Spesialis
Permanent URI for this community
Browse
Browsing Spesialis by Issue Date
Now showing 1 - 20 of 719
Results Per Page
Sort Options
Item PENGARUH PEMAKAIAN SPLIN OKLUSAL PADA PENDERITA GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULA TERHADAP KUALITAS HIDUP(2012-08-08) MAYA KARTIKA DEWIJANTY; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Gangguan sendi temporomandibula mencakup sekelompok kondisi muskuloskeletal dan neuromuskuler yang melibatkan sendi rahang, otot-otot pengunyahan dan semua jaringan terkait. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan sendi temporomandibula ini beragam, termasuk kesulitan saat mengunyah makanan, berbicara, dan fungsi orofasial lainnya. Gangguan ini juga sering berhubungan dengan nyeri akut atau berkelanjutan, dan pasien sering menderita gangguan lainnya seperti gangguan kecemasan, aspek sosial seperti aktivitas, pekerjaan, rekreasi, peran sosial dan lain-lain. Rasa sakit pada gangguan sendi temporomandibula dapat menyebabkan adanya penurunan kualitas kerja atau interaksi sosial, yang menghasilkan pengurangan kualitas hidup. Gangguan sendi temporomandibula dapat dihilangkan gejala-gejalanya dengan memakai splin oklusal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan splin oklusal dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita gangguan sendi temporomandibula. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dalam bentuk survey pada duapuluh pasien dengan gangguan sendi temporomandibula yang memakai splin oklusal dalam perawatannya di Klinik Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran dan Klinik Gigi Oratio Rumah Sakit Limiyati. Hasil penelitian dianalisis dengan uji Wilcoxon, kemudian diuji dengan statistik z, menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kualitas hidup dalam parameter nyeri, fungsi pengunyahan dan jenis makanan, aktivitas, suasana hati, kecemasan, dan parameter kualitas hidup secara umum berkaitan dengan keluhan gangguan sendi temporomandibula, pada penderita gangguan sendi temporomandibula antara sebelum dan sesudah pemakaian splin oklusal yang bermakna secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan splin oklusal dapat memperbaiki kualitas hidup penderita gangguan sendi temporomandibula. Kata kunci: Gangguan sendi temporomandibula, splin oklusal, kualitas hidup ABSTRACT Temporomandibular joint disorders encompass a group of musculoskeletal and neuromuscular conditions that involve the temporomandibular joints, the masticatory muscles, and all associated tissues. The signs and symptoms associated with these disorders are diverse, and may include difficulties with chewing, speaking, and other orofacial functions. They also are frequently associated with acute or persistent pain, and the patients often suffer from other painful disorders such as anxiety disorder, social aspects such as activities, work, recreation, social roles, and others. The temporomandibular disorders pain may lead to impairment of work quality or social interaction, resulting in an reduction in quality of life. Temporomandibular joint disorder symptoms can be removed by using splint occlusal. The purpose of this study was to determine whether the use of occlusal splint can affect the quality of life of patients with temporomandibular joint disorders. This study is a descriptive analityc study in the form of a survey of twenty patients with temporomandibular joint disorders using the splint occlusal treatment in Clinical Educational Program Specialist Dentist Prosthodontics Faculty of Dentistry Padjadjaran University and Oratio Dental Clinic Limiyati Hospital. The results were analyzed with the Wilcoxon signed-rank test, then tested with the z statistic, shows that the quality of life has been a change in the parameters of pain, masticatory function and type of food, activity, mood, anxiety, and general quality of life parameters associated with complaints of temporomandibular joint disorders, in patients with temporomandibular joint disorders before and after the use of occlusal splint which is statistically significant. This suggests that the use of occlusal splint can improve quality of life of patients with temporomandibular joint disorders. Key words: Temporomandibular joint disorders, occlusal splint, quality of life vItem Perbedaan Tingkat Kekerasan Resin Komposit Hibrida Berdasarkan Waktu Polimerisasi Setelah Penyinaran Menggunakan Fotoaktivasi LED(2012-10-18) ESTER BIANCA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPerbedaan Tingkat Kekerasan Resin Komposit Hibrida Berdasarkan Waktu Polimerisasi Setelah Penyinaran Menggunakan Fotoaktivasi LED - Esther Bianca -160621090002 ABSTRAK Kekerasan permukaan resin komposit yang adekuat merupakan hal penting untuk mendapatkan keberhasilan klinis restorasi yang optimal pada daerah yang menerima beban tinggi. Pada light-activated resin composites, polimerisasi dimulai pada saat sinar menginisiasi polimerisasi dan berlanjut setelah penyinaran berhenti. Derajat konversi dan kekerasan resin komposit dipengaruhi juga oleh waktu polimerisasi setelah penyinaran.Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kekerasan resin komposit hibrida berdasarkan waktu polimerisasi 10 menit, 24 jam, dan 7 hari setelah penyinaran menggunakan fotoaktivasi LED sehingga didapatkan kekerasan yang optimal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental murni. 30 buah sampel resin komposit hibrida berbentuk lempeng cakram dengan ukuran diameter 6 mm dan tebal 2 mm dipolimerisasi dengan LCU LED dengan intensitas sinar 800mW/cm 2 selama 20 detik. Pengukuran kekerasan dilakukan dengan Vickers Hardness Tester. Hasil penelitian diuji secara statistik menggunakan ANAVA. Hasil penelitian ini, nilai rata-rata kekerasan pada waktu polimerisasi 10 menit setelah penyinaran adalah 56,4 VHN, pada waktu polimerisasi 24 jam setelah penyinaran adalah 65,8 VHN, dan pada waktu polimerisasi 7 hari setelah penyinaran adalah 60,0 VHN. Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan tingkat kekerasan resin komposit hibrida berdasarkan waktu polimerisasi 10 menit, 24 jam, dan 7 hari setelah penyinaran menggunakan fotoaktivasi LED dan nilai kekerasan tertinggi adalah pada waktu polimerisasi 24 jam setelah penyinaran. Kata kunci: kekerasan, komposit hibrida, waktu polimerisasi setelah penyinaran, LED Differences Level of Hybrid Resin Composite’s Hardness Based on PostIrradiation Time with Photoactivated LED – Esther Bianca – 160621090002 ABSTRACT Adequate surface hardness of the resin composites is important to obtain optimum clinical performance of the restoratives in stress dental bearing areas. For light-activated resin composites, polymerization begins when curing light initiates polymerization and continues after the curing light goes off. Degree of conversion and hardness of resin composite is also affected by post-irradiation time. The objective of this study was to evaluate the difference of the hardness hybrid resin composite based on post-irradiation time at 10 minutes, 24 hours, and 7 days with photoactivated LED to obtain the optimum hardness. This study was using true experimental research method. Thirty samples of hybrid resin composites, disk-shaped of 6 mm in diametre and 2 mm in depth were polymerized by LED LCU at 800mW/cm 2 for 20 second. Hardness of the resin composite was measured by Vickers Hardness Tester. The result was analyzed statistically with ANOVA. The result of this study showed that there were significant difference level of hardness among the three groups. Hardness mean value for post-irradiation time at 10 minutes was 56,4 VHN, for post-irradiation time at 24 hours was 65,8 VHN, and for post-irradiation time at 7 days was 60,0 VHN. It was concluded that there were significant differences level of hybrid resin composite’s hardness based on post-irradiation time at 10 minutes, 24 hours, and 7 days with photoactivated LED and the optimum hardness of post-irradiation time at 24 hours. Keywords: hardness, hybrid composite, post-irradiation time, LEDItem EFEK MALOKLUSI BERDASARKAN KLASIFIKASI ANGLE DAN KONTAK OKLUSAL TERHADAP PERFORMA MASTIKASI PADA ANAK SUB-RAS DEUTERO MALAYU USIA 12-15 TAHUN(2012-10-30) IBNU AJIDARMO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Doseniii ABSTRAK Maloklusi merupakan keadaan menyimpang dari oklusi normal yang meliputi ketidakteraturan gigi sehingga mempengaruhi estetika beberapa fungsi fisiologis mulut seperti mastikasi, penelanan, dan bicara. Mastikasi itu sendiri merupakan hasil pergerakan pembukaan dan penutupan rahang yang memerlukan koordinasi antara gigi, rahang, otot pengunyahan, di bawah kontrol neurologis susunan saraf pusat. Ketidakserasian oklusi terjadi apabila terjadi kontak gigi yang menghalangi atau menghambat kebebasan pergerakan mandibula. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian komparatif cross sectional. Subjek penelitian adalah anak usia 12-15 tahun Sub-ras Deutero Melayu yang tinggal di kota Bandung dan diambil menggunakan teknik multi stage random sampling. Maloklusi dinilai berdasarkan klasifikasi maloklusi Angle. Sedangkan performa mastikasi dinilai melalui kemampuan subjek untuk menghancurkan test food dengan 20x pengunyahan normal, dimana partikel hasil kunyah akan di vibrator. kemudian hasil masing-masing saringan ditimbang dengan ketelitian 4 desimal menggunakan neraca digital (Mattler Toledo). Hasil pengujian ANAVA untuk nilai MPS dan distribusi sebaran kelompok maloklusi diperoleh hasil nilai F= 0.21 dengan p = 0.891 artinya tidak terdapat perbedaan. Pengujian ANAVA untuk mengkorelasikan antara nilai MPS dan distribusi sebaran terhadap kelompok kontak oklusal diperoleh hasil F= 5.07 dengan p = 0.0013 artinya terdapat perbedaan yang sangat nyata pada tiap kelompok pasangan kontak oklusal. Kesimpulan penelitian adalah tidak ada perbedaan nilai MPS dan b pada Klasifikasi Angle terhadap performa mastikasi dan terdapat perbedaan kontak oklusal terhadap performa mastikasi berdasarkan pengujian statistic terhadap perfoma mastikasi. Kata kunci: maloklusi, kontak oklusal, performa mastikasiItem Perbedaan Kekuatan Geser Antara Perbaikan Resin Komposit Indirek dengan Aplikasi Silane dan Tanpa Aplikasi Silane (In Vitro)(2012-10-30) IRMA RACHMATINA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenDifferences In Shear Bond Strength of Indirect Resin Composite Repair Subjected to Silane Treatment and Without Silane Treatment (In Vitro)- Irma Rachmatina-160621090003 ABSTRACT Silane coupling agents are hybrid organic-inorganic compounds that promote adhesion between different materials through chemical and physical interactions. The purpose of this research was to determine the shear bond strength differences of indirect resin composite repair subjected to silane treatment and without silane treatment. This research was conducted in a true in vitro experiment. Thirty samples were prepared and stored in saliva artificial at incubator 37 C for 24 hours, then divided into two groups randomly (fifteen each). Both of groups were pretreated with surface treatments before bonded to direct composite. All samples were subjected to shear bond strength using a universal testing machine at a cross head speed of 0,5 mm/min. The data were analyzed with student t test and significant level was set at p≤0,05 (95%).The result showed no statistically significant shear bond strength differences were found between group 1(33,856 MPa)and group 2(31,004 MPa). It can be concluded that there is no difference shear bond strength of indirect resin composite repair with silane treatment and indirect resin composite repair without silane treatment. Keyword: shear bond strength, indirect resin composite, silane. Perbedaan Kekuatan Geser Antara Perbaikan Resin Komposit Indirek dengan Aplikasi Silane dan Tanpa Aplikasi Silane (In Vitro)-Irma Rachmatina-160621090003 Abstrak Silane coupling agents adalah senyawa gabungan organik dan anorganik yang dapat meningkatkan adhesi dua bahan yang berbeda melalui interaksi kimia dan fisik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kekuatan geser antara perbaikan resin komposit indirek dengan aplikasi silane dan perbaikan resin komposit indirek tanpa aplikasi silane. Jenis penelitian ini adalah experimental murni yang dilakukan secara in vitro. Sebanyak 30 sampel yang diambil secara acak direndam dalam saliva artifisial dan dimasukkan dalam inkubator 37 C selama 24 jam. Setelah itu sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok (masing masing kelompok 15). Kedua kelompok sampel diberikan perlakuan permukaan sebelum dilekatkan dengan resin komposit direk. Semua sampel diuji kekuatan geser menggunakan universal testing machine dengan kecepatan crosshead 0,5mm/menit. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan student t test dengan tingkat kepercayaan 95% (p≤0,05). Hasil pengujian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok 1 (33,856 MPa) dan kelompok 2 (31,004 MPa). Simpulan penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan kekuatan geser antara perbaikan resin komposit indirek dengan aplikasi silane dan perbaikan resin komposit indirek tanpa aplikasi silane. Kata kunci : Kekuatan geser, resin komposit indirek, silaneItem Perbedaan Nilai Kekerasan Resin Komposit Berbahan Dasar Silorane Dengan Resin Komposit Berbahan Dasar Methacrylate Sesaat dan Seminggu Setelah Fotoaktivasi Dengan LED(2012-10-31) RANI MAHMUDA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPerbedaan Nilai Kekerasan Resin Komposit Berbahan Dasar Silorane Dengan Resin Komposit Berbahan Dasar Methacrylate Sesaat dan Seminggu Setelah Fotoaktivasi Dengan LED-Rani Mahmuda Sultana-160621090004 iv ABSTRAK Masalah utama bahan restorasi komposit adalah kebocoran mikro, akibat penyusutan saat polimerisasi. Resin komposit jenis baru silorane terdiri dari gugus oxitrane yang kuat dan siloxane yang bersifat hidrofob. Berbeda dengan resin komposit methacrylate yang melepaskan radikal bebas saat polimerisasi, silorane berpolimerisasi dengan pembukaan cincin oxitrane. Polimerisasi resin komposit methacrylate menghasilkan pengurangan volume, sedangkan polimerisasi pada silorane menghasilkan pengembangan volume. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni secara invitro, bertujuan untuk mengetahui perbedaan kekerasan resin komposit berbahan dasar silorane dengan resin komposit berbahan dasar methacrylate sesaat dan seminggu setelah fotoaktivasi menggunakan LED. Dibuat 40 spesimen komposit (bentuk lempeng, tinggi 2mm diameter 6mm), terdiri dari 20 spesimen resin komposit silorane dan 20 spesimen resin komposit methacrylate. 10 spesimen diambil secara acak dari tiap kelompok, direndam dalam saliva artifisial dan disimpan pada suhu 37 °C selama seminggu, lalu dilakukan uji kekerasan. 10 sampel sisa dari tiap kelompok direndam saliva artifisial selama 10 menit lalu dilakukan uji kekerasan. Pengujian kekerasan dilakukan menggunakan Vickers Microhardness Test (w=100gr, t=15detik), dengan tiga titik indentasi setiap sampel. Hasil pengukuran dinyatakan dalam VHN dan diuji secara statistik mengunakan ANAVA. Tingkat kekerasan resin komposit berbahan dasar silorane secara signifikan lebih rendah bila dibandingkan dengan resin komposit berbahan dasar methacrylate, tetapi stabil terhadap perubahan kekerasan. Perbedaan tingkat kekerasan berkaitan dengan jenis ukuran filler pada masing masing bahan, sementara kestabilan kekerasan resin komposit silorane berkaitan dengan komposisi kimia gugus oxitrane-siloxane yang membentuknya. Kata kunci: Kekerasan, Silorane, Methacrylate, Fotoaktivasi LED, Sesaat, Seminggu, The difference level of hardness silorane based composite dan methacrylate based composite a moment and a week post irradiation with LED-Rani Mahmuda Sultana- 160621090004 v ABSTRACT A major problems of dental composite is microleakage as result of polymerization shrinkage. Silorane based composite comes from the combination of an advantages oxitrane which is known as very stable, and strong material with siloxane as hidrofobic materials. Direffent from methacrylate based composite wich release free radicals during polymerization, silorane has an opening of cation ring oxitrane, result volume expantion of resin, contradiction from methacrylate based wich result volume reduction of resin because it shrinkages. This in vitro study aimed to evaluated difference values of surface microhardness between silorane based composite and methacylate based composite in two different time; 10 minute after irradiation and a week after irradiation using LED. Fourthy specimen of composite disc (2mm height, 6mm diameters); consist of twenty silorane based, and twenty methacrylate based. From each grup 10 specimen taken randomily, immeresed in artificial saliva, kept in 37°C incubator for a week then tested microhardness. 10 specimen left in each group, immeresed in artificial saliva for 10 minutes then tested microhardness. Microharness was measured by Vickers Hardness Tester (VHT) with load 100gr for 15 second. Three indentation were performed on each sample, the value is in VHN and evaluated by ANOVA . Result of this study shows very significant differences values of surface hardness between two composite materials. Even silorane based composite claimed had lower hardness value than methacrylate’s, this study showed silorane were stable material due changes in longer periode storage by slight increase (non-sigificant) hardness value. Hardness of each material depents on the size filler content, but silorane hardness stability resulted by chemical block Oxitrane-siloxane Key words: Hardness, Silorane, Methacrylate, Irradiation LED, Moment, Week after.Item HUBUNGAN FORWARD HEAD POSTURE DENGAN GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULA BERDASARKAN PENGUKURAN LINEAR(2012-11-01) TINE MARTINA WINARTI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Forward Head Posture (FHP) atau postur kepala ke depan adalah suatu posisi habitual kepala terhadap tubuh pada bidang sagital. Posisi kepala yang alami adalah tepat di atas bahu dengan leher sebagai penegaknya. Leher yang merupakan bagian paling atas dari kurvatura tulang belakang atau spina vertebra, pada bidang sagital membentuk sudut dengan batang tubuh sekitar 49º-59º. Sudut ini disebut sudut kraniovertebra normal. Semakin kecil sudut kraniovertebra, maka FHP semakin besar. Keadaan FHP dapat menjadi pemicu terjadinya berbagai macam kesalahan postur tubuh lainnya, gangguan sendi, dan penyakit muskuloskeletal. Sendi temporomandibula yang terletak di dekat tragus dapat mengalami gangguan berupa nyeri sendi dan orofasial, bunyi sendi, serta abnormalitas pergerakan. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara FHP dan gangguan sendi temporomandibula dan apakah ukuran sudut kraniovertebra dapat dipakai sebagai salah satu indikator diagnosis gangguan sendi temporomandibula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada 30 sampel mahasiswa profesi FKG Universitas Padjadjaran usia 20-28 tahun sebanyak 80% (4 laki-laki, 20 perempuan) mengalami gangguan sendi temporomandibula menurut klasifikasi RDC/TMD. Kelompok gangguan yang paling banyak diderita adalah Grup IIa, yaitu pergeseran diskus dangan reduksi, sebanyak 15 orang. Tujuh orang (12,5% ) dari seluruh sampel penderita gangguan sendi temporomandibula mempunyai 2 diagnosis. Sudut kraniovertebra rata-rata pada penderita gangguan sendi temporomandibula adalah 45,54º, sudut ini di bawah rentang sudut kraniovertebra normal yaitu 49º-59º. Sudut kraniovertebra rata-rata tanpa gangguan adalah 50,83º yang terletak pada rentang normal. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara sudut kraniovertebra (FHP) dengan gangguan sendi temporomandibula. Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa pasien dengan sudut kraniovertebra di bawah normal dapat mengalami gangguan sendi temporomandibula, sehingga ukuran sudut kraniovertebra dapat dipakai sebagai indikator gangguan sendi temporomandibula. Kata kunci: Forward Head Posture, Gangguan Sendi Temporomandibula, RDC/TMD. ABSTRACTS Forward Head Posture (FHP) is a habitual position of the head towards the trunk in a sagital plan. The natural head position is exactly above the shoulder with the neck as a support. Neck as the most superior part of the spinal curvature forms 49°-59° with the trunk at sagital plane. This angle is termed normal craniovertebral angle. The smaller the angle, the greater the FHP. Forward head posture can be a trigger for various awkward conditions such as other body postures misalignment, joint disorders and musculoskeletal diseases. Temporomandibular joint, located near tragus can have joints pain, orofacial tenderness, joints sound and abnormalities in movement. Aim of this research was to find out whether there was relationship between FHP and temporomandibular disorders (TMDs) and whether or not craniovertebral angle used as an TMDs diagnosis indicator. The result showed that in the 30 sample student of Faculty of Dentistry Universitas Padjadjaran ages between 20-28 years old, 80% of them (4 male, 20 female) experienced Temporomandibular disorders according to RDC/TMD classification. The most experienced disorders was group IIa, disc displacements with reduction, involving 15 students. Seven sample (12.5%) from the TMDs sufferer had two diagnosis. In TMDs sufferer, the average craniovertebral angle was 45.54° which was lower than normal craniovertebral angle (49°-59°). Average craniovertebral angle without any TMDs was 50.83°, falls in the normal range. The result showed there was a significant relationship between FHP and TMDs. The conclusion showed that a person with lack of craniovertebral angle can suffered TMDs. Therefore, craniovertebral angle may used as an TMDs diagnosis indicator. Keywords: Forward Head Posture, Temporomandibular disorders, RDC/TMDItem PENGARUH APLIKASI PEPPERMINT OIL TERHADAP PELEPASAN BREKET KERAMIK(2012-11-02) GITA GAYATRI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRACT The use of ceramic brackets become an option to get the better aesthetics, but commonly cause problems at debonding of the brackets that is fracture on the brackets or damage to the enamel surface. Peppermint oil is used to facilitate debonding of the brackets because it has the ability to soften the adhesive resin thereby reducing bonding of ceramic brackets The Purpose of this study was to determine the effect of peppermint oil application for ceramic brackets debonding with shear bond strength test by using Instron Universal testing machine and assessment on adhesive remnant This is research is an experimental laboratory in vitro with descriptive and comparative approach. Fourty maxillary first premolars sample bonded on 40 premolar illusion plus TM ceramic brackets made by ortho organizers. These samples were divided into 4 different groups based on the time length of the application before debonding the brackets. Group 1 (Control Group) are those samples without the application of peppermint oil. Group 2 applied peppermint oil for 10 minutes; Group 3 used them for 15 minutes followed by group 4 for 20 minutes. ANOVA statistical analysis with p-value (<0.01) is used to see the difference of shear bond strength and yield adhesive remnant. Pearson product coeficient correlation test is used to determine the correlation coeficient between time depth of application with shear bond strength of ceramic brackets. The results showed there were significant differences between the groups that used peppermint oil and one that was not, also in term of time depth that used over shear bond strength of ceramic brackets. There were no significant differences obtained from the adhesive remnant used on the groups that applied peppermint oil and the one that was not. The conclusion of this research is the application of peppermint oil gives strong impact on the shear bond strength during the bracket debonding process. There was no difference on scores of adhesive remnant index between the groups that used peppermint oil and one that was not. Keywords : Peppermint oil, Shear Bond Strength, ceramic brackets 1 ABSTRAK Pemakaian breket keramik menjadi pilihan untuk mendapatkan estetika yang lebih baik tersebut namun seringkali menimbulkan masalah pada saat pelepasan yaitu fraktur pada breket atau kerusakan permukaan email. Peppermint oil digunakan untuk mempermudah pelepasan breket karena memiliki kemampuan untuk melunakkan resin adesif sehingga mengurangi kekutan perekatan breket keramik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh aplikasi peppermint oil terhadap pelepasan breket keramik melalui uji kuat rekat geser dengan alat Instron Universal Testing Machine dengan lama waktu aplikasi yang berbeda serta mengetahui hasil sisa resin pada beket keramik setelah pelepasan. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris in vitro dengan pendekatan deskriptif dan komparatif. Sampel pada penelitian ini adalah 40 gigi premolar pertama rahang atas yang dilekati 40 breket keramik premolar illusion plus TM produksi ortho organizers. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan lama waktu aplikasi sebelum pelepasan breket, yaitu kelompok 1 (kelompok kontrol) tanpa aplikasi peppermint oil, kelompok 2 aplikasi peppermint oil selama 10 menit, kelompok 3 aplikasi peppermint oil selama 15 menit dan kelompok 4 aplikasi peppermint oil selama 20 menit. Analisis statistik ANOVA dengan p-value (<0,01) digunakan untuk melihat perbedaan kuat rekat geser dan hasil sisa resin. Uji korelasi dengan Pearson product coeficient correlation digunakan untuk mengetahui hubungan lama waktu aplikasi dengan kuat rekat geserbreket keramik Hasil menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok yang diaplikasikan peppermint oil dengan yang tidak dan terdapat hubungan lama waktu aplikasi peppermint oil terhadap kuat rekat geser breket keramik. Tidak ada perbedaan yang bermakna dari sisa resin yang dihasilkan antara kelompok yang diaplikasikan peppermint oil dengan yang tidak. Simpulan dari penelitian ini adalah aplikasi peppermint oil mempengaruhi kuat rekat geser breket keramik pada saat pelepasan breket. Tidak terdapat perbedaan skor sisa resin antara kelompok yang tidak diaplikasikan dengan yang diaplikasikan peppermint oil Kata kunci : Peppermint oil, Kuat rekat Geser, Breket KeramikItem NILAI KERAPATAN TRABEKULA REGIO PREMOLAR DENGAN RADIOGRAF PANORAMIK DIGITAL PADA WANITA PASCA MENOPAUSE(2013-01-16) JOHANNES DHARTONO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenUsia pasca menopause mempunyai kadar estrogen rendah sehingga massa tulang pada usia ini menurun dengan cepat dan menjadi osteoporosis. Osteoporosis dapat dinilai dengan menggunakan radiografi panoramik. Perubahan trabekula akan tampak pada saat osteoporosis ringan sampai sedang sedangkan perubahan kortikal baru tampak pada osteoporosis tingkat lanjut. Terdapat hubungan antara osteoporosis dengan berkurangnya massa tulang dan morfologi mandibula. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui nilai kerapatan trabekula pada regio premolar pertama mandibula pada wanita pasca menopause menggunakan radiografi panoramik digital. Metode penelitian deskriptif sederhana dengan pengambilan sampel adalah pourpousing sampling dan jumlah sampel sebanyak 28 orang wanita pasca menopause berusia 50-80 tahun yang melakukan pemeriksaan radiografi panoramik digital. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah trabekula kanan wanita pasca menopause normal 2,60, dengan luas trabekula 0,20. Jumlah trabekula kiri wanita pasca menopause normal 2,70, dengan luas trabekula 0,19. Jumlah marrow kanan wanita pasca menopause normal 3,90, dengan area marrow 0,79. Jumlah marrow kiri wanita pasca menopause normal 4,00, dengan area marrow 0,80. Jumlah trabekula kanan wanita pasca menopause osteoporosis 3,60, dengan luas trabekula 0,18. Jumlah trabekula kiri wanita pasca menopause osteoporosis 3,10, dengan luas trabekula 0,20. Jumlah marrow kanan wanita pasca menopause oateoporosis 3,00, dengan area marrow 0,81. jumlah marrow kiri wanita pasca menopause osteoporosis 3,00, dengan area marrow 0,79. Simpulan dari penelitian ini adalah jumlah trabekula pasca menopause osteoporosis lebih banyak dari pasca menopause normal. Jumlah marrow wanita pasca menopause lebih sedikit dibandingkan wanita pasca menopause normal.Item NILAI KETEBALAN KORTIKAL KONDILUS DAN MANDIBULA DI LIHAT DARI RADIOGRAF PANORAMIK DIGITAL PADA WANITA PASCA MENOPAUSE(2013-01-16) RESTI ISWANI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenKekurangan hormon estrogen pada wanita pasca menopause mempengaruhi proses remodelling tulang, mengakibatkan terganggunya keseimbangan kerja osteoblas dan osteoklas sehingga menurunkan kuantitas tulang. Radiografi panoramik dapat digunakan untuk mengukur kuantitas tulang mandibula sebagai deteksi dini penurunan kuantitas tulang pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ketebalan tulang kortikal kondilus dan kortikal mandibula wanita pasca menopause dengan radiograf panoramik digital. Metode penelitian ini adalah deskriptif sederhana dengan teknik insidental random purposive sampling, sehingga di peroleh 29 sampel radiograf panoramik wanita pasca menopause usia 50-80. Data dicatat, lalu dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Penelitian dilakukan di RSGM/ FKG UNPAD Bandung. Hasil penelitian berupa nilai rata-rata ketebalan tulang kortikal kondilus dan mandibula pada 6 wanita menopause dengan osteoporosis mempunyai nilai kortikal kondilus regio kanan area anterior dan posterior mempunyai nilai yang sama 0,17 mm, dan pada superior 0,18 mm dan pada regio kiri seimbang pada semua area yaitu 0,18 mm. Sedangkan pada 23 sampel wanita menopause tanpa osteoporosis regio kanan area anterior dan superior dengan nilai 0,27 mm sama dengan regio kiri area superior, serta regio kanan area posterior sama nilainya dengan regio kiri area anterior dan posterior yaitu 0,23 mm. Nilai ketebalan tulang kortikal mandibula wanita osteoporosis lebih rendah dari wanita tanpa osteoporosis dan cendrung seimbang regio kanan dan kiri. Simpulan penelitian ini adalah nilai ketebalan tulang kortikal kondilus dan mandibula wanita pasca menopause dengan osteoporosis ternyata memiliki nilai ketebalan tulang kortikal kondilus dan mandibula lebih rendah dari wanita pasca menopause normal.Item PERBEDAAN HASIL PENGANGKATAN MEDIKAMEN CAMPURAN KALSIUM HIDROKSIDA DAN KLORHEKSIDIN 2% MENGGUNAKAN TEKNIK IRIGASI AGITASI MANUAL DAN AGITASI SONIK DENGAN SODIUM HIPOKLORIT 2,5%.(2013-01-16) ANNA MURYANI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenCampuran kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan klorheksidin (CHX) untuk meningkatkan efektivitas dari medikamen di dalam sterilisasi saluran akar. Campuran Ca(OH)2 dan CHX 2% harus diangkat dari saluran akar karena residu Ca(OH)2 yang tertinggal akan mengakibatkan pengisian saluran akar menjadi tidak hermetis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari perbedaan hasil pengangkatan medikamen campuran Ca(OH)2 dan CHX 2% menggunakan agitasi manual dan agitasi sonik dengan NaOCl 2,5%. Penelitian ini adalah eksperimental sungguhan menggunakan tiga puluh gigi insisivus rahang atas. Sampel dibagi dua kelompok, kelompok pertama dilakukan irigasi teknik agitasi manual (kontrol) dan kelompok kedua dilakukan agitasi sonik dengan larutan irigasi NaOCl 2,5%. Kemudian dilihat dengan mikroskop Stereo. Data hasil penelitian dianalisis Kruskal-Walls dan Mann-Whitney. Hasil penelitian ini dengan uji Kruskal Wallis nilai hitung adalah 19.220 sedangkan dengan uji Z Mann Whitney sebesar -4.384. Simpulannya terdapat perbedaan sisa hasil pengangkatan medikamen campuran Ca(OH)2dan CHX 2% menggunakan teknik irigasi agitasi manual dan agitasi sonik dengan sodium hipoklorit 2,5%.Item HUBUNGAN TINGKAT PREVALENSI MALOKLUSI PASIEN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI UNPAD DARI TAHUN 2002 -2012 DAN LAMA WAKTU PERAWATAN ORTODONTI(2013-01-17) ANISSA OLIVIA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPrevalensi maloklusi sangat berhubungan dengan penilaian kebutuhan perawatan ortodonti, dimana masyarakat peduli terhadap lama waktu perawatan yang diperlukan. Apakah prevalensi maloklusi dan lama waktu perawatan dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Angle, skeletal dan dentoskeletal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi maloklusi pasien ortodonti di Klinik PPDGS Ortodonti Universitas Padjadjaran dari tahun 2002-2012 dengan menggunakan klasifikasi Angle, skeletal dan dentoskeletal serta mengetahui lama waktu perawatannya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan analitik komparatif, melibatkan dari 590 populasi diperoleh 361 sampel yang terdiri dari 65 laki-laki dan 296 perempuan yang telah selesai dirawat ortodonti di Klinik PPDGS Ortodonti FKG UNPAD dengan alat cekat. Klasifikasi maloklusi ditentukan dari catatan rekam medis, foro sefalometri, foto intra oral dan model studi pasien. Lama perawatan dimulai dari pemasangan breket sampai dengan debonding. Analisis statistik ANOVA yang digunakan untuk melihat perbedaan lama waktu perawatan pada maloklusi dentoskeletal dan dental menunjukan perbedaan yang bermakna dengan p-value <0,05. Simpulan penelitian ini adalah prevalensi maloklusi di klinik PPDGS Ortodonti FKG UNPAD, yang paling tinggi persentasenya pada klasifikasi Angle, skeletal dan dentoskeletal adalah maloklusi kelas I. Untuk lama waktu perawatan tertinggi pada maloklusi dentoskeletal adalah pada skeletal kelas I dental kelas II dan pada klasifikasi Angle yang tertinggi pada kelas I tipe 1,2,3,4,5.Item ANALISA RADIOGRAF PANORAMIK DIGITAL UNTUK MENILAI KERAPATAN TRABEKULA TULANG MANDIBULA WANITA PASCA MENOPAUSE PADA AREA FORAMEN MENTALE(2013-01-17) KURNIA EFFENDI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Trabekula merupakan tulang tipis yang bercabang-cabang membentuk jaring di dalam rongga sumsum. Gambaran radiografi trabekula mandibula dapat dilihat menggunakan alat radiografi panoramik digital. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah gambaran radiograf panoramik digital dapat memberikan informasi mengetahui diagnosa osteoporosis secara dini pada wanita pascamenopause usia antara 50 – 80 tahun. Metode penelitian ini adalah deskripsi sederhana. Penelitian dilakukan pada radiograf panoramik digital di daerah sekitar foramen mentale wanita pasca menopause usia antar 50 – 80 tahun dengan jumlah sampel sebanyak 30 sampel. Data tersebut dicatat, dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel. Hasil penelitian didapatkan persentase bahwa 67,3 % wanita pasca menopause dengan keadaan normal dan 36,7 % wanita pasca menopause dengan keadaan osteoporosis. Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa dari hasil analisa gambaran radiograf panoramik digital tulang mandibula, pada area foramen mentale wanita pasca menopause, dapat menilai kerapatan trabekula, yang mana hal tersebut dapat memberikan informasi tentang keadaan kualitas dan kuatitas tulang, yaitu apabila jumlah trabekula meningkat dikarenakan putusnya percabangan trabekula dan menipisnya ketebalan trabekula, maka kualitas tulang terjadi penurunan atau dengan kata lain wanita pasca menopause tersebut mengalami osteoporosis.Item ANALISIS DISTRIBUSI TEGANGAN PADA TULANG ALVEOLAR PENDUKUNG GIGI TIRUAN FLEKSIBEL BERUJUNG BEBAS BILATERAL RAHANG BAWAH MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA TIGA DIMENSI(2013-01-20) RICCA CHAIRUNNISA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL) fleksibel terbuat dari bahan resin nilon termoplastik, yang mempunyai keuntungan fisis dan mekanis, yaitu estetis, kuat, akurat, biokompatibel dan nyaman. Penggunaan GTSL fleksibel pada kasus berujung bebas masih menjadi kontradiksi. Distribusi tegangan pada tulang alveolar di bawah GTSL fleksibel berujung bebas belum diketahui dengan jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah distribusi tegangan pada tulang alveolar pendukung GTSL fleksibel berujung bebas merata atau tidak. Penelitian menggunakan analisis metode elemen hingga tiga dimensi, diawali dengan pembuatan geometri rahang dan GTSL fleksibel dari hasil CT-scan. Kemudian dilakukan meshing, penentuan kondisi batas, pemberian sifat material dan selanjutnya dilakukan simulasi beban. Hasil penelitian menunjukkan terdapat konsentrasi tegangan pada tulang kortikal regio molar pertama sebesar: 9,6 MPa; 28,9 MPa; 48,1 MPa; 67,5 MPa; 86,4 MPa pada simulasi beban vertikal 50 N; 150 N; 250 N; 350 N; 450 N secara berurutan. Sedangkan pada simulasi beban lateral terjadi konsentrasi tegangan sebesar 8,0 MPa; 23,8 MPa; 39,6 Mpa; 56,4 MPa; dan 88,7 MPa untuk beban 50 N; 150 N; 250 N; 350 N; dan 450 N secara berurutan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa distribusi tegangan pada tulang alveolar pendukung GTSL fleksibel berujung bebas bilateral tidak merata. Nilai tegangan maksimum yang terjadi pada tulang alveolar pendukung GTSL fleksibel berujung bebas bilateral masih jauh di bawah nilai kekuatan tulang. ABSTRACT Flexible removable partial dentures (RPDs) are made of thermoplastic nylon resin, which have superior mechanical and physical benefit, such as: aesthetic, durable, accurate, biocompatible and comfortable. The use of flexible RPDs in free-end cases is still a contradiction. The stress distribution of alveolar bone supporting flexible RPDs remains unclear. The purpose of this study is to examine wether the stress distribution of alveolar bone beneath the distal extension flexible RPD occurs evenly. The research was done using three dimensional finite element method analysis, began with creation of the jaw and flexible RPD geometry from the CT-scan images, continued with mesh and boundary creation, material properties provision and loading simulation. The results showed that there were stress concentrations on the first molar region of the cortical bone at 9.6 MPa; 28.9 MPa; 48.1 MPa; 67.5 MPa; 86.4 MPa for vertical load simulation of 50 N, 150 N, 250 N, 350 N, 450 N, respectively. While in the simulation of lateral load, the stress concentrations occured at 8.0 MPa; 23.8 MPa; 39.6 MPa, 56.4 MPa; 88.7 MPa of 50 N, 150 N, 250 N, 350 N, and 450 N loading respectively. The results of this study concluded that the stress distribution of alveolar bone supporting bilateral free-end flexible RPD was uneven. The maximum stress occured in the alveolar bone supporting bilateral free-end flexible RPD was still under the mechanical strength of the alveolar bone.Item PERBANDINGAN DISAIN PREPARASI INCISAL BUTT-JOINT DAN INCISAL OVERLAP TERHADAP KETAHANAN FRAKTUR VENEER KERAMIK LAMINASI(2013-01-21) CHRISTIE RIZKI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenTerdapat perbedaan pendapat mengenai disain preparasi yang menutupi bagian insisal gigi terhadap ketahanan fraktur veneer keramik laminasi. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan disain preparasi incisal butt-joint dan incisal overlap terhadap ketahanan fraktur veneer keramik laminasi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan menggunakan sampel 12 gigi insisif sentral rahang atas yang memenuhi kriteria, yang dibagi dalam dua kelompok. Sampel kelompok pertama dipreparasi dengan disain preparasi incisal butt-joint dan kelompok kedua dipreparasi dengan disain preparasi incisal overlap, kemudian dibuat restorasi veneer keramik laminasi dan disemenkan pada gigi yang telah dipreparasi. Pada semua sampel dilakukan uji tekan. Hasil uji tekan dianalisis memakai uji t-student. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok disain preparasi incisal butt-joint dan kelompok disain preparasi incisal overlap. Rata-rata gaya pada kelompok disain preparasi incisal butt-joint sebesar 513,05 Newton (N) dengan standar deviasi 81,928 N, sedangkan pada kelompok disain preparasi incisal overlap sebesar 433,16 N dengan standar deviasi 69,462 N. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketahanan fraktur veneer keramik laminasi dengan disain preparasi incisal butt-joint lebih tinggi dibandingkan dengan disain preparasi incisal overlap. The incisal coverage preparation design toward fracture resistance of ceramic laminate veneer is still in contradiction. The purpose of this study is to compare fracture resistance of ceramic laminate veneer with incisal butt-joint and incisal overlap preparation design. The study was a laboratory experimental study. It was using 12 upper central incisors that met the criteria in the study. All specimens were divided into two experimental groups. The first group sample prepared using incisal butt-joint preparation design and the second group prepared using incisal overlap preparation design. After the preparation were completed, ceramic laminate veneer restorations were made and cemented to the prepared teeth. All samples were tested with compressive test. The results were analyzed using t-student test. Statistical analysis revealed a significant difference between the incisal butt-joint preparation design group and incisal overlap preparation design group. The mean load in the incisal butt-joint group was 513,05 Newton (N) with a 81,928 N standard deviation, while the incisal overlap group showed a value of 433,16 N with a 69,462 N standard deviation. The results of this study concluded that the fracture resistance of the ceramic laminate veneer with incisal butt-joint preparation design was higher than incisal overlap preparation design.Item ANALISIS DISTRIBUSI TEGANGAN PADA TULANG ALVEOLAR DARI IMPLAN GIGI DENGAN RESTORASI TUNGGAL DAN JEMBATAN MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA TIGA DIMENSI(2013-01-21) SRI WAHYUNINGSIH RAIS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Ada bermacam-macam kasus kehilangan gigi yang dapat ditangani dengan menggunakan implan, salah satunya dengan menggunakan restorasi tunggal ataupun jembatan. Tujuan penelitian adalah mengetahui apakah ada perbedaan distribusi tegangan pada tulang alveolar dari implan gigi dengan restorasi tunggal dan jembatan. Metode penelitian menggunakan metode elemen hingga tiga dimensi, yang terdiri dari tahap preprocessing, solution/solving, dan post processing. Penelitian dilakukan dengan mengamati pola distribusi, serta menilai tegangan tarik dan tegangan tekan pada tulang alveolar dari implan yang menyangga restorasi tunggal dan jembatan dengan pemberian beban arah vertikal maupun lateral sebesar 200 N. Hasil penelitian didapat nilai distribusi tegangan maksimal pada arah vertikal terhadap restorasi tunggal yaitu: tegangan tarik (20 MPa), dan tegangan tekan (30 MPa). Sedangkan restorasi jembatan: tegangan tarik (20 MPa), dan tegangan tekan (25 MPa). Nilai distribusi tegangan maksimal pada arah lateral terhadap restorasi tunggal yaitu: tegangan tarik (40 MPa), dan tegangan tekan (30 MPa). Sedangkan restorasi jembatan; tegangan tarik (40 MPa), dan tegangan tekan (50 MPa). Simpulan dari penelitian ini adalah distribusi tegangan yang terjadi pada tulang alveolar dari implan yang menyangga restorasi tunggal maupun jembatan, baik dalam arah beban vertikal maupun lateral, memiliki nilai lebih rendah dari tegangan tarik dan tekan tulang alveolar. Kata Kunci: implan gigi, tulang alveolar, tegangan tarik, tegangann tekan, metode elemen hingga tiga dimensi. ABSTRAC There are various cases of missing teeth that can be restoration with implants, one with a single or bridge restoration. The research objective was to determine whether there are differences in the stress distribution in the alveolar bone of dental implants with a single and bridge restorations. The research method using three-dimensional finite element method, which consists of preprocessing stage, solution / solving, and post processing. The study was conducted by observing the pattern of distribution, as well as assessing the tensile stress and compressive stress in the alveolar bone supporting the restoration of single implants and bridges by providing vertical and lateral loads of 200 N. The results obtained maximum value of the stress distribution in the vertical direction to a single restoration are: tensile stress (20 MPa), and compressive stress (30 MPa). While the restoration of the bridge: tensile stress (20 MPa), and compressive stress (25 MPa). Maximum value of the stress distribution in the lateral direction for a single restoration are: tensile stress (40 MPa), and compressive stress (30 MPa). While the restoration of bridges; tensile stress (40 MPa), and compressive stress (50 MPa). The conclusions of this study is the distribution of stress that occurs in the alveolar bone supporting the restoration of a single implant or bridge, in both vertical and lateral load direction, has a value lower than the tensile stress and compressive stress alveolar bone. Keywords: dental implants, alveolar bone, tensile stress, compressive stress, three-dimensional finite element method.Item PERBANDINGAN KEKUATAN LEKAT SEMEN ZINC PHOSPHATE DENGAN SEMEN RESIN SELF ADHESIVE SEBAGAI BAHAN SEMENTASI PASAK FIBER(2013-01-21) SETYAWAN BONIFACIUS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPenggunaan pasak fiber mulai populer di kalangan praktisi dokter gigi karena beberapa kelebihannya. Sesuai dengan tujuan penggunaan pasak yaitu memberikan retensi bagi restorasi koronalnya, maka diperlukan juga suatu semen yang mampu memberikan daya lekat yang baik. Semen resin konvensional sudah lama diperkenalkan sebagai sebagai bahan sementasi pilihan untuk pasak fiber akan tetapi penggunaannya sangat rumit sehingga memungkinkan terjadinya kegagalan perlekatan pasak fiber yang disebabkan kesalahan prosedur penyemenan. Penelitian ini bertujuan membandingkan kekuatan lekat semen zinc phosphate (Elite Cement 100, GC Japan) dan semen resin self adhesive (Breeze, Pentron, USA) sebagai bahan sementasi pasak fiber (FiberKleer 4X, Pentron, USA), karena kedua bahan semen ini mudah penggunaannya dan harganya relatif murah. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 20 buah gigi yang dibagi dalam 2 kelompok, Kelompok 1 menggunakan semen zinc phosphate dan Kelompok 2 menggunakan semen resin self adhesive. Nilai kekuatan lekat rata-rata kelompok 1 (zinc phosphate) adalah 82,65 N, sedangkan untuk kelompok 2 (resin self adhesive) adalah 402,81 N. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kekuatan lekat semen resin self adhesive sebagai bahan sementasi pasak fiber lebih tinggi dari pada kekuatan lekat semen zinc phosphate.Item Perbedaan Kualitas Hidup Sebelum Dan Sesudah Pemakaian Gigi Tiruan Lengkap Akrilik Serta Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pada Lansiap(2013-01-21) KRISNADI SETIAWAN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPenggunaan gigi tiruan lengkap akrilik pada lanjut usia merupakan upaya yang dapat meningkatkan kualtas hidupnya. dalam aspek kesehatan gigi dan mulut, kualitas hidup merupakan penilaian subyektif tentang dampak penyakit atau gangguan pada gigi dan mulut terhadap dimensi fungsi, rasa nyeri dan psikososial. Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup lansia sebelum dan sesudah pemakaian gigi tiruan lengkap akrilik telah dilakukan pada duapuluh pasien di Instalasi Prostodonsia RSGM FKG UNPAD. penelitian analitik observasi ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kualitas hidup setelah pemakaian gigi tiruan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan kualitas hidup lansia sebelum dan sesudah pemakaian gigi tiruan lengkap akrilik sangat signifikan (z hitung= -4,07 dengan nilai p sebesar 0,0000238). hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara faktor usia, jenis kelamin, pendidikan dan penghasilan dengan kualitas hidup setelah pemakaian gigi tiruan lengkap akrilik.( W=0,954 dengan chi kuadrat hitung= 76,467) Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian gigi tiruan lengkap akrilik dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien lanjut usia.Item PERBANDINGAN PERGERAKAN RETRAKSI GIGI KANINUS MENGGUNAKAN POWER CHAIN DAN PEGAS KOIL TERTUTUP NiTi PADA PERAWATAN ORTODONTI DENGAN ALAT CEKAT STANDAR EDGEWISE(2013-04-10) YASMEINI CHITRA SARI PANE; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenRetraksi gigi kaninus dalam perawatan ortodonti dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam cara dan bahan. Power chain dan pegas koil tertutup merupakan beberapa bahan yang dapat digunakan untuk retraksi gigi kaninus. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pergerakan retraksi gigi kaninus pada rahang atas dan rahang bawah dengan menggunakan power chain atau pegas koil tertutup pada perawatan ortodonti dengan alat cekat standar edgewise. Penelitian ini adalah penelitian komparatif yang dilakukan dengan eksperimen semu melalui observasi selama 3x dalam waktu 4 minggu. Sampel pada penelitian ini adalah 15 orang pasien yang dirawat ortodonti dengan pencabutan 4 premolar pertama rahang atas dan rahang bawah. Seluruh pasien mendapat gaya awal untuk retraksi gigi kaninus pada rahang atas sebesar 70 gram dan pada rahang bawah 55 gram dan diaktivasi dalam interval 28 hari selama 3 kali aktivasintuk mengetahui pergerakan retraksi gigi kaninus dengan menggunakan pegas koil tertutup dan power chain pada gigi kaninus rahang atas dan rahang bawah Hasil penelitian di analisa menggunakan uji t-test dengan p<0,05 Simpulan dari penelitian ini adalah pegas koil tertutup dapat menutup ruang pada gigi lebih cepat dibandingkan power chain. Kata kunci : Retraksi gigi gigi kaninus, power chain, pegas koil tertutupItem EFEK GANGGUAN SENDI TEMPORO MANDIBULAR DENGAN GEJALA KLIKING TERHADAP PERFORMA MASTIKASI PADA ANAK USIA 12-15 TAHUN SUB RAS DEUTERO MELAYU(2013-04-11) HENRI HARTMAN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPostur tubuh yang lebih condong ke depan dapat menyebabkan gangguan sendi temporo mandibular (STM). Gangguan yang paling sering terjadi adalah berupa bunyi klik di sekitar sendi temporo mandibular pada saat membuka dan menutup mulut. Gangguan pada sendi temporo mandibular dapat menyebabkan ketidakseimbangan sistem mastikasi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efek gangguan sendi temporo mandibular dengan gejala kliking terhadap performa mastikasi. Metode penelitian menggunakan penelitian cross sectional tipe survei epidemologi. Subjek penelitian adalah anak usia 12-15 tahun Sub-ras Deutero Melayu di Kota Bandung. Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik multistage random sampling, dengan penentuan besarnya ukuran sampel berdasarkan sampel seadanya yang memenuhi kriteria penelitian dan diperoleh sebanyak 28 orang kelompok gangguan sendi temporo mandibular dengan gejala kliking(kelompok uji) serta 24 orang sebagai kelompok kontrol. Performa mastikasi dinilai melalui kemampuan subjek penelitian dalam menghancurkan artificial test food dengan 20x pengunyahan, dan dilakukan pemeriksaan nilai median particle size(MPS) serta nilai distribusi sebaran partikel(b). Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata MPS kelompok uji=3.0571,dengan SD=0.9990 memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol=2.28958, dengan SD=0.66838. Hasil uji nilai “t” memperlihatkan t-hitung=-3,20, lebih besar dibandingkan t-tabel=2,02, dan nilai p=0,0024 lebih kecil dari α=0,05 sehingga terlihat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok penelitian. Simpulan penelitian memperlihatkan bahwa gangguan STM dengan gejala kliking memberikan efek penurunan performa mastikasi.Item EFEK TINGGI SEPERTIGA BAWAH WAJAH PENDEK TERHADAP PERFORMA MASTIKASI BERDASARKAN OVERBITE PADA ANAK USIA 12-15 TAHUN SUB RAS DEUTERO MELAYU(2013-04-12) DIAN ANGGRAENI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenProporsi tinggi vertikal wajah dibagi menjadi tiga bagian dengan rasio normal 1:1:1. Proporsi wajah yang berhubungan dengan fungsi mastikasi adalah sepertiga bawah wajah. Tinggi sepertiga bawah wajah pendek umumnya disertai dengan deep bite dapat memberikan dampak lebih lanjut berupa gangguan sendi temporomandibular, bahkan disfungsi eustachian tube. Hal tersebut dapat mengganggu fungsi mastikasi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efek tinggi sepertiga bawah wajah pendek terhadap performa mastikasi berdasarkan overbite. Metode penelitian adalah cross sectional dengan tipe survei epidemiologi. Subjek penelitian anak usia 12-15 tahun Sub ras Deutero Melayu di kota Bandung. Teknik sampling menggunakan multistage random sampling dengan penentuan besarnya ukuran sampel berdasarkan sampel seadanya dan diperoleh 24 anak (kelompok 1) dengan tinggi wajah normal dan 27 anak dengan tinggi sepertiga bawah wajah pendek terdiri dari 11 anak overbite normal (kelompok 2), 16 anak deep bite (kelompok 3). Performa mastikasi diukur dengan 20 kali pengunyahan artificial test food kemudian dilakukan uji pengayakan. Nilai performa mastikasi dinyatakan dengan median particle size (MPS) dan distribusi sebaran partikel (b). Analisa uji ANOVA diperoleh MPS dengan Fhit = 5.56 dan pvalue = 0.0075, serta b dengan Fhit = 3.41 dan nilai pvalue = 0.0430 menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dilanjutkan uji T berkelompok MPS (pvalue = 0.0925) dan b (pvalue = 0.2076) antara kelompok 1 dan 2 menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. Sedangkan antara kelompok 1 dan 3 perbedaan MPS (pvalue = 0.0037 dan = 0,01) sangat signifikan dan perbedaan b (pvalue = 0.0141 dan = 0,05) signifikan. Simpulan penelitian ini adalah anak dengan tinggi sepertiga bawah wajah pendek yang disertai overbite normal tidak menurunkan performa mastikasi sedangkan deep bite menurunkan performa mastikasi.