. Semakin banyak bukti adanya hubungan kejadian PJT dan KMK dengan defisisiensi VD (VD), yang juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, karena prevalensinya dalam kehamilan bervariasi antara 13,2% -77,3%. Diperkirakan rendahnya VD ibu dapat mengubah gambaran plasenta menjadi patologis, yang akhirnya menghambat transport nutrisi dan oksigen dari ibu ke fetus, sehingga dapat menurunkan pertumbuhan janin, yang akhirnya akan menghasilkan bayi dengan KMK. Metabolisme VD dipengaruhi oleh ekspresi enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan 24-hidroksilase (CYP24A1). Tujuan penelitian ini untuk melihat adanya hubungan antara kadar VD, enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1), 24-hidroksilase (CYP24A1) ibu hamil dengan kejadian bayi KMK, dan gambaran histopatologis plasenta. Penelitian ini merupakan kelanjutan studi kohor yang dilakukan pada 304 ibu hamil dari Bandung, Cimahi, Waled, dan Sukabumi. Terdapat 203 ibu hamil yang berhasil diikuti sejak trimester satu hingga persalinan dan terpilih menjadi subjek studi kasus kontrol bersarang untuk membandingkan kasus bayi KMK dan non KMK. Didapat 33 orang ibu yang melahirkan bayi KMK dan 34 non KMK. Pemeriksaan usg dan VD dilakukan secara serial pada trimester II dan III dan dilakukan pemeriksaan kadar enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan enzim 24-hidroksilase (CYP24A1) plasenta. Analisis bivariat dan regresi logistik dilakukan untuk menentukan hubungan antar variabel yang diteliti. Pada penelitian ini terdapat hubungan status 25(OH)D pada trimester II dan III dengan kejadian bayi KMK. Terdapat hubungan kadar 1,25(OH)2D serum ibu hamil trimester II dan III dengan kejadian bayi KMK. Terdapat hubungan kadar enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan 24-hidroksilase (CYP24A1) ibu hamil trimester II dan III dengan kejadian bayi KMK dengan nilai p=0,007 (p≤0,05) untuk enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan p<0,001 (p≤0,05) untuk enzim 24-hidroksilase (CYP24A1). Kadar enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan 24-hidroksilase (CYP24A1) ibu hamil trimester III memiliki hubungan terhadap gambaran histopatologis plasenta dengan nilai p=0,017 (p≤0,05) untuk 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan p=0,050 (p≤0,05) untuk 24-hidroksilase (CYP24A1). Gambaran histopatologis abnormal yang berhubungan dengan defisiensi VD adalah fibrin deposit di plasenta sehingga menyebabkan bayi KMK. Ibu hamil trimester II dengan status 1,25(OH)2D defisiensi berat memiliki risiko KMK sebesar 3,32 kali, sedangkan ibu hamil trimester III dengan status 1,25(OH)2D defisiensi berat memiliki risiko bayi KMK sebesar 26,67 x dan risiko gambaran histopatologis plasenta sebesar 8 kali bila dibandingkan dengan yang memiliki status 1,25(OH)2D defisiensi ringan-sedang.Item HUBUNGAN KADAR VITAMIN D, INTERLEUKIN-4, INTERLEUKIN-10, DAN EKSPRESI CD23+ DENGAN ASMA BRONKIAL PADA ANAK STUNTED-UNDERWEIGHT(2023-09-15) GARTIKA SAPARTINI; Cissy Rachiana Sudjana Prawira; Budi SetiabudiawanStunted merupakan faktor risiko terjadi wheezing. Vitamin D menekan respons Th2 (IL-4) dan meningkatkan aktivitas sel Treg (IL-10). CD23+ (low-affinity receptor IgE) berperan penting dalam proses inflamasi alergi. Kadar vitamin D rendah serta peningkatan IL-4 dan CD23+ ditemukan pada anak stunted dan asma. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kadar vitamin D, IL-4, IL-10, dan ekspresi CD23+ dengan asma bronkial pada anak stunted-underweight. Penelitian kasus-kontrol dilakukan terhadap anak stunted berusia 24–59 bulan di seluruh puskesmas Kabupaten Bandung selama periode Oktober 2021– Oktober 2022 secara consecutive sampling, diperlukan minimal 85 subjek yang terbagi menjadi beberapa kelompok. Pemeriksaan kadar 25(OH)D, IL-4, dan IL-10 dilakukan dengan metode ELISA, CD23+ (persentase, mean fluorescence intensity/MFI dan absolute cell count) dengan flow cytometry beads, serta dilakukan analisis bivariabel dan multivariabel. Pada penelitian ini didapatkan 99 anak stunted terdiri dari 17 stunted- underweight-asma (kasus), 20 stunted-gizi baik-asma,19 stunted-underweight-tanpa asma, 19 stunted-gizi baik-tanpa asma, dan 24 normal-asma (kontrol). Proporsi ayah, ibu, dan saudara kandung dengan atopi pada anak stunted-asma lebih besar (p=0,038; p=0,001; p=0,025). Defisiensi vitamin D terjadi pada 52,9% anak stunted- underweight-asma dengan median kadar 25(OH)D ≤19,3 (15,3–24,59) ng/mL. Pada kelompok stunted-underweight-asma, kadar 25(OH)D lebih rendah (p=0,046), sedangkan IL-4 lebih tinggi (p=0,004). Tidak ada perbedaan bermakna kadar IL-10 dan CD23+ pada berbagai kelompok. Rasio kadar IL-4/IL-10 pada anak stunted- asma dan stunted-underweight-asma secara bermakna lebih tinggi dibanding dengan normal-asma. Pada uji regresi logistik ganda, kadar 25(OH)D ≤19,3 ng/mL, kadar IL-4 >1,607 pg/mL, dan CD23+ (MFI) >764 berhubungan dengan timbulnya asma bronkial pada stunted-underweight (p=0,008; p=0,008; dan p=0,015). Disimpulkan bahwa kadar vitamin D rendah, IL-4 tinggi, dan ekspresi CD23+/MFI tinggi, dengan pengecualian kadar IL-10 berhubungan dengan kejadian asma bronkial pada anak stunted-underweight.Item KADAR GROWTH DIFFERENTIATION FACTOR-15 SEBAGAI PREDIKTOR MIELOSUPRESI TERAPI LINEZOLID PADA PASIEN MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS DAN EXTENSIVELY DRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS(2023-06-22) AMAYLIA OEHADIAN; Rovina; Prayudi SantosoLinezolid merupakan salah satu obat yang poten (katagori A) untuk terapi MDR-TB dan XDR-TB yang efektif membunuh Mycobacterium tuberculosis (M.tb). Akan tetapi linezolid dapat menyebabkan efek samping yang serius terutama kelainan hematologi. Linezolid bekerja menghambat fungsi ribosom bakteri. Struktur ribosom mitokondria sel tubuh manusia mempunyai kemiripan dengan ribosom bakteri, sehingga linezolid dapat mengganggu fungsi mitokondria sel tubuh manusia. Gangguan mitokondria pada sel induk hematopoietik merupakan salah satu patogenesis terjadinya efek samping kelainan hematologi. Sitokin Growth differentiation factor-15 (GDF-15) diidentifikasi sebagai biomarker potensial untuk kelainan mitokondria. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi potensi kadar GDF-15 sebagai prediktor terjadinya mielosupresi pada pasien MDR-TB dan XDR-TB yang mendapatkan terapi linezolid jangka panjang. Penelitian analitik dengan desain kohort prospektif dilakukan pada pasien MDR-TB dan XDR-TB di Poli Tuberkulosis RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, RSUP Dr Kariadi Semarang dan RSUP Persahabatan Jakarta. Pemeriksaan parameter hematologi dilakukan saat baseline, minggu ke-2 dan minggu ke-4-8 setelah terapi linezolid. Pemeriksaan kadar GDF-15 dilakukan pada saat baseline dan minggu ke-2 setelah terapi linezolid dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Analisis statistik menggunakan Chi square, Fisher exact, paired t-test, Wilcoxon, Rank-Spearman correlation test dan multiple linear regression untuk menentukan peranan GDF-15 dalam memprediksi mielosupresi. Sejumlah 97 subjek MDR-TB dan XDR-TB ikut penelitian; sebagian besar laki-laki (61,9%). Mielosupresi didapatkan pada 64,9% subjek. Terdapat korelasi antara kadar GDF-15 baseline dengan perubahan kadar hemoglobin pada minggu ke-4-8 terapi linezolid (r= 0,4, p<0,001). Tidak terdapat korelasi antara kadar GDF-15 dengan penurunan jumlah neutrofil dan trombosit. Kadar GDF-15 dan indeks massa tubuh (IMT) dapat memprediksi penurunan kadar hemoglobin (Delta Hemoglobin = -2,310 + 0,00013*GDF-15 + 0,152*IMT, p=0,026). Pada minggu ke-2 terapi linezolid, kadar GDF-15 meningkat secara bermakna [708,96 (378,09 – 2.408,89) vs 635,58 (407,31 – 1.583,65) pg/ml, p=0,003]. Terdapat korelasi antara kadar GDF-15 baseline dengan penurunan kadar hemoglobin sebagai efek mielosupresi pada minggu ke-4-8 terapi linezolid. Kadar GDF-15 baseline dapat digunakan sebagai prediktor mielosupresi berupa penurunan kadar hemoglobin pada subjek MDR-TB dan XDR-TB yang mendapatkan terapi linezolid jangka panjang, tetapi tidak terhadap penurunan neutrofil dan trombosit.Item Korelasi antara miR-21, miR-29, miR-200, miR-205, dan miR-433 dengan ekspresi TGF beta pada anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid(2021-09-13) AHMEDZ WIDIASTA; Yunia Sribudiani; Dedi Rachmadi SjambasSindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) merupakan permasalahan penting yang berpotensi meningkatkan mortalitas dan menurunkan kualitas hidup anak. Resistensi sekunder terhadap sindrom nefrotik sering terjadi pada sindrom nefrotik lesi minimal yang mengalami proteinuria persisten, karena paparan mediator proinflamasi berkepanjangan, terjadilah perubahan histologi glomerulus menjadi sklerosis, bahkan fibrosis. Sebagai langkah awal penemuan terapi baru pada SNRS, perlu pendekatan melalui perspektif epigenetik. Aspek epigenetik yang berpeluang berlanjut menjadi inovasi terapi di kemudian hari adalah mikroRNA (miRNA). Ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β) dipengaruhi oleh miRNA spesifik, berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya pada subjek pasien dewasa dengan penyakit ginjal karena sebab selain SNRS. Penelitian kohort prospektif, di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, dengan 24 subjek (usia 1 – 18 tahun) sindrom nefrotik sebagai diagnosis diikutsertakan, sampel darah dikumpulkan sebelum diberikan steroid ataupun agen imunosupresan lainnya. Diagnosis resistensi steroid didefinisikan sebagai proteinuria yang menetap setelah empat minggu terapi prednisolon atau metilprednisolon, sedangkan sensitif steroid memberikan remisi dengan pengobatan tersebut. Dua belas subjek SNRS, dan 12 subjek kontrol. Isolasi RNA dilakukan dengan sampel plasma darah, kemudian dilakukan pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan quantitative reverse transcriptase polimerase chain reaction (qRT-PCR) dengan assay Taqman. Perbedaan ekspresi miRNA, TGFB1, TGFB2 dianalisis dengan Livak, TGF-β dengan uji beda, serta korelasi dengan analisis korelasi Spearman. Terdapat perbedaan ekspresi TGF-β pada SRNS dibandingkan SNSS (p 1. Terdapat korelasi antara ekspresi TGF-β dan TGFB2 dengan miR-21, miR-29, miR-200, miR-205, dan miR-433 berdasarkan diagram sebar. Peningkatan regulasi TGF-β, miR-21, miR-29, miR-205, dan miR-433 berpotensi menjadi prediktor resistensi steroid pada anak NS. Oleh karena itu, penelitian masa depan dengan tes cepat TGF-β untuk terapi tindak lanjut SRNS dan antimiRNA, terutama antimiR-433 sangat diperlukan dalam mengembangkan terapi baru.Item MEMBANGUN MODEL PREDIKSI RISIKO PREEKLAMSIA SECARA KOMPREHENSIF PADA LAYANAN KESEHATAN PRIMER(2023-01-28) HIRFA TURRAHMI; Hadyana Sukandar; Rudi SupriyadiLatar Belakang: Preeklamsia dan eklamsia memiliki dampak terbesar terhadap morbiditas dan mortalitas ibu hamil dan bayi baru lahir. Insiden preeklamsia di seluruh dunia sekitar 2,16%. Kejadian preeklamsia di Indonesia 7-10% dari seluruh kehamilan. Potensi kedaruratan tak terduga dan fatal dapat dicegah dan ditangani dengan baik jika preeklamsia diidentifikasi pada awal kehamilan. Tujuan penelitian ini adalah membangun model prediksi risiko preeklamsia pada awal kehamilan melalui sistem skoring factor risiko yang dapat digunakan di layanan kesehatan primer. Metode: Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Jakarta Pusat pada bulan Oktober 2021 sampai dengan Mei 2022. Sampel sebanyak 167 ibu hamil dipilih menggunakan consecutive sampling dengan kriteria inklusi usia kehamilan 13-16 minggu dan bersedia berpartisipasi dalam program penelitian. Sampel yang memiliki gangguan komunikasi, sedang menjalani pengobatan rutin, dan memiliki riwayat penyakit lain, kecuali hipertensi, dikeluarkan dari penelitian. Pengolahan data menggunakan program SPSS 22.0 dengan analisis multivariat regresi logistik ganda model prediksi dan analisis ROC curve Hasil: Proporsi ibu hamil dengan preeklampsia sebesar 8,4%. Hasil uji statistik dengan menyajikan nilai RR dan CI sebesar 95% ditemukan faktor yang berhubungan bermakna dengan preeklampsia yaitu: usia [RR = 2,99 (1,00 -9,16); p = 0,042]; jarak kehamilan [RR = 3,97 (1,46 -10,78); p = 0,008]; riwayat hipertensi ibu [RR = 5,18 (1,98 -13,59); p = 0,002]; IMT pra-kehamilan [RR = 6,02 (1,98 -18,28); p = 0,001]; kadar albumin serum [RR = 13,48 (1,8 -100,69); p = 0,001]; PETA [RR = 10,93 (4,47 -26,70); p 9 secara signifikan berisiko 50,85 kali berisiko mengalami preeklampsia dibanding ibu hamil dengan skor ≤9. Akurasi model mencapai 86,83%. Model dapat digunakan dengan mudah guna meningkatkan peran promotive dan preventif layanan kesehatan primer. Kata Kunci: Preeklamsia, IMT (Indeks Massa Tubuh), Albumin, Mean Arterial Pressure (MAP).Item Model Konseptual Sistem Investigasi Kematian di Kota Bandung(2023-05-28) CHEVI SAYUSMAN; Dewi Marhaeni Diah Herawati; Yoni Fuadah SyukrianiLatar Belakang: Sistem investigasi kematian di Indonesia belum mampu mencakup seluruh kejadian kematian dan belum sesuai dengan prinsip-prinsip investigasi kematian. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model konseptual sistem investigasi kematian yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Metode:Desain penelitian adalah mixed methods sequential exploratory dengan paradigma constructivisme. Penelitian kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam. Proses analisis data dilakukan melalui transkripsi, reduksi, koding, kategori, tema dan membuat model konseptual. Penelitian dilanjutkan dengan penelitian kuantitatif untuk membuat instrumen kuesioner berdasarkan hasil analisis kualitatif. Rasch model digunakan untuk untuk menilai reliabilitas dan validitas instrumen. Instrumen kuesioner kemudian disebarkan kepada responden. Hasil kuesioner dianalisis dengan WarpPLS untuk melihat hubungan aspek-aspek/tema pada model konseptual. Hasil: Tema yang dihasilkan adalah: reliabilitas, jaminan, atensi, kredibilitas, tangible, prinsip, independensi dan tata kelola. Hasil pemodelan Rasch untuk menguji reliabilitas dan validitas instrument memperlihatkan reliabilitas person bagus sekali (0,93) dan reliabilitas aitem istimewa (0,99), dengan nilai alpha Cronbach 0,96 menunjukan interaksi antara person dan aitem secara keseluruhan baik sekali. Berdasarkan analisis WarpPLS model yang dibangun telah sesuai, masing-masing tema memiliki hubungan yang kuat dan signifikan terhadap pelayanan sistem investigasi kematian. Permasalahan investigasi kematian sesuai tema yang dihasilkan. Hasil WarpPLS menunjukan pengaruh signifikan peran institusi independen sebagai investigator kematian terhadap pelayanan sistem investigasi kematian. Institusi Kesehatan dan institusi Kepolisian sebagai investigator kematian tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pelayanan sistem investigasi kematian. Simpulan: Model konseptual sistem investigasi kematian terdiri dari 8 tema, yaitu: reliabilitas, jaminan, atensi, kredibilitas, tangible, prinsip, independensi dan tata kelola. Institusi independen merupakan institusi ideal sebagai pelaksanaan investigasi kematian.