S3 - Doktor
Permanent URI for this community
Browse
Browsing S3 - Doktor by Issue Date
Now showing 1 - 20 of 40
Results Per Page
Sort Options
Item Analisis Asupan Zat Gizi Berdasarkan FFQ Dan Kandungan Zat Gizi Dalam Karang Gigi, Kadar Leptin Dalam Saliva Dan Darah, Serta Polimorfisme Gen LepR, Pada Individu Dengan Obesitas Dan Normal(2015) IGNATIUS SETIAWAN; Irna Sufiawati; Dewi Marhaeni Diah HerawatiMeningkatnya epidemi obesitas terkait dengan pola makan dan gaya hidup. Penilaian asupan makanan saat ini masih memiliki banyak kendala, terutama terkait objektifitas pengumpulan data. Karang gigi dapat menjadi penyedia berbagai informasi oral termasuk asupan makanan. Asupan makanan juga dipengaruhi faktor biologis seperti hormon dan gen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis asupan zat gizi berdasarkan FFQ dan kandungan zat gizi dalam karang gigi, kadar leptin dalam saliva dan darah, serta polimorfisme gen LepR pada pasien dengan obesitas dan normal. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain penelitian case control. Sampel yang terdiri dari 35 pasien obesitas dan 21 pasien normal diambil dengan menggunakan quota sampling. Data asupan nutrisi diperoleh dengan menggunakan FFQ. Kandungan zat gizi dalam karang gigi diperiksa menggunakan uji kolorimetri. Kadar Leptin dalam darah dan saliva diukur dengan menggunakan ELISA dan polimorfism gen LepR dinilai dengan PCR-sekuensing. Perbandingan antara pasien obesitas dan pasien dengan berat badan normal diuji menggunakan uji Mann-Whitney dan uji-T. Korelasi antara variabel penelitian diukur menggunakan korelasi rank-order Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi yang kuat ditemukan antara asupan lemak dengan kandungan lemak total dalam karang gigi (rs = 0,521) dan korelasi antara asupan karbohidrat dengan total kandungan karbohidrat dalam karang gigi dengan rs = 0,519. Kadar leptin darah berhubungan dengan persentase lemak tubuh pada pasien dengan obesitas dan normal (p <0,001), sedangkan kadar leptin saliva pada pasien dengan obesitas dan normal tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Frekuensi polimorfisme pada gen LepR pasien dengan obesitas lebih tinggi daripada pasien normal, polimorfisme gen LepR rs1137101 memiliki hubungan yang bermaka dengan obesitas. Disimpulkan bahwa rata-rata asupan karbohidrat, protein dan lemak berdasarkan FFQ dan kandungan zat gizi dalam karang gigi pada pasien dengan obesitas, lebih tinggi daripada pasien normal. Terdapat perbedaan asupan zat gizi, kadar leptin dan polimorfisme gen LepR antara pasien dengan obesitas dan pasien normal. Karang gigi berpotensi menjadi sumber alternatif biomarker makanan yang non-invasif, murah, dan spesifik.Item PERAN VITAMIN D PADA PROPORSI SEL DAN EKSPRESI HLA-DR MONOSIT INTERMEDIA PENYANDANG THALASSEMIA-BETA MAYOR YANG DISTIMULASI Mycobacterium Tuberculosis(2018-11-03) MOHAMMAD GHOZALI; Budi Setiabudiawan; Lelani ReniartiKombinasi anemia dan transfusi darah seumur hidup pada pasien thalassemia-β mayor dapat berujung pada akumulasi zat besi. Makrofag yang berperan ganda, selain sebagai sentral pada regulasi zat metal reaktif toksik ini di tingkat seluler, juga sebagai sel imun bawaan, apabila terdapat disregulasi zat besi dapat menimbulkan kelainan respons imun, sehingga mereka rentan terhadap infeksi. Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi memudahkan pasien dengan kelainan genetik hemoglobin ini terinfeksi iron-loving bacteria, Mycobacterium tuberculosis (Mtb). Monosit sebagai pra-makrofag membentuk subset monosit aktif intermedia (CD14++CD16+) pro-inflamasi yang mengekespresikan HLA-DR untuk aktivasi sistem imun adaptif. Adanya integrasi sinyal reseptor vitamin D dan sistem imun monosit memberikan peluang modulasi respons yang optimal. Suatu studi potong lintang observasi laboratorium yang mengaplikasikan flow cytometry, dilakuan untuk mengetahui status kecukupan vitamin D, sekaligus mengetahui hubungan proporsi sel serta ekspresi HLA-DR subset monosit intermedia dengan kadar vitamin D [25(OH)Vit.D dan 1,25(OH)2Vit.D] dan feritin, yang secara ex vivo distimulasi antigen Mtb. Studi ini mengikutsertakan 58 pasien thalassemia-β mayor yang berkunjung ke Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Februari-Maret 2018. Uji beda Wilcoxon dan korelasi Spearman dengan P < 0,05 digunakan untuk menganalisis kemaknaan hasil studi. Defisiensi dan insufisiensi vitamin D didapatkan pada 85% dan 5% populasi penyandang thalassemia-β mayor, sementara 12% adalah normal. Terdapat perbedaan bermakna pada proporsi sel subset monosit intermedia antara sebelum dan setelah stimulasi Mtb [20.8% (6.13-38.8) vs. 22.8% (11.5-51.8); P = 0.0002]. Korelasi negatif antara kadar vitamin D dan populasi subset monosit intermedia sebelum dan setelah stimulasi Mtb yang signifikan juga ditemukan pada studi ini [(P=0.005, r=-0.32) vs. (P=0.01, r=-0.36) dan (P=0.05, r=-0.25) vs. P=0.01, r=-0.33)]. Walaupun tidak signifikan, terdapat penurunan ekspresi HLA-DR pasca stimulasi Mtb. Tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar vitamin D dan ekspresi HLA-DR pada studi ini. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar feritin dan proporsi sel serta ekspresi HLA-DR subset monosit intermedia sebelum dan setelah stimulasi Mtb. Penyandang thalassemia-β mayor dengan hiperferitinemia dan defisiensi vitamin D, adanya peningkatan proporsi monosit pro-inflamasi, (CD14++CD16+) yang tidak sejalan dengan ekspresi HLA-DR pasca stimulasi Mtb menunjukkan suatu kelainan respons imun seluler bawaan dan adaptif monosit terhadap pajanan infeksi, khususnya oleh Mtb. Adanya integrasi sistem transduksi sinyal respons imun monosit dan metabolisme vitamin D, studi ini memberikan landasan ilmiah awal akan peran penting imunomodulasi vitamin D pada respons pro-inflamasi monosit intermedia (CD14++CD16+). Penelitian selanjutnya mengenai sistem transduksi sinyal efektor monosit serta aktivasi reseptor vitamin D perlu dilakukan untuk pembuktian lebih lanjut peran vitamin D pada inflamasi persisten penyandang thalassemia-β mayor.Item Peran Protein TAT HIV-1 pada Transporter Zink SLC39A14 dan Utilitas Zink dalam Model Kondrosit dari Tali Pusat sebagai Mekanisme Percepatan Osifikasi Endokondral Penyebab Stunting Anak Terinfeksi HIV(2019-10-17) KETUT DEWI KUMARA WATI; Ida Parwati Santoso; Meita DhamayantiLatar belakang: Stunting sering terjadi pada anak terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) meski klinis membaik dengan antiretroviral, sehingga teori malnutrisi kronis tidak memuaskan untuk menerangkan stunting. Pada deplesi protein transport zink SLC39A14, kadar zink kondrosit rendah, osifikasi endokondral dipercepat, dan hewan coba menjadi lebih pendek. Protein Tat HIV-1 mungkin menurunkan kadar zink dengan mengikat SLC39A14 serta berkompetisi dengan HDAC4 untuk mengambil zink dalam kondrosit serta mempercepat osifikasi endokondral. Penelitian ini bertujuan meneliti apakah: Protein Tat HIV-1 mengikat dan menurunkan ekspresi transporter zink SLC39A14, mengganggu utilitas zink dengan menurunkan influks zink sehingga meningkatkan kondrosit hipertrofi serta mengikat zink lebih banyak dari HDAC4. Metode: Pemodelan in silico ikatan Protein Tat HIV-1 SLC39A14 dengan molecular docking di Faculty of Applied Science, UCSI, Kuala Lumpur. Efek Tat terhadap ekspresi SLC39A14 dan utilitas zink kondrosit dilakukan di Lab Prostem Jakarta. Utilitas zink diwakili kadar zink dan ambilan zink protein Tat HIV-1 dibanding HDAC4. Kondrosit hipertrofi diwakili kadar kolagen 10A, kolagen 2A serta apoptosis. Desain penelitian: trial kontrol acak tersamar, sampel adalah kondrosit hasil diferensiasi sel punca mesenkim tali pusat. Kondrosit kontrol tidak diberi pajanan. Kondrosit pajanan diinkubasi protein Tat HIV-1 rekombinan. Konsentrasi optimal pajanan ditentukan dengan uji metyl tetratoluene pada hari 1 hingga 14. Konsentrasi optimal digunakan dalam prosedur selanjutnya, yakni: ekspresi SLC39A14 dengan imunofluoresensi, konsentrasi zink dengan spektrofotometri, pembandingan afinitas zink Protein Tat HIV-1 dan HDAC4 dengan spektrofotometri, kadar kolagen 10A dan kolagen 2A dengan ELISA, apoptosis dengan flowsitometri, perbandingan afinitas zink dengan spektrofotometri. Analisis statistik menggunakan perbandingan rerata dengan Kruskal-Wallis, uji T dan Mann-Whitney, kemaknaan P<0,05. Hasil: Molecular docking menunjukkan ikatan protein Tat HIV-1 dengan SLC39A14 dan perubahan struktur alosterik SLC39A14. Kondrosit terpajan Protein Tat HIV-1 mengalami kerusakan morfologi dan perubahan proliferasi dibanding kontrol (P=0.038), apoptosis paling cepat pada konsentrasi 100nM dibanding 10nM dan 200nM (P masing-masing 0.009; 0,083 dan 0,016). Dibandingkan kontrol, protein Tat HIV-1 100nM menyebabkan penurunan ekspresi SLC39A14, gangguan utilitas zink berupa turunnya konsentrasi zink Median+IQR [(1,9+1,4) versus (2,4+3,4), P= 0,0043)], peningkatan kondrosit hipertrofi berupa kadar kolagen 2A lebih rendah Median+IQR [(0,07+0,03) versus (0,09+0,04), kadar kolagen 10A lebih tinggi Mean+SD (38,3+12,6) versus (27,7+12,6), apoptosis lebih banyak Median+IQR (47,9±14,4 versus 30,0±23,8); P masing-masing 0,0402; 0,0139; dan 0,0186]. Afinitas zink protein Tat HIV-1 lebih rendah dibanding HDAC4, Median+IQR residu zink (2,7+0,2mM versus 2,5 +0,1mM). Kesimpulan: Protein Tat HIV-1 mengikat dan menurunkan ekspresi SLC39A14, mengganggu utilitas zink, serta mempercepat hipertrofi kondrosit. Utilitas zink oleh HDAC4 mungkin terganggu; bukan akibat ambilan zink yang lebih tinggi oleh protein Tat HIV-1 tetapi ketersediaan zink yang rendah. Hasil ini menandakan protein Tat HIV-1 mungkin berperan dalam salah satu mekanisme percepatan osifikasi endokondral yang menyebabkan stunting pada anak terinfeksi HIV.Item ASOSIASI ANTARA POLIMORFISME GEN SLC22A1 rs2282143, rs628031, rs622342 DAN FARMAKOKINETIK METFORMIN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2(2020-07-30) VYCKE YUNIVITA KUSUMAH DEWI; Rovina; Budi SetiabudiawanDiabetes Melitus (DM) tipe 2 masih menjadi epidemi di Indonesia. Penelitian terdahulu mendapatkan farmakokinetik obat lini pertama untuk pasien DM tipe 2; metformin, dipengaruhi oleh farmakogenetik gen SLC22A1 yang menyandi transporter OCT1 dalam mentransport metformin masuk dan keluar sel sehingga memengaruhi farmakokinetik metformin. Pemeriksaan farmakogenetik diperlukan pada pasien DM tipe 2 yang menggunakan metformin, untuk membuktikan pengaruh genetik terhadap farmakokinetik metformin. Belum ada data mengenai farmakogenetik gen SLC22A1 rs2282143, rs628031, rs622342, dan farmakokinetik metformin pada pasien DM tipe 2 di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi antara polimorfisme gen SLC22A1 rs2282143, rs628031, rs622342 dan farmakokinetik metformin pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik potong lintang. Sebanyak 117 bahan biologi tersimpan (BBT) DNA diambil dari penelitian TANDEM di Pusat Studi Infeksi Klinis, FK Unpad. Dilakukan pemeriksaan polimorfisme gen SLC22A1 rs2282143, rs628031, dan rs622342 dengan metode Sanger sekuensing PCR. Hanya 35 subjek dari 117 yang dapat dianalisis dalam penelitian farmakokinetik metformin. Sebanyak 20 sampel BBT diambil dari penelitian terdahulu dan 15 sampel diambil secara prospektif. Pada setiap subjek diambil sampel darah pada jam ke 0, 1, 2, dan 5 setelah subjek minum metformin, kemudian diukur konsentrasi metformin dengan UPLC. Parameter farmakokinetik (Cmax, AUC0-5, dan tmax) metformin dianalisis dengan software WinNonLin. Penelitian dilakukan di Gedung RSP FK Unpad pada bulan Januari 2017 sampai Desember 2018. Perbedaan rerata Cmax dan AUC0-5 metformin antara subjek dengan dan tanpa polimorfisme gen SLC22A1 rs2282143, rs628031 dan rs622342 dianalisis dengan uji t tidak berpasangan, dan nilai tengah tmax metformin dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Parameter farmakokinetik metformin pada pasien DM tipe 2 dengan dan tanpa polimorfisme gen SLC22A1 rs2282143, rs628031 dan rs622342 adalah Cmax 2,4 (0,8) mg/L dan 2,6 (0,8) mg/L, p=0,495, AUC0-5 9,1 (3,0) mgh/L dan 10,4 (2,8) mgh/L, p=0,250, dan tmax 1,9 (0,9-5,0) jam dan 1,6 (1,0-5,2) jam, p=0,216. Tidak ada asosiasi antara polimorfisme gen SLC22A1 rs2282143, rs628031, rs622342 dan farmakokinetik metformin pada pasien DM tipe 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai analisis farmakogenetik gen SLC22A1, SLC22A2, SLC22A3, SLC29A4, dan farmakokinetik metformin pada pasien yang baru terdiagnosis DM tipe 2. Pemeriksaan genetik dapat dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan respon obat untuk mengetahui adanya pengaruh genetik terhadap farmakokinetik dan farmakodinamik obat tersebut. Apabila terbukti adanya pengaruh, maka faktor genetik dapat menjadi salah satu faktor perhatian dalam pertimbangan penyesuaian dosis obat untuk mencapai target terapi.Item HUBUNGAN KADAR VITAMIN D, ENZIM ᾱ-HIDROKSILASE (CYP27B1) DAN 24-hidroksilase (CYP24A1) IBU HAMIL TERHADAP KEJADIAN BAYI KECIL MASA KEHAMILAN DAN GAMBARAN HISTOPATOL(2020-11-03) SETYORINI IRIANTI; Yusuf Sulaeman Effendi; Budi SetiabudiawanPertumbuhan janin terhambat dan Bayi KMK merupakan masalah kesehatan penting karena menyumbangkan morbiditas dan mortalitas perinatal kedua setelah prematuritas. Semakin banyak bukti adanya hubungan kejadian PJT dan KMK dengan defisisiensi VD (VD), yang juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, karena prevalensinya dalam kehamilan bervariasi antara 13,2% -77,3%. Diperkirakan rendahnya VD ibu dapat mengubah gambaran plasenta menjadi patologis, yang akhirnya menghambat transport nutrisi dan oksigen dari ibu ke fetus, sehingga dapat menurunkan pertumbuhan janin, yang akhirnya akan menghasilkan bayi dengan KMK. Metabolisme VD dipengaruhi oleh ekspresi enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan 24-hidroksilase (CYP24A1). Tujuan penelitian ini untuk melihat adanya hubungan antara kadar VD, enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1), 24-hidroksilase (CYP24A1) ibu hamil dengan kejadian bayi KMK, dan gambaran histopatologis plasenta. Penelitian ini merupakan kelanjutan studi kohor yang dilakukan pada 304 ibu hamil dari Bandung, Cimahi, Waled, dan Sukabumi. Terdapat 203 ibu hamil yang berhasil diikuti sejak trimester satu hingga persalinan dan terpilih menjadi subjek studi kasus kontrol bersarang untuk membandingkan kasus bayi KMK dan non KMK. Didapat 33 orang ibu yang melahirkan bayi KMK dan 34 non KMK. Pemeriksaan usg dan VD dilakukan secara serial pada trimester II dan III dan dilakukan pemeriksaan kadar enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan enzim 24-hidroksilase (CYP24A1) plasenta. Analisis bivariat dan regresi logistik dilakukan untuk menentukan hubungan antar variabel yang diteliti. Pada penelitian ini terdapat hubungan status 25(OH)D pada trimester II dan III dengan kejadian bayi KMK. Terdapat hubungan kadar 1,25(OH)2D serum ibu hamil trimester II dan III dengan kejadian bayi KMK. Terdapat hubungan kadar enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan 24-hidroksilase (CYP24A1) ibu hamil trimester II dan III dengan kejadian bayi KMK dengan nilai p=0,007 (p≤0,05) untuk enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan p<0,001 (p≤0,05) untuk enzim 24-hidroksilase (CYP24A1). Kadar enzim 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan 24-hidroksilase (CYP24A1) ibu hamil trimester III memiliki hubungan terhadap gambaran histopatologis plasenta dengan nilai p=0,017 (p≤0,05) untuk 1α-hidroksilase (CYP27B1) dan p=0,050 (p≤0,05) untuk 24-hidroksilase (CYP24A1). Gambaran histopatologis abnormal yang berhubungan dengan defisiensi VD adalah fibrin deposit di plasenta sehingga menyebabkan bayi KMK. Ibu hamil trimester II dengan status 1,25(OH)2D defisiensi berat memiliki risiko KMK sebesar 3,32 kali, sedangkan ibu hamil trimester III dengan status 1,25(OH)2D defisiensi berat memiliki risiko bayi KMK sebesar 26,67 x dan risiko gambaran histopatologis plasenta sebesar 8 kali bila dibandingkan dengan yang memiliki status 1,25(OH)2D defisiensi ringan-sedang.Item Korelasi antara miR-21, miR-29, miR-200, miR-205, dan miR-433 dengan ekspresi TGF beta pada anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid(2021-09-13) AHMEDZ WIDIASTA; Yunia Sribudiani; Dedi Rachmadi SjambasSindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) merupakan permasalahan penting yang berpotensi meningkatkan mortalitas dan menurunkan kualitas hidup anak. Resistensi sekunder terhadap sindrom nefrotik sering terjadi pada sindrom nefrotik lesi minimal yang mengalami proteinuria persisten, karena paparan mediator proinflamasi berkepanjangan, terjadilah perubahan histologi glomerulus menjadi sklerosis, bahkan fibrosis. Sebagai langkah awal penemuan terapi baru pada SNRS, perlu pendekatan melalui perspektif epigenetik. Aspek epigenetik yang berpeluang berlanjut menjadi inovasi terapi di kemudian hari adalah mikroRNA (miRNA). Ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β) dipengaruhi oleh miRNA spesifik, berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya pada subjek pasien dewasa dengan penyakit ginjal karena sebab selain SNRS. Penelitian kohort prospektif, di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, dengan 24 subjek (usia 1 – 18 tahun) sindrom nefrotik sebagai diagnosis diikutsertakan, sampel darah dikumpulkan sebelum diberikan steroid ataupun agen imunosupresan lainnya. Diagnosis resistensi steroid didefinisikan sebagai proteinuria yang menetap setelah empat minggu terapi prednisolon atau metilprednisolon, sedangkan sensitif steroid memberikan remisi dengan pengobatan tersebut. Dua belas subjek SNRS, dan 12 subjek kontrol. Isolasi RNA dilakukan dengan sampel plasma darah, kemudian dilakukan pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan quantitative reverse transcriptase polimerase chain reaction (qRT-PCR) dengan assay Taqman. Perbedaan ekspresi miRNA, TGFB1, TGFB2 dianalisis dengan Livak, TGF-β dengan uji beda, serta korelasi dengan analisis korelasi Spearman. Terdapat perbedaan ekspresi TGF-β pada SRNS dibandingkan SNSS (p 1. Terdapat korelasi antara ekspresi TGF-β dan TGFB2 dengan miR-21, miR-29, miR-200, miR-205, dan miR-433 berdasarkan diagram sebar. Peningkatan regulasi TGF-β, miR-21, miR-29, miR-205, dan miR-433 berpotensi menjadi prediktor resistensi steroid pada anak NS. Oleh karena itu, penelitian masa depan dengan tes cepat TGF-β untuk terapi tindak lanjut SRNS dan antimiRNA, terutama antimiR-433 sangat diperlukan dalam mengembangkan terapi baru.Item Hubungan Hypoxia Inducible Factor 1 Alfa (HIF-1alfa) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan Luaran Klinis Stroke Iskemik AKut(2021-10-28) LISDA AMALIA; Ahmad Rizal; Ida Parwati SantosoLatar Belakang: Stroke iskemik merupakan salah satu penyebab stroke tersering, disebabkan oleh oklusi pembuluh darah serebral dan penyebab kematian ketiga.Mediator sitotoksik seperti glutamat dan radikal oksigen bebas tidak selalu menyebabkan kematian sel, tetapi juga dapat bertindak sebagai stimulus prekondisi iskemik. Prekondisi iskemik akan menghasilkan fenotipe tahan hipoksia yakni protein hypoxia inducible factor (HIF)-1 pada awitan 24 jam pertama. HIF-1 bertindak sebagai protein sinyal yang dapat meregulasi gen protein lain yaitu eritropoitin dan vascular endothelial growth factor (VEGF)untuk meningkatkan pengiriman oksigen melalui induksi angiogenesis di daerah iskemik sehingga akan meningkatan luaran klinis stroke iskemik fase akut. Penelitian ini bertujuan mengukur hubungan kadar HIF-1α dan VEGF dengan luaran klinis stroke iskemik fase akut. Metode: Penelitian bersifat observasi analitik studi potong lintangprospektif yang dilakukan pada 57 pasien stroke yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di Instalasi Rawat Inap dan Rawat Jalan KSM/Departemen Neurologi RSUP Hasan Sadikin Bandung dan RS Muhammadiyah Bandung sejak bulan April sampaiNovember 2018. Pemeriksaan kadar HIF-1α dilakukan saat masuk RS sedangkan peeriksaan VEGF dilakukan saat rawat inap 72 jam. Penilaian luaran klinis dengan menggunakan National Institute Health Stroke Scale (NIHSS) pada saat masuk RS dan awitan 72 jam serta Modified Rankin Scale (MRS) pada awitan 30 hari. Korelasi antara kadar HIF-1α dan VEGF dinilai menggunakan analisis statistik rank Spearman, signifikan jika p <0,05. Hasil: Terdapat hubungan negatif bermakna antara kadar HIF-1α dengan NIHSS pada stroke iskemik awitan 24 jam (r= -0.331, p=0.040), awitan 7 hari (r=-0.342, p=0.035), dan awitan 30 hari (r= -0.393, p=0.018). Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar VEGF dan NIHSS awitan 24 jam (r=0.404, p=0.015), tetapi tidak bermakna dengan awitan 72 jam (r=0.202, p=0.063) dan awitan 30 hari (r=0.012, p=0.83). Terdapat hubungan positif bermakna antara kadar VEGF dan NIHSS awitan 24 jam Kesimpulan:Terdapat hubungan bermakna antara kadar HIF-1α dengan luaran klinis stroke iskemik fase akut dan tidak bermakna antara kadar VEGF dan luaran klinis stroke iskemik fase akut. Semakin tinggi kadar HIF-1α maka akan semakin tinggi pula kadar VEGF pada stroke iskemik fase akut.Item POTENSI KOMBINASI EKSTRAK BIJI KAPULAGA JAWA DAN RIMPANG KUNYIT SEBAGAI ANTIBAKTERI Escherichia coli PATOGEN PADA AYAM PEDAGING(2022-08-18) TYAGITA; Mas Rizky Anggun Adipurna Syamsunarno; Roostita L BaliaIndustri perunggasan adalah penyedia protein hewani terbesar di Indonesia, sehingga diperlukan upaya peningkatan kesehatan unggas yang aman dan mudah didapat. Kapulaga dan kunyit merupakan herbal yang kaya manfaat, efek samping minimal dan tersedia di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi kombinasi minyak atsiri kapulaga (MAK) dan ekstrak ethanol kunyit (EEK) sebagai antibakteri dan antiinflamasi alami dalam saluran pencernaan ayam pedaging. Kapulaga dan kunyit diekstraksi dan diuji fitokimia serta dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan HPLC dan GC-MS. Aktivitas antibakteri dari kedua ekstrak kemudian diuji terhadap E. coli O78 dan E. coli dari kasus kolibasilosis di lapangan secara in vitro dengan menentukan zona hambat minimum, konsentrasi hambat minimum dan konsentrasi bunuh minimumnya. Pada uji in vivo, diamati gejala klinis, profil diferensial leukosit dan perubahan patologis ayam pada 8 kelompok perlakuan:1. Kontrol negatif; 2. Kontrol positif; 3. MAK 0,06 ml/kgbb + EEK 400 mg/kgbb + E. coli 10-4 CFU/ml; 4. MAK 1,0 ml + EEK 400 gr/ekor/hari + E. coli 10-4 CFU/ml; 5. MAK 0,06 ml/kgbb + E. coli 10-4 CFU/ml; 6. Diberikan MAK 1,0 ml/kgbb + E. coli 10-4 CFU/ml; 7. EEK 400 mg/kgbb + E. coli 10-4 CFU/ml; 8. Ciprofloxacin + E. coli 10-4 CFU/ml. Isolat dari usus dikonfirmasi dengan uji biokimia dan morfologi koloni pada media MacConkey, sedangkan uji patogenitas dengan media Congo Merah. Hasil analisis fitokimia EEK diketahui kandungan fenolik, flavonoid, alkaloid, tannin dan triterpenoid. Uji GC-MS MAK menunjukkan eukaliptol (39,05 %), sedangkan EEK didominasi aR-turmerone (46,6%). Kromatogram HPLC menunjukkan kandungan kurkumin pada EEK. Pada uji in vitro, MAK menunjukkan aktivitas antibakteri lebih kuat terhadap E. coli O78 dan isolat E. coli kasus lapang dibanding EEK. Uji in vivo 8 kelompok perlakuan, menunjukkan rerata limfosit tertinggi pada kelompok 3 (39,83 + 3,02). Rasio heterofil/limfosit tertinggi (0,96 + 0,05) pada kelompok sampling hari ke-7. Rerata TPC tertinggi (695 CFU/ml) ditunjukkan oleh Kelompok 7, mengindikasikan kurkumin gagal membunuh E. coli. Aktivitas bakteriostatik dan bakterisidal kombinasi kedua ekstrak menurun seiring berkurangnya dosis MAK dalam formula. Perubahan patologis kolibasilosis ditunjukkan kelompok perlakuan 2 dan 6 berupa airsakulitis, peritonitis, perikarditis, perihepatitis, dan enteritis. Pada kelompok 6, kolibasilosis diakibatkan pemberian dosis tunggal MAK yang tinggi dan mengiritasi usus sehingga tidak melindungi ayam dari infeksi. Hal ini didukung rendahnya bobot badan rata-rata ayam kelompok 6. Pada kelompok 7, pertumbuhan E. coli gagal dihambat namun tidak ditemukan gejala kolibasilosis. Kesimpulannya, kedua ekstrak efektif sebagai antikolibasilosis dan antiinflamasi sehingga berpotensi menurunkan kasus AMR dalam industri perunggasan.Item POTENSI KOMBINASI CURCUMIN DAN PIPERINE SEBAGAI PROFILAKSIS MALARIA PADA MENCIT (Mus musculus) YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei ANKA(2022-09-05) SHAFIA KHAIRANI; Afiat Berbudi; Endang Yuni SetyowatiMalaria merupakan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan tetap menjadi salah satu penyakit menular di daerah tropis di seluruh dunia, terutama karena tidak adanya vaksin yang efektif, dan munculnya resistensi Plasmodium terhadap obat antimalaria yang tersedia. Hal ini menjadi tantangan utama dalam pemberantasan malaria. Strategi alternatif dapat diterapkan untuk menggabungkan senyawa yang ada (memiliki aktivitas antimalaria) yang menunjukkan aktivitas multitahap melawan parasit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi kombinasi curcumin dan piperine sebagai profilaksis malaria pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei ANKA. Penelitian eksperimental in vivo ini dilakukan di Laboratorium in vivo Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas Padjadjaran (RSHP UNPAD) pada Januari 2021-Januari 2022 menggunakan metode Peters (uji profilaksis). Empat puluh dua ekor mencit dibagi secara acak menjadi 6 kelompok (n=7). Kelompok I (kelompok normal) diberi aquadest, Kelompok II (kontrol negatif) diberi 0,2 ml DMSO, Kelompok III (kontrol positif) diberi obat anti-malaria (Artesunate 5mg/kgbb) (ART), Kelompok IV, V, dan VI masing-masing diberi curcumin 300mg/kgbb (CUR), curcumin 300mg/kgbb dan piperine 20mg/kgbb (CUR+PIP), dan piperine 20mg/kgbb (PIP). Seluruh sediaan diberikan selama 4 hari berturut-turut dan pada hari ke-5 diinokulasikan 0,2ml sel darah merah yang berisi 1x106 Plasmodium berghei ANKA. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah persentase parasitemia, gejala klinis, tingkat kelangsungan hidup, analisis biokimia serum, beban parasit di hepar, gambaran histopatologi hepar dan ekspresi CD68 Sel Kupffer di Hepar. Hasil penelitian ini menunjukkan kombinasi curcumin dan piperine mampu menghambat pertumbuhan parasit sebesar 77,94% dan puncak parasitemia dicapai pada hari ke-14. Hal ini sejalan dengan keterlambatan timbulnya gejala klinis serta tingkat kelangsungan hidup yang lebih lama secara signifikan (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol negatif. Selain itu, beban parasit yang rendah di hepar dan perubahan histopatologis hepar yang ringan, menunjukkan bahwa kombinasi tersebut menghasilkan efek sinergis dan aditif. Pemberian kombinasi curcumin dan piperine pada mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei ANKA memiliki potensi sebagai sediaan profilaksis.Item PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI KESEHATAN PENDUKUNG DISTRICT-BASED PUBLIC-PRIVATE MIX TUBERKULOSIS DI KABUPATEN PURWAKARTA(2022-12-13) CINDRA PASKARIA; Muhammad Begawan Bestari; Deni Kurniadi SunjayaLebih dari 400.000 pasien tuberkulosis tidak ternotifikasi pada tahun 2020 karena keterbatasan akses, underdiagnosed, dan underreported terutama dari fasilitas pelayanan kesehatan swasta. Strategi tuberkulosis global mendukung perlunya kerjasama dari seluruh sarana pelayanan kesehatan untuk mengatasi missing cases melalui pendekatan District-Based Public-Private Mix (DPPM). Kemitraan pihak pemerintah dan swasta membutuhkan dukungan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) yang menjembatani semua pihak yang terlibat dalam penanggulangan tuberkulosis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi implementasi DPPM tuberkulosis dalam sistem kesehatan di kabupaten Purwakarta, membangun model sistem informasi kesehatan pendukung DPPM tuberkulosis, membuat aplikasi, dan mengevaluasi aplikasi yang telah dibangun. Desain penelitian ini adalah action research yang terdiri dari empat tahapan yaitu mendiagnosis implementasi DPPM (diagnosing action) dengan metode kualitatif, pengembangan model SIK (planning action) dengan metode kualitatif, uji coba dan penerapan SIK (taking action), dan penilaian persepsi serta pemanfaatan SIK (evaluating action) dengan metode kualitatif dan kuantitatif untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan aplikasi MitraTB. Subjek penelitian ini adalah pihak pemerintah dan pihak swasta yang terlibat dalam penanggulangan tuberkulosis di kabupaten Purwakarta. Data kualitatif dianalisis dengan pendekatan analisis tematik, sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan uji korelasi Spearman, uji Mann-Whitney, dan uji Kruskal-Wallis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penghambat DPPM tuberkulosis lebih banyak daripada faktor pendorong sehingga diperlukan pengembangan SIK untuk meminimalisir faktor penghambat. Model konseptual SIK dibangun berdasarkan dimensi substansi, tampilan, daya tarik, kemanfaatan, etik, dan user sehingga dihasilkan aplikasi MitraTB sebagai model praktis dari SIK. Aplikasi MitraTB telah diterapkan di kabupaten Purwakarta, 74% subjek penelitian menerima aplikasi MitraTB dengan sangat baik dan baik. Faktor yang memengaruhi penerimaan aplikasi MitraTB adalah perceived of use, perceived ease of use, lama pengalaman menangani tuberkulosis, komitmen, sektor, dan profesi. Simpulan dari penelitian ini adalah implementasi DPPM tuberkulosis belum berjalan dengan baik karena belum terbentuk sistem yang mendukung dan adanya faktor penghambat yang lebih banyak daripada faktor pendorong. Telah dihasilkan suatu model SIK dan aplikasi MitraTB untuk memperkuat DPPM dan memfasilitasi komunikasi antara seluruh stakeholder. Aplikasi MitraTB dapat diterima dan dimanfaatkan untuk mendukung DPPM tuberkulosis di kabupaten Purwakarta.Item Analisis Perbedaan Ekspresi Enzim Steroidogenic Acute Regulatory, 3-Hydroxysteroid Dehydrogenase, P450 Aromatese Pada Sel Granulosa Folikel Ovarium dan Maturasi Oosit Setelah pemberi(2022-12-19) FRANCISCUS CARACCIOLO CHRISTOFANI EKAPATRIA; Johanes Cornelius Mose; Meita DhamayantiCadangan ovarium buruk pada proses Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) adalah kondisi yang cukup membuat frustrasi bagi pasien maupun klinisi, karena angka keberhasilan program hanya berkisar 14%. Keberhasilan TRB berhubungan erat dengan respon ovarium terhadap stimulasi untuk menghasilkan oosit dengan maturitas yang baik, kondisi ini menjadi kompleks pada pasien dengan cadangan ovarium yang sudah buruk. Proses steroidogenesis berperan penting dalam proses maturasi oosit melalui mekanisme kerja enzim dan hormon yang kompleks. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemberian vitamin D terhadap proses steroidogenesis melalui ekspresi enzim steroidogenic acute regulatory (StAR), 3β-hydroxysteroid dehidrogenase (3βHSD) dan p450 aromatase pada sel granulosa serta dampaknya terhadap maturasi oosit. Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan merupakan penelitian eksperimental murni terhadap 34 tikus betina Rattus norvegicus yang diberikan terapi 4-Vinylcyclohexene diepozide (VCD) untuk mendapatkan tikus model yang memiliki cadangan ovarium yang buruk. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan yang mendapatkan terapi vitamin D. Pemberian terapi serta pemeriksaan awal vitamin D didasarkan pada fase reproduksi tikus (diestrus, proestrus, estrus, dan metestrus). Penilaian kadar vitamin D, pregnenolon, progesteron, dan estradiol dilakukan melalui darah perifer ekor tikus menggunakan metode Enzyme-linked immunosobent assay (ELISA), selanjutnya akan dilakukan operasi pengambilan jaringan ovarium dari tikus untuk menilai maturasi oosit. Data yang terkumpul diolah menggunakan uji T, dengan p=0,05. Hasil penelitian didapatkan peningkatan kadar 3HSD dan p450 aromatase serta jumlah oosit matur yang menunjukkan perbedaan yang bermakna (p0.05). Simpulan, vitamin D berperan pada peningkatan jumlah oosit matur serta ekspresi 3HSD dan p450 aromatase pada sel granulosa ovarium tikus dengan cadangan ovarium yang buruk. Namun tidak didapatkan hubungan antara pemberian vitamin D dengan ekspresi StAR.Item Pengembangan Sistem Penilaian Tingkat Keparahan Melibatkan Pemodifikasi Gen Genetik HBG2, BCL11A, dan HBS1L-MYB pada Penyandan Talasemia Beta Dependen Transfusi(2023-01-10) LULU EVA RAKHMILLA; Sjarief Hidajat Effendi; Enny RohmawatyPendahuluan: Talasemia beta dependen transfusi (TBDT) adalah penyandang talasemia yang mengalami mutasi pada gen HBB yang menyandi rantai globin beta. Karakteristik klinis dan hematologi TBDT ditentukan oleh beberapa faktor yang menghasilkan spektrum keparahan yang luas. Tujuan penelitian ini adalah menentukan kemampuan pemodifikasi genetik (HBG2 (g.-158C>T), BCL11A (rs1427407 G>T, rs10189857A>G), HBS1L-MYB (rs28384513A>C, rs9399137T>C) dan model skoring prediksi tingkat keparahan menjadi lebih berat pada penyandang TBDT Metode. Penelitian analitik dengan desain kohor retrospektif ini melibatkan penyandang TBDT di Poliklinik Talasemia RSUP Hasan Sadikin Bandung. Pemeriksaan genotipe jenis mutasi gen HBB menggunakan metode Restriction Fragment Length Polymorpism (RFLP) dan identifikasi pemodifikasi gen (HBG2 (g.-158C>T), BCL11A (rs1427407 G>T, rs10189857A>G), HBS1L-MYB (rs28384513A>C dan rs9399137T>C) menggunakan strip test (Vienalab). Klasifikasi tingkat keparahan dibagi berdasar Klasifikasi Danjou. Analisis statistik menggunakan chi square untuk melihat perbedaan proporsi antara kelompok tingkat keparahan berat dan sedang, selanjutnya dilakukan analisis multivariabel untuk menentukan besarnya risiko dan skoring prognosis. Hasil. Sejumlah 147 penyandang TBDT diinklusi, sebagian besar laki-laki (55,8%) dan rentang usia 3–17 tahun. Terdapat 4 orang masuk ke dalam klasifikasi tingkat keparahan ringan dan tidak diikutkan dalam pemodelan skoring. Penyandang dibagi dalam 2 kelompok tingkat keparahan, yaitu 83 penyandang TBDT kelompok berat dan 60 penyandang TBDT kelompok sedang. Rerata kadar HbF lebih tinggi pada kelompok sedang dibanding dengan kelompok berat (7,67% vs 2,82, pT) dan HBS1L-MYB (rs28384513A>C) pada kelompok berat dibanding dengan kelompok sedang (OR=0,391; p = 0,01 vs OR=0,286; p=0,021). Analisis multivariabel menunjukkan faktor-faktor yang meningkatkan risiko TBDT menjadi lebih berat adalah pemodifikasi gen HBG2 kelompok wild type, HBS1L-MYB (rs28384513A>C) kelompok wild type, hemoglobin sebelum transfusi T) dan HBS1L-MYB (rs28384513A>C), kadar hemoglobin sebelum transfusi, usia pertama kali dilakukan transfusi, splenomegali, kadar feritin serum, dan kadar HbF dengan ambang skor ≥4 mempunyai kemampuan prediksi yang baik terhadap tingkat keparahan menjadi lebih berat pada penyandang TBDT.Item MODEL PENDEKATAN INTERVENSI ANEMIA DEFISIENSI BESI (ADB) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP REMAJA PUTRI DI KECAMATAN SOREANG TAHUN 2020-2022(2023-01-26) PUSPA SARI; Dany Hilmanto; Meita DhamayantiLatar belakang: Anemia defisiensi besi (ADB) pada remaja putri merupakan masalah kesehatan global di negara maju dan berkembang. Pemerintah telah mengupayakan berbagai program untuk mencegah ADB. Namun prevalensi ADB masih cukup tinggi. Riset ini memiliki tujuan untuk mengeksplorasi aspek-aspek yang diperlukan dalam membuat sebuah model pendekatan intervensi anemia defisiensi besi, menguji kesesuaian model, melakukan intervensi, dan menganalisis pengaruh intervensi terhadap kualitas hidup, asupan makan, pengetahuan, sikap dan praktik remaja putri dalam pencegahan dan penanganan anemia defisiensi besi. Metode: Desain riset adalah mixed method, dengan pendekatan sequensial exploratory. Riset diawali dengan metode kualitatif dengan melakukan wawancara. Jumlah sampel ditentukan dengan prinsip theoretical sampling. Proses analisis data melalui transkripsi, reduksi, koding, kategori, tema dan membuat model konseptual. Riset dilanjutkan dengan riset kuantitatif untuk menilai kesesuaian model menggunakan metode Delphi. Selanjutnya, menentukan intervensi untuk ADB, dan menilai pengaruh intervensi terhadap kualitas hidup, asupan makan, pengetahuan, sikap dan praktik pencegahan dan penanganan ADB oleh remaja putri. Hasil: Riset kualitatif yang dilakukan pada 41 informan, memperoleh model konseptual dengan 41 transkripsi, 52 koding, 20 kategori, dan 7 tema. Tema yang dihasilkan adalah: komitmen, tata kelola, kualitas, faktor diri, gaya hidup, akses pelayanan kesehatan dan dukungan sosial. Berdasarkan metode Delphi, model konseptual yang dibangun sesuai dan dapat diterima. Intervensi yang dikembangkan adalah pendidikan kesehatan pada remaja putri menggunakan aplikasi Wanoja Anti Anemia Pinter tur Cageur (WANTER), pelatihan guru, penyuluhan orangtua, serta sarasehan untuk pemangku kebijakan. Intervensi yang dilakukan pada 286 remaja putri, tidak menunjukkan peningkatan kualitas hidup dan praktik, namun menghasilkan peningkatan asupan makan, pengetahuan dan sikap remaja putri (p<0,05). Simpulan: Riset ini memperoleh model pendekatan intervensi berdasarkan hasil penelitian kualitatif. Riset dilanjutkan dengan melakukan intervensi pada pemangku kebijakan, penerima pelayanan kesehatan serta pemberi pelayanan kesehatan. Intervensi yang dilakukan dapat meningkatkan asupan makan, pengetahuan dan sikap remaja putri, namun tidak meningkatkan kualitas hidup serta praktik pencegahan ADB oleh remaja putri, dikarenakan keterbatasan waktu intervensi.Item MEMBANGUN MODEL PREDIKSI RISIKO PREEKLAMSIA SECARA KOMPREHENSIF PADA LAYANAN KESEHATAN PRIMER(2023-01-28) HIRFA TURRAHMI; Hadyana Sukandar; Rudi SupriyadiLatar Belakang: Preeklamsia dan eklamsia memiliki dampak terbesar terhadap morbiditas dan mortalitas ibu hamil dan bayi baru lahir. Insiden preeklamsia di seluruh dunia sekitar 2,16%. Kejadian preeklamsia di Indonesia 7-10% dari seluruh kehamilan. Potensi kedaruratan tak terduga dan fatal dapat dicegah dan ditangani dengan baik jika preeklamsia diidentifikasi pada awal kehamilan. Tujuan penelitian ini adalah membangun model prediksi risiko preeklamsia pada awal kehamilan melalui sistem skoring factor risiko yang dapat digunakan di layanan kesehatan primer. Metode: Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Jakarta Pusat pada bulan Oktober 2021 sampai dengan Mei 2022. Sampel sebanyak 167 ibu hamil dipilih menggunakan consecutive sampling dengan kriteria inklusi usia kehamilan 13-16 minggu dan bersedia berpartisipasi dalam program penelitian. Sampel yang memiliki gangguan komunikasi, sedang menjalani pengobatan rutin, dan memiliki riwayat penyakit lain, kecuali hipertensi, dikeluarkan dari penelitian. Pengolahan data menggunakan program SPSS 22.0 dengan analisis multivariat regresi logistik ganda model prediksi dan analisis ROC curve Hasil: Proporsi ibu hamil dengan preeklampsia sebesar 8,4%. Hasil uji statistik dengan menyajikan nilai RR dan CI sebesar 95% ditemukan faktor yang berhubungan bermakna dengan preeklampsia yaitu: usia [RR = 2,99 (1,00 -9,16); p = 0,042]; jarak kehamilan [RR = 3,97 (1,46 -10,78); p = 0,008]; riwayat hipertensi ibu [RR = 5,18 (1,98 -13,59); p = 0,002]; IMT pra-kehamilan [RR = 6,02 (1,98 -18,28); p = 0,001]; kadar albumin serum [RR = 13,48 (1,8 -100,69); p = 0,001]; PETA [RR = 10,93 (4,47 -26,70); p 9 secara signifikan berisiko 50,85 kali berisiko mengalami preeklampsia dibanding ibu hamil dengan skor ≤9. Akurasi model mencapai 86,83%. Model dapat digunakan dengan mudah guna meningkatkan peran promotive dan preventif layanan kesehatan primer. Kata Kunci: Preeklamsia, IMT (Indeks Massa Tubuh), Albumin, Mean Arterial Pressure (MAP).Item PENGARUH VARIASI DOSIS EKSTRAK DAUN KELOR TERHADAP AKTIVITAS FAGOSITOSIS MAKROFAG, ROS, NO, IFN-γ, DAN IL-10 PADA PBMC PENDERITA TB PARU DEWASA YANG DIINDUKSI ESAT-6 SECARA IN-VITRO(2023-01-31) DICKY SANTOSA; Dida Akhmad Gurnida; Anas SubarnasLatar belakang: Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis (MTB) yang hidup intraseluler. MTB mampu menghambat fusi fagolisosom sehingga sulit dieliminasi, yang diprediksi karena adanya Early Secreted Antigenic Target-6 (ESAT-6)/Culture Filtrate Protein-10 (CFP-10). Adanya gangguan pada sistem imun akibat penyakit TB, meningkatnya resistensi obat, menyebabkan penyakit TB menjadi semakin sulit dieliminasi. Diperlukan suatu imunomodulator untuk meningkatkan sistem imun, terutama yang berasal dari bahan alam. Salah satu bahan alam di Indonesia, yaitu tanaman kelor memiliki sifat imunomodulator karena mengandung senyawa organik, anorganik dan fitokimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak daun kelor (EDK) terhadap aktivitas fagositosis makrofag, ROS/NO, IFN-γ, IL-10 yang diinduksi ESAT-6 secara in-vitro pada PMBC penderita TB paru. Metode: Metode Penelitian ini adalah uji eksperimental laboratorium dengan Post test only control group design dengan PBMC secara in-vitro. Terdapat 3 kelompok: kelompok kontrol negatif/KN (tanpa induksi) dan kelompok kontrol positif/KP (diinduksi ESAT-6), serta kelompok intervensi (diinduksi ESAT-6/EDK, dengan dosis EDK=1 µg/mL (K1); 2,5 µg/mL (K2);10 µg/mL (K3); 25 µg/mL (K4)). Analisis statistik menggunakan One Way Anova serta Post-Hoc (Tukey) Test. Sampel berasal dari RSU Pindad Bandung, dan penelitian dilakukan di Laboratorium Aretha Medika Utama Bandung. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FK UNPAD/RSHS Bandung. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi (p<0,05). Kelompok kontrol positif yang diinduksi ESAT-6, mengalami penurunan aktivitas fagositosis makrofag, ROS/NO, dan IFN-γ, tetapi meningkatkan kadar IL-10 dibandingkan kelompok intervensi. Pemberian EDK dosis rendah 1 µg/mL pada K1 meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag, ROS/NO, dan IFN-γ, tetapi menurunkan kadar IL-10. Pemberian EDK mulai dosis ≥ 2,5 µg/mL menurunkan aktivitas fagositosis makrofag, ROS/NO, dan IFN-γ, tetapi meningkatkan kadar IL-10. Simpulan: Virulensi dan patogenitas MTB yang memproduksi ESAT-6 menyebabkan penurunan aktivitas fagositosis makrofag, penurunan kadar ROS/NO intraseluler, penurunan kadar IFN-γ, serta kenaikan kadar IL-10 pada sel PBMC penderita TB paru aktif secara in-vitro. EDK bersifat imunostimulasi pada dosis rendah 1 µg/mL, imunosupresi dan anti inflamasi mulai dosis ≥ 2,5 µg/mL. Kandungan fitokimia, vitamin, dan mineral dalam EDK yang berperan sebagai aktivator imunostimulasi, imunosupresi, dan anti inflamasi tergantung dari dosis EDK.Item PENGARUH INDUKSI STAPHYLOCOCCAL ENTEROTOXIN B TERHADAP EKSPRESI TOLL-LIKE RECEPTOR (TLR) 2, TLR6, DAN KADAR INTERLEUKIN-18 PADA KULTUR PERIPHERAL BLOOD MONONUCLEAR CELL PASIEN DERMATITIS ATOPIK(2023-02-14) FITRIA; Oki Suwarsa; Endang SutedjaDermatitis atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronik dan berulang. DA dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, salah satunya kolonisasi Staphylococcus aureus (SA). Toll-like receptor (TLR) dapat mengenali komponen SA, antara lain staphylococcal enterotoxin B (SEB). TLR2 dan TLR6 merupakan heterodimer yang dapat mengikat beberapa ligan seperti lipopeptida yang terdapat pada SA. Distribusi kedua TLR ini dapat dijumpai pada monosit. Interleukin (IL)-18 adalah regulator penting dalam produksi sitokin oleh sel T helper (Th)1 dan Th2 pada penyakit DA. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi TLR2, TLR6, dan kadar IL-18 pada kultur peripheral blood mononuclear cells (PBMC) yang diinduksi SEB pada pasien DA, serta pengaruh peningkatan ekspresi TLR2 dan TLR6 terhadap kadar IL-18. Penelitian ini merupakan penelitian analitik eksperimental invitro yang dilakukan sejak bulan Desember 2021 hingga Mei 2022. Pengambilan darah vena perifer dari 20 pasien DA dan 20 individu sehat dilakukan untuk kultur PBMC, kemudian masing-masing dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok tanpa induksi SEB dan kelompok dengan induksi SEB. Penilaian ekspresi TLR2 dan TLR6 pada monosit diukur menggunakan flow cytometry dan pemeriksaan kadar IL-18 dari kultur PBMC menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay. Analisis statistik menggunakan uji Wilcoxon, uji t berpasangan, dan uji korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan rerata ekspresi TLR2 pada monosit dari kultur PBMC pasien DA dengan induksi SEB (45.489) lebih tinggi dibanding tanpa induksi SEB (38.848), dengan nilai p=0,025, sedangkan rerata ekspresi TLR6 dengan induksi SEB (9.532) lebih tinggi dibanding tanpa induksi SEB (7.912), dengan nilai p=0,023. Rerata kadar IL-18 pasien DA dengan induksi SEB (1.379,94 pg/ml) lebih tinggi dibanding tanpa induksi SEB (4,72 pg/ml), dengan nilai p=0,000. Berdasarkan uji korelasi, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan ekspresi TLR2 dan peningkatan kadar IL-18 setelah induksi SEB pada kelompok DA dengan nilai p=0,261 dan r=-0,264, serta tidak terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan ekspresi TLR6 dan peningkatan kadar IL-18 dengan nilai p=0,891 dan r=0,033. Simpulan penelitian ini adalah terdapat peningkatan ekspresi TLR2 dan TLR6 serta kadar IL-18 pada kultur PBMC setelah induksi SEB pada pasien DA. TLR2, TLR6, dan IL-18 dapat digunakan sebagai penanda eksaserbasi DA tingkat seluler dari kultur PBMC yang diinduksi SEB.Item EKSPRESI GEN HUMAN BETA-DEFENSIN-3 DAN CATHELICIDIN SERTA KOMPOSISI DAN DIVERSITAS MIKROBIOM PADA KULIT PASIEN KUSTA DAN NARAKONTAK KUSTA(2023-02-18) FIFA ARGENTINA; Oki Suwarsa; Afiat BerbudiKusta adalah penyakit infeksi granulomatosa kronik yang disebabkan Mycobacterium leprae (M. leprae). Narakontak kusta merupakan orang yang kontak erat dengan pasien kusta dan berpeluang mengidap kusta lebih tinggi dibanding populasi umum. Salah satu faktor yang berperan dalam patogenesis kusta adalah sistem imun bawaan, contohnya human beta defensin-3 (HBD-3) dan cathelicidin, yang merupakan peptida antimikrobial. Perubahan komposisi dan diversitas mikrobiom kulit diketahui berperan pada penyakit kulit, termasuk kusta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi gen HBD-3 dan cathelicidin serta komposisi dan diversitas mikrobiom pada kulit pasien kusta dan narakontak kusta. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional secara potong lintang mulai Juni 2021 hingga Juni 2022. Peserta penelitian terdiri dari masing-masing 18 orang pasien kusta, narakontak kusta, dan individu sehat. Sampel penelitian berupa swab yang diambil dari lesi kulit, kulit non-lesi pasien kusta, kulit narakontak, dan kulit individu sehat, kemudian dilakukan pemeriksaan ekspresi gen HBD-3 dan cathelicidin menggunakan real-time polymerase chain reaction, serta pemeriksaaan mikrobiom kulit menggunakan next generation sequencing. Hasil penelitian menunjukkan nilai median ekspresi gen HBD-3 pada lesi kulit kusta 260,61 (0,193734,10); kulit non-lesi kusta 1,91 (0,01151,17); kulit narakontak 7,93 (0,27121,10); dan kulit individu sehat 1,00 (1,001,00), dengan uji Kruskal Wallis didapatkan nilai p 0,05). Analisis korelasi antara ekspresi gen HBD-3 dengan diversitas mikrobiom menunjukkan nilai r = 0,200 dan p = 0,105, sedangkan korelasi antara ekspresi gen cathelicidin dengan diversitas mikrobiom menunjukkan nilai r = 0,149 dan p = 0,286. Simpulan penelitian ini terdapat perbedaan ekspresi gen HBD-3 dan cathelicidin pada lesi kulit, kulit non-lesi pasien kusta, dan kulit narakontak kusta yang diambil dari swab kulit. Oleh karena itu, ekspresi gen HBD-3 dan cathelicidin berpotensi menjadi penanda infeksi kusta pada narakontak. Komposisi mikrobiom kulit bervariasi baik pada kelompok kusta, maupun narakontak kusta, dan tidak berhubungan dengan ekspresi gen HBD-3 dan cathelicidin.Item PENGEMBANGAN MOBILE APPLICATION PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL ANAK USIA SEKOLAH DASAR DENGAN MELIBATKAN PERAN ORANG TUA DAN GURU SEKOLAH DI JAWA BARAT(2023-04-12) TETTI SOLEHATI; Yanti Hermayanti; Henny Suzana MedianiPendahuluan: Angka kekerasan seksual pada anak (KSA) di Jawa Barat termasuk tinggi. Salah satu penyebabnya adalah kurang terpapar informasi yang memadai, termasuk orang tua dan guru. Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh pemberian Mobile Application Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak (MA_PESAN) usia sekolah dasar dengan melibatkan peran orang tua dan guru terhadap pengetahuan, sikap, self awareness, dan praktik komunikasi orang tua serta guru. Metode Riset: Penelitian menggunaka desain Research and Development (R&D). Sample pada penelitian ini adalah orang tua dan guru di SD 03 Banjaran, SDN VII, VIII, IX, X, XI, XII Cangkuang, SDN 095 Babakan Jati Kota Bandung, SD Labolatorium UPI Cibiru, SDN 130 Batununggal, SDN 250 Jakapurwa, SD Santa Alosyus Batununggal, SDN 094 Parakan Waas, SD Tiara Bunda, SD Binekas, SDN 117 Batununggal, SDIT AL Fajar, SDN 266 Mengger, SDN 040 Pasawahan, SDN 09 Banjaran Bandung, SDN IV Dayeuhkolot Bandung, SDN Tarogong I Garut, SDN Haurpanggung I Garut. Data kuantitatif dianalisis menggunakan SPSS software versi 22.0, meliputi analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Sedangkan analisis data kualitatif menggunakan tematik analisis. Temuan Riset: Penelitian ini menghasilkan: 1) data kebutuhan edukasi pencegahan KSA bagi orang tua dan guru; 2) kuesioner pengetahuan, sikap, self awareness, praktik komunikasi (PSSP) yang valid dan reliabel serta aplikasi MA_PESAN yang valid dan reliabel; 3) diperoleh hasil bahwa MA_PESAN dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, self awareness, dan praktik komunikasi orang tua dan guru (p=0,001) dibandingkan kelompok kontrol; 4) hasil wawancara mengenai pengalaman menggunakan MA_PESAN menunjukkan enam tema, meliputi: aplikasi menambah pengetahuan dan banyak manfaat, aplikasi yang bagus untuk diterapkan, informasi mudah dicerna, pentingnya perhatian dan komunikasi terhadap anak, hambatan dalam mengakses program aplikasi, dan perasaan saat menggunakan aplikasi MA_PESAN. Pemberian MA_PESAN berhasil meningkatkan pengetahuan, sikap, self awareness, dan praktik komunikasi guru dan orang tua, karena MA_PESAN merupakan aplikasi media sosial yang digandrungi segala usia, berisi tentang materi materi pencegahan KSA yang diberikan melalui video, lagu, gambar, tulisan, dan TikTok dalam kemasan yang menarik, sehingga menarik minat seseorang untuk menyimak isi pesannya. Hal tersebut memudahkan seseorang untuk memahami isi pesan sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap, self awareness, praktik komunikasi mereka. Simpulan dan Saran: Kuesioner PSSP dan aplikasi MA_PESAN memiliki validitas dan reabilitas yang tinggi. Aplikasi MA_PESAN tepat dan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, self awareness, dan praktik komunikasi pada guru dan orang tua tentang pencegahan KSA. MA_PESAN disarankan untuk di-aplikasikan di seluruh sekolah tingkat dasar dengan melibatkan UKS.Item PENGEMBANGAN MODEL KONSEPTUAL KOMUNIKASI KESEHATAN TENTANG PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF BERDASARKAN TEORI SISTEM HIERARKI-BIOPSIKOSOSIAL BERBASIS APLIKASI ANDROID PADA PELAYANAN KESEHATAN PRIMER(2023-05-15) INSI FARISA DESY ARYA; Dida Akhmad Gurnida; Nanan SekarwanaPentingnya pemberian ASI eksklusif bagi bayi berdampak bukan hanya pada ibu dan bayi, namun berdampak pula pada keluarga, masyarakat maupun negara. Merupakan suatu tantangan untuk tercapainya target program pemberian ASI eksklusif. Hal mendukung pemberian ASI adalah edukasi dan konseling, baik oleh tenaga kesehatan maupun komunitas yang terlatih. Terdapat kendala akses dalam memberikan konseling tersebut. Intervensi komunikasi Kesehatan, menggunakan teknologi informasi dalam bentuk aplikasi digital menjadi suatu pilihan. Tujuan dalam penelitian ini adalah mengembangkan Model konseptual komunikasi kesehatan tentang pemberian ASI eksklusif berdasarkan teori system hierarki-biopsikososial dengan menggunakan aplikasi berbasis android pada Pelayanan Kesehaatan Primer. Metoda yang digunakan Mix Methode Intervention Design, tahapan pertama, desain sekuensial eksploratori mix methode, bertujuan untuk mengeskplorasi faktor-faktor yang berhubungan dengan ASI eksklusif. Pemilihan sampel dengan cara purposive sampling dengan strategi Extreme sampling. Responden utama pada penelitian ini adalah ibu menyusui, kader dan tenaga Kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Soreang, serta para ahli yang berkecimpung dalam dunia pemberian ASI. Dilanjutkan penelitan kuantitatif, menguji pesan yang telah dikembangakan. Kedua, desain konvergen untuk melakukan uji kegunaan dan kemanfaatan aplikasi. Dilakukan pengambilan data secara bersamaan baik data kualitatif maupun data kuantitatif. Ketiga, desain penelitian kualitatif dengan bertujuan mengevaluasi hasil uji coba serta pengembangan model. Hasil penelitian didapatkan faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif adalah faktor biologis, psikologis, sosial, kultural, spiritual, layanan kesehatan dan susu formula. Pengembangan aplikasi berbasis android dengan metoda Agile dengan Dynamic System Development Model, dihasilkan 2 aplikasi. Aplikasi Curhat ASI (CA) untuk ibu dan keluarga dan Aplikasi Terima Curhat ASI (TCA) untuk kader dan tenaga kesehatan. Fitur yang dikembangkan adalah fitur profil, fitur artikel, fitur konsultasi dan fitur diary ASI. Hasil uji pesan didapatkan dari 206 responden, mayoritas responden memilih jawaban sangat setuju 65,19 % dengan pesan yang disampaikan. Sekitar 81.55% dengan membaca artikel dapat meningkatkan keyakinan bahwa menyusui ibadah. Hasil uji kegunaan 91% dan 94% menyatakan bahwa aplikasi sangat baik, untuk Aplikasi CA dan TCA. Hasil uji manfaat 93% dan 98% menyatakan bahwa aplikasi sangat baik, untuk Aplikasi CA dan TCA. Komentar secara kualitatif didapatkan sebagaian besar berkomentar positif. Hasil Evaluasi ujicoba dari aplikasi, dihasilkan tema-tema: 1)Ketermanfaatan, 2)Kemudahan, 3) Ketertarikan, 4) keterpercayaan, 5) Efisiensi, 6) Error dan 7) Evaluasi serta Review. Adapun untuk model konseptual komunikasi kesehatan suatu sistem intervensi komunikasi kesehatan antara ibu dan keluarga, dengan kader dan tenaga kesahatan, melalui media aplikasi yang mempunyai fungsi edukasi dan konseling online terkait pemberian ASI eksklusif, dalam konteks pelayanan kesehatan di Layanan Primer, melalui pendekatan holistic dan komprehensif agar tercapainya program pemberian ASI eksklusif, dengan upaya pemberdayaan ibu, keluarga, kader, maupun tenaga kesehatan.Item EXPLORATIVE STUDY OF SPINOCEREBELLAR ATAXIA 3: GENETIC AND CLINICAL ANALYSIS(2023-05-19) SITI AMINAH SOBANA; Yunia Sribudiani; Tri Hanggono AchmadThis study aims to explore the phenotype and genotype aspects of a family with SCA3. This book contains eight chapters. Chapter 1 presents the background on SCA3 that the research addresses and the pathomechanism and any issues related to SCA3 disease investigated in this study. In Chapter 2, three index patients with SCA3 from different families are evaluated. The patients had the same polyQ stretch length, yet the clinical profiles, progression of symptoms, and worsening of their condition over time were considerably different. These symptoms included ataxia, speech problems, peripheral motor and sensory nerve complaint, and cognitive impairment. Patients therefore presented with a wide variety of symptoms and clinical features when SCA3 first manifested. Chapter 3 describes the clinical profile of five subjects from the same family with an ATXN3 mutation with expanded CAG repeat showing a broad range of manifestations. All patients with SCA3 had prominent non-ataxia features besides ataxia signs. Subjects with the prodromal stage showed a less severe disease with only nystagmus, the symptom of peripheral nerve abnormalities, and mild cognitive impairment (CI). Subjects with the ataxic stage of SCA3 had more extensive neurological manifestations, including the cerebellar, extrapyramidal, pyramidal, oculomotor, peripheral nerve symptoms, and mild CI. The non-motor symptoms of SCA3 include peripheral nerve symptoms and cognitive impairment. In Chapter 4, four subjects from the same family tree are examined with abnormalities in the peripheral nerve, presenting with symptoms but with or without clinical signs. Peripheral nerve abnormalities already shown in the prodromal stage are also discussed. Nerve Conduction Study (NCS) analysis showed a varied peripheral nerve involvement, including the axonal and demyelinating lesion in sensory, motor, and motor nerves. Chapter 5 reports the peripheral neuropathy of one patient with SCA3 who experienced peripheral nerve symptoms preceding gait symptoms. However, the sensory examination was normal, even when the NCS revealed axonal demyelinating sensory-motor peripheral neuropathy. Chapter 6 discusses cognitive impairment consisting of general and cerebellar cognitive function of patients with SCA3. Fifteen subjects from the same family tree had their MMSE and MoCA-INA scores examined. The results show that the general cognitive function in SCA3 subjects tended to be lower than that of normal subjects. Then, seven subjects underwent further CCAS examination and showed impairment in executive function (cognitive flexibility), attention (short-term memory), language (verbal fluency), and memory (immediate memory). In the subjects with SCA3, the cognitive function was more likely affected by the pathological disease process rather than age and education level. The involvement of the brain region that resulted in the abnormality of the motor and cognitive function was shown in the brain MRI volumetry findings. In Chapter 7, seven subjects who underwent an MRI examination are discussed. This research found a decrease in corpus callosum volume and cerebellum lobules I-II as well as lobule IX, which control motor function and cognition, respectively.