Prostodonsia (Sp.)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Prostodonsia (Sp.) by Issue Date
Now showing 1 - 20 of 70
Results Per Page
Sort Options
Item PENGARUH PEMAKAIAN SPLIN OKLUSAL PADA PENDERITA GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULA TERHADAP KUALITAS HIDUP(2012-08-08) MAYA KARTIKA DEWIJANTY; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Gangguan sendi temporomandibula mencakup sekelompok kondisi muskuloskeletal dan neuromuskuler yang melibatkan sendi rahang, otot-otot pengunyahan dan semua jaringan terkait. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan sendi temporomandibula ini beragam, termasuk kesulitan saat mengunyah makanan, berbicara, dan fungsi orofasial lainnya. Gangguan ini juga sering berhubungan dengan nyeri akut atau berkelanjutan, dan pasien sering menderita gangguan lainnya seperti gangguan kecemasan, aspek sosial seperti aktivitas, pekerjaan, rekreasi, peran sosial dan lain-lain. Rasa sakit pada gangguan sendi temporomandibula dapat menyebabkan adanya penurunan kualitas kerja atau interaksi sosial, yang menghasilkan pengurangan kualitas hidup. Gangguan sendi temporomandibula dapat dihilangkan gejala-gejalanya dengan memakai splin oklusal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan splin oklusal dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita gangguan sendi temporomandibula. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dalam bentuk survey pada duapuluh pasien dengan gangguan sendi temporomandibula yang memakai splin oklusal dalam perawatannya di Klinik Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran dan Klinik Gigi Oratio Rumah Sakit Limiyati. Hasil penelitian dianalisis dengan uji Wilcoxon, kemudian diuji dengan statistik z, menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kualitas hidup dalam parameter nyeri, fungsi pengunyahan dan jenis makanan, aktivitas, suasana hati, kecemasan, dan parameter kualitas hidup secara umum berkaitan dengan keluhan gangguan sendi temporomandibula, pada penderita gangguan sendi temporomandibula antara sebelum dan sesudah pemakaian splin oklusal yang bermakna secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan splin oklusal dapat memperbaiki kualitas hidup penderita gangguan sendi temporomandibula. Kata kunci: Gangguan sendi temporomandibula, splin oklusal, kualitas hidup ABSTRACT Temporomandibular joint disorders encompass a group of musculoskeletal and neuromuscular conditions that involve the temporomandibular joints, the masticatory muscles, and all associated tissues. The signs and symptoms associated with these disorders are diverse, and may include difficulties with chewing, speaking, and other orofacial functions. They also are frequently associated with acute or persistent pain, and the patients often suffer from other painful disorders such as anxiety disorder, social aspects such as activities, work, recreation, social roles, and others. The temporomandibular disorders pain may lead to impairment of work quality or social interaction, resulting in an reduction in quality of life. Temporomandibular joint disorder symptoms can be removed by using splint occlusal. The purpose of this study was to determine whether the use of occlusal splint can affect the quality of life of patients with temporomandibular joint disorders. This study is a descriptive analityc study in the form of a survey of twenty patients with temporomandibular joint disorders using the splint occlusal treatment in Clinical Educational Program Specialist Dentist Prosthodontics Faculty of Dentistry Padjadjaran University and Oratio Dental Clinic Limiyati Hospital. The results were analyzed with the Wilcoxon signed-rank test, then tested with the z statistic, shows that the quality of life has been a change in the parameters of pain, masticatory function and type of food, activity, mood, anxiety, and general quality of life parameters associated with complaints of temporomandibular joint disorders, in patients with temporomandibular joint disorders before and after the use of occlusal splint which is statistically significant. This suggests that the use of occlusal splint can improve quality of life of patients with temporomandibular joint disorders. Key words: Temporomandibular joint disorders, occlusal splint, quality of life vItem HUBUNGAN FORWARD HEAD POSTURE DENGAN GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULA BERDASARKAN PENGUKURAN LINEAR(2012-11-01) TINE MARTINA WINARTI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Forward Head Posture (FHP) atau postur kepala ke depan adalah suatu posisi habitual kepala terhadap tubuh pada bidang sagital. Posisi kepala yang alami adalah tepat di atas bahu dengan leher sebagai penegaknya. Leher yang merupakan bagian paling atas dari kurvatura tulang belakang atau spina vertebra, pada bidang sagital membentuk sudut dengan batang tubuh sekitar 49º-59º. Sudut ini disebut sudut kraniovertebra normal. Semakin kecil sudut kraniovertebra, maka FHP semakin besar. Keadaan FHP dapat menjadi pemicu terjadinya berbagai macam kesalahan postur tubuh lainnya, gangguan sendi, dan penyakit muskuloskeletal. Sendi temporomandibula yang terletak di dekat tragus dapat mengalami gangguan berupa nyeri sendi dan orofasial, bunyi sendi, serta abnormalitas pergerakan. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara FHP dan gangguan sendi temporomandibula dan apakah ukuran sudut kraniovertebra dapat dipakai sebagai salah satu indikator diagnosis gangguan sendi temporomandibula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada 30 sampel mahasiswa profesi FKG Universitas Padjadjaran usia 20-28 tahun sebanyak 80% (4 laki-laki, 20 perempuan) mengalami gangguan sendi temporomandibula menurut klasifikasi RDC/TMD. Kelompok gangguan yang paling banyak diderita adalah Grup IIa, yaitu pergeseran diskus dangan reduksi, sebanyak 15 orang. Tujuh orang (12,5% ) dari seluruh sampel penderita gangguan sendi temporomandibula mempunyai 2 diagnosis. Sudut kraniovertebra rata-rata pada penderita gangguan sendi temporomandibula adalah 45,54º, sudut ini di bawah rentang sudut kraniovertebra normal yaitu 49º-59º. Sudut kraniovertebra rata-rata tanpa gangguan adalah 50,83º yang terletak pada rentang normal. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara sudut kraniovertebra (FHP) dengan gangguan sendi temporomandibula. Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa pasien dengan sudut kraniovertebra di bawah normal dapat mengalami gangguan sendi temporomandibula, sehingga ukuran sudut kraniovertebra dapat dipakai sebagai indikator gangguan sendi temporomandibula. Kata kunci: Forward Head Posture, Gangguan Sendi Temporomandibula, RDC/TMD. ABSTRACTS Forward Head Posture (FHP) is a habitual position of the head towards the trunk in a sagital plan. The natural head position is exactly above the shoulder with the neck as a support. Neck as the most superior part of the spinal curvature forms 49°-59° with the trunk at sagital plane. This angle is termed normal craniovertebral angle. The smaller the angle, the greater the FHP. Forward head posture can be a trigger for various awkward conditions such as other body postures misalignment, joint disorders and musculoskeletal diseases. Temporomandibular joint, located near tragus can have joints pain, orofacial tenderness, joints sound and abnormalities in movement. Aim of this research was to find out whether there was relationship between FHP and temporomandibular disorders (TMDs) and whether or not craniovertebral angle used as an TMDs diagnosis indicator. The result showed that in the 30 sample student of Faculty of Dentistry Universitas Padjadjaran ages between 20-28 years old, 80% of them (4 male, 20 female) experienced Temporomandibular disorders according to RDC/TMD classification. The most experienced disorders was group IIa, disc displacements with reduction, involving 15 students. Seven sample (12.5%) from the TMDs sufferer had two diagnosis. In TMDs sufferer, the average craniovertebral angle was 45.54° which was lower than normal craniovertebral angle (49°-59°). Average craniovertebral angle without any TMDs was 50.83°, falls in the normal range. The result showed there was a significant relationship between FHP and TMDs. The conclusion showed that a person with lack of craniovertebral angle can suffered TMDs. Therefore, craniovertebral angle may used as an TMDs diagnosis indicator. Keywords: Forward Head Posture, Temporomandibular disorders, RDC/TMDItem ANALISIS DISTRIBUSI TEGANGAN PADA TULANG ALVEOLAR PENDUKUNG GIGI TIRUAN FLEKSIBEL BERUJUNG BEBAS BILATERAL RAHANG BAWAH MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA TIGA DIMENSI(2013-01-20) RICCA CHAIRUNNISA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL) fleksibel terbuat dari bahan resin nilon termoplastik, yang mempunyai keuntungan fisis dan mekanis, yaitu estetis, kuat, akurat, biokompatibel dan nyaman. Penggunaan GTSL fleksibel pada kasus berujung bebas masih menjadi kontradiksi. Distribusi tegangan pada tulang alveolar di bawah GTSL fleksibel berujung bebas belum diketahui dengan jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah distribusi tegangan pada tulang alveolar pendukung GTSL fleksibel berujung bebas merata atau tidak. Penelitian menggunakan analisis metode elemen hingga tiga dimensi, diawali dengan pembuatan geometri rahang dan GTSL fleksibel dari hasil CT-scan. Kemudian dilakukan meshing, penentuan kondisi batas, pemberian sifat material dan selanjutnya dilakukan simulasi beban. Hasil penelitian menunjukkan terdapat konsentrasi tegangan pada tulang kortikal regio molar pertama sebesar: 9,6 MPa; 28,9 MPa; 48,1 MPa; 67,5 MPa; 86,4 MPa pada simulasi beban vertikal 50 N; 150 N; 250 N; 350 N; 450 N secara berurutan. Sedangkan pada simulasi beban lateral terjadi konsentrasi tegangan sebesar 8,0 MPa; 23,8 MPa; 39,6 Mpa; 56,4 MPa; dan 88,7 MPa untuk beban 50 N; 150 N; 250 N; 350 N; dan 450 N secara berurutan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa distribusi tegangan pada tulang alveolar pendukung GTSL fleksibel berujung bebas bilateral tidak merata. Nilai tegangan maksimum yang terjadi pada tulang alveolar pendukung GTSL fleksibel berujung bebas bilateral masih jauh di bawah nilai kekuatan tulang. ABSTRACT Flexible removable partial dentures (RPDs) are made of thermoplastic nylon resin, which have superior mechanical and physical benefit, such as: aesthetic, durable, accurate, biocompatible and comfortable. The use of flexible RPDs in free-end cases is still a contradiction. The stress distribution of alveolar bone supporting flexible RPDs remains unclear. The purpose of this study is to examine wether the stress distribution of alveolar bone beneath the distal extension flexible RPD occurs evenly. The research was done using three dimensional finite element method analysis, began with creation of the jaw and flexible RPD geometry from the CT-scan images, continued with mesh and boundary creation, material properties provision and loading simulation. The results showed that there were stress concentrations on the first molar region of the cortical bone at 9.6 MPa; 28.9 MPa; 48.1 MPa; 67.5 MPa; 86.4 MPa for vertical load simulation of 50 N, 150 N, 250 N, 350 N, 450 N, respectively. While in the simulation of lateral load, the stress concentrations occured at 8.0 MPa; 23.8 MPa; 39.6 MPa, 56.4 MPa; 88.7 MPa of 50 N, 150 N, 250 N, 350 N, and 450 N loading respectively. The results of this study concluded that the stress distribution of alveolar bone supporting bilateral free-end flexible RPD was uneven. The maximum stress occured in the alveolar bone supporting bilateral free-end flexible RPD was still under the mechanical strength of the alveolar bone.Item PERBANDINGAN DISAIN PREPARASI INCISAL BUTT-JOINT DAN INCISAL OVERLAP TERHADAP KETAHANAN FRAKTUR VENEER KERAMIK LAMINASI(2013-01-21) CHRISTIE RIZKI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenTerdapat perbedaan pendapat mengenai disain preparasi yang menutupi bagian insisal gigi terhadap ketahanan fraktur veneer keramik laminasi. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan disain preparasi incisal butt-joint dan incisal overlap terhadap ketahanan fraktur veneer keramik laminasi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan menggunakan sampel 12 gigi insisif sentral rahang atas yang memenuhi kriteria, yang dibagi dalam dua kelompok. Sampel kelompok pertama dipreparasi dengan disain preparasi incisal butt-joint dan kelompok kedua dipreparasi dengan disain preparasi incisal overlap, kemudian dibuat restorasi veneer keramik laminasi dan disemenkan pada gigi yang telah dipreparasi. Pada semua sampel dilakukan uji tekan. Hasil uji tekan dianalisis memakai uji t-student. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok disain preparasi incisal butt-joint dan kelompok disain preparasi incisal overlap. Rata-rata gaya pada kelompok disain preparasi incisal butt-joint sebesar 513,05 Newton (N) dengan standar deviasi 81,928 N, sedangkan pada kelompok disain preparasi incisal overlap sebesar 433,16 N dengan standar deviasi 69,462 N. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketahanan fraktur veneer keramik laminasi dengan disain preparasi incisal butt-joint lebih tinggi dibandingkan dengan disain preparasi incisal overlap. The incisal coverage preparation design toward fracture resistance of ceramic laminate veneer is still in contradiction. The purpose of this study is to compare fracture resistance of ceramic laminate veneer with incisal butt-joint and incisal overlap preparation design. The study was a laboratory experimental study. It was using 12 upper central incisors that met the criteria in the study. All specimens were divided into two experimental groups. The first group sample prepared using incisal butt-joint preparation design and the second group prepared using incisal overlap preparation design. After the preparation were completed, ceramic laminate veneer restorations were made and cemented to the prepared teeth. All samples were tested with compressive test. The results were analyzed using t-student test. Statistical analysis revealed a significant difference between the incisal butt-joint preparation design group and incisal overlap preparation design group. The mean load in the incisal butt-joint group was 513,05 Newton (N) with a 81,928 N standard deviation, while the incisal overlap group showed a value of 433,16 N with a 69,462 N standard deviation. The results of this study concluded that the fracture resistance of the ceramic laminate veneer with incisal butt-joint preparation design was higher than incisal overlap preparation design.Item ANALISIS DISTRIBUSI TEGANGAN PADA TULANG ALVEOLAR DARI IMPLAN GIGI DENGAN RESTORASI TUNGGAL DAN JEMBATAN MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA TIGA DIMENSI(2013-01-21) SRI WAHYUNINGSIH RAIS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Ada bermacam-macam kasus kehilangan gigi yang dapat ditangani dengan menggunakan implan, salah satunya dengan menggunakan restorasi tunggal ataupun jembatan. Tujuan penelitian adalah mengetahui apakah ada perbedaan distribusi tegangan pada tulang alveolar dari implan gigi dengan restorasi tunggal dan jembatan. Metode penelitian menggunakan metode elemen hingga tiga dimensi, yang terdiri dari tahap preprocessing, solution/solving, dan post processing. Penelitian dilakukan dengan mengamati pola distribusi, serta menilai tegangan tarik dan tegangan tekan pada tulang alveolar dari implan yang menyangga restorasi tunggal dan jembatan dengan pemberian beban arah vertikal maupun lateral sebesar 200 N. Hasil penelitian didapat nilai distribusi tegangan maksimal pada arah vertikal terhadap restorasi tunggal yaitu: tegangan tarik (20 MPa), dan tegangan tekan (30 MPa). Sedangkan restorasi jembatan: tegangan tarik (20 MPa), dan tegangan tekan (25 MPa). Nilai distribusi tegangan maksimal pada arah lateral terhadap restorasi tunggal yaitu: tegangan tarik (40 MPa), dan tegangan tekan (30 MPa). Sedangkan restorasi jembatan; tegangan tarik (40 MPa), dan tegangan tekan (50 MPa). Simpulan dari penelitian ini adalah distribusi tegangan yang terjadi pada tulang alveolar dari implan yang menyangga restorasi tunggal maupun jembatan, baik dalam arah beban vertikal maupun lateral, memiliki nilai lebih rendah dari tegangan tarik dan tekan tulang alveolar. Kata Kunci: implan gigi, tulang alveolar, tegangan tarik, tegangann tekan, metode elemen hingga tiga dimensi. ABSTRAC There are various cases of missing teeth that can be restoration with implants, one with a single or bridge restoration. The research objective was to determine whether there are differences in the stress distribution in the alveolar bone of dental implants with a single and bridge restorations. The research method using three-dimensional finite element method, which consists of preprocessing stage, solution / solving, and post processing. The study was conducted by observing the pattern of distribution, as well as assessing the tensile stress and compressive stress in the alveolar bone supporting the restoration of single implants and bridges by providing vertical and lateral loads of 200 N. The results obtained maximum value of the stress distribution in the vertical direction to a single restoration are: tensile stress (20 MPa), and compressive stress (30 MPa). While the restoration of the bridge: tensile stress (20 MPa), and compressive stress (25 MPa). Maximum value of the stress distribution in the lateral direction for a single restoration are: tensile stress (40 MPa), and compressive stress (30 MPa). While the restoration of bridges; tensile stress (40 MPa), and compressive stress (50 MPa). The conclusions of this study is the distribution of stress that occurs in the alveolar bone supporting the restoration of a single implant or bridge, in both vertical and lateral load direction, has a value lower than the tensile stress and compressive stress alveolar bone. Keywords: dental implants, alveolar bone, tensile stress, compressive stress, three-dimensional finite element method.Item PERBANDINGAN KEKUATAN LEKAT SEMEN ZINC PHOSPHATE DENGAN SEMEN RESIN SELF ADHESIVE SEBAGAI BAHAN SEMENTASI PASAK FIBER(2013-01-21) SETYAWAN BONIFACIUS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPenggunaan pasak fiber mulai populer di kalangan praktisi dokter gigi karena beberapa kelebihannya. Sesuai dengan tujuan penggunaan pasak yaitu memberikan retensi bagi restorasi koronalnya, maka diperlukan juga suatu semen yang mampu memberikan daya lekat yang baik. Semen resin konvensional sudah lama diperkenalkan sebagai sebagai bahan sementasi pilihan untuk pasak fiber akan tetapi penggunaannya sangat rumit sehingga memungkinkan terjadinya kegagalan perlekatan pasak fiber yang disebabkan kesalahan prosedur penyemenan. Penelitian ini bertujuan membandingkan kekuatan lekat semen zinc phosphate (Elite Cement 100, GC Japan) dan semen resin self adhesive (Breeze, Pentron, USA) sebagai bahan sementasi pasak fiber (FiberKleer 4X, Pentron, USA), karena kedua bahan semen ini mudah penggunaannya dan harganya relatif murah. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 20 buah gigi yang dibagi dalam 2 kelompok, Kelompok 1 menggunakan semen zinc phosphate dan Kelompok 2 menggunakan semen resin self adhesive. Nilai kekuatan lekat rata-rata kelompok 1 (zinc phosphate) adalah 82,65 N, sedangkan untuk kelompok 2 (resin self adhesive) adalah 402,81 N. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kekuatan lekat semen resin self adhesive sebagai bahan sementasi pasak fiber lebih tinggi dari pada kekuatan lekat semen zinc phosphate.Item Perbedaan Kualitas Hidup Sebelum Dan Sesudah Pemakaian Gigi Tiruan Lengkap Akrilik Serta Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pada Lansiap(2013-01-21) KRISNADI SETIAWAN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPenggunaan gigi tiruan lengkap akrilik pada lanjut usia merupakan upaya yang dapat meningkatkan kualtas hidupnya. dalam aspek kesehatan gigi dan mulut, kualitas hidup merupakan penilaian subyektif tentang dampak penyakit atau gangguan pada gigi dan mulut terhadap dimensi fungsi, rasa nyeri dan psikososial. Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup lansia sebelum dan sesudah pemakaian gigi tiruan lengkap akrilik telah dilakukan pada duapuluh pasien di Instalasi Prostodonsia RSGM FKG UNPAD. penelitian analitik observasi ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kualitas hidup setelah pemakaian gigi tiruan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan kualitas hidup lansia sebelum dan sesudah pemakaian gigi tiruan lengkap akrilik sangat signifikan (z hitung= -4,07 dengan nilai p sebesar 0,0000238). hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara faktor usia, jenis kelamin, pendidikan dan penghasilan dengan kualitas hidup setelah pemakaian gigi tiruan lengkap akrilik.( W=0,954 dengan chi kuadrat hitung= 76,467) Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian gigi tiruan lengkap akrilik dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien lanjut usia.Item PERBEDAAN DAN KETERKAITAN ASPEK PSIKOSOSIAL PENDERITA DAN BUKAN PENDERITA GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULA AKIBAT BRUXISM(2013-07-18) LILIS SUKMAYANI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenBruxism adalah aktifitas parafungsi siang hari atau malam hari yang terdiri dari menggerinda gigi (grinding), menggertakkan gigi-gigi (gnashing), atau mengatupkan rahang dengan kuat (clenching). Etiologi gangguan sendi temporomandibula dan bruxism masih merupakan bahan perdebatan oleh para peneliti. Aspek psikososial sering dikemukakan sebagai faktor etiologi. Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perbedaan dan keterkaitan aspek psikososial pada penderita dan bukan penderita gangguan STM akibat bruxism dengan menggunakan DC/TMD. Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran. Untuk skrining bruxism dilakukan pemeriksaan klinis dan pengisian kuesioner dari modifikasi Paesani dan Winocur. Skrining selanjutnya, penderita gangguan STM menggunakan pemeriksaan klinis dan kuesioner dari DC/TMD Axis I menghasilkan 60 orang responden, 40 orang termasuk ke dalam kelompok sampel dan 20 orang merupakan kelompok kontrol. Kedua kelompok diperiksa aspek psikososialnya menggunakan DC/TMD Axis II. Untuk memeriksa perbedaan aspek psikososial pada penderita dan bukan penderita gangguan STM akibat bruxism digunakan uji statistik Wilcoxon/Mann Whitney. Hasil analisis menunjukkan perbedaan pada semua aspek psikososial bermakna secara statistik antara penderita dan bukan penderita gangguan STM akibat bruxism, tetapi pada pengujian berdasarkan jenis-jenis bruxism, tidak semua variabel aspek psikososial mempunyai perbedaan yang bermakna secara statistik. Untuk menganalisis keterkaitan menggunakan uji statistik Kendal Coefficient of Concordance, hasilnya terdapat keterkaitan yang bermakna pada bruxism secara umum, phasic bruxism, tonic bruxism dan mixed bruxism, kecuali pada kelompok tonic bruxism. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan nilai aspek psikososial pada penderita dibandingkan dengan bukan penderita gangguan STM akibat bruxism, serta terdapat keterkaitan antara variabel aspek-aspek psikososial.Item Perbandingan Remodeling Tulang Mandibula antara Penderita dan Bukan Penderita Bruxism(2013-07-18) ENI RAHMI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Bruxism merupakan kebiasaan parafungsi yang terjadi saat terjaga dan/atau tidur, meliputi grinding, gnashing, bracing atau clenching gigi-geligi. Dalam keadaan tertentu, terjadi peningkatan frekuensi episode bruxism, durasi dan kekuatan kontraksi otot maseter, yang menimbulkan fenomena dengan konsekuensi patologis, antara lain remodeling tulang mandibula. Remodeling yang terjadi pada sudut mandibula berhubungan dengan pelekatan otot maseter dan pterigoid medial yang berinsersi pada daerah tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan remodeling tulang mandibula dengan parameter tinggi ramus, sudut gonial, dan lebar bigonial antara penderita dan bukan penderita bruxism, dengan menggunakan radiografi panoramik. Disamping itu, penelitian ini juga untuk mengetahui keterkaitan antara ketiga parameter tersebut pada penderita bruxism. Penelitian ini dilakukan pada 35 orang penderita bruxism (10 orang phasic bruxism, 6 orang tonic bruxism, dan 19 orang mixed bruxism) dan kelompok kontrol sebanyak 20 orang. Data diperoleh dengan pengisian kuesioner, pemeriksaan klinis dan pengukuran radiografi. Pengukuran hasil radiografi panoramik dilakukan dengan software CBCT EPX Impla (E-Woo Korea). Hasil radiografi panoramik menunjukkan terdapat perbedaan tinggi ramus, lebar bigonial, dan besar sudut gonial yang signifikan secara statistik antara penderita dan bukan penderita bruxism. Perbedaan ini terlihat dengan adanya penambahan tinggi ramus dan lebar bigonial, serta besar sudut gonial yang lebih kecil pada penderita bruxism. Penelitian ini juga memperlihatkan adanya keterkaitan antara tinggi ramus, sudut gonial dan lebar bigonial pada penderita bruxism yang bermakna secara statistik. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi remodeling tulang pada tepi posterior dan inferior sudut mandibula pada penderita bruxism. Remodeling ini ditandai dengan adanya perbedaan ukuran dan bentuk permukaan sudut mandibula antara penderita bruxism (phasic bruxism, tonic bruxism dan mixed bruxism) dengan bukan penderita bruxism, yang terlihat pada radiografi panoramik. Kata kunci: remodeling, tinggi ramus, sudut gonial, lebar bigonial, bruxism.Item KEMAMPUAN HISAP BAYI CELAH BIBIR DAN LANGIT-LANGIT BILATERAL KOMPLIT DENGAN FEEDING PLATE MODIFIKASI HOTZ-KOGO(2014-04-17) DRG HERLINA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenKelainan celah bibir dan langit-langit merupakan kelainan yang sering terjadi pada kelainan kepala dan leher, disebabkan kegagalan penyatuan segmen pada minggu keempat kehamilan. Malformasi mengakibatkan kesulitan menghisap dan menelan, hingga terjadi malnutrisi di awal kehidupan bayi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan hisap bayi celah bibir dan langit-langit bilateral komplit menggunakan feeding plate dengan disain modifikasi Hotz-Kogo di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan pada 9 bayi baru lahir. Untuk mendapatkan model rahang atas dilakukan pencetakan dibawah pengawasan dokter ahli anestesi. Pembuatan feeding plate dengan disain modifikasi Hotz-Kogo menggunakan resin akrilik keras dan lunak dilakukan di laboratorium RSGM Unpad. Setelah plat terpasang pada bayi dilakukan pengukuran tekanan negatif dan volume hisap bayi selama 15 menit. Pengukuran kedua diambil setelah 7-12 hari setelah pemasangan. Hasil penelitian menunjukkan penurunan nilai tekanan negatif dan peningkatan volume hisap pada pengukuran kedua. Uji statistik menggunakan uji t hasilnya signifikan, dimana p value < α. Keterkaitan antara tekanan negatif dan volume adalah signifikan secara statistik yaitu korelasi negatif. Kesimpulannya feeding plate modifikasi Hotz-Kogo dapat meningkatkan kemampuan hisap bayi celah bibir dan langit-langit bilateral komplit.Item PERBANDINGAN KEKUATAN TRANSVERSAL ANTARA RESIN AKRILIK DENGAN PENGUAT GLASS FIBER DAN PENGUAT KASA LOGAM(2014-07-21) MIRA ANDRIANI ANAS; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenFraktur pada landasan gigi tiruan lengkap rahang atas merupakan masalah yang umum terjadi. Hal ini terjadi akibat lemahnya kekuatan transversal resin akrilik sebagai bahan utama landasan gigi tiruan. Kekuatan transversal adalah ketahanan bahan terhadap beberapa gaya yaitu gaya tekan, gaya tarik, dan gaya geser. Untuk mengatasi masalah ini telah dilakukan beberapa modifikasi dengan memberi penguat pada landasan gigi tiruan. Pada penelitian ini diteliti dua tipe penguat, yaitu penguat glass fiber dan penguat kasa logam. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kekuatan transversal gigi tiruan lengkap berbahan resin akrilik (metode heat-curing) yang diberi penguat E Glass Fiber Chopped Strand Mat (Clan, Cina) dan penguat kasa logam (GT wire mesh, Cina). Kedua bahan penguat ini mudah didapat dan harganya relatif ekonomis. Terdapat 15 sampel plat resin akrilik yang dapat di bagi dalam 3 kelompok; Kelompok satu, resin akrilik tanpa penguat sebagai kontrol; Kelompok dua, resin akrilik menggunakan bahan penguat glass fiber; dan Kelompok ketiga, resin akrilik menggunakan bahan penguat kasa logam. Setelah dilakukan pengujian terhadap sampel tersebut ditemukan bahwa rerata kekuatan transversal resin akrilik tanpa penguat 76,34 MPa, resin akrilik dengan penguat glass fiber adalah 92,60 MPa, dan resin akrilik dengan penguat kasa logam adalah 81,20 MPa. Pendekatan statistik ANAVA dengan p-value sebesar 0,0026, memperlihatkan perbedaan antara ketiga kelompok tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa resin akrilik dengan penguat glass fiber lebih kuat 14% dibandingkan dengan menggunakan penguat kasa logam dan 21,3% lebih kuat dibanding resin akrilik tanpa penguat sama sekaliItem KEKUATAN LEKAT SEMEN RESIN ADESIF MENGGUNAKAN METAL PRIMER DIBANDING SANDBLASTING PADA GIGI TIRUAN JEMBATAN ADESIF(2014-08-05) FAUZI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPada umumnya retensi yang dibuat pada sayap logam gigi tiruan jembatan adesif adalah pengasaran permukaan lempengan alloy logam dengan cara sandblasting partikel alumina. Pada saat ini berkembang juga metal primer yang dapat membentuk ikatan antara logam dengan semen resin adesif. Perkembangan gigi tiruan jembatan adesif, mendorong penelitian tentang metal primer yang efektivitasnya terbukti dapat membentuk retensi antara permukaan alloy logam mulia dan non mulia dengan semen resin adesif. Tujuan penelitian eksperimental laboratorium ini adalah untuk melihat pengaruh perlakuan metal primer maupun sandblasting pada permukaan lempengan alloy logam Ni-Cr terhadap kekuatan lekat semen resin adesif yang biasa digunakan dalam gigi tiruan jembatan adesif. Sampel penelitian berjumlah 12 lempengan alloylogam Ni-Cr berbentuk persegi panjang berukuran 7 mm x 5 mm x 1 mm yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan dengan jumlah sampel pada setiap kelompok sebanyak enam buah. Pengukuran kekuatan tarik memakai Ametek LLOYD Instrument yang hasilnya di analisis secara statistika dengan uji statistik t student menggunakan program Excel MegaStat. Hasil penelitian menunjukan kekuatan lekat semen resin adesif pada permukaan logam alloy Ni-Cr dengan metal primer lebih tinggi dibanding sandblasting. Analisis statistik mencatat tingkat kesalahan penelitian (standard error of difference) 0,015 dan t hitung 20,22 dan p-value = 1.93E-09, maka dapat dikatakan hasil penelitian ini sangat signifikan (p-value< 0,01).Item PERBEDAAN KEMAMPUAN RETENTIF PADA GAYA GIGIT INISIAL ANTARA ALOE VERA DENGAN POLY(METHYLVYILETHER/MALEIC ACID) SEBAGAI BAHAN ADESIF PADA GIGI TIRUAN LENGKAP AKRILIK(2015-01-19) MARISA JULINDA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Pasien yang baru memakai gigi tiruan lengkap akrilik, seringkali kurang percaya diri untuk menggunakan gigi tiruan lengkapnya untuk mengunyah dan berbicara, karena kekhawatiran akan terlepasnya gigi tiruan lengkap akrilik dan rasa sakit pada linggir. Aplikasi denture adhesive dapat membantu pemakai gigi tiruan. Produk denture adhesive di pasaran ada yang berbahan dasar herbal (Aloe vera) dan sintetis (Poly(methylvinylether/maleic acid)). Penelitian ini bertujuan membandingkan denture adhesive berbahan dasar Aloe Vera dan Poly(methylvinylether/maleic acid). Metode penelitian eksperimental murni menggunakan 10 sampel dari pasien sesuai kriteria inklusi yang baru menggunakan gigi tiruan lengkap akrilik yang dibuat berdasarkan prosedur di bagian prostodonsia. Sampel diuji dalam tiga kelompok, tanpa denture adhesive sebagai kontrol dan dua kelompok perlakuan berupa pemakaian denture adhesive berbahan dasar Aloe vera dan Poly(methylvinylether/maleic acid). Pengujian kemampuan retentif pada gaya gigit insisal menggunakan alat ukur Pressure Transducer. Analisis perbedaan gaya gigit insisal pelepasan yang bermakna terhadap gigi tiruan akrilik yang diberi aplikasi dengan denture adhesive berbahan dasar Aloe vera, dibandingkan dengan Poly(methylvinylether/maleic acid) menunjukan perbedaan bermakna dengan nilai p-value < 0,05. Analisis perbedaan panjangnya waktu bagi gigi tiruan lengkap akrilik dapat bertahan pada tempatnya, dengan aplikasi Poly(methylvinylether/maleic acid) dibandingkan dengan Aloe vera, menunujukkan perbedaan sangat bermakna dengan nilai p-value < 0,01. Kesimpulan penelitian adalah gaya gigit insisal pelepasan pada kelompok aplikasi Aloe vera pada gigi tiruan lengkap akrilik lebih besar dibanding kelompok lain, sedangkan kemampuan gigi tiruan lengkap akrilik dapat bertahan lebih lama pada kelompok aplikasi Poly(methylvinylether/maleic acid) dibanding kelompok lain. Kata kunci: kemampuan retentif, gaya gigit insisal, Aloe vera, Poly(methylvinylether/maleic acid), Pressure TransducerItem PERBEDAAN KEKUATAN TEKAN PADA DISAIN PASAK FIBER(2015-01-19) HERU SUBAGYO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Pasak fiber berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir dan semakin banyak digunakan untuk merestorasi gigi yang sudah dirawat endodontik. Penggunaan pasak ini terbukti telah banyak menurunkan insidensi fraktur akar. Kegagalan yang terjadi adalah fraktur dan atau dislokasi pasak. Sering ditemukan terjadi fraktur pasak fiber setelah restorasi, walaupun tidak diikuti dengan fraktur akar, sehingga memungkinkan untuk merestorasi ulang. Pasak fiber tersedia dalam tiga macam disain, yaitu: disain paralel, tapered, dan serrated., yang paling banyak digunakan adalah disain tapered. Penelitian dilakukan dengan maksud untuk mengetahui perbedaan kekuatan tekan tiga macam disain pasak fiber. Rancangan penelitian menggunakan metode eksperimental murni. Penelitian dimulai dengan menyeleksi sampel gigi Insisivus 1 rahang atas. Sampel dibagi menjadi tiga kelompok; kelompok pertama terdiri atas sampel yang direstorasi dengan pasak fiber disain paralel, kelompok ke dua disain tapered dan kelompok ke tiga disain serrated. Masing-masing kelompok terdiri atas 6 sampel. Setelah dibentuk inti dengan resin komposit dilakukan uji tekan dengan alat Universal Testing Machine (Instron). Hasil uji penelitian ini menunjukkan: terdapat perbedaan kekuatan tekan pada ketiga disain pasak fiber. Pasak fiber disain paralel 224,85 N, tapered 158,07 N, serrated 192,52 N. dengan p-value < 0,05. Kesimpulan penelitian ini adalah: Terdapat perbedaan kakuatan tekan pada disain pasak fiber. Kekuatan tekan pasak fiber disain paralel sama dengan kekuatan tekan disain serrated serta lebih kuat dibandingkan dengan disain tapered. Disain tapered mempunyai nilai kekuatan tekan paling kecil dibandingkan dengan kedua disain yang lain. Kata kunci: Pasak fiber, disain, fraktur, kekuatan tekanItem PERBEDAAN KEKUATAN LEKAT SEMEN RESIN PADA SAYAP LOGAM JEMBATAN ADESIF YANG DIETSA DENGAN YANG DIBERIKAN BEBERAPA LUBANG(2015-10-19) SILVIA NALIANI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenBeberapa perkembangan perlakuan terhadap logam jembatan adesif telah disarankan sejak jembatan adesif mulai diperkenalkan. Pada dasarnya terdapat dua tipe disain retainer berdasarkan metode retensi, yaitu retensi makromekanikal dengan pemberian beberapa lubang yang dikenal sebagai jembatan Rochette dan retensi mikromekanikal dengan pemberian etsa yang biasa disebut jembatan Maryland. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan kekuatan lekat semen resin pada sayap logam jembatan adesif yang diberi etsa dengan yang diberi beberapa lubang. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratoris, sampel terdiri dari 10 buah lempeng logam Ni-Cr berdiameter 13 mm setebal 1 mm yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan dengan jumlah sampel pada tiap kelompok masing-masing lima buah. Lima lempeng logam diberikan beberapa lubang dan lima buah dietsa dengan menggunakan gel Met-Etch. Pengukuran kekuatan tarik memakai alat Ametek Llyod Instrument. Hasil penelitian menunjukkan kekuatan lekat semen resin pada permukan logam alloy Ni-Cr dengan etsa lebih tinggi hasilnya dibanding yang diberikan beberapa lubang. Analisis statistik dengan uji t mendapatkan nilai t hitung 2,75 dan p-value 0,125, maka dapat dikatakan hasilnya signifikan (p-value<0.5). Kesimpulan dari penelitian ini adalah logam yang diberi etsa lebih retentif hasilnya dibandingkan logam yang diberi beberapa lubang.Item PENGARUH BENTUK PREPARASI FERRULE DAN SEAT TERHADAP KETAHANAN FRAKTUR PASAK FIBER BERMAHKOTA KOMPOSIT(2015-10-20) NOVIANA KURNIAWAN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenGigi yang telah dirawat endodontik biasanya rapuh dan telah kehilangan struktur gigi yang luas sehingga perlu direstorasi dengan mahkota pasak-inti. Saat ini pasak fiber semakin banyak digunakan untuk merestorasi gigi yang telah dirawat endodontik karena lebih estetik, pembuatannya lebih mudah, dan menurunkan resiko terjadinya fraktur akar dibandingkan pasak logam cor. Bentuk preparasi yang dapat diterapkan untuk merestorasi gigi yang telah dirawat endodontik adalah bentuk preparasi ferrule dan bentuk preparasi seat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bentuk preparasi ferrule dan seat terhadap ketahanan fraktur pasak fiber bermahkota komposit serta mengetahui bentuk preparasi yang lebih baik terhadap ketahanan fraktur pasak fiber bermahkota komposit. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris menggunakan 12 gigi insisivus pertama rahang atas yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dipreparasi bentuk ferrule dan kelompok kedua dipreparasi bentuk seat. Hasil penelitian ketahanan fraktur pasak fiber yang dianalisis dengan metode analisis statistik uji t-student menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p-value = 0,0371 (p<0,05). Rata-rata ketahanan fraktur pasak fiber pada gigi yang dipreparasi bentuk ferrule sebesar 239,53 N dengan standar deviasi 36,57 N, sedangkan pada gigi yang dipreparasi bentuk seat sebesar 201,09 N dengan standar deviasi 29,85 N. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bentuk preparasi ferrule dan seat memberikan pengaruh terhadap ketahanan fraktur pasak fiber bermahkota komposit, dimana bentuk preparasi ferrule memberi ketahanan fraktur pasak fiber yang lebih baik dibandingkan bentuk preparasi seat.Item PENGARUH KONSENTRASI KITOSAN DAN BASE LAYER BERBASIS GEOPOLIMER TERHADAP PERBEDAAN UKURAN CELAH PADA PERLEKATAN ANTARA KOMPOSIT DENGAN LOGAM(2016-01-11) BERNADETA PATRIANINGRUM SUSI HERAWATI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenKehilangan lapisan porselen pada restorasi logam porselen di daerah anterior, khususnya di daerah labial, menimbulkan rasa tidak nyaman dan tidak percaya diri dari pasien karena gangguan estetis. Cara yang praktis untuk memperbaikinya adalah dengan melakukan reparasi di dalam mulut. Saat ini, banyak dijual di pasaran bahan adesif atau dikenal juga dengan istilah bahan coupling agent untuk reparasi restorasi mahkota logam porselen yang mengalami fraktur porselen di anterior, dengan harga yang relatif mahal. Bahan alternatif yang sedang dikembangkan sebagai bahan adesif dengan harga yang murah dan memiliki kualitas yang baik adalah kitosan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kitosan dapat digunakan sebagai bahan adesif untuk pelekatan antara komposit dengan logam dengan membandingkan rata-rata ukuran lebar celah yang terbentuk pada masing-masing sampel. Terdapat empat sampel pada penelitian ini. Sampel pertama sebagai kontrol menggunakan bahan adesif buatan pabrik, sampel kedua menggunakan kitosan 2% dan base layer, sampel ketiga menggunakan kitosan 4% dan base layer, sampel keempat menggunakan kitosan 6% dan base layer. Data yang didapat berupa data kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan melihat morfologi mikrostruktur yaitu melihat ada tidaknya celah yang terjadi antara komposit dengan logam, unsur-unsur yang terkandung dalam sampel dan penyebarannya serta interaksi elektrostatik antar unsur pada sampel. Analisis kuntitatif dilakukan dengan mengukur besar celah yang ditemukan antara logam dengan komposit kemudian diuji menggunakan ANAVA dengan statistik F. Jika ANAVA signifikan, maka dilakukan uji Post Hoc menggunakan t test. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan lebar celah yang bermakna secara statistik antara sampel kedua dengan sampel pertama, ketiga dan keempat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa aplikasi kitosan 2% dan base layer menghasilkan lebar celah terkecil sehingga memiliki kualitas perlekatan yang paling baik antara komposit dengan logam.Item ANALISIS DISTRIBUSI TEGANGAN TERHADAP GIGI TIRUAN JEMBATAN DUKUNGAN IMPLAN DISAIN NON-SUBMERGED DAN SUBMERGED(2016-01-18) JOKO PRIHATONO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenRestorasi gigi dengan implant-supported merupakan salah satu cara untuk mengatasi kasus berujung bebas, misalnya kehilangan tiga gigi posterior, biasanya dipasang tiga buah implan yang mendukung masing-masing satu suprastruktur atau dapat juga dipasang dua buah implan yang mendukung suprastruktur berupa jembatan (bridge) tiga unit. Implan dan abutmen pada dasarnya adalah dua komponen yang dijadikan satu oleh screw maka tantangan utama yang perlu diatasi dengan restorasi implan satu gigi adalah longgarnya screw dan fraktur implan atau abutment karena meningkatnya potensi timbulnya gaya pada implan, abutment, dan screw yang tidak dapat diprediksi. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan distribusi tegangan di sambungan antara implan dan abutmen pada gigi jembatan dukungan implan disain submerged dan non-submerged. Metode yang dilakukan adalah dengan metode elemen hingga tiga dimensi. Implan SSII (merk Osstem) dan implan 2 DRILL (2D Implant Co., Ltd) dengan ukuran 4,8x10 mm telah dianalisis dengan simulasi metode elemen hingga tiga dimensi dibawah suatu beban statis lateral dan vertikal sebesar 180 N. Model numerik segmen tulang rahang posterior rahang bawah dihasilkan pada gambaran computed tomography, dan pengukuran pembebanan dilakukan untuk mengetahui besarnya distribusi tegangan pada daerah sambungan antara implan dan abutmen pada gigi jembatan dukungan implan disain submerged dan non-submerged. Hasil pembebanan lateral, didapatkan nilai distribusi tegangan pada sambungan antara implan dan abutmen disain submerged yaitu sebesar 1,562x107 Pa, sedangkan pada disain non-submerged sebesar 9,63x107 Pa. Pada pembebanan vertikal, nilai distribusi tegangan pada sambungan antara implan dan abutmen disain submerged yaitu sebesar 1,038x107 Pa, sedangkan pada disain non-submerged sebesar 3,452x107 Pa. Pada pembebanan 180 Newton arah vertikal maupun lateral terhadap gigi jembatan dukungan implan, didapatkan nilai distribusi tegangan pada daerah sambungan antara implan dan abutmen disain submerged maupun non-submerged masih lebih kecil dari nilai ultimate tensile strength (UTS) yaitu 1040 MPa (1,04x109 Pa). Kedua jenis disain implan submerged dan non-submerged beserta komponen sekundernya (abutment) aman digunakan untuk dukungan gigi tiruan jembatan.Item ANALISIS BENTUK KONDILUS MANDIBULA PADA AWAKE, SLEEP, DAN COMBINED BRUXISM MENGGUNAKAN RADIOGRAFI PANORAMIK DIGITAL(2017-03-27) FRANCESCA NOVI MARGARETA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAktivitas bruxism dapat menyebabkan hiperaktivitas otot pengunyahan dan memicu terjadinya proses remodeling tulang mandibula, yang disertai dengan perubahan bentuk kondilus mandibula. Perubahan bentuk kondilus merupakan respon terhadap beban mekanis yang melebihi batas kapasitas adaptasi sendi temporomandibula, yang dapat terlihat dari gambaran radiografi panoramik digital berbentuk oval, diamond, bird beak, dan crooked finger. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat gambaran bentuk kondilus mandibula yang berbeda pada penderita awake bruxism (AB), sleep bruxism (SB), dan combined bruxism (CB). Kelompok sampel terdiri dari 27 orang penderita bruxism (9 orang SB, 9 orang AB, dan 9 orang CB) dan kelompok kontrol sebanyak 9 orang. Data diperoleh dengan pengisian kuesioner, pemeriksaan klinis, dan radiografi panoramik digital. Tracing bentuk kondilus mandibula menggunakan software Fiji. Analisis data penelitian ini menggunakan uji statistik non parametrik Kruskall Wallis test. Hasil pengujian melalui skoring bentuk kondilus didapatkan p value = 0,0041 (p 0,05). Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa analisis radiograf panoramik bentuk kondilus penderita bruxism (sleep bruxism, awake bruxism, dan combined bruxism) berbentuk bird beak, sedangkan pada kelompok kontrol berbentuk oval.Item PERBEDAAN KEKUATAN TEKAN PASAK GLASS FIBER DIBANDINGKAN POLYETHYLENE FIBER DENGAN INTI KOMPOSIT(2017-03-31) ANITA; Erna Kurnikasari; Tidak ada Data DosenPerawatan endodontik merubah komposisi struktur gigi normal, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya fraktur dan perubahan warna pada gigi nonvital. Untuk mengurangi resiko terjadinya fraktur pada gigi yang telah dirawat endodontik maka dibuatkan pasak dan inti untuk mendistribusikan tekanan kunyah ke akar. Fiber reinforced composite (FRC) merupakan alternatif perawatan pasak dimana memiliki modulus elastisitas mendekati dentin dan memberikan estetik lebih baik dibandingkan pasak logam. Ada dua jenis FRC yang banyak digunakan yaitu glass fiber dan polyethylene fiber. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kekuatan tekan antara pasak glass fiber dibandingkan polyethylene fiber dan mengetahui kekuatan tekan mana yang lebih tinggi diantara pasak glass fiber dibandingkan polyethylene fiber. Uji tekan dilakukan pada permukaan palatal inti komposit dengan sudut 135 derajat terhadap sumbu panjang gigi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris murni menggunakan 14 gigi insisivus pertama rahang atas yang dibagi menjadi dua kelompok dengan bentuk ferulle. Kelompok pertama menggunakan glass fiber dan kelompok kedua menggunakan polyethtlene fiber. Hasil penelitian kekuatan tekan pasak yang dianalisis dengan metode analisis statistik uji t-student menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p-value = 0,046 (p<0,05). Rata-rata kekuatan tekan pasak glass fiber sebesar 622,659N dengan standar deviasi 197,701N, sedangkan rata-rata kekuatan tekan pasak polyethylene fiber sebesar 438,577N dengan standar deviasi sebesar 177,821N. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan kekuatan tekan pasak glass fiber dibandingkan polyethylene fiber, dimana pasak glass fiber memiliki kekuatan tekan lebih tinggi dibandingkan polyethylene fiber.