Spesialis
Permanent URI for this community
Browse
Browsing Spesialis by Title
Now showing 1 - 20 of 168
Results Per Page
Sort Options
Item AKURASI KADAR D-DIMER DAN C-REAKTIF PROTEIN DALAM MEMPREDIKSI TERJADINYA PERFORASI PADA KASUS APPENDISITIS(2020-04-19) GEMA PUTRA LESMANA; Reno Rudiman; Rani SeptrinaABSTRAK Pendahuluan: Operasi appendektomi segera, sudah sejak lama direkomendasikan untuk dilakukan pada kasus appendisitis akut karena tingginya angka kemungkinan terjadinya perforasi. Insidensi appendisitis perforasi mencapai 4-16% dari total kasus appendicitis. D-Dimer sebagai produk primer degradasi fibrin ditemukan meningkat pada pasien appendisitis. CRP masih memberikan hasil yang berbeda dalam memprediksi appendisitis perforasi Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui seberapa besar akurasi D-Dimer dan CRP dalam memprediksi appendisitis peforasi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung 2019. Metode: Penelitian ini menggunakan desain observasional prospektif dengan pendekatan cross-sectional atau potong lintang. Populasi penelitian adalah semua pasien yang datang ke IGD Bedah/Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung periode September 2018 – September 2019 yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Pasien lalu akan diperiksa serum D-Dimer dan CRP preoperasi dan dilakukan pencatatan hasil durante operasi. Uji Chi-Square dilakukan pada penelitian ini dan data dianalisis menggunakan SPSS Versi 22.0 for windows pada taraf kepercayaan 95%. Nilai p bermakna bila p < 0,05 Hasil: Sampel yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 41 pasien, yang didiagnosis mengalami appendisitis berdasarkan Tzanakis Score, yang terdiri dari 17 pasien appendisitis akut dan 24 pasien appendisitis perforasi. Rata-rata umur pasien adalah 34,8 ± 13,8 Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki (24 pasien atau 58,5%). Area untuk ROC curve untuk D-Dimer 0.929. Dengan cut off point pada 0.51 mg/l untuk appendisitis perforasi sensitivitas 95.8%, spesifisitas 76.5%, nilai duga positif(PPV) 85.2%, nilai duga negatif(NPV) 92.9% dan akurasi 87.8%. Untuk CRP dengan cut off point pada 18.84 untuk appendisitis perforasi sensitivitas 58.3%, spesifisitas 94.1%, nilai duga positif(PPV) 93.3%, nilai duga negatif(NPV) 61.5% dengan akurasi 73.2%. Kesimpulan: Kadar D-Dimer dan CRP serum yang meningkat dapat digunakan dalam memprediksi terjadinya perforasi pada pasien appendicitis. Namun D-Dimer lebih baik dalam akurasi dalam memprediksi appendisitis perforasi dibandingkan CRP. Kata Kunci: D-Dimer, CRP, appendisitis akut, appendisitis perforasi ABSTRACT Introduction: Immediate appendectomy surgery has long been recommended for cases of acute appendicitis because of the highly likelihood of perforation. The incidence of perforated appendicitis reaches 4-16% of the total cases of appendicitis. D-Dimer as the primary product of fibrin degradation was found to be increased in appendicitis patients. CRP still gives different results in predicting perforated appendicitis. The purpose of this study is to find out the accuracy of D-Dimer and CRP in predicting appendicitis peforation at the Central General Hospital (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung 2019. Method: This study used a prospective observational design with a cross-sectional approach. The study population was all patients who came to the Emergency Department (ED) of The Surgery Department of the Hasan Sadikin Hospital in Bandung from September 2018-September 2019 who met the inclusion and not in the exclusion criterias. The patient then examined for preoperative D-Dimer and CRP serum and record the results of the surgery. Chi-Square test was conducted in this study and data were analyzed using SPSS Version 22.0 for windows at a 95% confidence level. The p value is significant if p <0.05 Results: The sample included in this study were 41 patients, who were diagnosed with appendicitis based on the Tzanakis Score, which consisted of 17 acute appendicitis patients and 24 perforated appendicitis patients. The average age of patients was 34.8 ± 13.8 The majority of patients were male (24 patients or 58.5%). Area for ROC curve for D-Dimer 0.929. With a cut-off point of 0.51 mg / l for sensitivity perforation appendicitis 95.8%, specificity 76.5%, positive predictive value (PPV) 85.2%, negative predictive value (NPV) 92.9% and accuracy 87.8%. For CRP with a cut off point at 18.84 for sensitivity perforation appendicitis 58.3%, specificity 94.1%, positive predictive value (PPV) 93.3%, negative predictive value (NPV) 61.5% with an accuracy of 73.2%. Conclusion: Increased serum D-Dimer and CRP levels can be used in predicting the occurrence of perforation in appendicitis patients. However, D-Dimer is better in predicting perforated appendicitis than CRP. Keywords: D-Dimer, CRP, acute appendicitis, perforated appendicitisItem Akurasi Kampala trauma score dalam menilai prognostik penderita trauma multipel di RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung(2022-12-28) ANDHIKA RAHMAWAN; Nurhayat Usman; Tommy RuchimatABSTRAK Pendahuluan Trauma multipel adalah cedera pada dua atau lebih sistem organ dengan derajat cedera yang cukup tinggi yang dapat menggangu fungsi fisiologis hingga disfungsi organ yang mengancam jiwa. Angka kejadian trauma semakin meningkat seiring dengan bertambahnya pengguna kendaraan bermotor yang tidak taat terhadap aturan lalu lintas dan ketidakpatuhan penggunaan alat pelindung diri yang lengkap. Menentukan sistem skoring trauma yang sesuai dengan kondisi tertentu akan membantu dalam memprediksi mortalitas dan morbiditas serta dapat menentukan kebutuhan penanganan pada pasien. Kampala Trauma Score (KTS) merupakan sistem penilaian trauma berfokus pada penilaian fisiologis tubuh pasien dibandingkan dengan anatomis pasien. Sistem ini digunakan karena memiliki variabel penilaian yang lebih sederhana dan dapat digunakan disemua kelompok umur. Metode Penelitian ini merupakan penelitian uji prognostik retrospektif yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat dan Instalasi Rekam Medis RSHS pada bulan Desember 2021 sampai dengan Juli 2022. Data yang didapat akan diolah dengan menggunakan spreadsheet Microsoft Excel dan SPSS for Windows dengan nilai value 12 (akurasi 81,82%; sensitifitas 70,59%; spesifisitas 85,71%; PPV 63,16%; NPV 89,63%; LR+ 4,94; LR- 0,34). Nilai akurasi dari skor KTS selaras dengan ROC dimana optimal pada skor KTS >12 (85,77%) menandakan memiliki prediksi dengan akurasi tinggi. Kesimpulan Kampala trauma score dapat digunakan sebagai prediktor dalam menilai prognostik pasien trauma multipel dengan nilai titik potong yang sudah didapatkan karena memiliki nilai akurasi, sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV, dan LR yang tinggi. Kata Kunci: multipel trauma, skoring trauma, akurasi, KTSItem AKURASI SISTEM SKOR LRINEC (LABORATORY RISK INDICATOR FOR NECROTIZING FASCIITIS) SEBAGAI PREDIKTOR DIAGNOSTIK AWAL PADA FASCIITIS NEKROTIKAN DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG(2023-07-10) ARIEF DWINANDA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenLatar Belakang : Fasciitis Nekrotikan (FN) merupakan infeksi yang dapat menyebar secara luas, menjadi nekrosis pada jaringan subkutan dan fascia dengan trombosis pada mikrosirkulasi kutaneus, serta sering menyebabkan kematian yang cepat dengan kegagalan multi-organ. Pengenalan dini dan debridemen bedah yang agresif adalah landasan dari pengobatan yang berhasil. Skor Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis (LRINEC) dikembangkan oleh Wong dkk., menggunakan enam variabel biokimia rutin untuk membantu diagnosis dini. Kami bertujuan untuk menilai akurasi skor LRINEC sebakai prediktor diagnosis awal diagnostik Fasciitis Nekrotikan pada populasi kami. Metode : Panelitian ini adalah penelitian kohort prospektif observasional pada penderita FN dan infeksi jaringan lunak non fasciitis yang datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Departemen Bedah RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan pasien yang dikonsulkan ke Departemen Bedah periode Januari 2022 – Desember 2022. Skor LRINEC dihitung untuk setiap pasien yang terdaftar. Sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, dan negative predictive value dari skor dievaluasi. Akurasi dari skor LRINEC dinyatakan pada area under curve dari kurva receiver operating characteristic. Hasil : Total didapatkan 70 pasien terdiri dari pasien dengan fasciitis nekrotikan 33 pasien dan 37 pasien dengan other soft tissue infection. Skor LRINEC dengan cut off ≥6, didapatkan sensitifitas 90,9% (95% CI 75,67-98,08%), spesifisitas 75,6% (95% CI 58,80-88,23%), Positive Predictive Value 76,9% (95% CI 60,67-88,87%), Negative Predictive Value 90,3% (95% CI 74,25-97,96%). Pada area under curve dari kurva receiver operating characteristic untuk akurasi skor LRINEC didapatkan 0,895 (95% CI 0,821-0,969). Kesimpulan : Skor LRINEC akurat dan dapat digunakan untuk membantu diagnosis sebagai prediktor diagnostik awal pada FN. Ketajaman kecurigaan klinis tetap menjadi faktor terpenting dalam diagnosis dini FN.Item Anaesthetic Management of Patient with Left Atrial Myxoma, Coronary Artery Disease 3 Vessels Disease, and Parkinsons Disease(2024-01-09) ADWITYA DARMESTA GANDHI NIPUNA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenMyxomas are the most common primary benign intracavitatory tumour with the incidence of 0.5 per million populations. Myxomas account for 0.3% of all cardiac surgeries performed. Clinically, they are characterized by a triad of embolisation, obstruction of blood flow, and constitutional symptoms (Goodwin’s triad). Meanwhile Parkinson`s disease is a degenerative neurologic disorder caused by degeneration of nerve cells in the substantia nigra causing weakness motor coordination. Symptoms include tremor, bradykinesia, rigidity, and postural instability. Achieving a satisfactory hemodynamic performance is the primary objective in the management of cardiac surgery patient. Optimal cardiac function ensures adequate perfusion and oxygenation of other organ systems (in particular vital organs) and improves the chances for an uneventful recovery from surgery. A 61-year old female diagnosed with Coronary Artery Disease 3 Vessel Disease (CAD 3 VD), Parkinson’s disease, and left atrial myxoma was brought to the emergency department with dyspnea. The patient has undergone angiography and the echocardiography result was LVEF 59% with global normokinetic, LA myxoma causing non-significant mitral flow. LA myxoma excision under general anaesthesia on CPB was planned. Balanced general anaesthesia on cardiopulmonary bypass forms the basis of Anaesthetic management of Cardiac myxomas. However specific individual considerations will have to be made regarding drugs, doses, regional anaesthetic choices, anticoagulation and post-operative management. There is no simple anesthetic technique for patients with Parkinson’. Therefore, careful preoperative assessment, administration of drugs during and after anesthesia, as well as avoiding agents that are known to trigger Parkinson`s symptoms is a major factor in reducing postoperative morbidity and mortality.Item ANALISIS FAKTOR RISIKO PASIEN OSTEOMYELITIS TULANG TENGKORAK AKIBAT LUKA BAKAR LISTRIK DI DEPARTEMEN BEDAH SARAF RS HASAN SADIKIN TAHUN 2012 - 2023(2024-01-09) FIRMAN NUR CHOLIQ; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAngka komplikasi berupa osteomyelitis tulang tengkorak yang tinggi akibat luka bakar listrik di RS Hasan Sadikin memerlukan pendekatan berbagai bidang ilmu. Identifikasi faktor risiko diperlukan agar kewaspadaan dini dapat diaktifkan. Pencegahan munculnya osteomyelitis akan menghemat waktu, tenaga serta biaya yang muncul sebagai akibat dari komplikasi tersebut. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan studi rekam medis pasien yang datang pada periode Januari 2012 hingga Januari 2023. Analisis dilakukan meliputi faktor usia, gender, komorbid, jenis tegangan listrik, titik kontak di area kepala, luas luka bakar di seluruh area tubuh, luas luka bakar di kepala, kedalaman luka bakar, interval waktu kedatangan, abnormalitas haemoglobin, leukosit, sepsis, dan abnormalitas radiologis. Angka kejadian osteomyelitis dibuktikan dengan laporan operasi yang menunjukkan adanya tulang tengkorak yang dilakukan kraniektomi. Hasil peneltian menunjukkan bahwa terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria populasi dan 36 diantaranya memenuhi kriteria penelitian. Tidak terdapat faktor risiko yang signifikan secara statistik yang berhubungan dengan kejadian osteomyelitis. Kesimpulan: tidak terdapat hubungan yang signifikan dari kecurigaan faktor risiko yang diteliti terhadap terjadinya osteomyelitis tulang tengkorak pada pasien akibat luka bakar listrik di RS Hasan Sadikin Bandung.Item ANALISIS KOMPONEN KARAKTERISTIK PASIEN, HIPODENSITAS PERIVENTRIKULER DAN KEJANG SEBELUM PEMASANGAN SHUNT PADA PASIEN HIDROSEFALUS ANAK(2024-01-09) DANNY HALIM; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan: Kejang adalah salah satu masalah utama pada pasien hidrosefalus anak. Besarnya jumlah pasien hidrosefalus anak yang mengalami kejang pasca pemasangan shunt mendasari hipotesis yang menduga bahwa kejadian kejang pada pasien ini berhubungan dengan prosedur pemasangan shunt atau keberadaan shunt secara intrakranial. Hipotesis yang sama tidak dapat menjelaskan kejadian kejang pada pasien hidrosefalus anak yang belum menjalani operasi pemasangan shunt. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi komponen karakteristik, gambaran hipodensitas periventrikuler dan kejang sebelum pemasangan shunt pada pasien hidrosefalus anak. Metode: Penelitian ini adalah studi retrospektif yang melibatkan 334 pasien hidrosefalus anak, yang terdiri dari 147 pasien hidrosefalus anak yang memiliki riwayat kejang sebelum pemasangan shunt dan 187 pasien hidrosefalus anak yang tidak memiliki riwayat kejang sebelum pemasangan shunt. Sejumlah komponen karakteristik pasien dikumpulkan dari rekam medis, termasuk gender, usia, pediatric Glasgow Coma Scale (pGCS) saat masuk rumah sakit dan diagnosis. Hasil pencitraan CT scan pasien dievaluasi kembali untuk mengkonfirmasi diagnosis hidrosefalus dan menilai gambaran hipodensitas periventrikuler. Hasil: Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa insidensi kejang sebelum pemasangan shunt lebih tinggi secara signifikan pada pasien hidrosefalus anak yang berusia 1-5 tahun (63/113 (55%), p=0,0001), didiagnosis dengan hidrosefalus komunikans (97/163 (59%), p=0.0001) atau hidrosefalus infeksius (80/109 (73%), p=0,0001). Adanya hipodensitas periventrikuler berasosiasi secara signifikan dengan insidensi kejang sebelum pemasangan shunt (132/205 (64.3%), p=0,0001). Kesimpulan: Pasien hidrosefalus anak yang berusia 1-5 tahun, didiagnosis dengan hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus infeksius, serta memiliki gambaran hipodensitas periventrikuler pada hasil pencitraan CT scan memiliki resiko tinggi untuk mengalami kejang sebelum dilakukannya operasi pemasangan shunt.Item Analisis Pengaruh Waktu Awal Pemasangan Ventrikuloperitoneal Shunt Terhadap Hasil Luaran Pasien Meningitis Tuberkulosis Dewasa di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung(2020-01-22) MUH ICHSAN FACHRUDDIN FIRDAUS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan: Meningitis Tuberkulosis (TBM) adalah penyakit neurologis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada meningen atau parenkim otak. Hidrosefalus sering menjadi komplikasi meningitis TB dan dianggap sebagai prediktor prognosis yang buruk. Hingga saat ini tidak ada sistem penilaian khusus untuk pasien dengan TBM dan hidrosefalus. Oleh karena itu, kami merencanakan untuk meninjau secara retrospektif berbagai aspek hubungan antara lama waktu gejala klinis hidrosefalus yang disebabkan oleh meningitis tuberkulosis dengan hasil luaran terapi bedah pada pasien dewasa. Tujuan: Untuk mengetahui adanya pengaruh lama waktu ventriculoperitoneal shunt terhadap luaran pada pasien dewasa penderita hidrosefalus akibat meningitis tuberkulosis yang mengalami penurunan kesadaran. Metode: Penelitian ini bersifat retrospektif cohort dengan melakukan pengumpulan data pada pasien dewasa yang didiagnosis meningitis tuberkulosis dengan hidrosefalus yang dirawat dan telah dilakukan ventriculoperitoneal shunt di Bagian Bedah Saraf RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung, dari Mei 2019 s.d Juni 2019. Data pasien termasuk usia, jenis kelamin, pemeriksaan analisa LCS rutin postoperatif, syarat hidrosefalus, rentang waktu antara diagnosis TB dan meningitis TB, rentang waktu antara diagnosis meningitis TB dan pemasangan VP Shunt, gejala klinis, dan hasil luaran. Hasil: Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik pada hubungan antara rentang waktu dengan mortalitas meningitis [p = 0.000 (p < 0.05)], rentang waktu dengan morbiditas [p = 0.009 (p < 0.05)], rentang waktu pemasangan VP shunt dengan mortalitas [p = 0.000 (p < 0.05)], dan rentang waktu pemasangan VP shunt dengan morbiditas [p = 0.001 (p < 0.05)]. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa rentang waktu yang pendek antara diagnosis klinis TB dengan meningitis TB, dan antara meningitis TB dengan pemasangan ventriculoperitoneal shunt untuk hidrosefalus memiliki efek positif pada morbiditas dan mortalitas penderita meningitis tuberkulosis dengan penyerta hidrosefalus pada pasien dewasa. Kata kunci: meningitis tuberkulosis, hidrosefalus, rentang waktu, ventriculoperitoneal shunt.Item ANALISIS PROFIL PASIEN TUMOR GANAS OTAK GLIOMA ASTROSITIK BERDASARKAN PEWARNAAN IMUNOHISTOKIMIA ISOCITRATE DEHYDROGENASE-1 R132H- MUTANT (IDH1-R132H MUTANT) DAN LUARAN KLINISNYA(2020-01-22) HENDRIKUS MASANG BAN BOLLY; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenKlasifikasi tumor saraf pusat berdasarkan WHO 2016 menggabungkan parameter genotif dan fenotif untuk akurasi diagnostik, penentuan prognosis dan pengembangan target terapeutik. Deteksi mutasi isositrate dehydrogenase 1 (IDH1) pada asam amino hot spot Arginin-132 melalui pemeriksaan imunohistokimia akan membedakan kasus glioma astrositik mutant maupun wildtype. Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin dan wilayah Jawa Barat untuk menginvestigasi kejadian mutasi IDH1 pada glioma astrositik grade II, III, IV dan melakukan karakterisasi profil luaran klinis terkait mutasi tersebut. Penelitian potong lintang ini memeriksa 30 block parafin embeeded yang tersimpan di laboratorium Patologi Anatomi RSHS pada periode 2014-2018; terdiri atas 15 glioma astrositoma difus, 6 astrositoma anaplastik dan 9 glioblastoma hasil operasi/biopsy kemudian dilakukan pulasan imunohistokimia menggunakan antibody monoklonal IDH1 R132H mutant dari GeneTex. Selanjutnya dikumpulkan data sekunder pasien dari rekam medis milik RSHS dan basis data laporan harian Departemen Bedah Saraf untuk dianalisis profil luaran akhir pasien. Analisis statistik perbandingan, korelasi dan survival Kaplan-Meier dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 23 untuk Windows. Diperoleh usia median pasien 43 tahun (range 15-73 tahun) dengan dominasi 70% sampel laki-laki. Hasil pewarnaan dibaca oleh dua orang pakar PA berlisensi, diperoleh hasil imunopositif IDH1 R132H total sebesar 12/30 sampel (40%); 46.6% pada astrositoma difus, 50% pada astrositoma anaplastik dan 22.2% pada glioblsatoma; ketiganya berbeda secara bermakna p=0.005. Perhitungan profil rasio prevalensi diperoleh laki-laki 2.1 kali dibanding perempuan memiliki IDH1 R132H mutant. Analisis survival Kaplan-Meier menunjukan overall survival time IDH1 R132H positif pada glioma astrositik sebesar 22.36 bulan (95% KI 17,29-27,43) dibanding yang imunonegatif sebesar 23.41 bulan (95% KI 19,53-27,29). Means Survival Time (MST) glioma derajat rendah (grade II) imunopositif diperoleh 26.71 (95% KI 21.64-31.79) lebih tinggi dibanding glioma derajat tinggi (grade III dan IV) imunopositif sebesar 14.75 bulan (95% KI 9.36-20.14), berbeda bermakna p = 0.002. Penelitian ini telah membuktikan bahwa pemeriksaan IHK IDH1 R132H mutant merupakan alat diagnostik dan prediktor prognostik pasien GliomaItem ANALISIS WAKTU TINDAKAN OPERASI TERHADAP LUARAN PASIEN CEDERA MEDULA SPINALIS SERVIKAL SUBAKSIAL BERDASARKAN ASIA IMPAIRMENT SCALE (AIS) YANG DILAKUKAN LAMINEKTOMI DEKOMPRESI DAN STABILISASI POSTERIOR(2024-01-09) YUSTINUS ROBBY BUDIMAN GONDOWARDOJO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Pendahuluan: Cedera medula spinalis servikal sering menyebabkan kecacatan dan kematian. Tindakan operasi dapat mencegah terjadinya cedera saraf sekunder yang terjadi beberapa jam setelah cedera primer. Namun pemilihan waktu dilakukannya tindakan operasi masih menjadi kontroversi. Penelitian yang mengevaluasi hubungan antara interval waktu tindakan operasi terhadap luaran pasien perlu dilakukan. Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada total 27 pasien cedera medula spinalis servikal subaksial yang menjalani operasi laminektomi dekompresi dan stabilisasi posterior di RS dr. Hasan Sadikin pada 1 Januari 2014 hingga 31 Desember 2020. Pasien yang diinklusi adalah pasien berusia > 18 tahun dengan cedera medula spinalis servikal, memiliki pemeriksaan pencitraan (X-ray servikal atau CT-scan atau MRI servikal), telah dilakukan operasi laminektomi dekompresi dan stabilisasi posterior, serta datang follow-up pada 1 bulan pasca operasi. Data demografis (usia dan jenis kelamin), penyebab cedera, lokasi cedera, waktu tindakan operasi, skor AIS (ASIA Impairment Scale), dan konversi skor AIS dimasukkan ke dalam perangkat lunak dan dilakukan analisis statistik dengan program SPSS. Hasil: Total terdapat 27 subjek yang masuk ke dalam penelitian ini, 85.2% adalah laki-laki. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik awal menunjukkan 63% menderita cedera karena jatuh, 37% mengalami cedera di C5-C6, dan 55.6% datang dengan AIS A preoperasi. Tindakan operasi dilakukan dalam interval 72 jam pada 18.5% subjek, dan >5 hari pada 14.8% subjek. Ditemukan hubungan signifikan antara waktu tindakan operasi terhadap outcome AIS pasca operasi dengan angka p value= 0.024 dan hubungan yang signifikan antara waktu tindakan operasi dengan outcome berdasarkan delta AIS dengan angka p value = 0.016. Berdasarkan statistik, waktu tindakan operasi yang disarankan adalah <72 jam pasca cedera, dengan waktu terbaik adalah <24 jam pasca cedera. Kesimpulan: Waktu tindakan operasi memiliki hubungan dengan luaran pasien cedera medula spinalis servikal dimana semakin cepat interval operasi berhubungan dengan perbaikan konversi AIS. Kata Kunci: waktu tindakan operasi, cedera medula spinalis servikalis, laminektomi dekompresi, stabilisasi posterior, skor AISItem Anesthesia Management of Oculocardiac Reflex in Strabismus Surgery: A Case Study(2023-07-12) DIVA ZUNIAR RITONGA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenTerdapat banyak jenis operasi pada mata, setiap operasi membutuhkan penanganan anestesi yang khusus. Operasi strabismus memiliki beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian, salah satunya adalah refleks okulokardiak. Refleks okulokardiak merupakan konisi yang ditandai dengan penurunan denyut jantung disebabkan oleh tekanan pada bola mata atau penarikan pada otot-otot ekstraokular pada konjungtiva atau strukur orbita. Tanpa penanganan refleks ini dapat menyebabkan asistol. Sebuah laporan kasus mengenai laki-laki 19 tahun dengan klasifikasi ASA 1, dengan esotropi pada kedua mata yang akan dilaksanakan operasi strabismus. Anestesi umum dilaksanakan dengan obat-obat induksi fentanil 100 mcg, propofol 100 mg, dan atrakurium 25 mg, LMA ukuran 3 digunakan untuk managemen jalan napas. Sevofluran 2–3% dengan oxygen dan nitrous oxide digunakan untuk rumatan. Sewaktu operasi denyut nadi menurun sampai 35 kali per menit ketika operator menarik otot medial rektus pada mata pertama, kemudian operasi diminta dihentikan sementara, kemudian denyut nadi meningkat perlahan kembali ke 65 kali per menit tanpa pemberian intervensi lain. Kemudian, ketika operatot menarik otot medial rektus pada mata kedua denyut jantung menurun ke 55 kali per menit, operasi dilanjutkan dan denyut jantung meningkat tanpa intervensi lain. Operasi berlangsung tanpa kejadian lain. Pengetahuan dan penanganan awal kondisi refleks okulokardiak perlu diketahui oleh dokter anestesi untuk mencegah kondisi yang lebih berbahaya.Item Anesthesia Management of Patients with Redo Craniotomy:Cases of Supratentorial Recidive Tumors(2024-01-08) NI GUSTI AYU PITRIA SEPTIANI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenBackground: Compared to non-surgical therapies, redo craniotomy is linked to improved neurological state and a lower mortality rate. But it also carries a higher price tag and complication risk. Aim: The researchers would like to discover anesthesia management of patients with redo craniotomy in patients with supratentorial recidive tumors. Method: The researchers used the case study method. Two cases of redo craniotomy performed at the Santosa Hospital Bandung Central Indonesia are presented. The first case involved a 24-year-old male with a supraorbital tumor, GCS 15, and the second case involved a 43-year-old woman with meningiomas, GCS 15. The first patient underwent redo craniotomy six (6) months after the first operation, while the second patient underwent the procedure three (3) months after the first operation. These patients were subjected to anesthesia using the same techniques and anesthetic drugs. Patients were positioned in a neutral position with 20-30 degrees head up, voluntarily hyperventilated, and adequate anxiolytics. Findings: The bleeding volume of the patients was 800 mL for the first patient and 1,000 mL for the second, and the fluid balance was maintained using the ringerfundin balanced solution. The duration of the operation of the first and second patients was 4 and 6.5 hours, respectively. Postoperatively, patients were treated in the ICU for one day under mechanical ventilation and were transferred to the ward after extubation. Better intraoperative care, improved surgical skills, surgical equipment, and better intensive care support are likely to improve outcomes in patients with redo craniotomy.Item Anesthetic Management of Patient with Preeclampsia, Pulmonary Edema, and Peripartum Cardiomyopathy in Pregnancy Undergoing Caesarean Section: A Case Report(2019) PUTRI CITRA BARLIANA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPreeclampsia is a disease that occurs in pregnancy after 20 weeks of gestation with manifestations involving multi organ systems such as pulmonary edema and ventricle dysfunction. Cardiomyopathy is a heart disorder characterized by myocardial dysfunction unrelated to any other previous heart disease. Case: A 31-year-old woman diagnosed with G1P0A0 full-term pregnancy, preeclampsia, pulmonary edema, cardiomyopathy, and fetal distress, who underwent cesarean section. On physical examination, shortness of breath was found in semi-Fowler position. Patient had high blood pressure and global hypokinesis was found on echocardiography results. She was planned for general anesthesia with semi-closed intubation technique and breath controlled. Anesthetic management should optimize the preoxygenation, provide positive pressure ventilation with positive end-expiratory pressure (PEEP), maintain the minimal myocardial depressant effect of drugs, and maintain a normovolemic state. It could improve the good outcomes. Conclusion: Three things that must be considered when starting the induction are oxygenation, fluid status, and selection of drugs that do not make the heart work harder. The combination of fentanyl, midazolam, and sevoflurane is the drug of choice used for induction, because it can minimize the cardiac depressant effect.Item Angka Kejadian De;irium dan Faktor Risiko di Intensive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung(2015-07-21) RAKHMAN ADIWINATA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Delirium, dapat ditandai dengan perubahan status mental, tingkat kesadaran, perhatian yang akut dan fluktuatif. Memiliki tingkat insidensi yang tinggi pada pasien dengan penyakit kritis. Hal ini merupakan kelainan yang serius berhubungan dengan pemanjangan lama perawatan di unit perawatan intensif, biaya yang lebih tinggi, memperlambat pemulihan fungsional, serta peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tujuan penelitian untuk mengetahui angka kejadian delirium dan mengetahui faktor risiko terjadinya delirium di Intensive Care Unit (ICU) Rumah sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Pengambilan sampel dilakukan selama tiga bulan (Januari-Maret 2015) di ICU RSHS Bandung. Metode penelitian ini deskriptif observasional secara kohort prospektif, menggunakan alat ukur Confusion assessment methode-Intensive Care Unit (CAM-ICU), sebelumnya dilakukan penilaian dengan Richmond agitation-sedation scale (RASS) pada pasien yang tersedasi. Hasil penelitian ini dari 105 jumlah pasien, 22 pasien dieksklusikan, dari 83 pasien didapatkan 31 pasien positif delirium, angka kejadian 37.3%. Faktor risiko pada pasien positif delirium terdiri atas: geriatri 48.4%, pemakaian ventilator mekanik 38.7%, pemberian analgesik morfin 29%, sepsis atau infeksi 29%, kelainan jantung 25.8%, acute physiology and chronic health evaluation (APACHE) II skor tinggi 25.8%, kelainan ginjal 22.6%, laboratorium abnormal 22.6%, pemberian sedasi midazolam 19.4%, kelainan endokrin 16.1%, pemberian analgesik fentanil 6.5%, dan stroke 3.2%. Simpulan angka kejadian delirium di ICU RSHS Bandung cukup tinggi sebesar 37,3%, dengan faktor risiko terbesar adalah pasien geriatrik. Kata kunci: CAM-ICU, delirium, faktor risiko, RASS.Item ANGKA MORTALITAS DAN MORBIDITAS KEGIATAN BAKTI SOSIAL OPERASI BIBIR SUMBING DAN CELAH LANGIT-LANGIT DENGAN ANESTESI UMUM DI LUAR RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN TAHUN 2003-2013(2015-07-14) LANDOSAR PARSAULIAN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenSejak tahun 2003 sampai 2013, tim dokter dan paramedis Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) telah menyelenggarakan kegiatan Bakti Sosial Operasi Bibir Sumbing di seluruh Indonesia. Beberapa studi di luar negeri menunjukan pelaksanaan operasi labioplasti dan palatoplasti dengan teknik anestesi umum di daerah dengan sarana terbatas dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Studi ini bertujuan untuk mengetahui angka mortalitas dan morbiditas operasi bibir sumbing dengan menggunakan anestesi umum dan mengetahui kendala yang dialami pada pelaksanaan kegiatan bakti sosial tersebut. Penelitian dilakukan secara deskriptif serial kasus dari data Laporan Pelaksanaan Kegiatan Bakti Sosial Bibir Sumbing Periode Tahun 2003-2013. Dari data tersebut diketahui jumlah peserta operasi labioplasti dengan anestesi lokal (n=1.614), operasi labioplasti dengan anestesi umum (n=2.702) dan operasi palatoplasti dengan anestesi umum (n=1.919). 22 pasien dengan anestesi umum mengalami morbiditas yang sebagian besar terdiri dari perdarahan post operasi (0,19%), spasme larynx post extubasi (0,06%), mual dan muntah (0,06%). Angka morbiditas semakin menurun setiap tahun dan lebih rendah dari negara lain. Selain itu, ditemukan empat pasien meninggal dalam kegiatan bakti sosial akibat malnutrisi, diare, aspirasi dan lepasnya Endotracheal Tube. Simpulan penelitian ini adalah kegiatan Bakti Sosial Operasi Bibir Sumbing di luar RSHS Periode 2003-2013 dengan anestesi umum memiliki angka mortalitas 0,09% dan angka morbiditas 0,47%. Kendala yang dialami pada pelaksanaan berdasarkan laporan yang terkumpul adalah persiapan pre operatif yang tidak terjadwal dengan baik dan peralatan operasi yang terkadang kurang lengkap di lokasi bakti sosialItem APLIKASI MACHINE LEARNING DALAM KUANTIFIKASI SINYAL ELEKTRIK OTOT SUPRAHYOID DAN INFRAHYOID SAAT MENELAN PADA PASIEN STROKE FASE AKUT(2023-01-11) ARDI SOEHARTA CHANDRA; Sunaryo B. Sastradimaja; VitrianaPendahuluan : Machine learning adalah disiplin ilmu yang berfokus pada bagaimana komputer mampu belajar dan menghasilkan suatu pola dari data. Keuntungan dari aplikasi ini dapat membangun model statistik dari kumpulan data berjumlah besar. Disfagia adalah gangguan menelan yang banyak terjadi pada fase stroke akut dan dapat menimbulkan risiko terjadinya berbagai morbiditas. Penapisan disfagia sedini mungkin menjadi penting untuk menurunkan risiko tersebut. Pemeriksaan aktivitas otot-otot menelan seperti otot suprahyoid dan infrahyoid, sebagai faktor yang dapat berkontribusi pada kejadian disfagia pasca stroke dapat dilakukan dengan mengukur aktivitas elektrik menggunakan sEMG. Data-data yang diperoleh kemudian diharapkan dapat dijadikan suatu pola data untuk supervised machine learning sehingga dapat membantu penapisan disfagia pada pasien stroke fase akut secara lebih cepat dan akurat. Metode : Penelitian potong lintang kuantitatif analitik dilakukan pada 61 subjek disfagia pasca stroke fase akut. Dilakukan analisis data kuantifikasi sinyal elektrik otot suprahyoid dan infrahyoid saat menelan pada pasien stroke fase akut berdasarkan parameter durasi, onset menelan, time-to-peak, dan amplitudo dengan menggunakan metode supervised machine learning untuk memprediksi disfagia. Hasil : Ditemukan hasil yang tidak signifikan pada area under the receiving operating curve (AUROC), sensitivitas dan spesifisitas pada analisa supervised machine learning untuk parameter sinyal elektrik otot durasi, onset menelan, time-to-peak, dan amplitudo dari otot-otot suprahyoid dan infrahyoid saat dry swallowing dan menelan 3 mL air. Kesimpulan : Pada penelitian ini Supervised machine learning tidak dapat menganalisis dan memprediksi disfagia pada pasien stroke fase akut berdasarkan parameter sinyal elektrik otot durasi, onset menelan, time-to-peak, dan amplitudo, dari otot-otot suprahyoid dan infrahyoid saat menelan pada dry-swallowing dan volume 3 ml.Item Aspek Histopatologi Sebagai Prediktor Kejadian Kekambuhan Pada Kanker Payudara Stadium Lanjut Lokal Di RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung(2023-04-06) PERI HIDAYAT; Kiki Akhmad Rizki; Teguh Marfen DjajakusumahAspek histopatologis pada kanker payudara dianggap sebagai salah satu faktor prognostik penting dalam kejadian rekurensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemeriksaan histopatologi dapat digunakan sebagai prediktor kejadian rekurensi pada pasien kanker payudara stadium lanjut lokal. Penelitian ini merupakan penelitian observasional retrospektif kohort dengan pendekatan analisis korelatif. Subjek penelitian ini adalah pasien kanker payudara yang telah menjalani mastektomi dan/atau mendapatkan terapi tambahan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Januari 2017 hingga September 2019. Data dikumpulkan dengan menggunakan rekam medis dan data histopatologi anatomi. Subjek penelitian akan dibagi berdasarkan status rekurensi mereka. Sebanyak 62 pasien kanker payudara dimasukkan dalam penelitian ini dengan 31 pasien rekuren dan 31 pasien tidak rekuren. Sebanyak 29 pasien dalam kelompok rekuren (93,5%) mengalami invasi limfovaskular. Penilaian histopatologi menunjukkan perbedaan pada kedua kelompok di mana pasien kelompok rekuren sebagian besar (74,2%) termasuk ke dalam derajat histopatologi high, sementara itu 51,6% sampel pada kelompok non-rekuren dikategorikan sebagai derajat histopatologi moderate. Margin histopatologis lengkap ditemukan pada kelompok rekuren dan tidak rekuren masing-masing sebesar 54,8% dan 87,1%. Ada korelasi antara penilaian histopatologi, invasi limfovaskular, dan margin sayatan dengan kekambuhan pada kanker payudara stadium lanjut lokal. Dapat disimpulkan bahwa beberapa aspek histopatologis dapat digunakan sebagai prediktor mata uang ulang pada kanker payudara stadium lanjut lokal.Item Comparison Of Iintravenous Administration Of Remfentanil With Fentayl For Increased Blood Sugar Levels In Post Cardiac Surgery Patients(2024-01-08) IRVAN TANPOMAS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenThe incidence of hyperglycemia in patients with heart disease undergoing cardiac surgery reaches 50% in patients without a history of Diabetes Mellitus. This condition of hyperglycemia can increase morbidity and mortality. This study aims to assess the effect of using the agent remifentanil intravenously 0.5-1 µg/kgBW bolus followed by maintenance at a dose of 0.05-0.1 µg/kgBW/minute intravenously compared to the use of fentanyl 3-10 µg/kgBW followed by a maintenance dose of 0.03-0.1 µg/kgBW/minute for increased blood sugar levels in patients undergoing cardiac surgery with the Cardiopulmonary Bypass (CPB) procedure. This study is an experimental study with a single blind randomized controlled design. Patients will be divided into 2 groups consisting of 12 patients each, namely group R (remifentanil) who received remifentanil and group F (fentanyl) who received fentanl. Blood sugar levels will be checked before and after surgery. The research has been conducted at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung from February 2023 to May 2023. The average increase in blood sugar levels in the remifentanil group was 74 mg/dl, while in the fentanyl group it was 90 mg/dl. The p-value given is 0.214. Statistical test results showed that the value of p> 0.05. The conclusion of this study is that there is no significant difference in the increase in blood sugar levels between the two groups (remifentanil and fentanyl). This can be caused by the use of opioid doses in the lower range and more complex surgical procedures in our research.Item Comparison of Post-operative Analgetics with Transversus Abdominis Block and Spinal Morphine for Post-Caesarean Section: A Randomised Trial Study(2024-01-09) MOHAMMAD FIKRY MAULANA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAcute pain after surgery is an important clinical drawback occurs in patients undergoing cesarean sections. Postoperative pain causes various complications, including the risk of chronic pain. The Enhanced Recovery After Caesarean Section (ERACS) protocol recommends intrathecal morphine and the Transversus Abdominis Plane (TAP) block. This study aims to compare the opioid requirement as an analgesic rescue between both techniques in patients undergoing cesarean sections. This is an experimental study with a single-blind randomized controlled trial design. Subjects were divided into two groups, each consists of 22 patients. Patients were selected consecutively and grouped by permuted block randomization. In the intratechal morphine group, the duration of additional opioids was longer, with an average of 600.45 minutes (SD = 68.901), than in the TAP block group, with an average of 438.18 minutes (SD = 46.867), with a p-value of 0.001. The total dose of additional opioids in the intratechal morphine group was smaller, with an average of 38.64 µg (SD = 14.775), than in the TAP block group, with an average of 50.00 µg (SD = 18.898), with a p-value of 0.043. In conclusion, intratechal morphine gives a better postoperative analgesic effect than TAP block in patients undergoing cesarean sectionsItem EFEK EUTECTIC MIXTURE OF LOCAL ANESTHETICS TERHADAP NYERI PENYUNTIKAN JARUM SPINAL DI RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG(2020-01-23) YUANDA RIZAWAN PUTRA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAnestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sering dilakukan dan efektif dalam pembiusan tubuh bagian bawah. Nyeri saat penyuntikan jarum spinal merupakan alasan untuk menolak anestesi spinal karena ketakutan akan jarum dan rasa nyeri akibat penyuntikan jarum. Metode yang dilakukan untuk mengurangi nyeri akibat penyuntikan jarum spinal yaitu aplikasi anestesi topikal. Anestesi topikal yang sering digunakan adalah EMLA (eutectic mixtures of local anesthetics). EMLA terbukti memiliki efek analgetik pada saat pemasangan jalur intravena, pungsi lumbar, prosedur bedah dermatologi dan kosmetik serta prosedur medis minor. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek EMLA saat penyuntikan jarum spinal. Uji klinis acak buta ganda dilakukan terhadap 68 pasien yang menjalani operasi elektif dalam anestesi spinal di Ruang Operasi Sentral RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok EMLA dan plasebo. EMLA krim dosis 2 gram diaplikasikan 120 menit sebelum dilakukan penyuntikan jarum spinal ukuran 25G. Penilaian skor nyeri dilakukan setelah penyuntikan jarum spinal menggunakan Numeric Pain Rating Score. Skor nyeri setelah aplikasi EMLA yaitu 1,53±1,60; lebih rendah dibanding skor nyeri pada plasebo yaitu 3,94±1,30. Hasil ini signifikan secara statistik berdasarkan uji Mann-Whitney (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah EMLA memiliki efek untuk mengurangi nyeri saat penyuntikan jarum spinal.Item EFEK BAHAN TOPIKAL DENGAN KANDUNGAN BERBAGAI ANTIOKSIDAN TERHADAP INTENSITAS ERITEM DAN JUMLAH SUNBURN CELL PADA KULIT YANG DIINDUKSI SINAR ULTRAVIOLET B(2023-01-10) GABRIELA REGINATA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPajanan sinar ultraviolet B (UVB) menghasilkan reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan efek merugikan seperti sunburn, photoaging, dan kanker kulit. ROS dapat merusak membran fosfolipid dan menyebabkan inflamasi yang bermanifestasi eritem di kulit. ROS dapat pula menyebabkan terbentuknya sunburn cell, yaitu keratinosit yang mengalami apoptosis dan tampak sebagai sel berinti piknotik padat, serta sitoplasma eosinofilik mengerut yang menandakan kerusakan kulit akibat UVB. Salah satu upaya fotoproteksi untuk mengurangi efek merugikan UVB ialah penggunaan antioksidan yang merupakan bahan fotoprotektif sekunder yang bekerja mencegah atau memperbaiki kerusakan akibat ROS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek bahan topikal dengan kandungan berbagai antioksidan terhadap intensitas eritem dan jumlah sunburn cell pada kulit yang diinduksi sinar UVB. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental tersamar ganda pada sebelas individu sehat untuk mengetahui efek bahan topikal dengan kandungan gluconolactone, hyaluronic acid, allantoin, ferulic acid, acetyl heptapeptide, silver vine extract, ectoine, dan hydroxyectoine terhadap intensitas eritem dan jumlah sunburn cell pada kulit yang diinduksi sinar UVB dibandingkan vehikulum. Pada satu orang peserta penelitian ditentukan tiga area, yaitu area uji, area vehikulum, dan area tanpa perlakuan sebagai kontrol pada kulit punggung bawah. Penyinaran dengan dosis 1x minimal erythema dose (MED) sampai dengan 5x MED dilakukan pada area uji dan area vehikulum. Intensitas eritem dinilai menggunakan spektrofotometer pada area uji dan area vehikulum dengan dosis penyinaran 1x MED, 2x MED, 3x MED, 4x MED, 5x MED, serta area kontrol. Sunburn cell dihitung dari sediaan biopsi kulit area uji dan area vehikulum dengan dosis penyinaran 5x MED, serta area kontrol dengan pewarnaan hematoxylin-eosin. Peserta penelitian terdiri dari sembilan laki-laki dan dua perempuan berusia 24‒56 tahun, tipe kulit Fitzpatrick III dan IV, serta rentang MED 70‒90 mJ. Hasil penelitian didapatkan rerata intensitas eritem dengan dosis penyinaran 1x MED, 2x MED, 3x MED, 4x MED, dan 5x MED pada area uji berturut-turut 10,55, 13,04, 13,67, 14,88, dan 15,12, serta pada area vehikulum berturut-turut 11,76, 13,52, 14,74, 15,04, dan 15,38. Rerata intensitas eritem lebih tinggi secara signifikan pada area vehikulum dibandingkan area uji pada dosis penyinaran 1x MED, 2x MED, 3x MED (p≤0,05), tetapi pada dosis penyinaran 4x MED dan 5x MED tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,05). Median jumlah sunburn cell pada area uji 37,54 sel/mm2 dan area vehikulum 36,17 sel/mm2 dengan perbedaan tidak signifikan (p>0,05). Simpulan penelitian, bahan topikal dengan kandungan berbagai antioksidan di atas memberikan efek proteksi terhadap timbulnya eritem pada dosis penyinaran 1x MED, 2x MED, dan 3x MED, tetapi tidak pada dosis penyinaran 4x MED dan 5x MED. Efek proteksi terhadap jumlah sunburn cell di kulit pada dosis penyinaran 5x MED tidak ada perbedaan antara antioksidan topikal dan vehikulum.