Bedah Mulut (Sp.)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Bedah Mulut (Sp.) by Author "Andri Hardianto"
Now showing 1 - 15 of 15
Results Per Page
Sort Options
Item ANALISIS IMUNOEKSPRESI AUTOCRINE MOTILITY FACTOR RECEPTOR (AMFR) PADA AMELOBLASTOMA FOLIKULAR DAN PLEKSIFORM(2017-01-11) AGUNG TRI PRAKOSO; Andri Hardianto; H. Alwin KasimLatar Belakang : Ameloblastoma folikuler dan pleksiform merupakan tumor odontogenik jinak, kistik, tumbuh lambat, agresif lokal, dengan tingkat rekurensi yang cukup tinggi, dan paling sering terjadi pada rongga mulut. Autocrine motility factor receptor (AMFR) adalah sitokin yang disekresikan oleh tumor, mampu mempengaruhi migrasi sel, invasi, proliferasi,dan angiogenesis. Tujuan Penelitian : Penelitian dilakukan untuk mengetahui sifat biologis dari ameloblastoma pleksiform dan folikuler berupa imunoekspresi AMFR untuk mengetahui agresifitas tumor sehingga dapat membantu dalam tatalaksana dan prognosa dari tumor tersebut. Metode : Dilakukan penelitian observasi analitik cross sectional dengan menggunakan uji pulasan imunohistokimia terhadap imunoekspresi AMFR terhadap 30 jaringan blok parafin ameloblastoma pleksiform dan folikuler. Hasil Penelitian: Tidak terdapat perbedaan imunoekspresi AMFR pada Ameloblastoma folikuler dan pleksiform dan tidak terdapat perbedaan ekspresi AMFR pada berbagai ukuran besar ameloblastoma.Item Evaluasi Fungsi Bicara Pada Pasien Pasca Penutupan Celah Langit-langit di Unit Cleft Center RSGM FKG Unpad(2021-01-11) IRMA KUSUMAWATI; Andri Hardianto; R. Agus NurwiadhPendahuluan: Kualitas bicara merupakan output yang penting untuk menilai keberhasilan palatoplasti. Tujuan palatoplasti tidak hanya penutupan anatomi sederhana dari langit–langit tetapi juga untuk menciptakan mekanisme velofaringeal yang cukup berfungsi untuk fungsi bicara yang normal dan menghindari pertumbuhan maksilofasial yang abnormal setelah perbaikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan fungsi bicara pada pasien pasca penutupan celah langit-langit dengan pasien tanpa kelainan celah langit-langit. Metode: Studi retrospektif analitik dilakukan terhadap 22 anak dengan celah langit-langit unilateral komplit yang telah dilakukan palatoplasti two flap push back pada rentang tahun 2014-2017 di unit Cleft Center RSGM FKG Unpad dengan tehnik pengambilan sampel purposive sampling, dan 22 anak tanpa kelainan celah langit–langit sebagai kelompok kontrol. Penilaian evaluasi fungsi bicara dengan perceptual assesment oleh ahli terapi wicara meliputi pola artikulasi, hipernasalitas, inteligibilitas bahasa. Sefalometri lateral dilakukan saat fonasi /i/ untuk mengukur jarak velum ke dinding posterior faring dan juga dilakukan pemeriksaan kompetensi velofaringeal. Data dianalisis dengan uji Mann Whitney. Hasil: Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan perbedaan yang signifikan dalam fungsi bicara pasien pasca penutupan celah langit-langit dengan pasien tanpa kelainan celah langit-langit (p<0,05). Kompetensi velofaringeal pada kelompok pasca palatoplasti terdapat 22,8% adekuat, 0,1% marginal dan 68,1% inadekuat. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 72.7% dengan kompetensi velofaringeal adekuat dan 27,3% inadekuat. Kesimpulan: Terdapat perbedaan dalam fungsi bicara antara pasien pasca penutupan celah langit-langit dengan pasien tanpa kelainan celah langit-langitItem Korelasi Antara Kadar Serum Amiloid A dan C-Reactive Protein Terhadap Derajat Keparahan Infeksi Odontogenik(2021-10-12) WIM FIRSTYANANDA; Andri Hardianto; R. Agus NurwiadhInfeksi di kepala dan leher umumnya disebabkan oleh infeksi odontogenik yang menyebar. Infeksi odontogenik menyebabkan berbagai manifestasi lokal ataupun sistemik, dengan komplikasi ringan hingga berat tergantung dari derajat keparahannya. Penilaian derajat keparahan infeksi odontogenik merupakan faktor dalam menentukan prognosis, yang dinilai melalui parameter lokal dan sistemik. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk melihat penanda biologis terhadap proses infeksi yang terjadi. Serum amiloid A (SAA) dan C-reactive protein (CRP) merupakan protein fase akut yang konsentrasinya meningkat pada saat inflamasi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis korelasi antara SAA dan CRP terhadap derajat keparahan infeksi odontogenik pada pasien dengan infeksi odontogenik. Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional analitik yang dilakukan pada pasien dengan diagnosis infeksi odontogenik yang datang ke RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Dilakukan pemeriksaan derajat keparahan infeksi odontogenik dan pengambilan sampel darah untuk menilai kadar SAA dan CRP. Korelasi antara SAA dan CRP terhadap derajat keparahan infeksi odontogenik dinilai menggunakan uji korelasi rank spearman. Hasil: Berdasarkan 31 subjek penelitian yang dilakukan pemeriksaan derajat keparahan infeksi odontogenik dan pengukuran kadar SAA dan CRP menunjukkan bahwa terdapat korelasi secara statistik antara SAA dan CRP terhadap derajat keparahan infeksi odontogenik dengan kadar CRP pada pasien infeksi odontogenik dengan nilai koefisien korelasi r=0,475 (p= 0,028). Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara kadar serum amiloid A dan C-reactive protein terhadap derajat keparahan infeksi odontogenik.Item Korelasi antara Lebar Celah Palatum Komplit Unilateral dan Frekuensi Suara Pada Pasien Pasca Palatoplasti(2021-10-13) LENI RUSLAINI; R. Agus Nurwiadh; Andri HardiantoPendahuluan: Celah palatum merupakan defek kongenital yang paling sering terjadi pada regio kraniofasial. Gangguan yang paling banyak ditimbulkan adalah gangguan berbicara merupakan salah satu masalah yang paling krusial pada tahap awal tumbuh kembang penderita. Penutupan celah palatum bertujuan untuk mendapatkan bentuk anatomi dan fungsi palatum sebagai organ bicara. Penilaian suara dengan analisa akustik suara pada penderita celah palatum dilakukan dengan melihat nilai frekuensi suara. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara lebar celah palatum komplit unilateral dan frekuensi suara pada pasien pasca palatoplasti. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan prospektif, dengan subjek penelitian sebanyak 21 orang. Penelitian dilakukan dengan cara mengukur lebar celah palatum pada hasil cetakan rahang atas secara digital dan mencatat nilai frekuensi suara saat perekaman suara. Analisa statistik menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil: Hasil penelitian uji korelasi Rank Spearman menunjukkan nila koefisien hubungan sebesar 0,25 (P<0,05) dengan katagori kekuatan hubungan yang rendah atau lemah, terdapat hubungan yang negatif antara lebar celah palatum komplit unilateral terhadap frekuensi suara dimana semakin besar lebar celah palatum maka akan menyebabkan frekuensi suara yang dihasilkan semakin rendah. Simpulan: Terdapat korelasi yang lemah antara lebar celah palatum komplit unilateral dan frekuensi suara pada pasien pasca palatoplastiItem Korelasi antara Peningkatan Kadar Amiloida Serum dengan Potensi Metastasis Regional Karsinoma Rongga Mulut(2021-10-12) JAMARUDIN; R. Agus Nurwiadh; Andri HardiantoPendahuluan: Karsinoma rongga mulut merupakan salah satu jenis kanker dengan urutan keenam yang paling sering ditemukan di dunia. Sebagian besar ditemukan sudah dalam stadium lanjut dengan prognosis yang buruk. Salah satu penentu prognosis karsinoma rongga mulut adalah adanya keterlibatan metastasis nodus limfatikus regional. Metastasis karsinoma ke nodus limfatikus akan merangsang respon inflamasi dan menginduksi produksi protein fase akut Serum Amiloid A. Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk menganalisis korelasi peningkatan kadar amiloid A serum terhadap potensi metastasis regional karsinoma rongga mulut. Metode: Penelitian ini merupakan observasional analitik pada pasien karsinoma rongga mulut yang datang ke RSUP Hasan Sadikin Bandung. Pemeriksaan CT Scan kontras dilakukan untuk menilai adanya keterlibatan nodus limfatikus regional, dan dilakukan pengambilan sampel darah untuk menilai kadar SAA. Korelasi antara peningkatan kadar SAA terhadap potensi metastasis regional karsinoma rongga mulut dinilai dengan menggunakan analisis korelasi rank spearman. Hasil: Penelitian terhadap 40 pasien karsinoma rongga mulut menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang lemah namun signifikan secara statistik antara peningkatan kadar amiloid A serum terhadap potensi metastasis regional karsinoma rongga mulut dengan nilai koefisien korelasi r=0,343 (p=0.03). Kesimpulan: Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, walau terdapat hubungan yang lemah antara level serum amiloid A dan potensi metastasis regional karsinoma, metode pemeriksaan ini masih tetap bisa dipertimbangkan untuk digunakan dalam praktik bedah mulut secara umum untuk menilai potensi metastase regional karsinoma rongga mulut.Item Korelasi antara prognostic nutritional index (PNI) dan nutritional risk index (NRI) dengan netrofil limfosit rasio (NLR) pada pasien Infeksi Odontogenik(2022-10-14) ICKMAN SETOAJI WIBOWO; Lucky Riawan; Andri HardiantoPendahuluan: Perubahan status gizi terjadi akibat ketidakseimbangan antara anabolisme dan katabolisme pada penderita infeksi odontogenik. Hipoalbumin merupakan salah satu kondisi yang terjadi pada penderita infeksi odontogenik. Hipoalbumin mengakibatkan penurunan status gizi yang diukur berdasarkan nilai Prognostic Nutritional Index (PNI) dan Nutritional Risk Index (NRI). Evaluasi proses penyembuhan infeksi odontogenik diukur berdasarkan Netrofil Limfosit Rasio (NLR). Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan infeksi odontogenik adalah status gizi. Tujuan: Tujuan penelitian adalah untuk melihat perbedaan nilai PNI, NRI dan NLR pada saat penderita datang dan hari ke 3 di Rumah Sakit. Tujuan penelitian selanjutnya yaitu untuk menilai korelasi status gizi dinilai dari PNI, NRI dengan proses penyembuhan infeksi odontogenik berdasarkan NLR. Metode: Penelitian dilakukan pada 30 penderita infeksi odontogenik. Sampel penelitian diambil ketika pasien datang (T1) dan hari ke 3 (T2). Data yang terkumpul dianalisis perbedaan dan korelasi pada waktu T1 dan T2. Hasil: Hasil penelitian menunjukan sebanyak 27 penderita (90%) termasuk kategori berisiko malnutrisi berdasarkan PNI dan NRI pada T1. Penurunan jumlah terjadi pada T2, pada PNI menjadi 24 penderita (80%) dan NRI menjadi 20 penderita (66.67%). Hasil analisis menunjukan terdapat perbedaan nilai PNI, NRI dan NLR antara T1 dengan T2 pada penderita infeksi odontogenik secara statistik (nilai p< 0.05). Terdapat penurunan nilai NLR pada T2 sebanyak 26 penderita. Terdapat korelasi nilai PNI, NRI dengan NLR baik pada T1 dan T2 secara statistik (nilai p< 0.05). Kesimpulan: Status gizi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang berhubungan dengan proses penyembuhan.Item KORELASI IMUNOEKSPRESI THYROID TRANSCRIPTION FACTOR 1 DENGAN GRADASI KARSINOMA SEL SKUAMOSA RONGGA MULUT(2017-01-09) SAKA SETIONO NUGROHO; Harmas Yazid Yusuf; Andri HardiantoKarsinoma sel skuamosa rongga mulut merupakan kanker yang paling banyak terjadi di rongga mulut dan memiliki prognosa yang buruk, yang bergantung pada tingkat gradasi histopatologisnya. Penanda tumor sangat diperlukan untuk mendeteksi lebih dini karsinoma ini sehingga dapat menunjukkan prediksi terhadap perilaku tumor, prognosis dan kelangsungan hidup penderita karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Thyroid Transcription Factor 1 (TTF-1) merupakan penanda tumor yang sering digunakan untuk penanda tumor pada adenocarcinoma dan karsinoma sel skuamosa paru. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis korelasi imunoekspresi Thyroid Transcription Factor 1 (TTF-1) dengan gradasi histopatologis karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional retrospektif dengan menggunakan pulasan imunohistokimia Thyroid Transcription Factor 1 (TTF-1) pada 30 blok parafin jaringan karsinoma sel skuamosa rongga mulut (10 diferensiasi baik, 10 diferensiasi sedang, 10 diferensiasi buruk) yang dilakukan di Bagian Patologi Anatomi Rumah Sakit Bandung. Imunoekspresi TTF-1 dikorelasikan dengan gradasi histopatologis dan diuji secara statistik dengan menggunakan Correlation Rank Spearman dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik positif TTF-1 pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut namun tidak terdapat korelasi yang signifikan antara TTF-1 dengan gradasi histopatologis karsinoma sel skuamosa rongga mulut (rs = 0,032). Kesimpulan dari penelitian ini adalah karsinoma sel skuamosa rongga mulut mengekspresikan TTF-1 dengan tingkat variabel dan lokalisasi seluler yang berbeda-beda. Tidak terdapat korelasi imunoekspresi TTF-1 dengan gradasi histopatologis.Item KORELASI PANJANG PELAT REKONSTRUKSI MANDIBULA DENGAN KEKUATANNYA TERHADAP GAYA KUNYAH PADA PELAT TITANIUM DAN STAINLESS STEEL(2019-04-12) ADRIA PERMANA PUTRA; Abel Tasman Yuza; Andri HardiantoABSTRAK Pendahuluan: Pembedahan tumor yang radikal dengan cara reseksi harus direkonstruksi dengan menggunakan pelat. Mandibula memiliki fungsi sentral dalam pengunyahan dan estetika sebagai pilar pembentuk wajah. Rekonstruksi dapat dilakukan baik dengan osteoplasty dikombinasikan dengan osteosintesis atau hanya jembatan alloplastik menggunakan sistem rekonstruksi tanpa tulang. Permasalahan yang sering timbul dari rekonstruksi ini adalah patahnya pelat. Maka dilakukan penelitian mengenai korelasi kekuatan pelat rekonstruksi terhadap gaya kunyah menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM) untuk melihat ketahanan pelat rekonstruksi. Tujuan Penelitian: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis korelasi panjang pelat rekonstruksi mandibula terhadap kekuatan gaya kunyah pada panjang pelat 7,6 cm untuk kehilangan tulang mandibula sebesar 3 cm dan panjang 9,6 cm pada kehilangan tulang mandibula sebesar 5 cm menggunakan pelat titanium dan stainless steel. Metoda Penelitian: Penelitian ini menggunakan metoda penelitian eksperimental murni dan menggunakan laboratorium terkontrol sebagai tempat uji. Seluruh subjek penelitian dibagi secara merata menjadi dua kelompok. Kelompok I adalah kelompok panjang pelat 7,6 cm, kelompok II adalah kelompok panjang pelat 9,6 cm. Pada kedua kelompok ini digunakan pelat rekonstruksi mandibula berbahan titanium dan stainless steel. Pelat kemudian dipasangkan pada model mandibula dan diuji kekuatannya menggunakan UTM. Hasil Penelitian: Pelat rekonstruksi titanium dan stainless steel memiliki korelasi negatif antara panjangnya dengan kekuatannya terhadap gaya kunyah. Perbedaan besar kekuatan kedua pelat antara kelompok panjang 7,6 cm dan 9,6 cm menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan (p0,05). Sedangkan antara pelat titanium dan stainless steel pada panjang pelat 9,6 cm, menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05).Item PENGARUH KURKUMIN SEBAGAI ANTIPROLIFERASI DAN PROAPOPTOSIS MELALUI EKSPRESI CYCLIN D1, BCL-2 PADA TAHAP DISPLASIA EPITEL MODEL KARSINOMA SEL SKUAMOSA RONGGA MULUT YANG DIINDUKSI DIMETHYL BENZ(A)ANT(2017-01-19) NURUL RAMADHANTY; Mantra Nandini; Andri HardiantoABSTRAK Latar Belakang: Karsinoma sel skuamosa rongga mulut pada dasarnya merupakan penyimpangan gen yang menimbulkan proliferasi berlebihan dan progresif, terjadinya penurunan apoptosis dan bertahannya hidup sel dikarenakan adanya gangguan pada pengaturan dan koordinasi pertumbuhan dan diferensiasi sel, termasuk peningkatan proliferasi akibat peningkatan ekspresi Cyclin D1 dan penghambatan apoptosis akibat protein antiapoptosis Bcl-2. Kurkumin (Curcuma domesticae) diketahui memiliki efek antikanker, salah satunya melalui mekanisme antiproliferasi dan pro apoptosis. Pemberian kurkumin akan mencegah terjadinya proses karsinogenesis dengan menurunkan ekspresi Cyclin D1 dan Bcl-2 Tujuan Penelitian: Penelitian dilakukan untuk menganalisis efek terapi kurkumin pada tahap dysplasia epitel di model karsinoma sel skuamosa rongga mulut melalui imunoekspresi Cyclin D1 dan Bcl-2. Metode: Penelitian merupakan penelitian eksperimental murni yang dilakukan pada binatang percobaan tikus Sprague dawley untuk menganalisis pengaruh pemberian kurkumin pada model karsinoma sel skuamosa rongga mulut tahap displasia epitel yang diinduksi dimethylbenz(a)anthracene (DMBA) 0,5% selama 4 minggu dengan pemeriksaan imunoekspresi Cyclin D1 dan Bcl-2. Hasil Penelitian: Terdapat perbedaan imunoekspresi Cyclin D1 dan Bcl-2 pada model karsinoma sel skuamosa rongga mulut tahap displasia epitel antara kelompok yang diberi kurkumin dan kelompok yang tidak diberi kurkumin per oral. Kata Kunci: displasia epitel pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut,, kurkumin, DMBA, Cyclin D1, Bcl-2 ABSTRACT Background: Oral Squamous cell carcinoma (OSCC) is essentially an aberration of genes that cause excessive and progressive proliferation, decrease apoptosis and increase cell survival due to interference with coordination of the growth and cell differentiation, including increasing proliferation due to increased expression of Cyclin D1 and inhibition of apoptosis due to antiapoptosis Bcl-2. Curcumin (Curcuma domesticae) are known to have anticancer effects, one through the mechanism of anti-proliferation and pro-apoptosis. Curcumin can prevent carcinogenesis process by reducing the expression of Cyclin D1 and Bcl-2. Purposes: The study is conducted to analyze the effect of curcumin therapy in OSCC epithelial dysplasia stage through immunoexpression of Cylin D1 and Bcl-2. Method: This study is a true experimental study to analyze the effect of curcumin on the model of OSCC epithelial dysplasia stage induced by dimethylbenz (a) anthracene by analyzing immunoexpression level of Cyclin D1 and Bcl-2. Result: There are differences in imunoexspression level of Cyclin D1 and Bcl-2 on the model of OSCC epithelial dysplasia stage induced by dimethylbenz (a) anthracene (DMBA) 0,5% between the group given curcumin orally with the group not given curcumin. Keyword: epithelial dysplasia of oral squamous cell carcinoma, curcumin, DMBA, Cyclin D1, Bcl-2.Item PERBANDINGAN EFEKTIFITAS APLIKASI EKSTRAK PUCUK BUNGUR (Lagerstroemia Species) dan LIDAH BUAYA (Aloe Vera) TERHADAP PENYEMBUHAN ALVEOLAR OSTEITIS PASCA PENCABUTAN GIGI MELALUI PEMERIKSAAN INTERLEUKIN(2019-04-12) WILLY BERNADI; Abel Tasman Yuza; Andri HardiantoLatar Belakang Alveolar osteitis merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pasca pencabutan gigi, yang terjadi setelah 2 sampai 4 hari pasca pencabutan serta menyebabkan terganggunya penyembuhan luka. Pucuk Bungur (Lagerstroemia spesies) dan lidah buaya (Aloe Vera) memiliki manfaat biologis, farmakologis pada hewan percobaan, seperti : aktifitas antimikroba, anti-inflamasi, antioksidan, antitusif, sitotoksik, anti-obesitas, inhibisi xanthine oxidase, antiviral, antitumor, antimutagenik, imunomodulator, gastroprotektif, anti jamur, terhadap usus, dan juga efek pada penyembuhan luka. Adanya manfaat tersebut merupakan kombinasi yang baik sebagai bahan alternatif untuk perawatan alveolar osteitis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh gel ekstrak Lagerstroemia spesies dibandingkan aloe vera gel terhadap proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi tikus Sprague Dawley yang disertai alveolar osteitis. Metode Dua puluh tujuh tikus Sprague Dawley secara random dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok osteitis (kontrol) yang diberi perlakuan insersi adrenalin 1 : 1000 selama 1 menit pada soket gigi molar rahang atas kiri, kelompok kedua merupakan kelompok osteitis yang diberi aplikasi gel Lagerstroemia spesies dan kelompok ketiga merupakan kelompok osteitis yang diberi aplikasi gel aloe vera. Kemudian dilakukan pemeriksaan kadar interleukin 6 dan penghitungan jumlah osteoblas. Data di analisa dengan ANAVA oneway untuk membandingkan efektifitas penyembuhan luka pada alveolar osteitis pada tiap kelompok. Hasil Dari analisis data didapatkan bahwa kelompok osteitis yang diaplikasikan gel Lagerstroemia spesies memiliki aktivitas yang baik terhadap proses penyembuhan alveolar osteitis terutama pada saat inflamasi dibandingkan kelompok yang lain. Kesimpulan Lagerstroemia spesies memiliki potensi untuk mengurangi lama fase inflamasi pada penyembuhan alveolar osteitis pada tikus Sprague Dawley dibandingkan dengan aloe vera.Item PERBANDINGAN EFEKTIFITAS COLD THERAPY ANTARA METODE KOMPRES ICE PACK DAN ICE GEL TERHADAP PEMBENGKAKAN, NYERI DAN KADAR ALFA AMILASE PASCA ODONTEKTOMI MOLAR KETIGA RAHANG BAWAH(2020-01-10) DRG ANDI ARFANDI ARIFUDDIN; Lucky Riawan; Andri HardiantoOdontektomi sering disertai komplikasi seperti pembengkakan dan nyeri yang disebabkan oleh respon jaringan terhadap manipulasi dan trauma selama operasi. Salah satu metode untuk mengatasi komplikasi ini adalah dengan pemberian kompres es baik berupa ice pack maupun ice gel. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa ukuran pembengkakan, skala nyeri, dan alfa amilase pasca odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi kelas II A - B dari pemberian cold therapy metode kompres ice pack dan ice gel. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan pada 30 pasien (19 laki-laki; 11 perempuan) yang akan menjalani tindakan odontektomi di Instalasi Bedah Minor Rumah Sakit Gigi dan Mulut Unpad, dengan metode Uji Acak Terkontrol dan dimasukkan ke dalam salah satu kelompok secara acak, yaitu kelompok yang mendapatkan perlakukan kompres ice gel dan ice pack. Pengukuran awal alfa amilase saliva dilakukan setelah pasien duduk di kursi gigi. Kompres dingin pada kedua kelompok dilakukan setelah satu jam dilakukan tindakan odontektomi selama lima kali dengan durasi aplikasi per 15 menit setiap setengah jam, Selanjutnya dilakukan pengukuran koefesien oedema, skala nyeri dan alfa amilase. Pengukuran kemudian dilakukan lagi pada hari ketiga pasca odontektomi. Seluruh data selanjutnya dikumpulkan dan dianalisis menggunakan Uji Paired T-Test Mann-Whitney, Independent Test dan Wilcoxon. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan ice gel dapat mengurangi derajat nyeri, koefisien oedema dan kadar alfa amilase secara signifikan (p < 0,05) dibandingkan dengan penggunaan ice pack. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan ice gel lebih efektif pada penurunan derajat nyeri, koefisien oedema dan kadar alfa amilase dibandingkan penggunaan ice pack.Item PERBANDINGAN KADAR EKSPRESI FIBROBLAST GROWTH FACTOR-2 (FGF-2) ANTARA APLIKASI EKSTRAK PUCUK BUNGUR (Langerstroemia Speciosa) DENGAN EKSTRAK LIDAH BUAYA (Aloe Vera) TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN LUKA PE(2019-04-12) FACHRUL RAZI; Lucky Riawan; Andri HardiantoLatar belakang Fibroblast Growth Factor-2 (FGF-2) berfungsi dalam menstimulasi proliferasi dan migrasi berbagai jenis sel pada penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka pada Keadaan hiperglikemik pada diabetes dapat terganggu. Langerstroemia speciosa diketahui mempunyai efek atihiperglikemik dan antioksidan. Aloe vera merupakan tumbuhan yang sejak dulu sudah digunakan untuk pengobatan topikal untuk berbagai luka. Tujuan Untuk menganalisis pengaruh ekstrak daun Langerstroemia speciosa dibandingkan Ekstrak aloe vera terhadap proses penyembuhan luka pada penyandang hiperglikemia dengan mengamati jumlah ekspresi fibroblast Growth factor Metode Penelitian eksperimental murni (true experimental study) yang dilakukan pada 27 ekor binatang percobaan tikus Sprague dawley yang diinduksi menjadi kondisi hiperglikemik dengan aloksan dan dibuat perlukaan pada palatum. sampel dibagi menjadi 3 kelompok. 9 ekor mendapat aplikasi gel Langerstroemia speciosa, 9 ekor mendapat aplikasi gel Aloe vera pada perlukaan palatum dan 9 ekor sebagai kelompok kontrol. Dilakukan pemeriksaan kadar ekspresi FGF-2 pada yaitu pada hari ke-3, 7 dan 14 pengamatan. Hasil pada pengamatan hari ke 3 dan ke 7 tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar ekspresi Fibroblast Growth Factor-2 (FGF-2) pada ketida kelompok. pada pengamatan hari ke 14 menunjukkan bahwa kelompok kontrol berbeda signifikan dengan pucuk bungur dan gel aloe vera (0,0460,05). Pada uji total pengamatan menunjukkan kelompok kontrol berbeda signifikan dengan pucuk bungur dan gel aloe vera (nilai p0,05). Simpulan Terdapat perbedaan secara signifikan kadar ekspresi fibroblast Growth factor-2 (FGF-2) pada kelompok tikus yang diberikan aplikasi gel topikal ekstrak Langerstroemia species dan kelompok gel aloe vera dengan kelompok kontrol pada pengamatan hari ke 14 dan pada uji hipotesis keseluruhan. Namun tidak terdapat perbedaan antara kelompok Langerstroemia speciosa dan aloe vera baik.Item PERBEDAAN FUNGSI MOTORIK OTOT PENGUNYAHAN DAN OTOT WAJAH PASCA RESEKSI MANDIBULA ANTARA SEGMENTAL MANDIBULEKTOMI DENGAN HEMIMANDIBULEKTOMI(2021-01-11) ARIYANTO SURYO KARYONO; Andri Hardianto; Lucky RiawanPredileksi tumor rahang paling tinggi adalah berlokasi di mandibula. Tata laksana tumor pada mandibula salah satunya adalah reseksi. Reseksi akan mengakibatkan diskontinuitas pada rahang dan gangguan sistem stomatognati salah satunya adalah penurunan fungsi motorik otot pengunyahan. Elektroneuromiografi (ENMG) merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang mencakup pemeriksaan elektroneurografi (ENG) yang meliputi pemeriksaan Neural Conduction Study (NCS) berdasarkan nilai stimulasi (STIM) dan velocity (VEL), dan elektromiografi (EMG) yang dapat digunakan untuk menilai penurunan fungsi motorik otot pengunyahan dan otot wajah pada pasien yang mengalami reseksi mandibula. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan penurunan fungsi otot pengunyahan dan otot wajah pada dua jenis reseksi mandibula yang paling sering dilakukan yaitu segmental mandibulektomi dan hemimandibulektomi. Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang dan desain analisis komparatif pada 10 orang pasien pasca segmental mandibulektomi atau hemimandibulektomi yang telah menjalani rekonstruksi mandibula di Bagian Bedah Mulut RSUP.Hasan Sadikin Bandung. Penurunan fungsi otot pengunyahan dideteksi melalui alat Elektroneuromiografi dan didapatkan hasil penilaian Nerve Conduction Studies (NCS) dan elektromiografi (EMG). Hasil penilaian pada pasien dengan reseksi segmental mandibulektomi dan hemimandibulektomi yang telah direkonstruksi menggunakan plat AO (Arbeitsgemeinschaft für Osteosynthesefragen) kemudian dibandingkan menggunakan analisis statistika chi-square dan mann whitney. Hasil penelitian menunjukan tidak terdapat perbedaan nilai NCS yang signifikan (P> 0,05) pada pasien dengan segmental mandibulektomi (rata-rata STIM 4,2 ± 1,7, VEL 13,23 ± 5,38) dan hemimandibulektomi (rata-rata STIM 4,3 ± 1,35, VEL 12,56 ± 4,83), namun terdapat perbedaan nilai EMG yang signifikan (P=0,025, P<0,05) pada pasien dengan segmental mandibulektomi (rata-rata 70% pasien normal) dan hemimandibulektomi (rata-rata 20% pasien normal).Item PERBEDAAN FUNGSI ORAL DAN EKSPRESI INTERLEUKIN-10 PASCA ODONTEKTOMI DENGAN MENGGUNAKAN MIKROMOTOR DAN PIEZOSURGERY(2020-01-15) JIHAD HARUN SANDIAH; Andri Hardianto; Abel Tasman YuzaPERBEDAAN FUNGSI ORAL DAN EKSPRESI INTERLEUKIN-10 PASCA ODONTEKTOMI DENGAN MENGGUNAKAN MIKROMOTOR DAN PIEZOSURGERY Abstrak Ekstraksi bedah molar tiga bawah adalah salah satu prosedur bedah mulut minor yang paling umum dilakukan dalam operasi oral dan maksilofasial setiap hari. Ekstraksi bedah gigi molar tiga bawah ada yang relatif mudah hingga sangat sulit, tergantung pada berbagai faktor, misalnya lokasi gigi yang berada di kedalaman dari tulang kristal dan lokasinya berdekatan dengan permukaan distal molar kedua, batas dengan ramus mandibular, angulasinya dengan molar kedua, dan kepadatan tulang. Tindakan odontektomi sering dilakukan dengan alat pemotong rotari (Mikromotor), dengan berkembangnya teknologi dikembangkan suatu metode ultrasound dalam operasi mulut. Sebuah alat bedah baru "Piezosurgery" (Mectron) diperkenalkan pada operasi bedah mulut dan craniomaxillofacial yang dikembangkan oleh Prof. Vercellotti yang konsepnya terinspirasi dari skaler ultrasonik yang digunakan di klinik gigi sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah Menganalisa efektifitas unit mikromotor dibandingkan dengan unit piezosurgery saat melakukan odontektomi gigi molar tiga bawah dengan menilai keterbatasan fungsi oral dan kadar ekspresi Interleukin-10 pasca pembedahan. Penelitian ini dilakukan pada 20 pasien yang akan menjalani tindakan odontektomi di Instalasi Bedah Minor Rumah Sakit Gigi dan Mulut Unpad, dengan metode uji perbandingan. Pasien dimasukkan ke dalam kelompok pertama yaitu kelompok yang dilakukan odontektomi dengan menggunakan mikromotor. Kelompok dua yaitu kelompok yang dilakukan odontektomi dengan menggunakan piezosurgery. Masing-masaing kelompok dilakukan pengambilan sampel darah dari v. Brachialis setelah odontektomi pada hari ketiga. Dan masing-masing kelompok melakukan pengisian kuisioner terkait keterbatasan fungsi oral pada hari ke tiga dan hari ke tujuh setelah dilakukan odontektomi. Tindakan odontektomi dilakukan dalam anastesi lokal. Selanjutnya seluruh data dikumpulkan dan dianalis dengan menggunakan uji perbandingan. Berdasarkan hasil perbandingan yang dilakukan antara kelompok I, dan kelompok II, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada penilaian keterbatasan fungsi oral untuk setiap waktu evaluali, dan pada penilaian ekspresi interleukin-10 (IL-10) terdapat perbedaan yang signifikan, dimana rata-rata IL-10 mikromotor lebih rendah dibandingkan dengan IL-10 piezosurgery. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan terdapat perbedaan keterbatasan fungsi oral dan ekspresi IL-10 post odontektomi dengan menggunakan mikromotor dibandingkan dengan menggunakan piezosurgery. Kata kunci: odontektomi, mikromotor, piezosurgery, keterbatasan fungsi oral, interleukin-10.Item PERBEDAAN KEPARAHAN TRAUMA MANDIBULA PADA PENGENDARA SEPEDA MOTOR PENGGUNA HELM HALF FACE DAN TANPA PENGGUNAAN HELM BERDASARKAN MANDIBLE INJURY SEVERITY SCORE (MISS)(2021-01-11) MUHAMMAD SYAKURAN; Andri Hardianto; R. Agus NurwiadhLatar Belakang Tingginya persentase penggunaan helm half face menempatkan mandibula pada resiko fraktur yang tinggi saat kecelakaan sepeda motor. Bentuk anatomis dan posisi mandibula menjadiknya lebih sering mengalami fraktur. Tujuan penelitian ini untuk melihat perbandingan keparahan trauma mandibula pada penegendara sepeda motor pengguna helm half face dan tanpa penggunaan helm berdasarkan Mandible Injury Severity Score (MISS). Metode Penelitian ini merupakan penelitian prospektif cross-sectional pada 60 subjek penelitian di Unit Gawat Darurat RS Hasan Sadikin Bandung antara bulan Juli 2019 – February 2020. Data dianalisis dengan uji mann whitney, untuk melihat keparah trauma mandibula pada penggunaan helm half face dan tanpa penggunaan helm berdasarkan MISS. Hasil Dari 60 subjek kecelakaan dengan sepedamotor 58,3% berusia 0,05) tidak berbeda secara signifikan. Kesimpulan Pengendara yang menggunakan helm half face dan tidak menggunakan helm memiliki reisiko trauma mandibular yang tidak berbeda secara statistik (p > 0,05) berdasarkan Mandible Injury Severity Score (MISS). Helm half face tidak memeberikan perlindungan terhadap mandibula, karena hanya mencegah cedera bagian tengah dan atas, namun tidak mencegah cedera wajah bagian bawah. Pengguna sepeda motor sebaiknya menggunakan helm full face untuk mencegah fraktur mandibular saat terjadinya kecelakan lalulintas