Ilmu Penyakit Mulut (Sp.)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Penyakit Mulut (Sp.) by Title
Now showing 1 - 20 of 47
Results Per Page
Sort Options
Item ANALISIS DERAJAT DIFERENSIASI ORAL SQUAMOUS CELL CARCINOMA BERDASARKAN USIA DAN JENIS KELAMIN DI RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG TAHUN 2016-2021(2022-11-03) ADI AHMAD YUSUF; Irna Sufiawati; Tenny Setiani Dewi SPendahuluan: Kanker pada rongga mulut sekitar 95% merupakan OSCC. Derajat diferensiasi OSCC sering digunakan sebagai dasar prognosis. Perbedaan dalam paparan faktor risiko dan adanya inlamasi kronik, alterasi genetik, infeksi viral dapat terjadi berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis hubungan tingkat derajat diferensiasi OSCC berdasarkan usia dan jenis kelamin. Metode: Jenis penelitian ini ialah observasional analitik dengan desain potong lintang. Pencatatan usia dan jenis kelamin serta deraja diferensiasi dilakukan dengan melihat rekam medis RSHS Bandung dengan kode ICD C00-C06 dari tahun 2016-2021. Analisis data menggunakan chi-square dan uji koefisien korelasi kontingensi untuk mengetahui hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan derajat diferensiasi OSCC. Hasil: Subjek penelitian adalah laki-laki sebanyak 78 orang (47,3%) dan perempuan (87 orang (52,7%). Rata-rata usia subjek adalah 50,9 tahun (SD±11,6) dari usia termuda ialah 19 dan paling tua ialah 78 tahun. Berdasarkan kategori usia memiliki kecenderungan yang sama yaitu lebih banyak well differentiated OSCC dan moderately OSCC dan paling sedikit ialah poorly differentiated. Berdasarkan jenis kelamin memiliki tren yang sama yaitu lebih banyak well differentiated OSCC dan moderately OSCC, yang paling sedikit ialah poorly differentiated OSCC. Hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan derajat diferensiasi OSCC secara statistik p-value dengan (p>0,05) menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan. Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan derajat diferensiasi OSCC.Item Analisis Faktor Risiko Kanker Kepala dan Leher di Rumah Sakit dr Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015-2019(2022-01-07) NURI FITRIASARI; Raden Yohana; Irna SufiawatiPendahuluan: Kanker kepala dan leher (KKL) adalah tumor yang berasal dari rongga mulut, rongga sinonasal, faring, laring dan kelenjar saliva yang termasuk ke dalam keganasan paling sering terjadi dan urutan ketujuh di dunia pada tahun 2018. Patogenesis KKL yang tepat belum sepenuhnya diketahui, namun sebagian besar penyebab dari kanker adalah multifaktorial dengan mekanisme yang kompleks. Faktor risiko KKL didominasi oleh merokok, minum alkohol, menyirih, virus, faktor risiko lain yang telah dikaitkan dengan KLL termasuk pola diet, paparan pekerjaan, usia, jenis kelamin, dan pendidikan juga penting untuk menentukan risiko KKL. Tujuan: Mengetahui hubungan faktor risiko kebiasaan merokok, kebiasaan minum alkohol, menyirih, pekerjaan, usia, jenis kelamin dan pendidikan dengan KKL di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2015 sampai dengan Desember 2019. Metode: Penelitian retrospektif dengan metode cross sectional, sampel secara random sampling sebanyak 372 pasien KKL dari populasi sebanyak 1657 pasien KKL. Hasil: Pengujian statistik menunjukkan bahwa hanya terdapat dua variabel yang signifikan berhubungan dengan KKL yakni variabel jenis kelamin (nilai p = 0.010) dan variabel kebiasaan merokok (nilai p = 0.014) dengan nilai koefisien Cramer’s lebih dari 0.25 dan kurang dari 0.5 maka tingkat keeratan hubungan yang cukup kuat dengan KKL. Simpulan: Terdapat hubungan faktor risiko kebiasaan merokok dan jenis kelamin dengan KKL di RSUP dr Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015-2019.Item ANALISIS HUBUNGAN KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D SERUM DENGAN PENYAKIT MUKOSA MULUT DAN FAKTOR RISIKONYA(2023-08-23) FIKA FARADILLAH DRAKEL; Irna Sufiawati; Indah Suasani WahyuniIntroduction: Low levels of serum 25-hydroxyvitamin D are closely linked to health problems that can be influenced by risk factors. The purpose of this study was to look at the relationship between 25-hydroxyvitamin D levels in risk factors for age, sex, body mass index (BMI) and comorbidities, and to see differences in serum 25-hydroxyvitamin D levels in patients with oral mucosal disease and healthy individuals. Methods: This study was a retrospective observational study with a case-control research design, conducted and analyze by recording serum 25-hydroxyvitamin D levels in patients with oral mucosal diseases and healthy individuals according to the inclusion and exclusion criteria at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung from 1 January 2019 to 31 December 2021. Results: Female patients (62.27%) were significantly more prevalent (p<0.000) than males (37.21%). The age group of 26–50 years (79.06%) were significantly larger (p<0.000) than other groups. Serum 25-hydroxyvitamin D deficiency in patient wiyh oral mucosal disease were significantly higher (p<0.000) than in the other groups. The top three cases of oral mucosal diseases found were oral cancer (17.82%), recurrent aphthous stomatitis (16.83%), and candidiasis (13.86%) respectively. Serum 25-hydroxyvitamin D levels in healthy individuals were significantly higher (p<0.000) than in patients with oral mucosal diseases. There was a significant association (p<0.000) between gender and serum 25-hydroxyvitamin D levels with an odds ratio of 5.78, age, BMI, and comorbidities were not associated. Conclusion: This study showed that most patients with oral mucosal disease had deficient serum 25-hydroxyvitamin D levels, the most common gender was female and there was a difference in lower serum 25-hydroxyvitamin D levels in patients with oral mucosal disease compared to healthy individuals. There is a significant relationship between gender and serum 25-hydroxyvitamin D levels.Item Analisis Insidensi dan Faktor risiko Lesi Oral Pasien HIV/AIDS Di RSUP. DR. Hasan Sadikin Bandung(2023-10-11) IIN HELDAYANI; Irna Sufiawati; Yovita HartantriABSTRAK Pendahuluan: Lesi oral banyak ditemukan pada pasien HIV/AIDS dan keberadaannya dapat dijadikan indikasi progresifitas infeksi virus maupun menurunnya sistem kekebalan tubuh pasien. Seiring perubahan pola hidup, berbagai faktor risiko dapat menjadi pemicu timbulnya lesi oral pada pasien HIV/AIDS. Tujuan: Menganalisis insidensi dan korelasi faktor risiko dengan lesi oral pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Metode: Penelitian ini adalah deskriptif-retrospektif dengan metode cross sectional. Populasi penelitian adalah pasien HIV/AIDS yang diberikan pengobatan di poliklinik HIV dan ruang rawat inap RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2022 sampai Maret 2023. Sampel penelitian ditentukan menggunakan metode purposive sampling berjumlah 108 pasien. Analisis statistik yang digunakan yaitu univariat, bivariat dan multivariat menggunakan software SPSS versi 25.00. Hasil: Insidensi lesi oral terjadi pada 75,9% dengan lesi oral paling dominan adalah Kandidiasis Pseudomembran Akut (25,00%), Oral Hairy Leukoplakia (20,3%) dan Recurrent Apthous Stomatitis (17,2%). Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa terdapat 2 faktor risiko yang berkorelasi signifikan dengan lesi oral yaitu oral hygiene buruk (p = 0,004: 95% CI: 1,86-26,98), stadium klinis HIV yang terdiri dari stadium 4 (p = 0,012: 95% CI: 2,247-625,68) dan stadium 3 (p = 0,017: 95% CI: 1,51-61,15). Faktor risiko lain terdiri dari usia, jenis kelamin, jenjang pendidikan, status pekerjaan, Body Mass Index (BMI), merokok, minum alkohol, kadar Total Lymphosite Count (TLC) dan terapi ARV secara statistic tidak berkorelasi signifikan dengan lesi oral pasien HIV/AIDS. Simpulan: Insidensi lesi oral pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung termasuk tinggi yaitu 75,9% dan terdapat korelasi yang signifikan antara oral hygiene buruk dan stadium klinis HIV 3 dan 4 dengan lesi oral pasien HIV/AIDS. Kata Kunci: Infeksi HIV/AIDS, Faktor Risiko, Insidensi Lesi Oral ABSTRACT Introduction: Oral lesions are commonly found in HIV/AIDS patients and the presences could be used as an indication of the progression of the viral infection as well as a decrease of the patient`s immune system. As lifestyle changes, various risk factors can trigger oral lesions in HIV/AIDS patients. Objective: To analyze the incidence and correlation of risk factors with oral lesions of HIV/AIDS patients at RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Methods: The study is a descriptive-retrospective with cross-sectional method. The population was HIV/AIDS patients who were given treatment at HIV polyclinic and inpatient rooms of RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung for period of January 2022 to March 2023. The sample was determined using a purposive sampling method, totalling 108 patients. The statistical analysis used were univariate, bivariate and multivariate using SPSS software version 25.00. Results: The incidence of oral lesions was 75.9% with the most predominant oral lesions were Acute Pseudomembranous Candidiasis (25.00%), Oral Hairy Leucoplakia (20.3%) and Recurrent Aphthous Stomatitis (17.2%). The results of statistical analysis showed that there were 2 risk factors that significantly correlated with oral lesions, namely poor oral hygiene (p = 0.004: 95% CI: 1.86-26.98), HIV clinical stage consisting of stage 4 (p = 0.012: 95% CI: 2.247-625.68) and stage 3 (p = 0.017: 95% CI: 1.51-61.15). Other risk factors comprised of age, gender, education level, employment status, Body Mass Index (BMI), smoking, alcohol, Total Lymphocyte Count (TLC) level and ARV therapy were statistically not significantly correlated with oral lesions in HIV/AIDS patients. Conclusion: Incidence of oral lesions in HIV/AIDS patients at RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung was high at 75.9% and there were significant correlation between poor oral hygiene and clinical stages of HIV 3 and 4 with oral lesions in HIV/AIDS patients. Keywords: HIV/AIDS Infection, Risk Factors, Incidence of Oral LesionsItem ANALISIS KADAR SERUM VITAMIN A DAN VITAMIN C TERHADAP CD4, VIRAL LOAD, STATUS NUTRISI SERTA LESI ORAL PADA PASIEN HIV/AIDS(2022-01-12) NELLY NAINGGOLAN; Dewi Marhaeni Diah Herawati; Agnes Rengga IndratiPendahuluan: Mikronutrien mempunyai peran penting dalam patogenesis penyakit HIV dan berkontribusi terhadap disfungsi kekebalan, morbiditas, dan perkembangan penyakit. Vitamin A dan C berperan penting dalam diferensiasi dan proliferasi sel imun, proses inflamasi, dan juga berperan sebagai antioksidan. Pasien HIV/AIDS dengan defisiensi vitamin A dan C akan meningkatkan kerentanan terhadap perkembangan lesi oral. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kadar vitamin A dan C pada penderita HIV/AIDS dan orang sehat serta perbedaan kadar vitamin A dan vitamin C berdasarkan jumlah CD4, viral load, body mass index (BMI) dan keberadaan lesi oral pada pasien HIV/AIDS. Metoda: Jenis penelitian ini adalah cross-sectional. Subjek penelitian adalah serum 38 orang pasien HIV/AIDS dan 21 orang individu sehat sebagai kelompok kontrol. Kadar vitamin A dan vitamin C serum pasien dan individu sehat diperiksa dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Jumlah CD4, viral load, BMI serta keberadaan lesi oral diperoleh dari data rekam medis pasien. Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan uji Mann-Whitney U. Hasil: Subjek penelitian terdiri dari 38 orang pasien HIV/AIDS, pria 27 (71,05%) dan perempuan 11 (28,95%), dengan kelompok usia tertingi 25-49 tahun (80,65%). Terdapat perbedaan pada kadar vitamin A antara pasien HIV/AIDS dengan individu sehat (p=0,000) dan pada kadar vitamin C antara pasien HIV/AIDS yang memiliki lesi oral dengan tanpa memiliki lesi oral (p=0,041). Namun tidak terdapat perbedaan pada kadar vitamin C antara pasien HIV/AIDS dengan individu sehat (p=0,071), pada kadar vitamin A dan C antara CD4< 200 dengan CD4⩾200 (p=0,841 dan p=0,779), antara viral load tidak terdeteksi atau <40 dengan viral load ⩾40 (p=0,988 dan p=0,779), dan antara BMI<18,5 dengan BMI ⩾18,5 (p=0,779 dan p=0,779) dan juga kadar vitamin A antara pasien HIV/AIDS yang memiliki lesi oral dengan tanpa memiliki lesi oral (p=0,367). Kesimpulan: Kadar vitamin A pada pasien HIV/AIDS berbeda signifikan dibandingkan dengan individu sehat, serta kadar vitamin C di antara pasien HIV/AIDS dengan atau tanpa lesi oral juga berbeda secara signifikan. Asupan vitamin A dan C dianjurkan bagi penderita HIV/AIDS.Item Analisis Perbedaan Kadar Vitamin B12 dan Asam Folat pada Pasien HIV/AIDS dengan dan tanpa ART serta Hubungannya dengan Lesi Oral(2017-07-12) DEWI PUSPASARI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan: Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia termasuk Indonesia. Antireviral Therapy (ART) dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas pasien HIV/AIDS. Lesi oral dilaporkan terjadi pada 30-80% pasien HIV/AIDS. Salah satu penyebab timbulnya lesi oral pada pasien HIV/AIDS adalah karena penurunan kadar vitamin B12 dan asam folat. Penurunan kadar vitamin B12 dan asam folat dapat terjadi karena ART jangka panjang terutama zidovudine. Tujuan: Menganalisis perbedaan kadar vitamin B12 dan asam folat pada pasien HIV/AIDS dengan dan tanpa ART serta hubungannya dengan lesi oral. Metode: Jenis penelitian adalah cross sectional. Subjek penelitian adalah pasien HIV/AIDS dengan ART dan tanpa ART sebagai kontrol. Kadar vitamin B12 dan asam folat diperiksa dengan Electro Chemiluminesencent Immuno Assay (ECLIA). Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan uji Fisher Exact. Hasil: Subjek penelitian terdiri dari 30 orang pasien HIV/AIDS dengan ART dan 30 orang tanpa ART, 80% laki-laki dan 20% perempuan dengan kelompok usia tertinggi 20-29 tahun (53,3%). Jumlah CD4 pasien HIV/AIDS terbanyak adalah pada rentang 101-200 sel/mm3 (43,3%). Pasien HIV/AIDS dengan kadar vitamin B12 dibawah nilai normal sebesar 16,6% dan asam folat 6,7%. Kadar vitamin B12 dan asam folat yang rendah ditemukan pada pasien HIV/AIDS dengan ART jenis zidovudine dan durasi ART 2 tahun. Lesi oral ditemukan pada semua pasien HIV/AIDS dengan kadar vitamin B12 dan asam folat yang rendah (100%). Lesi oral secara signifikan hanya berhubungan dengan kadar vitamin B12 yang rendah (p<0,05). Kesimpulan: Kadar vitamin B12 dan asam folat lebih rendah secara signifikan pada pasien HIV/AIDS dengan ART dibandingkan tanpa ART. Lesi oral berhubungan secara signifikan dengan kadar vitamin B12 pada pasien HIV/AIDS dengan ART, tetapi tidak berhubungan secara signifikan dengan asam folat.Item DAYA GUNA LARUTAN EKSTRAK SIWAK PADA MUKOSITIS ORAL YANG DISEBABKAN EFEK SAMPING RADIOTERAPI KANKER KEPALA LEHER(2017-04-04) AGAM FERRY; Riani Setiadhi; Tidak ada Data DosenPendahuluan: Siwak telah dikenal semenjak berabad-abad lalu sebagai alat tradisional untuk menjaga kebersihan mulut. Larutan ekstrak siwak mengandung zat kimia flavonoid glikosida yang memiliki aktivitas farmakologis anti inflamasi. Mukositis oral merupakan efek samping yang sangat signifikan akibat radioterapi kanker kepala dan leher, menimbulkan rasa nyeri, menurunkan asupan gizi dan derajat kesehatan mulut serta meningkatkan resiko infeksi lokal dan sistemik. Tujuan: untuk mengetahui daya guna siwak pada mukositis oral akibat efek samping radioterapi kanker kepala leher. Metode dan bahan: Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimental klinis disertai analisis statistik Wilcoxon untuk menguji perbedaan skor Oral Mucositis Assesment Scale (OMAS) antara sebelum dengan sesudah berkumur larutan ekstrak siwak. Hasil: ditemukan penurunan skor OMAS setelah berkumur larutan ekstrak siwak dan terdapat hubungan antara perbedaan skor OMAS sebelum dan sesudah berkumur larutan ekstrak siwak (p=0,059 respectively). Kesimpulan: kumur larutan ekstrak siwak memiliki daya guna terhadap mukositis oral yang disebabkan efek samping radioterapi kanker kepala leher.Item Daya Guna Larutan Ekstrak Siwak Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans dan Klinis Kandidiasis Oral Pada Penderita Kanker Kepala dan Leher Yang Mendapat Radioterapi(2016-10-16) DEWI OKTAFIA TRAKTAMA; Riani Setiadhi; Tidak ada Data DosenKandidiasis oral adalah infeksi dalam rongga mulut yang disebabkan oleh jamur Candida spp.yaitu Candida albicans. Penderita kanker kepala dan leher yang mendapat radioterapi sering mengalami efek samping berupa kandidiasis oral. Lesi kandidiasis oral dapat berupa bercak putih disertai lesi eritem pada mukosa mulut. Pada keadaan akut dapat menimbulkan keluhan berupa rasa nyeri, rasa terbakar dan kering (serostomia) di rongga mulut serta dapat mempengaruhi fungsi makan, minum dan bicara. Pemberian obat antijamur sangat dibutuhkan untuk mengatasi kandidiasis oral akibat efek samping radioterapi pada penderita kanker kepala dan leher. Siwak (Salvadora persica) telah banyak dikenal dan dipakai sebagai alat untuk membersihkan mulut, serta mempunyai khasiat sebagai antijamur dalam rongga mulut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya guna larutan ekstrak siwak terhadap pertumbuhan Candida albicans dan klinis kandidiasis oral pada penderita kanker kepala dan leher yang mendapat radioterapi. Bahan penelitian adalah saliva concentrate oral rinse, yang diambil dengan menggunakan 10 ml larutan Phosfat Buffer Saline yang dikumurkan selama 1 menit, lalu saliva ditampung dalam medium transport steril, dan dibiakkan dalam medium CHROM agar. Metode penelitian ini yaitu kuasi eksperimental, dengan melihat perbedaan jumlah Candida albicans yang tumbuh pada medium biakan (CFU/ml saliva) dan melihat perubahan klinis kandidiasis oral dengan membandingkan sebelum dan sesudah berkumur larutan ekstrak siwak dihitung dengan analisis statistik uji T- berpasangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah koloni Candida albicans (CFU/ml) serta perubahan klinis kandidiasis oral sebelum dan sesudah berkumur larutan ekstrak siwak dengan adanya penurunan Candida albicans (CFU/ml) dan perbaikan klinis kandidiasis oral pada subjek penelitian dengan nilai p sebesar 0,001 dan 0,002. Kesimpulan: larutan ekstrak siwak berdaya guna terhadap pertumbuhan Candida albicans dengan terjadinya penurunan CFU/ml saliva dan terjadi perbaikan klinis kandidiasis oral pada pada penderita kanker kepala dan leher yang mendapat radioterapi.Item Daya Guna Larutan Ekstrak Siwak terhadap Pertumbuhan Streptococcus viridans pada Mukositis Oral Penderita Kanker Kepala dan Leher yang Mendapat Radioterapi(2016-10-14) FITRIA MAILIZA; Tenny Setiani Dewi S; Tidak ada Data DosenSiwak merupakan tanaman family Salvadoraceae yang memiliki efek antibakteri, antiinflamasi, analgetik, antijamur, antiplasmodium, antiplak, antikaries, antiradang, diuretika dan antirematik. Radioterapi pada kanker kepala dan leher dengan menggunakan sinar pengion memiliki salah satu efek samping yaitu mukositis oral. Mukositis oral merupakan lesi eritematous dan ulseratif yang dapat menurunkan kualitas hidup penderita kanker kepala dan leher karena mengakibatkan penurunan fungsi makan dan bicara.Tujuan penelitian ini yaitu melihat apakah terdapat penurunan jumlah Colony Forming Unit (CFU) Strep. viridans pada kondisi sebelum dan sesudah berkumur dengan larutan ekstrak siwak dan apakah terdapat hubungan antara skor mukositis oral terhadap jumlah Strep.viridans. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental yang melihat daya guna siwak dengan memberikan obat kumur dengan dosis 0,5 mg/ 10 ml. Ekstrak siwak didapat dengan metode maserasi lalu diencerkan dengan aquabides dengan perbandingan 50%. Obat kumur diberikan selama 14 hari dengan frekuensi 2x10 ml per hari. Penghitungan dilakukan dengan melihat penurunan atau peningkatan CFU/ml dari Strep.viridans beserta skor mukositis oral dari pemeriksaan terhadap pasien. Penghitungan Strep.viridans dilakukan dengan mengambil saliva pasien yang distimulasi dengan berkumur Phosphat Buffer Saline (PBS)10 ml. Sampel saliva lalu diinkubasi dalam media agar darah pada suhu 370C selama 24 jam. Penghitungan dilakukan saat sebelum dan sesudah berkumur larutan ekstrak siwak. Data yang diperoleh dihitung dengan menggunakan uji t-Test dan Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap penurunan Strep.viridans antara sebelum dan sesudah berkumur larutan siwak karena p-value (sig) bernilai 0,279 dan juga tidak terdapat hubungan total skor Oral Mukositis Assasment Scale (OMAS) setelah berkumur larutan siwak dengan Strep.viridans dengan hasil uji statistik menunjukkan bahwa hitung (0,092) < tabel (2,024). Dapat disimpulkan bahwa ekstrak siwak pada penelitian ini kurang berdaya guna untuk menurunkan jumlah Strep.viridans dan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara skor mukositis dengan penurunan Strep.viridans.Item DETEKSI GEN LMP1 EBV DALAM SALIVA SEBAGAI FAKTOR RISIKO ORAL HAIRY LEUKOPLAKIA PADA PASIEN HIV(2019-04-11) ELIZA KRISTINA MARSINTAULI MUNTHE; Rudi Wisaksana; Irna SufiawatiPendahuluan: Infeksi HIV/AIDS menjadi tantangan dalam perawatan kesehatan saat ini, karena munculnya berbagai infeksi oportunistik yang menyertainya termasuk infeksi Epstein-Barr virus (EBV) atau disebut juga human herpes virus 4 (HHV-4). Infeksi EBV terjadi pada sekitar 95% populasi di dunia yang menunjukkan keadaan asimtomatik seumur hidup. Oral hairy leukoplakia (OHL) adalah lesi jinak rongga mulut yang merupakan tanda klinis replikasi produktif EBV, yang penting untuk diagnostik, prognostik dan progresivitas infeksi HIV. Ekspresi EBV LMP1, protein membran integral telah terdeteksi pada OHL. LMP1 memodulasi pertumbuhan dan diferensiasi berbagai tipe sel, serta menginduksi ekspresi beberapa sel, aktivasi antigen dan molekul adhesi. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara OHL dengan LMP1 dan jumlah CD4 pada pasien HIV/AIDS. Metode: Jenis penelitian adalah cross sectional. Subjek penelitian adalah pasien HIV/AIDS, dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. EBV dalam saliva diperiksa dengan microarray PCR. LMP1 diperiksa dengan pemeriksaan nested PCR. Data dianalisis dengan uji Fisher Exact dan Mann Whitney. Hasil: Subjek penelitian melibatkan 30 orang pasien HIV/AIDS, terdiri dari 70% laki-laki dan 30% perempuan dengan kelompok usia tertinggi 31-40 tahun (50%). Jumlah CD4 0,05), tetapi OHL banyak ditemukan pada pasien dengan CD4< 200 sel/mm3 dan semuanya menunjukkan adanya ekspresi gen EBV LMP1. Kesimpulan: Ekspresi gen LMP1 banyak terdeteksi pada pasien EBV positif. OHL ditemukan pada pasien HIV/AIDS dengan CD4<200 sel/mm3, tetapi tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan gen LMP1 dan CD4. Studi lebih lanjut dalam jumlah subjek yang lebih besar diperlukan untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih tegas.Item DETEKSI HUMAN HERPESVIRUSES DALAM SERUM DAN SALIVA PASIEN HIV(2023-08-24) RAHMI HARMIYATI; Nanan Nur aeny; Irna SufiawatiPendahuluan: Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) seringkali dihubungkan dengan peningkatan risiko infeksi human herpesvirus (HHVs) yang merupakan virus DNA yang sangat umum dapat menyebabkan berbagai penyakit orofasial, virus tersebut sifatnya sangat menular dan setelah infeksi primer bertahan dalam bentuk laten. HHVs terdiri dari herpes simpleks virus tipe 1 (HSV-1), HSV-2, varicella zoster virus (VZV), Epstein Barr virus (EBV, HHV-4), cytomegalovirus (CMV), HHV-6, HHV-7, dan HHV-8. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi keberadaan anggota virus HHVs dalam saliva dan serum orang yang terinfeksi HIV dan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah virus anggota HHVs antara saliva dan serum. Metode: Jenis penelitian adalah cross sectional dengan pengambilan sampel secara stratified random sampling untuk memilih 30 sampel saliva dan serum dari tiga puluh pasien terinfeksi HIV yang berobat di klinik HIV Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, Indonesia. HHVs diperiksa menggunakan microarray DNA PCR multipleks Clart Entherpex. Hasil penelitian dianalisis dengan software statisik SPSS. Hasil: Pasien HIV laki-laki (76,67%) lebih banyak dari pasien perempuan (23,33%) (p0,05). Pada saliva terdeteksi HSV-1 (6,67%), HSV-2 (6,67%), VZV (0%), EBV (86,67%), CMV (63,33%)), HHV-6 (40%), HHV-7 (83,33), HHV-8 (0%). Pada serum terdeteksi HSV-1 (0%), HSV-2 (20%), VZV (0%), EBV (30%), CMV (40%), HHV-6 (0%), HHV-7 (76,67%), HHV-8 (0%). VZV dan HHV-8 tidak terdeteksi baik pada saliva maupun serum subjek. EBV dan HHV-6 secara signifikan terdeteksi dalam saliva pasien HIV dibandingkan serum (P < 0,05). Kesimpulan: HSV-1, EBV, CMV, HHV-6 dan HHV-7 lebih banyak ditemukan pada saliva dibandingkan pada serum orang yang terinfeksi HIV. Temuan ini menunjukkan bahwa saliva merupakan faktor risiko potensial penularan virus tersebut, namun tidak ada perbedaan yang signifikan jumlah virus HHVs yang terdapat dalam serum dan saliva.Item EFEK CALSITRIOL TERHADAP PERTUMBUHAN SEL CAL27 MELALUI JALUR PENSINYALAN MAPK DAN NF kB(2022-10-14) EMBUN MANJA SARI; Hanna; Irna SufiawatiABSTRAK Pendahuluan: Kanker mulut menempati urutan ke-12 kanker tersering di dunia. Calsitriol (25(OH)D) yang diperkirakan memiliki hubungan dengan kanker. Pengobatan yang digunakan adalah radioterapi dan kemoterapi yang mempunyai sitoksisitas dan efek samping. Calsitriol merupakan prekursor hormon steroid calcitriol kuat yang telah diuji untuk pengobatan kanker. Tujuan: Mengetahui efek sitotoksik calsitriol, cisplatin, dan kombinasi cisplatin dan calsitriol terhadap sel Cal27 serta mengetahui perbedaan ekspresi mRNA jalur MAPK dan NF B pada sel Cal27. Metode: Kultur sel Cal27 diberi perlakuan dengan dosis yang berbeda pada cisplatin, calsitriol dan kombinasi cisplatin dan calsitriol. Ekspresi mRNA p65, NF-B, MPK1, dan MPK2 pada Cal27 yang diberikan calsitriol dilihat menggunakan RT-PCR. Hasil : Nilai IC50 calsitriol, cisplatin, kombinasi cisplatin dan calsitriol adalah 107.70, 33.20, dan 100.10 µg/mL. Cisplatin, calsitriol dan kombinasi cisplatin dan calsitriol berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan sel Cal27. Eskpresi p65, NF-B, MPK1, dan MPK2 tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Uji ANOVA pada p65, NF-B, MPK1, dan MPK2 menunjukkan p-value>0.05. Simpulan: calsitriol memiliki potensiasi daya anti kanker terhadap cal27 dan terdapat signaling pathway lain yang distimulasi bukan jalur pensinyalan MAPK dan NFB.Item Efektivitas Low Level Laser Therapy (LLLT) Terhadap Pencegahan Terjadinya Mukositis Oral Pada Pasien Kanker Kepala Leher yang Menjalani Radioterapi dan/atau Kemoradioterapi(2023-10-12) M. HASAN HAPID; Adji Kusumadjati; Irna SufiawatiRadioterapi dan/atau kemoradioterapi merupakan salah satu tatalaksana pada pasien kanker kepala dan leher (KKL) yang memberikan efek samping berupa peradangan dan kerusakan jaringan rongga mulut sehingga menyebabkan mukositis oral. Low level laser therapy (LLLT) diketahui dapat meningkatkan berbagai mediator biologis yang berperan dalam mengurangi efek kerusakan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan kejadian mukositis oral dan tingkat rasa nyeri pada pasien KKL yang mendapatkan tatalaksana radioterapi dan/atau kemoradioterapi dengan LLLT dan tanpa LLLT pada dosis radioterapi 10 Gy, 30 Gy dan 60 Gy. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis dengan jumlah sampel 42 pasien KKL yang sedang menjalani radioterapi dan atau kemoradioterapi > 30 Gy, terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok LLLT (dengan perlakuan LLLT) dan kelompok kontrol (tanpa perlakuan LLLT). Penelitian ini menggunakan laser Diode dengan λ 976 nm, daya 1 W, dosis 3 J/cm2, continuous mode, dan waktu paparan 1,5 detik yang diberikan setiap 3x/minggu. Penilaian dilakukan berdasarkan munculnya mukositis oral menggunakan kriteria Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) dan rasa nyeri dinilai dengan menggunakan metode Visual Analog Scale (VAS). Perkembangan mukositis oral dan rasa nyeri pada kelompok LLLT menunjukan hasil yang lebih rendah dari pada kelompok kontrol dalam berbagai dosis radioterapi. Pada dosis radioterapi 10 Gy, mayoritas subjek kelompok LLLT tidak mengalami mukositis oral yaitu sebanyak 95,2%, sedangkan pada kelompok kontrol 57,1%. Dosis radioterapi 30 Gy, mayoritas subjek kelompok LLLT mengalami mukositis oral grade 1 sebanyak 71,4%, sedangkan kelompok kontrol mayoritas mengalami mukositis oral grade 2 sebesar 76,2%. Dosis radioterapi 60 Gy, mayoritas subjek kelompok LLLT mengalami mukositis oral grade 1 sebesar 66,7%, sedangkan pada kelompok kontrol mayoritas mengalami mukositis grade 3 sebesar 47,6%. Hasil tersebut menunjukan perbedaan yang signifikan dengan seluruh nilai p<0,05. Penggunaan LLLT secara umum dapat mengurangi kejadian mukositis oral dan rasa nyeri dengan Efikasi rate LLLT pada pasien yang menjalani radioterapi atau kemoradioterapi bervariasi berdasarkan dosis radioterapi. Terdapat perbedaan tingkat keparahan mukositis oral dan tingkat rasa nyeri yang signifikan. Pemberian LLLT dapat dijadikan pilihan modalitas sebagai pencegahan terjadinya mukositis oral.Item Efikasi Vitamin B12 Pada Terapi Stomatitis Aftosa Rekuren Minor(2018-04-09) HER BASUKI MARGONO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPendahuluan: Vitamin B12 merupakan salah satu pilihan farmakoterapi Stomatitis Aftosa Rekuren minor (SAR minor) yang murah, mudah digunakan, dan berefek samping minimal. Tujuan: Mengevaluasi efektivitas intervensi kapsul vitamin B12 1 mg terhadap kontrol plasebo pada penatalaksanaan SAR minor. Metode: Randomized controlled trial pada dua puluh pasien SAR minor di RSGM Unpad. Sepuluh subjek penelitian di kelompok pembanding diintervensi dengan kapsul vitamin B12 1 mg dan sepuluh subjek penelitian di kelompok kontrol diintervensi dengan plasebo. Masing-masing intervensi diberikan satu kali per hari selama lima hari. Evaluasi Skor Keparahan Ulser SAR minor ditinjau dari diameter ulser dan tingkat nyeri dilakukan pada hari pertama, ketiga, dan kelima, yang dianalisis dengan uji Mann Whitney atau uji T. Evaluasi hubungan riwayat kecukupan asupan vitamin B12 dan onset SAR minor dianalisis dengan korelasi Spearman. Hasil: Tidak terdapat perbedaan signifikan pada diameter ulser SAR minor antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol, kecuali pada waktu pengukuran hari pertama pascaintervensi. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat nyeri SAR minor antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada hari pertama, ketiga, dan kelima. Tidak terdapat korelasi signifikan antara riwayat asupan vitamin B12 dengan onset (jumlah dan diameter ulser) SAR minor pada subjek penelitian. Simpulan: Terapi kapsul vitamin B12 1 mg satu kali per hari selama lima hari berdampak signifikan pada hari pertama pascaintervensi dalam menurunkan diameter ulser, tetapi tidak berdampak signifikan dalam mengurangi intensitas nyeri pasien SAR minor. Tidak terdapat korelasi signifikan antara riwayat kecukupan asupan vitamin B12 dengan onset SAR minor.Item Formulasi, Stabilitas Fisik, Identifikasi Etil-para-metoksisinamat, Kadar Polifenol, dan Uji Hedonik Sediaan Gel Ekstrak Etanol Kaempferia galanga L. Berbasis Carbopol 934(2023-10-11) AMIRA SHAFURIA; Irna Sufiawati; Indah Suasani WahyuniPendahuluan: Ekstrak etanol rimpang Kaempferia galanga (EEKG) telah terbukti memiliki aktivitas anti-ulser mukosa mulut melalui mekanisme penghambatan ekspresi COX-2, oleh karena itu perlu dilakukan hilirisasi menjadi produk obat herbal yang dapat dimanfaatkan oleh klinisi. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan basis gel dengan stabilitas fisik terbaik, mengidentifikasi komponen aktif etil para-metoksi sinamat (EPMS), menetapkan kadar polifenol yang terkandung pada gel EEKG 5% dan 10%, serta mengukur tingkat kesukaan responden terhadap produk gel EEKG tersebut. Metode: Penelitian ini merupakan eksperimental yang diawali dengan formulasi empat sediaan gel EEKG yang berbasis Carbopol 934 dan natrium karboksi metil selulosa (Na-CMC) sebagai polimer mukoadhesif dan juga pengujian stabilitas fisik pada hari ke-0 dan ke-14. Gel EEKG dengan stabilitas fisik terbaik selanjutnya dianalisis untuk mengidentifikasi EPMS menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) serta menetapkan kandungan polifenol di dalamnya. Uji hedonik juga dilakukan mengukur tingkat kesukaan 30 responden terhadap produk gel EEKG tersebut. Analisis data menggunakan paired t-test, one-way ANOVA, dan Kruskal-Wallis. Hasil: Berdasarkan hasil pengujian stabilitas fisik, basis Carbopol 934 1% terbaik untuk sediaan gel EEKG karena bersifat stabil selama masa simpan 14 hari. Uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara stabilitas fisik sediaan gel Carbopol 934 EEKG dengan sediaan gel anti ulserasi mukosa mulut komersial (p < 0,05). Kromatogram KCKT membuktikan bahwa EPMS teridentifikasi pada sediaan gel carbopol 934 EEKG 5% dan 10% dengan waktu retensi 6,056 dan 6,146 menit. Kadar polifenol pada sediaan gel carbopol 934 EEKG 5% dan 10% masing-masing adalah 1201,2557 mg/kg dan 1849,1506 mg/kg. Uji hedonik menunjukkan bahwa sediaan gel carbopol 934 EEKG 5% lebih disukai oleh responden. Simpulan: Carbopol 934 merupakan polimer mukoadhesif terbaik yang dapat digunakan sebagai basis sediaan gel EEKG. Sediaan gel EEKG berbasis Carbopol 934 terbukti mengandung senyawa aktif EPMS dan polifenol. Dengan mempertimbangkan tingkat kesukaan responden, sediaan gel Carbopol 934 EEKG kadar 5% dapat dikembangkan sebagai obat topikal antiulser mukosa mulut.Item Hubungan Antara Kadar 25(OH)D dengan Stadium Kanker pada Pasien Kanker Rongga Mulut(2020-07-13) I NYOMAN GEDE JUWITA PUTRA; Dewi Marhaeni Diah Herawati; Irna SufiawatiPendahuluan: Kanker rongga mulut merupakan suatu neoplasia ganas yang muncul di bibir atau rongga mulut. Vitamin D dianggap memiliki peran dalam menekan kanker melalui efeknya sebagai anti-tumor, anti-proliferatif, apoptosis dan angiogenesis. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis profil kadar 25(OH)D serum dan hubungannya dengan stadium kanker pada pasien kanker rongga mulut. Metode: Jenis penelitian ini adalah observational analytic dengan rancangan metode cross-sectional dengan lokasi di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Pencatatan identitas dan stadium kanker rongga mulut dengan wawancara, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Untuk pemeriksaan kadar 25(OH)D serum, darah diambil dengan teknik venipuncture sebanyak 2 ml. Analisis data menggunakan uji rank spearman untuk menganalisis variabel bivariat yaitu hubungan kadar 25(OH)D dengan stadium kanker pada pasien kanker rongga mulut. Hasil: Subjek penelitian adalah perempuan yaitu 17 orang (65,6%) dan laki-laki 9 orang (36,4%). Rata-rata umur subjek adalah 51 tahun (SD=14 tahun) dari rentang 19-78 tahun. Sebanyak 61,5% pasien kanker rongga mulut memiliki kadar 25(OH)D defisiensi. Pasien dengan defisiensi 25(OH)D memiliki jumlah yang merata pada stadium kanker (stadium I: 25,0%, stadium II: 18,8%, stadium III: 37,5% dan stadium IV: 18,8%)), begitu juga pada pasien dengan insufisiensi 25(OH)D dan sufisiensi 25(OH)D. Didapatkan bahwa koefisien r sebesar 0,271 dan p sebesar 0,090 (>0,05), menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan. Simpulan: Pasien kanker rongga mulut lebih banyak memiliki defisiensi kadar 25(OH)D. Tidak terdapat hubungan antara kadar 25(OH)D dengan stadium kanker pada pasien kanker rongga mulut.Item HUBUNGAN ANTARA KADAR INTERLEUKIN-2 DENGAN JUMLAH KOLONI CANDIDA ALBICANS DAN KEJADIAN KANDIDIASIS ORAL PADA PASIEN KANKER YANG MENJALANI KEMOTERAPI(2018-04-11) HAMDATUN RAKHMANIA; Irna Sufiawati; Indra WijayaPendahuluan: Kanker menjadi masalah kesehatan global yang banyak menimbulkan kematian dan meningkat tiap tahun. Komplikasi oral yang sering ditemui sebagai akibat efek samping terapi kanker (kemoterapi/radioterapi) diantaranya adalah kandidiasis oral, yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dari Candida albicans. Kemoterapi dapat menurunkan kadar dan aktivitas sistem imun sedangkan sistem imun tubuh manusia memiliki mekanisme pertahanan untuk memberikan perlawanan terhadap sel kanker. Mekanisme ini antara lain diperankan oleh sel T helper CD4+ yang akan mengenali antigen sel kanker dan memproduksi sitokin IL-2 yang memicu sel T sitotoksik untuk berinteraksi dengan sel kanker dan mematikan sel tersebut. Disisi lain ekspresi IL-2 juga dapat dipicu oleh mannoprotein yang terdapat dalam dinding Candida Albicans. Tujuan: Untuk menganalisis hubungan antara kadar IL-2 dengan jumlah koloni Candida albicans dan kejadian kandidiasis oral pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Metode: Jenis penelitian adalah deskriptif observasional potong lintang. Jumlah koloni Candida albicans diambil dari sampel oral rinse, spesies Candida diidentifikasi dengan kultur CHROMagar dan diukur berdasarkan CFU/ml Candida albicans. Pengukuran kadar IL-2 dengan menggunakan tehnik Enzym linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil: Rata-rata jumlah CFU pada kelompok pasien kanker dengan kemoterapi sebesar 2211 CFU/ml lebih tinggi dibandingkan pada pasien imunokompromais sebesar 1307 CFU/ml tetapi tidak berbeda secara signifikan secara statistik (p>0,05). Rata-rata kadar IL-2 pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi dengan kandidiasis oral sebesar 4,28 pg/ml tidak berbeda jauh dengan pasien imunokompromais dengan kandidiasis oral sebesar 4,55 pg/ml, sedangkan pada individu sehat ditemukan lebih rendah sebesar 3,26 pg/ml, menunjukkan perbedaan tidak bermakna (p>0,05). Tidak ditemukan hubungan antara IL-2 dengan kejadian kandidiasis oral (p>0,05). Kadar IL-2 berkorelasi dengan jumlah koloni Candida albicans baik pada pasien kanker dengan kemoterapi, maupun pasien imunokompromais (p<0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kadar IL-2 dengan kejadian kandidiasis oral. Kadar IL-2 yang rendah berkorelasi dengan jumlah koloni Candida albicans yang tinggi.Item Hubungan Antara Kadar Methylmalonic Acid Dengan Manifestasi Oral Pada Pasien Diabetes Melitus Di RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung(2023-10-14) AGUSTIN NININTOWE T. SANTO; Nanan Nur aeny; Irna SufiawatiProvinsi Jawa Barat memiliki prevalensi penduduk dengan diabetes melitus 1.7% berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme yang ditandai hiperglikemia kronis karena terganggunya sekresi insulin dan/atau kerja insulin. Pengaruh DM terhadap kesehatan rongga mulut termasuk xerostomia, gangguan pengecapan, dan kandidiasis oral. Kondisi DM dapat ditangani dengan melakukan pola hidup sehat, konsumsi obat anti diabetes melitus, pemberian edukasi dan dukungan sosial terhadap penderitanya. Obat anti DM selain memberikan efek yang menguntungkan juga memiliki efek samping, salah satunya yaitu menurunnya penyerapan vitamin B12 yang berperan penting dalam kesehatan tubuh. Pemeriksaan kadar vitamin B12 seringkali menunjukkan hasil yang normal pada individu dengan kondisi seperti DM, sehingga kondisi defisiensi yang terjadi tidak diketahui. Methylmalonic acid (MMA) adalah substansi yang diproduksi dalam metabolisme protein dalam tubuh dan dapat menjadi petunjuk awal adanya defisiensi vitamin B12. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan antara kadar MMA dengan manifestasi oral pada pasien DM dengan metode consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar MMA pada pasien DM dengan dan tanpa manifestasi oral.Item Hubungan Antara Kadar Serum Vitamin E Dengan Stadium Kanker Rongga Mulut(2020-07-13) MUHAMMAD AL FARISYI; Irna Sufiawati; Agnes Rengga IndratiPendahuluan: Kanker rongga mulut merupakan salah satu permasalahan global dengan angka kematian yang cukup tinggi. Stadium kanker rongga mulut dapat menentukan prognosis dan rencana perawatannya. Vitamin E adalah salah satu nutrisi mikro yang mempunyai sifat sebagai antioksidan yang berfungsi untuk mengumpulkan radikal bebas sehingga menghambat proses terjadinya kanker. Tujuan tesis ini untuk menganalisis hubungan kadar serum vitamin E dengan stadium kanker rongga mulut Metode: Jenis penelitian observational analitik dengan metode cross sectional pada 24 pasien kanker rongga mulut pada semua stadium di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Pencatatan identitas dan stadium kanker rongga mulut dengan wawancara, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Kadar serum vitamin E diambil sebanyak 2 ml dengan tehnik venipuncture diperiksa dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan uji rank spearman untuk menganalisis variabel bivariat tentang hubungan kadar vitamin E dengan stadium kanker rongga mulut. Hasil: Subjek penelitian adalah perempuan sebanyak 15 orang (62,5%) dan laki-laki 9 orang (37,5%). Pada pasien kanker rongga mulut sebanyak 20,8% yang memiliki kadar serum defisiensi, 29,2% orang memiliki kadar serum vitamin E rendah dan 50% orang memiliki kadar serum vitamin E normal. Kadar serum vitamin E pada pasien kanker rongga mulut berbeda secara signifikan (p0,05) dengan stadium kanker rongga mulut Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara kadar serum vitamin E dengan stadium kanker rongga mulut.Item Hubungan antara kejadian lesi mulut dengan kadar IgE serum total pada pasien atopi(2013-04-18) NANAN NURAENY; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenMulut merupakan bagian tubuh yang banyak terpapar oleh berbagai antigen termasuk zat makanan, obat, kosmetik, logam dari peralatan makan, bahan dental seperti pasta gigi dan bahan tambal, serta mikroorganisme. Reaksi hipersensitif terhadap antigen-antigen tersebut dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk angioedem, ulserasi atau reaksi likenoid. Pada individu atopi sangat rentan mengalami reaksi hipersensitif alergi sejak lahir dengan gejala klinis sesuai atopic march yang mengenai organ pencernaan, kulit, dan organ pernafasan. Lesi mulut yang terkait alergi sudah banyak dilaporkan termasuk pada individu atopi tetapi belum ada penelitian yang menghubungkannya dengan kadar IgE serum total. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang bersifat analitik korelasional dan komparatif pada pasien atopi yang memiliki riwayat rinitis alergika (RA), dermatitis atopik (DA), dan asma bronkial (AB). Pengambilan sampel dengan consecutive sampling, pada semua pasien terdaftar di poli alergi dan imunologi Bagian Telinga Hidung Tenggorokan kepala Leher (THT-KL), Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Bagian Ilmu kesehatan Anak, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, dan poli Penyakit Mulut Bagian Gigi Mulut di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin mulai November 2012 sampai Januari 2013. Dilakukan pemeriksaan dalam rongga mulut untuk melihat lesi mulut terkait alergi dan pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar Imunoglobulin E (IgE) serum total dan pemeriksaan hematologi rutin termasuk laju endap darah, serta pemeriksaan urin rutin dan feses rutin. Dilakukan analisis uji beda dengan uji T dan uji Mann-Whitney, serta uji korelasi dengan point biserial. Seluruh subjek berjumlah 61 yang terbagi dalam kelompok dengan lesi mulut sebanyak 30 subjek, dan kelompok tanpa lesi mulut sebanyak 31 subjek. Variasi lesi mulut yang ditemukan berupa recurrent aphthous stomatitis (RAS), oral allergy syndrome (OAS) geographic tongue (GT) dan angioedem (AE). RAS ditemukan terbanyak yaitu 56,7%. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan hasil bermakna dengan nilai ρ <0,001 untuk kadar IgE serum total, yaitu untuk kelompok dengan lesi mulut rentang IgE adalah 51,34-2500 IU/mL dengan rata-rata 889,7 IU/mL dan standar deviasi (SD) 730,87, sedangkan pada kelompok tanpa lesi rentangnya 12,17-848 IU/mL dengan rata-rata 207,9 IU/mL dan standar deviasi (SD) 216. Analisis statistik lainnya menunjukkan hasil bermakna dengan koefisien point biserial (rPbi)=0,534, ρ= <0,001 berarti terdapat korelasi yang cukup erat antara lesi mulut dengan kadar IgE serum total pada pasien atopi. Kata kunci : Lesi mulut, atopi, IgE serum total
- «
- 1 (current)
- 2
- 3
- »