Dermatologi dan Venereologi (Sp.)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Dermatologi dan Venereologi (Sp.) by Title
Now showing 1 - 10 of 10
Results Per Page
Sort Options
Item EFEK BAHAN TOPIKAL DENGAN KANDUNGAN BERBAGAI ANTIOKSIDAN TERHADAP INTENSITAS ERITEM DAN JUMLAH SUNBURN CELL PADA KULIT YANG DIINDUKSI SINAR ULTRAVIOLET B(2023-01-10) GABRIELA REGINATA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPajanan sinar ultraviolet B (UVB) menghasilkan reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan efek merugikan seperti sunburn, photoaging, dan kanker kulit. ROS dapat merusak membran fosfolipid dan menyebabkan inflamasi yang bermanifestasi eritem di kulit. ROS dapat pula menyebabkan terbentuknya sunburn cell, yaitu keratinosit yang mengalami apoptosis dan tampak sebagai sel berinti piknotik padat, serta sitoplasma eosinofilik mengerut yang menandakan kerusakan kulit akibat UVB. Salah satu upaya fotoproteksi untuk mengurangi efek merugikan UVB ialah penggunaan antioksidan yang merupakan bahan fotoprotektif sekunder yang bekerja mencegah atau memperbaiki kerusakan akibat ROS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek bahan topikal dengan kandungan berbagai antioksidan terhadap intensitas eritem dan jumlah sunburn cell pada kulit yang diinduksi sinar UVB. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental tersamar ganda pada sebelas individu sehat untuk mengetahui efek bahan topikal dengan kandungan gluconolactone, hyaluronic acid, allantoin, ferulic acid, acetyl heptapeptide, silver vine extract, ectoine, dan hydroxyectoine terhadap intensitas eritem dan jumlah sunburn cell pada kulit yang diinduksi sinar UVB dibandingkan vehikulum. Pada satu orang peserta penelitian ditentukan tiga area, yaitu area uji, area vehikulum, dan area tanpa perlakuan sebagai kontrol pada kulit punggung bawah. Penyinaran dengan dosis 1x minimal erythema dose (MED) sampai dengan 5x MED dilakukan pada area uji dan area vehikulum. Intensitas eritem dinilai menggunakan spektrofotometer pada area uji dan area vehikulum dengan dosis penyinaran 1x MED, 2x MED, 3x MED, 4x MED, 5x MED, serta area kontrol. Sunburn cell dihitung dari sediaan biopsi kulit area uji dan area vehikulum dengan dosis penyinaran 5x MED, serta area kontrol dengan pewarnaan hematoxylin-eosin. Peserta penelitian terdiri dari sembilan laki-laki dan dua perempuan berusia 24‒56 tahun, tipe kulit Fitzpatrick III dan IV, serta rentang MED 70‒90 mJ. Hasil penelitian didapatkan rerata intensitas eritem dengan dosis penyinaran 1x MED, 2x MED, 3x MED, 4x MED, dan 5x MED pada area uji berturut-turut 10,55, 13,04, 13,67, 14,88, dan 15,12, serta pada area vehikulum berturut-turut 11,76, 13,52, 14,74, 15,04, dan 15,38. Rerata intensitas eritem lebih tinggi secara signifikan pada area vehikulum dibandingkan area uji pada dosis penyinaran 1x MED, 2x MED, 3x MED (p≤0,05), tetapi pada dosis penyinaran 4x MED dan 5x MED tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,05). Median jumlah sunburn cell pada area uji 37,54 sel/mm2 dan area vehikulum 36,17 sel/mm2 dengan perbedaan tidak signifikan (p>0,05). Simpulan penelitian, bahan topikal dengan kandungan berbagai antioksidan di atas memberikan efek proteksi terhadap timbulnya eritem pada dosis penyinaran 1x MED, 2x MED, dan 3x MED, tetapi tidak pada dosis penyinaran 4x MED dan 5x MED. Efek proteksi terhadap jumlah sunburn cell di kulit pada dosis penyinaran 5x MED tidak ada perbedaan antara antioksidan topikal dan vehikulum.Item Efek Bahan Topikal Dengan Kandungan Berbagai Antioksidan Terhadap Ekspresi Thymine Dimer Dan Protein P53 Pada Kulit Yang Diinduksi Sinar Ultraviolet B(2024-01-12) ANNISA FEBRIEZA ZULKARNAEN; Kartika Ruchiatan; Hermin Aminah UsmanReactive oxygen species (ROS) yang terbentuk akibat pajanan sinar ultraviolet B (UVB) menyebabkan kerusakan oksidatif pada basa DNA. Kerusakan oksidatif pada basa DNA menghasilkan photoproduct thymine dimer yang menyebabkan aktivasi dari p53. P53 merupakan protein tumor supresor yang menginduksi proses apoptosis dan menyebabkan terbentuknya sunburn. Fotoproteksi dengan menggunakan antioksidan diperlukan untuk melindungi kulit dari sinar UVB. Penggunaan antioksidan merupakan salah satu upaya fotoproteksi untuk mencegah terjadinya kerusakan oksidatif pada sel kulit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek bahan topikal yang mengandung berbagai jenis antioksidan terhadap ekspresi thymine dimer dan p53 pada kulit yang diinduksi sinar UVB. Penelitian ini merupakan uji eksperimental tersamar ganda pada sebelas individu sehat secara purposive sampling untuk mengetahui efek bahan topikal dengan kandungan gluconolactone, hyaluronic acid, acetyl heptapeptide, allantoin, ferulic acid, silver vine extract, ectoine, dan hydroxyectoine terhadap ekspresi thymine dimer dan p53 pada kulit yang diberikan sinar UVB dibandingkan vehikulum. Pada satu orang subjek penelitian ditentukan tiga area, yaitu area uji, area vehikulum, dan area tanpa perlakuan pada kulit punggung bawah. Subjek penelitian dioleskan masing-masing 30 tetes bahan uji dan bahan vehikulum pada area punggung bawah selama empat hari. Penyinaran 1‒5x minimal erythema dose (MED) dengan nilai MED 70‒90 mJ pada hari terakhir pengolesan dan biopsi jaringan kulit pada area yang disinari 5x MED sehari setelahnya. Ekspresi thymine dimer dan p53 dihitung dari sediaan biopsi kulit area uji dan area vehikulum dengan dosis penyinaran 5x MED, serta area tanpa perlakuan dengan pewarnaan imunohistokimia dan kemudian dilakukan penghitungan jumlah sel/mm. Hasil penelitian yang dilakukan pada sembilan laki-laki dan dua perempuan, berusia 24-56 tahun, tipe kulit Fitzpatrick III dan IV, serta rentang MED 70‒90 mJ, didapatkan ekspresi thymine dimer dan p53 lebih rendah secara signifikan pada area uji yang menggunakan kombinasi beberapa antioksidan tersebut dibandingkan dengan vehikulum. Jumlah rerata thymine dimer pada area uji dan vehikulum yaitu masing-masing 62,02±22,233 dan 135,39±43,116. Median ekspresi thymine dimer untuk area uji dan vehikulum masing-masing 59,69 dan 134,77. Jumlah rerata p53 pada area uji dan area vehikulum masing-masing sebanyak 9,94 ± 6,226 dan 29,59 ± 9,666, median ekspresi p53 untuk area uji dan vehikulum masing-masing 7,49 dan 28,64. Hasil penelitian menunjukkan adanya efek proteksi yang signifikan (p≤0,05). Simpulan dari penelitian ini adalah bahan topikal dengan kandungan antioksidan gluconolactone, hyaluronic acid, allantoin, ferulic acid, acetyl heptapeptide, silver vine extract, ectoine, dan hydroxyectoine memiliki efek proteksi dengan mengurangi ekspresi thymine dimer dan p53 di kulit yang diinduksi sinar UVB pada dosis penyinaran 5x MED. Kata kunci: antioksidan, p53, sinar ultraviolet B, thymine dimerItem Efektivitas dan Efek Samping Kombinasi Sabun Sulfur 8% dan Aloe vera sebagai Terapi Ajuvan Sampo Ketokonazol 2% Dibandingkan Monoterapi Sampo ketokonazol 2% pada Pasien Pitiriasis Versikolor(2024-01-12) NADIA OCTAVIA; Risa Miliawati; Hendra GunawanKetokonazol masih menjadi baku emas antifungal topikal untuk tata laksana pitiriasis versikolor (PV). Sulfur merupakan terapi topikal PV nonspesifik dengan efek keratolitik. Ketokonazol dan sulfur memiliki berbagai efek samping seperti kulit kering, gatal, rasa terbakar, dan kemerahan. Aloe vera (A. vera) merupakan bahan herbal dengan kandungan acemannan yang memiliki efek humektan sehingga meningkatkan kadar air di stratum korneum. Kombinasi sabun sulfur 8% dan A. vera dapat meningkatkan penetrasi sampo ketokonazol ke dalam stratum korneum, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas, dengan efek samping yang minimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan efek samping kombinasi sabun sulfur 8% dan A. vera sebagai terapi ajuvan sampo ketokonazol 2% dibandingkan monoterapi sampo ketokonazol 2% pada pasien PV. Penelitian ini merupakan suatu penelitian klinis, analitik, desain eksperimental open-label trial, dengan metode simple randomization. Peserta penelitian merupakan pasien PV di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung, yang terdiri dari 42 peserta penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dibagi menjadi dua kelompok (A dan B) yang masing-masing berjumlah 21 orang. Kelompok A diberi kombinasi sabun sulfur 8% dan A. vera dua kali per hari selama empat minggu ditambah sampo ketokonazol 2% satu kali per hari, tiga kali per minggu pada minggu pertama. Kelompok B diberi bland soap dua kali per hari selama empat minggu ditambah sampo ketokonazol 2% satu kali per hari, tiga kali per minggu pada minggu pertama. Evaluasi dilakukan pada hari ke-7, 14, 21, dan 28 yang meliputi pemeriksaan klinis dan mikologis, serta efek samping berdasarkan pemeriksaan klinis, nilai hidrasi kulit, dan pH kulit. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini yaitu uji Friedman, Mann Whitney, Chi square, Exact Fisher, Kolmogorov-Smirnov, dan T tidak berpasangan. Hasil penelitian ini menunjukkan pada kelompok A terdapat perbaikan klinis yang lebih baik secara signifikan berupa penurunan derajat pruritus dan skuama dibanding kelompok B pada hari ke-7 dan 14 (p 0,05. Efek samping berupa gatal, kulit kering, rasa terbakar, dan kemerahan lebih rendah secara signifikan pada kelompok A dibanding kelompok B di hari ke-7 dan 14 (p < 0,05). Pada hari ke-7, 14, 21, dan 28, rerata nilai hidrasi kulit kelompok A lebih tinggi secara signifikan dibanding kelompok B (p < 0,05), tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan mengenai pH kulit pada kedua kelompok. Simpulan penelitian ini ialah kombinasi sabun sulfur 8% dan A. vera sebagai terapi ajuvan sampo ketokonazol 2% lebih efektif secara klinis dan mikologis, memiliki efek samping lebih sedikit, dan hidrasi kulit lebih baik dibandingkan dengan monoterapi sampo ketokonazol 2% pada pasien PV. Kombinasi sabun sulfur 8% dan A. vera dapat direkomendasikan sebagai terapi ajuvan sampo ketokonazol 2% pada pasien PV.Item GAMBARAN MIKROBIOMA USUS PADA PASIEN DERMATITIS ATOPIK USIA ANAK(2024-01-15) KESHIA AMALIA MIVINA MUDIA; Reiva Farah Dwiyana; Tidak ada Data DosenDermatitis atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat kronis dan berulang, terutama mengenai bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh multifaktor. Patogenesis DA diduga berkaitan dengan ketidakseimbangan mikrobioma usus yang dapat menyebabkan disregulasi sistem imun. Berbagai genus dan spesies yang ditemukan pada anak DA maupun anak sehat berbeda-beda di tiap etnis dan negara. Penelitian mikrobioma usus pada DA hingga tingkat spesies jarang dilaporkan. Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang menggambarkan mikrobioma usus pasien DA pada anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mikrobioma usus pada pasien DA usia anak. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif secara potong lintang. Peserta penelitian adalah 20 anak usia 4 hingga <18 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, terdiri dari 13 anak DA dan 7 anak sehat yang berkunjung ke Klinik Dermatologi Anak Poliklinik Dermatologi dan Venereologi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dan Klinik Tivaza Bandung periode Juli–Desember 2022. Ekstraksi DNA dari sampel feses dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung dan sequencing serta analisis bioinformatika dilakukan di Erasmus MC, Rotterdam, Belanda. Hasil penelitian ini adalah genus Prevotella, Megamonas, dan Faecalibacterium, serta spesies Megamonas funiformis, Faecalibacterium prausnitzii, dan Prevotella copri, merupakan mikrobioma usus yang terbanyak pada anak sehat. Mikrobioma usus yang paling banyak pada pasien DA anak terdiri dari genus Prevotella, Bacteroides, dan Faecalibacterium, serta spesies Prevotella copri, Bacteroides vulgatus, dan Faecalibacterium prausnitzii. Genus Megamonas dan Ligilactobacillus hanya ditemukan pada anak sehat, sedangkan genus Agathobacter dan Alloprevotella hanya ditemukan pada anak DA berat. Genus Bacteroides ditemukan pada anak sehat dan DA berat, meskipun dengan spesies berbeda, yaitu Bacteroides plebeius pada anak sehat, sedangkan pada anak DA berat ditemukan Bacteroides vulgatus. Selain itu, beberapa genus dan spesies yang sama ditemukan baik pada anak sehat maupun anak DA. Diversitas mikrobioma usus pasien DA anak lebih rendah dibandingkan anak sehat. Simpulan penelitian ini adalah genus Agathobacter dan Alloprevotella serta spesies Bacteroides vulgatus pada anak DA belum pernah dilaporkan sebelumnya. Komposisi spesies pada anak sehat di penelitian ini belum pernah dilaporkan sebelumnya. Genus dan spesies tertentu dapat ditemukan pada anak sehat maupun anak DA. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut hingga tingkat subspesies untuk mengetahui peran strain tertentu.Item KARAKTERISTIK PASIEN, GAMBARAN KLINIS, DAN TATA LAKSANA MELASMA DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2014DESEMBER 2018(2020-01-22) CATHERINA JESSICA SUTANTOYO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenMelasma merupakan suatu penyakit hiperpigmentasi didapat yang ditandai dengan makul cokelat pada bagian tubuh yang terpapar sinar matahari, terutama wajah. Penyakit ini sering terjadi pada perempuan usia reproduktif, dan dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Hasil terapi masih belum memuaskan, diperlukan terapi jangka panjang. Data karakteristik pasien, gambaran klinis, dan tata laksana melasma diperlukan sebagai salah satu pertimbangan untuk menentukan kebijakan tata laksana melasma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran klinis, dan tata laksana melasma di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) rumah sakit umum pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini merupakan studi deskriptif secara retrospektif menggunakan data sekunder berupa rekam medis, untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran klinis, dan tata laksana melasma di Klinik Divisi Dermatologi Kosmetik Departemen IKKK RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode 2014 hingga 2018. Hasil penelitian, didapatkan 230 pasien melasma, yang terdiri dari 222 perempuan (96,5%) dan 8 laki-laki (3,5%) dengan rerata usia 46,0 tahun. Pasien berpendidikan terakhir terbanyak setingkat SMA, pekerjaan terbanyak adalah mengurus rumah tangga, dan berasal dari suku Sunda. Faktor etiologi yaitu paparan sinar matahari (100%), riwayat keluarga dengan melasma (44,8%), dan perubahan hormonal (40,9%). Awitan melasma terbanyak pada rentang usia >40-50 tahun (46,1%) dengan durasi sakit >5 tahun (37,4%). Karakteristik lesi melasma, warna lesi tersering adalah coklat (38,7%) dengan pola distribusi tersering yaitu tipe malar (67%). Pada pemeriksaan lampu Wood, didapatkan tipe melasma paling sering tipe campuran (39,1%). Derajat keparahan berdasarkan skor MASI paling banyak termasuk kategori ringan (98,3%). Seluruh pasien mendapatkan terapi tabir surya dan terapi topikal, terbanyak berupa kombinasi hidrokuinon dan tretinoin. Sebanyak 49 orang (21,3%) mendapatkan tambahan tindakan berupa pengelupasan kimia. Pada kunjungan kedua dan ketiga didapatkan perbaikan dengan kategori ringan, sedangkan pada kunjungan keempat dan kelima kategori sedang. Simpulan penelitian ini, pasien melasma terbanyak adalah wanita, rerata usia 40,6 tahun. Awitan melasma terbanyak pada rentang usia >40-50 tahun, terbanyak dengan pola distribusi malar, serta tipe campuran epidermal dan dermal. Faktor etiologi tersering yaitu paparan sinar matahari. Derajat keparahan terbanyak kategori ringan. Seluruh pasien mendapat tabir surya dan terapi topikal, paling banyak berupa kombinasi hidrokuinon dan tretinoin. Perbaikan kategori sedang didapatkan pada kunjungan keempat dan kelima.Item Kesesuaian Antara Pemeriksaan Lateral Flow Immunoassay Dengan Pewarnaan Gram Untuk Mendiagnosis Uretritis dan Servisitis Gonore(2023-10-10) ANNISA SUNDANI; Pati Aji Achdiat; Risa MiliawatiGonore merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Pewarnaan Gram merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis gonore yang saat ini digunakan di layanan kesehatan di Indonesia. Namun, pemeriksan ini memerlukan alat laboratorium dan tenaga ahli. Diperlukan pemeriksaan alternatif yang tidak memerlukan hal tersebut tetapi memiliki kesesuaian dengan pewarnaan Gram untuk mendiagnosis uretritis dan servisitis gonore. Salah satu point of care testing (POCT) yang dikembangkan untuk mendiagnosis gonore adalah lateral flow immunoassay (LFIA). Alat ini bekerja dengan prinsip mendeteksi antigen Neisseria gonorrhoeae yang akan terbaca pada garis alat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian antara pemeriksaan LFIA dengan pewarnaan Gram untuk mendiagnosis uretritis dan servisitis gonore. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan potong lintang dan pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purposive sampling. Analisis statistik kesesuaian antara LFIA dan pewarnaan Gram menggunakan uji koefisien Kappa. Peserta penelitian adalah 98 orang yang terdiri dari 49 laki-laki dan 49 perempuan. Setiap jenis kelamin terdiri dari 25 peserta uretritis atau servisitis gonore dan 24 peserta uretritis atau servisitis non gonore yang didiagnosis berdasarkan pewarnaan Gram. Tempat penelitian adalah di beberapa fasilitas tingkat pertama di Kota Bandung selama bulan Februari hingga Mei 2023 dan seluruh peserta telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada peserta penelitian dilakukan anamnesis, pemeriksaan venereologis, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan LFIA dari sampel uretra laki-laki atau endoserviks. Hasil penelitian ini didapatkan 15 hasil LFIA positif dari 25 peserta uretritis gonore yang didiagnosis berdasarkan pewarnaan Gram dan 1 hasil LFIA positif dari 25 peserta servisitis gonore yang didiagnosis berdasarkan pewarnaan Gram. Kesesuaian pemeriksaan LFIA dengan pewarnaan Gram untuk mendiagnosis uretritis gonore adalah didapatkan nilai Kappa 0,595, (95% CI 0,39–0,8), p 0,05 yang berarti tidak terdapat kesesuaian. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan LFIA dapat digunakan sebagai pemeriksaan alternatif untuk mendiagnosis uretritis gonore dari apusan uretra bila pewarnaan Gram tidak dapat dilakukan, tetapi alat LFIA ini tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis servisitis gonore.Item KORELASI ANTARA INTENSITAS SINAR ULTRAVIOLET-B DAN POLA MAKAN TINGGI VITAMIN D TERHADAP KADAR SERUM 25(OH)D PADA ANAK YANG TINGGAL DI DAERAH PANTAI(2023-10-10) ATIKA KAMILIA; Reiva Farah Dwiyana; Tidak ada Data DosenVitamin D memiliki banyak manfaat untuk kesehatan tubuh dan kulit. Sumber utama vitamin D berasal dari paparan sinar ultraviolet (UV)-B dan pola makan tinggi vitamin D. Indonesia merupakan negara yang sepanjang tahun mendapatkan paparan sinar UV yang cukup. Adanya perbedaan sudut jatuhnya sinar matahari pada permukaan bumi dapat berpengaruh dalam produksi vitamin D pada kulit. Oleh karena itu, nilai kadar serum 25-hidroksi vitamin D (25(OH)D) masih bervariasi pada individu yang tinggal di daerah pantai. Selain itu, kekurangan vitamin D masih dapat terjadi pada individu yang mengonsumsi makanan tinggi vitamin D. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai korelasi intensitas sinar UV-B dan pola makan tinggi vitamin D terhadap kadar serum 25(OH)D, terutama pada anak yang tinggal di daerah pantai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara intensitas sinar UV-B serta pola makan tinggi vitamin D terhadap kadar serum vitamin D pada anak yang tinggal di daerah pantai. Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional secara potong lintang yang bersifat prospektif pada 50 anak sehat yang tinggal di daerah pantai. Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Pangandaran, Jawa Barat. Sampel darah diambil untuk pengukuran kadar serum 25(OH)D; pengukuran intensitas sinar UV-B dilakukan dengan menggunakan UV meter merek UVP UVX Radiometer®; pola makan tinggi vitamin D diukur dengan menggunakan Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ) yang telah divalidasi dan dimodifikasi yang berisi: daftar makanan, minuman, dan suplemen yang mengandung vitamin D, serta frekuensi makan subjek penelitian. Hasil pengukuran kadar serum 25(OH)D menunjukkan defisiensi vitamin D pada 10 subjek penelitian (20%), insufisiensi vitamin D pada 28 subjek penelitian (56%), dan sufisiensi vitamin D pada 12 subjek penelitian (24%). Pengukuran pola makan tinggi vitamin D menunjukkan pola makan cukup pada 38 subjek penelitian (76%) dan kurang pada 12 subjek penelitian (24%). Pengukuran intensitas sinar UV-B menunjukkan intensitas sinar UV-B memiliki rentang 6,91¬–7,31 mJ/cm2, dengan rerata intensitas sebesar 7,19±0,164 mJ/cm2. Rerata pada kelompok defisiensi vitamin D sebesar 7,09±0,189 mJ/cm2, pada insufisiensi vitamin D sebesar 7,22±0,149, dan pada sufisiensi vitamin D sebesar 7,23±0,152 mJ/cm2. Hasil analisis korelasi intensitas sinar UV-B terhadap kadar serum 25(OH)D pada penelitian ini menunjukkan adanya korelasi positif lemah dan tidak erat antara kedua variabel tersebut (p=0,004). Hasil analisis korelasi pola makan tinggi vitamin D terhadap kadar serum 25(OH)D pada penelitian ini menunjukkan adanya korelasi positif kuat antara kedua variabel tersebut (p=0,0001). Dari analisis multivariat pola makan (p=0,000) memiliki korelasi positif yang lebih kuat dibandingkan intensitas sinar UV-B (p=0,040) Simpulan penelitian ini, terdapat korelasi positif pada intensitas sinar UV-B dan pola makan tinggi vitamin D terhadap kadar serum 25(OH)D dan terdapat korelasi yang lebih kuat antara pola makan tinggi vitamin D dibandingkan intensitas sinar UV-B terhadap kadar serum 25(OH)D pada anak yang tinggal di daerah pantai.Item Korelasi Kadar Calcitonin GeneRelated Peptide Serum dengan Nilai Hidrasi Kulit, Transepidermal Water Loss, dan ph Kulit pada Pasien yang Terinfeksi Human Immunodeficiency Virus dengan Xerosis Kutis(2024-01-12) EVA YUSTIANA; Miranti Pangastuti; Pati Aji AchdiatInfeksi human immunodeficiency virus (HIV) menimbulkan disregulasi sistem imun dan kerusakan sel saraf di ganglia dorsalis yang akan menurunkan kadar calcitonin gene–related peptide (CGRP), yaitu suatu neuropeptida yang disekresikan pada saraf sensoris perifer yang menginervasi kulit. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan mikrosirkulasi yang menurunkan suplai nutrisi darah dan air ke kulit serta menimbulkan atrofi kelenjar keringat yang berakibat terjadinya gangguan fungsi sawar kulit. Adanya gangguan fungsi sawar kulit mencetuskan terjadinya xerosis kutis. Penilaian fungsi sawar kulit dapat dilakukan dengan pengukuran hidrasi kulit, transepidermal water loss (TEWL), dan pH kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi kadar CGRP serum dengan nilai hidrasi kulit, TEWL, dan pH kulit pada pasien yang terinfeksi HIV dengan xerosis kutis. Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional secara potong lintang terhadap 60 pasien terinfeksi HIV dengan xerosis kutis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemeriksaan hidrasi kulit, TEWL, dan pH kulit setiap peserta penelitian dilakukan dengan alat korneometer, tewameter, dan pH–meter. . Sampel darah diambil untuk pengukuran kadar CGRP serum dengan metode quantitative competitive menggunakan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini yaitu uji korelasi Spearman. Hasil pengukuran kadar CGRP serum menunjukkan penurunan pada peserta penelitian dengan rerata kadar CGRP serum 28,18±11,477 pg/ml. Rerata hidrasi kulit didapatkan sebesar 41,78±3,213 arbitrary units (a.u) yang menunjukkan nilai hidrasi kulit yang rendah dan TEWL sebagian besar peserta penelitian meningkat dengan rerata sebesar 10,69±2,700 g/m2/jam. Namun, nilai pH kulit sebagian besar peserta penelitian ini masih berada dalam rentang normal dengan rerata sebesar 5,53±0,541. Hasil analisis korelasi CGRP serum dengan hidrasi kulit menunjukkan adanya korelasi positif kuat (p=0,0001) serta korelasi CGRP dengan TEWL (p=0,0001) dan pH menunjukkan adanya korelasi negatif kuat (p=0,0001). Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa pasien terinfeksi HIV dengan xerosis kutis terjadi penurunan kadar CGRP serum. Makin rendah kadar CGRP serum, maka makin rendah nilai hidrasi kulit dan makin tinggi TEWL serta pH kulit. Penurunan kadar CGRP serum dapat menjadi penanda terjadinya kerusakan sistem saraf perifer sehingga dapat menyebabkan terjadinya xerosis kutis pada pasien terinfeksi HIV. ABSTRACT The human immunodeficiency virus (HIV) infection disrupts immune system regulation and causes damage to nerve cells in the dorsal ganglia, leading to a decrease in levels of calcitonin gene-related peptide (CGRP). CGRP is a neuropeptide released by peripheral sensory nerves that innervate the skin. This leads to microcirculatory disturbances, which reduce the supply of blood and water nutrients to the skin and cause atrophy of sweat glands, leading to impaired skin barrier function. The disruption of skin barrier function precipitates the occurrence of xerosis cutis. Evaluation of skin barrier function involves measuring parameters such as skin hydration, transepidermal water loss (TEWL), and pH levels. This study aimed to determine the correlation of serum CGRP levels with skin hydration, TEWL, and skin pH in HIV–infected patients with xerosis cutis. This study adopts a cross–sectional observational analytical approach, involving 60 HIV–infected patients with xerosis cutis who met the inclusion and exclusion criteria. Skin hydration, TEWL, and skin pH of each study participant were assessed using a corneometer, tewameter, and pH–meter. Blood samples were collected to measure serum CGRP levels using a quantitative competitive method with an enzyme–linked immunosorbent assay (ELISA). The statistical analysis used in this research is the Spearman correlation test. The results of serum CGRP level measurements indicate a decrease in all study subjects, with a mean serum CGRP level of 28.18±11.477 pg/ml. The mean skin hydration was 41.78±3.213 arbitrary units (a.u), indicating low skin hydration, and TEWL increased in the majority of study subjects with a mean of 10.69±2.700 g/m2/h. However, skin pH values for most study subjects remained within the normal range, with a mean of 5.53±0.541. The correlation analysis between serum CGRP and skin hydration revealed a strong positive correlation (p=0.0001), while the correlation between CGRP with TEWL and pH showed a strong negative correlation (p=0.0001). Based on the results of this study, it can be concluded that HIV–infected patients with xerosis cutis experience a decrease in serum CGRP levels. The decrease in CGRP level corresponds to a decline in skin hydration, an increase in TEWL, and an elevation in skin pH. The reduction in serum CGRP levels can serve as an indicator of peripheral nervous system damage, potentially leading to the occurrence of xerosis cutis in HIV–infected patients. Keywords: Calcitonin gene–related peptide, human immunodeficiency virus, xerosis cutisItem PENGARUH VITAMIN C TERHADAP EKSPRESI TUMOR NECROSIS FACTOR (TNF)-α PADA PROSES APOPTOSIS JALUR EKSTRINSIK LINI SEL MELANOMA B16-F10(2023-09-11) GHABRINA SARASWATI ELGIANDA; Ronny; Endang SutedjaMelanoma merupakan keganasan yang berasal dari melanosit, bersifat paling agresif, sering bermetastasis, dan menyebabkan kematian.Ketidakseimbangan kematian sel pada keganasan dapat menyebabkan resistensi obat hingga kegagalan pengobatan. Kematian sel merupakan proses biologis yang terprogram dan berperan penting dalam menyeimbangkan homeostasis jaringan. Proses tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu nekrosis, autofagi, dan apoptosis. Apoptosis merupakan kematian sel terprogram yang berlangsung cepat dan dikendalikan secara genetik. Apoptosis terdiri dari tiga jalur, yaitu intrinsik, ekstrinsik, dan perforin/granzim. Jalur ekstrinsik atau yang disebut jalur reseptor kematian dimulai dari rangsangan ekstraseluler ke sel yang dapat mengaktifkan sinyal reseptor kematian. Reseptor kematian ini akan berikatan dengan ligan kematian, salah satunya tumor necrosis factor (TNF)-α, dan selanjutnya membentuk protein adaptor. Protein ini kemudian mengaktifkan kaspase-8 dan kaspase-3 yang mengakibatkan apoptosis. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, vitamin C memiliki kemampuan untuk mencetuskan apoptosis dan sebagai terapi ajuvan melanoma. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh vitamin C terhadap ekspresi protein TNF-α pada proses apoptosis jalur ekstrinsik. Penelitian ini merupakan studi eksperimental in vitro yang diteliti secara kuantitatif menggunakan lini sel melanoma B16-F10 (ATCC® CRL-6475TM). Lini sel tersebut dikultur dan diberi perlakuan menggunakan vitamin C selama 12 dan 24 jam untuk mengetahui pengaruhnya terhadap proses apoptosis lini sel melanoma melalui ekspresi protein TNF-α. Kadar ekspresi protein tersebut dianalisis menggunakan metode in-cell western (ICW) assay. Ekspresi protein kaspase-3 juga diukur sebagai kontrol positif apoptosis dan jalur ekstrinsik. Penelitian dilakukan di Laboratorium Sentral Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Hasil gambaran mikroskopis lini sel melanoma memperlihatkan adanya perubahan morfologi, berkurangnya konfluensi, serta sel menjadi tidak viabel setelah 12 jam perlakuan. Hal ini menandakan adanya proses kematian sel setelah pemberian vitamin C. Berdasarkan uji statistik least significant difference (LSD), pada metode ICW assay terdapat perbedaan signifikan secara statistik pada ekspresi protein TNF-α antara sel yang diberi medium saja dengan sel yang diberi perlakuan vitamin C dosis 3.000 μM (p=0,005), 3.500 μM (p=0,0011), 4.000 μM (p=0,001), dan 5.000 μM (p=0,0001). Begitu pula dengan ekspresi kaspase-3 pada dosis vitamin c 3.000 μM (p=0,012) dan 5.000 μM (p=0,048). Simpulan penelitian ini, peningkatan ekspresi TNF-α dan kaspase-3 dapat menjadi bukti bahwa pemberian vitamin C pada lini sel melanoma B16-F10 berpengaruh terhadap terjadinya proses apoptosis jalur ekstrinsik, yaitu pada dosis 3.000 μM dan 5.000 μM.Item PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA TRANSPLANTASI AUTOLOGUS SUSPENSI SEL NONKULTUR OUTER ROOT SHEATH FOLIKEL RAMBUT DENGAN MINI PUNCH GRAFT PADA VITILIGO NONSEGMENTAL(2023-10-10) ELISABET RISUBEKTI LESTARI; Reiva Farah Dwiyana; Eva Krishna SutedjaVitiligo merupakan kelainan pigmentasi didapat akibat hilangnya melanosit yang ditandai dengan makul atau patch depigmentasi. Salah satu tipe dari penyakit ini adalah vitiligo nonsegmental (VNS). Hingga saat ini, belum terdapat terapi vitiligo dengan hasil yang memuaskan. Terapi vitiligo yang tersedia meliputi terapi medis, yaitu terapi topikal, sistemik, dan fototerapi serta tindakan bedah. Vitiligo stabil dan refrakter terhadap terapi medis merupakan indikasi tindakan bedah. Tindakan ini terdiri atas transplantasi jaringan dan seluler. Mini punch graft (MPG) merupakan teknik transplantasi jaringan yang paling sering dilakukan, sedangkan transplantasi seluler dari autologus suspensi sel nonkultur outer root sheath folikel rambut (ASSNK-ORSFR) yang mengandung sel punca melanosit, saat ini menjadi pilihan yang cukup menjanjikan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara transplantasi ASSNK-ORSFS dengan MPG terhadap pada VNS yang dinilai berdasarkan jumlah lesi VNS yang pertama kali mengalami repigmentasi berdasarkan waktu, jumlah total lesi VNS yang mengalami repigmentasi, luas area repigmentasi dan kesesuaian warna repigmentasi dengan kulit perilesi. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode eksperimen kuasi dan desain pretest-posttest. Pemilihan peserta penelitian dilakukan secara purposive sampling. Peserta penelitian adalah 21 orang pasien VNS. Pada setiap peserta penelitian dilakukan transplantasi ASSNK-ORSFS pada satu lesi vitiligo dan MPG pada lesi lainnya. Pengamatan pascatindakan dilakukan pada minggu ke-2, ke-4, ke-8, dan ke-16. Jumlah lesi VNS yang pertama kali mengalami repigmentasi berdasarkan waktu, total lesi VNS yang mengalami repigmentasi, dan kesesuaian warna repigmentasi dengan kulit perilesi akan dinilai dengan dermoskopi sedangkan luas area repigmentasi diukur dengan software ImageJ®. Pada minggu ke-16, efektivitas transplantasi ASSNK-ORSFR lebih unggul dibandingkan MPG berdasarkan: jumlah lesi VNS yang pertama kali mengalami repigmentasi berdasarkan waktu (minggu ke-4: 19% vs 0%, ke-8: 7% vs 14,3%, ke-16: 1% vs 4,8%, p=0,010), jumlah total lesi VNS yang mengalami repigmentasi ((71,4% vs 28,6%, p=0,004), dan luas area repigmentasi (90−100%: 14,3% vs 0% ; 50−74%: 0% vs 4,8% ; 0,1−49%: 57,1% vs 4,8%, p=0,013). Kesesuaian warna repigmentasi dengan kulit perilesi pada kedua tindakan tidak bermakna secara statistic (p=0,083). Komplikasi pascatindakan tampak pada resipien tindakan MPG berupa cobblestone (28,6%) Pola repigmentasi difus (28,6%), perifolikular (28,6%), marginal (9,5%), dan campuran (4,7%) tampak pada transplantasi ASSNK-ORSFR sedangkan pada MPG tampak pigment spread phenomenon (28,6%). Simpulan penelitian ini adalah efektivitas transplantasi ASSNK-ORSFR lebih baik dibandingkan MPG pada VNS.