Ilmu Penyakit Mulut (Sp.)
Permanent URI for this collection
Browse
Recent Submissions
Item PENILAIAN EFEK PENGGUNAAN PERANGKAT LIP TRAINER SECARA SUBYEKTIF DAN OBYEKTIF UNTUK KEKERINGAN MULUT (UJI KLINIS PADA INDIVIDU LANJUT USIA DI KOTA BANDUNG)(2024-01-12) FITRI DONA SIREGAR; Indah Suasani Wahyuni; Tenny Setiani Dewi SKekeringan mulut terbagi atas xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva. Perangkat lip trainer merupakan tatalaksana non-farmakologis yang dapat diberikan sebagai terapi sialagogue mekanik dalam mengatasi kekeringan mulut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek penggunaan perangkat lip trainer pada individu berusia lanjut dengan kekeringan mulut menggunakan skor subyektif SXI-D versi ringkas, skor obyektif metode the challacombe scale dan metode sialometri pada lansia di Poli Lansia Puskesmas di wilayah kota Bandung pada bulan Agustus-Oktober 2023 dengan populasi sebanyak 60 pasien. Kriteria inklusi yaitu diagnosis kekeringan mulut, lansia berusia 60-69 tahun, bersedia menandatangani informed consent, menjaga oral hygiene, tanpa penyakit sistemik dan penggunaan obat-obatan, bukan perokok aktif. Penelitian ini menggunakan desain quasi experimental dengan pendekatan pre and post-test with control group design. Pemilihan subyek penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling. Data dianalisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan data hasil riset berupa karakteristik subjek penelitian, data kategorik yang disajikan dalam frekuensi dan persentase, serta data numerik dan bivariat dilakukan untuk mengetahui efek penggunaan lip trainer terhadap perubahan kategori skor subyektif, skor obyektif (the challacombe scale dan laju aliran saliva) pada individu usia lanjut dengan kekeringan mulut. Hasil analisis terjadi penurunan terhadap skor SXI-D dan the challacombe scale, serta terjadi peningkatan laju aliran saliva pada hari ke 7,14,21, dan 28 apabila dibandingkan pada awal penelitian. Kesimpulan: penggunaan perangkat lip trainer pada individu berusia lanjut dengan kekeringan mulut menggunakan skor subyektif SXI-D versi ringkas, skor obyektif metode the challacombe scale dan metode sialometri memberikan efek yang baik pada lansia.Item Hubungan Antara Kadar Methylmalonic Acid Dengan Manifestasi Oral Pada Pasien Diabetes Melitus Di RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung(2023-10-14) AGUSTIN NININTOWE T. SANTO; Nanan Nur aeny; Irna SufiawatiProvinsi Jawa Barat memiliki prevalensi penduduk dengan diabetes melitus 1.7% berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme yang ditandai hiperglikemia kronis karena terganggunya sekresi insulin dan/atau kerja insulin. Pengaruh DM terhadap kesehatan rongga mulut termasuk xerostomia, gangguan pengecapan, dan kandidiasis oral. Kondisi DM dapat ditangani dengan melakukan pola hidup sehat, konsumsi obat anti diabetes melitus, pemberian edukasi dan dukungan sosial terhadap penderitanya. Obat anti DM selain memberikan efek yang menguntungkan juga memiliki efek samping, salah satunya yaitu menurunnya penyerapan vitamin B12 yang berperan penting dalam kesehatan tubuh. Pemeriksaan kadar vitamin B12 seringkali menunjukkan hasil yang normal pada individu dengan kondisi seperti DM, sehingga kondisi defisiensi yang terjadi tidak diketahui. Methylmalonic acid (MMA) adalah substansi yang diproduksi dalam metabolisme protein dalam tubuh dan dapat menjadi petunjuk awal adanya defisiensi vitamin B12. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan antara kadar MMA dengan manifestasi oral pada pasien DM dengan metode consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar MMA pada pasien DM dengan dan tanpa manifestasi oral.Item Komponene Oral Frailty yang Paling Berperan Terhadap Kejadian Malnutrisi Pada Lansia Dengan Oral Frailty di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung(2023-10-12) DESI ELVHIRA ROSA; Tenny Setiani Dewi S; Lazuardhi DwipaOral frailty merupakan serangkaian fenomena dan proses yang mengarah pada perubahan berbagai kondisi rongga mulut terkait penuaan dan disertai dengan penurunan minat terhadap kesehatan rongga mulut. Oral frailty erat hubungannya dengan malnutrisi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor oral frailty yang paling berperan terhadap kejadian malnutrisi pada pasien lansia di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Komponen oral frailty yang diteliti yaitu jumlah gigi, penyakit periodontal, serostomia, lesi oral, dan disfagia. Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pengambilan data primer dan pendekatan studi secara potong lintang. Populasi penelitian adalah pasien lansia di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Mei hingga Juni 2023. Penelitian ini dilakukan pada 103 pasien. Data dianalisis menggunakan analisis bivariat kai kuadrat untuk melihat faktor oral frailty yang berperan pada kejadian malnutrisi kemudian dilakukan analisis multivariat regresi logistik untuk melihat faktor yang paling berperan. Hasil analisis bivariat menunjukkan faktor yang berperan pada kejadian malnutrisi yaitu lansia dengan jumlah gigi kurang, serostomia, dan lesi oral. Analisis multivariat menunjukkan bahwa serostomia merupakan faktor paling berperan pada kejadian malnutrisi (OR: 4,28, 95% CI: 1.57 – 16.23, p = 0,015). Simpulan: Serostomia merupakan faktor yang paling berperan dalam kejadian malnutrisi pada lansia. Lansia dengan serostomia mempunyai risiko 4 kali untuk mengalami malnutrisi. Skrining serostomia pada lansia sebaiknya dilakukan dan lansia dengan serostomia agar diberikan perhatian khusus.Item Efektivitas Low Level Laser Therapy (LLLT) Terhadap Pencegahan Terjadinya Mukositis Oral Pada Pasien Kanker Kepala Leher yang Menjalani Radioterapi dan/atau Kemoradioterapi(2023-10-12) M. HASAN HAPID; Adji Kusumadjati; Irna SufiawatiRadioterapi dan/atau kemoradioterapi merupakan salah satu tatalaksana pada pasien kanker kepala dan leher (KKL) yang memberikan efek samping berupa peradangan dan kerusakan jaringan rongga mulut sehingga menyebabkan mukositis oral. Low level laser therapy (LLLT) diketahui dapat meningkatkan berbagai mediator biologis yang berperan dalam mengurangi efek kerusakan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan kejadian mukositis oral dan tingkat rasa nyeri pada pasien KKL yang mendapatkan tatalaksana radioterapi dan/atau kemoradioterapi dengan LLLT dan tanpa LLLT pada dosis radioterapi 10 Gy, 30 Gy dan 60 Gy. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis dengan jumlah sampel 42 pasien KKL yang sedang menjalani radioterapi dan atau kemoradioterapi > 30 Gy, terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok LLLT (dengan perlakuan LLLT) dan kelompok kontrol (tanpa perlakuan LLLT). Penelitian ini menggunakan laser Diode dengan λ 976 nm, daya 1 W, dosis 3 J/cm2, continuous mode, dan waktu paparan 1,5 detik yang diberikan setiap 3x/minggu. Penilaian dilakukan berdasarkan munculnya mukositis oral menggunakan kriteria Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) dan rasa nyeri dinilai dengan menggunakan metode Visual Analog Scale (VAS). Perkembangan mukositis oral dan rasa nyeri pada kelompok LLLT menunjukan hasil yang lebih rendah dari pada kelompok kontrol dalam berbagai dosis radioterapi. Pada dosis radioterapi 10 Gy, mayoritas subjek kelompok LLLT tidak mengalami mukositis oral yaitu sebanyak 95,2%, sedangkan pada kelompok kontrol 57,1%. Dosis radioterapi 30 Gy, mayoritas subjek kelompok LLLT mengalami mukositis oral grade 1 sebanyak 71,4%, sedangkan kelompok kontrol mayoritas mengalami mukositis oral grade 2 sebesar 76,2%. Dosis radioterapi 60 Gy, mayoritas subjek kelompok LLLT mengalami mukositis oral grade 1 sebesar 66,7%, sedangkan pada kelompok kontrol mayoritas mengalami mukositis grade 3 sebesar 47,6%. Hasil tersebut menunjukan perbedaan yang signifikan dengan seluruh nilai p<0,05. Penggunaan LLLT secara umum dapat mengurangi kejadian mukositis oral dan rasa nyeri dengan Efikasi rate LLLT pada pasien yang menjalani radioterapi atau kemoradioterapi bervariasi berdasarkan dosis radioterapi. Terdapat perbedaan tingkat keparahan mukositis oral dan tingkat rasa nyeri yang signifikan. Pemberian LLLT dapat dijadikan pilihan modalitas sebagai pencegahan terjadinya mukositis oral.Item Analisis Insidensi dan Faktor risiko Lesi Oral Pasien HIV/AIDS Di RSUP. DR. Hasan Sadikin Bandung(2023-10-11) IIN HELDAYANI; Irna Sufiawati; Yovita HartantriABSTRAK Pendahuluan: Lesi oral banyak ditemukan pada pasien HIV/AIDS dan keberadaannya dapat dijadikan indikasi progresifitas infeksi virus maupun menurunnya sistem kekebalan tubuh pasien. Seiring perubahan pola hidup, berbagai faktor risiko dapat menjadi pemicu timbulnya lesi oral pada pasien HIV/AIDS. Tujuan: Menganalisis insidensi dan korelasi faktor risiko dengan lesi oral pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Metode: Penelitian ini adalah deskriptif-retrospektif dengan metode cross sectional. Populasi penelitian adalah pasien HIV/AIDS yang diberikan pengobatan di poliklinik HIV dan ruang rawat inap RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2022 sampai Maret 2023. Sampel penelitian ditentukan menggunakan metode purposive sampling berjumlah 108 pasien. Analisis statistik yang digunakan yaitu univariat, bivariat dan multivariat menggunakan software SPSS versi 25.00. Hasil: Insidensi lesi oral terjadi pada 75,9% dengan lesi oral paling dominan adalah Kandidiasis Pseudomembran Akut (25,00%), Oral Hairy Leukoplakia (20,3%) dan Recurrent Apthous Stomatitis (17,2%). Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa terdapat 2 faktor risiko yang berkorelasi signifikan dengan lesi oral yaitu oral hygiene buruk (p = 0,004: 95% CI: 1,86-26,98), stadium klinis HIV yang terdiri dari stadium 4 (p = 0,012: 95% CI: 2,247-625,68) dan stadium 3 (p = 0,017: 95% CI: 1,51-61,15). Faktor risiko lain terdiri dari usia, jenis kelamin, jenjang pendidikan, status pekerjaan, Body Mass Index (BMI), merokok, minum alkohol, kadar Total Lymphosite Count (TLC) dan terapi ARV secara statistic tidak berkorelasi signifikan dengan lesi oral pasien HIV/AIDS. Simpulan: Insidensi lesi oral pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung termasuk tinggi yaitu 75,9% dan terdapat korelasi yang signifikan antara oral hygiene buruk dan stadium klinis HIV 3 dan 4 dengan lesi oral pasien HIV/AIDS. Kata Kunci: Infeksi HIV/AIDS, Faktor Risiko, Insidensi Lesi Oral ABSTRACT Introduction: Oral lesions are commonly found in HIV/AIDS patients and the presences could be used as an indication of the progression of the viral infection as well as a decrease of the patient`s immune system. As lifestyle changes, various risk factors can trigger oral lesions in HIV/AIDS patients. Objective: To analyze the incidence and correlation of risk factors with oral lesions of HIV/AIDS patients at RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Methods: The study is a descriptive-retrospective with cross-sectional method. The population was HIV/AIDS patients who were given treatment at HIV polyclinic and inpatient rooms of RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung for period of January 2022 to March 2023. The sample was determined using a purposive sampling method, totalling 108 patients. The statistical analysis used were univariate, bivariate and multivariate using SPSS software version 25.00. Results: The incidence of oral lesions was 75.9% with the most predominant oral lesions were Acute Pseudomembranous Candidiasis (25.00%), Oral Hairy Leucoplakia (20.3%) and Recurrent Aphthous Stomatitis (17.2%). The results of statistical analysis showed that there were 2 risk factors that significantly correlated with oral lesions, namely poor oral hygiene (p = 0.004: 95% CI: 1.86-26.98), HIV clinical stage consisting of stage 4 (p = 0.012: 95% CI: 2.247-625.68) and stage 3 (p = 0.017: 95% CI: 1.51-61.15). Other risk factors comprised of age, gender, education level, employment status, Body Mass Index (BMI), smoking, alcohol, Total Lymphocyte Count (TLC) level and ARV therapy were statistically not significantly correlated with oral lesions in HIV/AIDS patients. Conclusion: Incidence of oral lesions in HIV/AIDS patients at RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung was high at 75.9% and there were significant correlation between poor oral hygiene and clinical stages of HIV 3 and 4 with oral lesions in HIV/AIDS patients. Keywords: HIV/AIDS Infection, Risk Factors, Incidence of Oral LesionsItem Studi In Vitro Pengaruh Low-level Laser Therapy terhadap Jumlah Koloni Candida albicans Isolat Pasien Kanker Kepala dan Leher yang Menjalani Radioterapi(2023-10-11) NOVIA TRI HASANAH; Adji Kusumadjati; Irna SufiawatiRadioterapi merupakan salah satu tatalaksana kanker kepala dan leher (KKL) yang dapat menyebabkan kerusakan membran basal mukosa oral diikuti dengan peningkatan kolonisasi Candida spp. termasuk Candida albicans sebagai fungi yang paling sering ditemukan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan jumlah koloni C. albicans pada isolat pasien KKL yang menjalani radioterapi dengan dosis lebih dari 30 Gy di antara kelompok tanpa perlakuan, kelompok nystatin, kelompok low-level laser therapy (LLLT) dosis 5 J/cm2, dan kelompok LLLT dosis 10 J/cm2 secara in vitro. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu dengan jumlah sampel sebelas isolat C. albicans yang berasal dari saliva pasien KKL yang menjalani radioterapi dengan dosis lebih dari 30 Gy. Kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan dan kontrol positif menggunakan nystatin selama 30 detik. Kelompok perlakuan yaitu LLLT panjang gelombang 976 nm, daya 0,1 W, dosis 5 J/cm2, continuous mode, dan waktu paparan dua kali (50 detik) serta LLLT panjang gelombang 976 nm, daya 0,2 W, dosis 10 J/cm2, continuous mode, dan waktu paparan dua kali (50 detik). Pengujian dilakukan terhadap inokulum C. albicans setara suspensi 0,5 McFarland pada 96-well plate. Inokulum dari semua kelompok uji dilakukan kultur pada Sabouraud Dextrose Agar dan jumlah koloni dihitung dalam satuan 104 CFU/ml. Nystatin mengeliminiasi seluruh koloni (p-value 0,05). LLLT dapat menurunkan jumlah koloni C. albicans secara in vitro sehingga dapat menjadi pilihan terapi tambahan bagi pasien KKL yang mengalami komplikasi oral khususnya kandidiasis oral akibat radioterapi.Item Formulasi, Stabilitas Fisik, Identifikasi Etil-para-metoksisinamat, Kadar Polifenol, dan Uji Hedonik Sediaan Gel Ekstrak Etanol Kaempferia galanga L. Berbasis Carbopol 934(2023-10-11) AMIRA SHAFURIA; Irna Sufiawati; Indah Suasani WahyuniPendahuluan: Ekstrak etanol rimpang Kaempferia galanga (EEKG) telah terbukti memiliki aktivitas anti-ulser mukosa mulut melalui mekanisme penghambatan ekspresi COX-2, oleh karena itu perlu dilakukan hilirisasi menjadi produk obat herbal yang dapat dimanfaatkan oleh klinisi. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan basis gel dengan stabilitas fisik terbaik, mengidentifikasi komponen aktif etil para-metoksi sinamat (EPMS), menetapkan kadar polifenol yang terkandung pada gel EEKG 5% dan 10%, serta mengukur tingkat kesukaan responden terhadap produk gel EEKG tersebut. Metode: Penelitian ini merupakan eksperimental yang diawali dengan formulasi empat sediaan gel EEKG yang berbasis Carbopol 934 dan natrium karboksi metil selulosa (Na-CMC) sebagai polimer mukoadhesif dan juga pengujian stabilitas fisik pada hari ke-0 dan ke-14. Gel EEKG dengan stabilitas fisik terbaik selanjutnya dianalisis untuk mengidentifikasi EPMS menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) serta menetapkan kandungan polifenol di dalamnya. Uji hedonik juga dilakukan mengukur tingkat kesukaan 30 responden terhadap produk gel EEKG tersebut. Analisis data menggunakan paired t-test, one-way ANOVA, dan Kruskal-Wallis. Hasil: Berdasarkan hasil pengujian stabilitas fisik, basis Carbopol 934 1% terbaik untuk sediaan gel EEKG karena bersifat stabil selama masa simpan 14 hari. Uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara stabilitas fisik sediaan gel Carbopol 934 EEKG dengan sediaan gel anti ulserasi mukosa mulut komersial (p < 0,05). Kromatogram KCKT membuktikan bahwa EPMS teridentifikasi pada sediaan gel carbopol 934 EEKG 5% dan 10% dengan waktu retensi 6,056 dan 6,146 menit. Kadar polifenol pada sediaan gel carbopol 934 EEKG 5% dan 10% masing-masing adalah 1201,2557 mg/kg dan 1849,1506 mg/kg. Uji hedonik menunjukkan bahwa sediaan gel carbopol 934 EEKG 5% lebih disukai oleh responden. Simpulan: Carbopol 934 merupakan polimer mukoadhesif terbaik yang dapat digunakan sebagai basis sediaan gel EEKG. Sediaan gel EEKG berbasis Carbopol 934 terbukti mengandung senyawa aktif EPMS dan polifenol. Dengan mempertimbangkan tingkat kesukaan responden, sediaan gel Carbopol 934 EEKG kadar 5% dapat dikembangkan sebagai obat topikal antiulser mukosa mulut.Item ANALISIS HUBUNGAN KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D SERUM DENGAN PENYAKIT MUKOSA MULUT DAN FAKTOR RISIKONYA(2023-08-23) FIKA FARADILLAH DRAKEL; Irna Sufiawati; Indah Suasani WahyuniIntroduction: Low levels of serum 25-hydroxyvitamin D are closely linked to health problems that can be influenced by risk factors. The purpose of this study was to look at the relationship between 25-hydroxyvitamin D levels in risk factors for age, sex, body mass index (BMI) and comorbidities, and to see differences in serum 25-hydroxyvitamin D levels in patients with oral mucosal disease and healthy individuals. Methods: This study was a retrospective observational study with a case-control research design, conducted and analyze by recording serum 25-hydroxyvitamin D levels in patients with oral mucosal diseases and healthy individuals according to the inclusion and exclusion criteria at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung from 1 January 2019 to 31 December 2021. Results: Female patients (62.27%) were significantly more prevalent (p<0.000) than males (37.21%). The age group of 26–50 years (79.06%) were significantly larger (p<0.000) than other groups. Serum 25-hydroxyvitamin D deficiency in patient wiyh oral mucosal disease were significantly higher (p<0.000) than in the other groups. The top three cases of oral mucosal diseases found were oral cancer (17.82%), recurrent aphthous stomatitis (16.83%), and candidiasis (13.86%) respectively. Serum 25-hydroxyvitamin D levels in healthy individuals were significantly higher (p<0.000) than in patients with oral mucosal diseases. There was a significant association (p<0.000) between gender and serum 25-hydroxyvitamin D levels with an odds ratio of 5.78, age, BMI, and comorbidities were not associated. Conclusion: This study showed that most patients with oral mucosal disease had deficient serum 25-hydroxyvitamin D levels, the most common gender was female and there was a difference in lower serum 25-hydroxyvitamin D levels in patients with oral mucosal disease compared to healthy individuals. There is a significant relationship between gender and serum 25-hydroxyvitamin D levels.Item DETEKSI HUMAN HERPESVIRUSES DALAM SERUM DAN SALIVA PASIEN HIV(2023-08-24) RAHMI HARMIYATI; Nanan Nur aeny; Irna SufiawatiPendahuluan: Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) seringkali dihubungkan dengan peningkatan risiko infeksi human herpesvirus (HHVs) yang merupakan virus DNA yang sangat umum dapat menyebabkan berbagai penyakit orofasial, virus tersebut sifatnya sangat menular dan setelah infeksi primer bertahan dalam bentuk laten. HHVs terdiri dari herpes simpleks virus tipe 1 (HSV-1), HSV-2, varicella zoster virus (VZV), Epstein Barr virus (EBV, HHV-4), cytomegalovirus (CMV), HHV-6, HHV-7, dan HHV-8. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi keberadaan anggota virus HHVs dalam saliva dan serum orang yang terinfeksi HIV dan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah virus anggota HHVs antara saliva dan serum. Metode: Jenis penelitian adalah cross sectional dengan pengambilan sampel secara stratified random sampling untuk memilih 30 sampel saliva dan serum dari tiga puluh pasien terinfeksi HIV yang berobat di klinik HIV Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, Indonesia. HHVs diperiksa menggunakan microarray DNA PCR multipleks Clart Entherpex. Hasil penelitian dianalisis dengan software statisik SPSS. Hasil: Pasien HIV laki-laki (76,67%) lebih banyak dari pasien perempuan (23,33%) (p0,05). Pada saliva terdeteksi HSV-1 (6,67%), HSV-2 (6,67%), VZV (0%), EBV (86,67%), CMV (63,33%)), HHV-6 (40%), HHV-7 (83,33), HHV-8 (0%). Pada serum terdeteksi HSV-1 (0%), HSV-2 (20%), VZV (0%), EBV (30%), CMV (40%), HHV-6 (0%), HHV-7 (76,67%), HHV-8 (0%). VZV dan HHV-8 tidak terdeteksi baik pada saliva maupun serum subjek. EBV dan HHV-6 secara signifikan terdeteksi dalam saliva pasien HIV dibandingkan serum (P < 0,05). Kesimpulan: HSV-1, EBV, CMV, HHV-6 dan HHV-7 lebih banyak ditemukan pada saliva dibandingkan pada serum orang yang terinfeksi HIV. Temuan ini menunjukkan bahwa saliva merupakan faktor risiko potensial penularan virus tersebut, namun tidak ada perbedaan yang signifikan jumlah virus HHVs yang terdapat dalam serum dan saliva.Item Perbandingan Stabilitas dan Aktivitas Berbagai Formulasi Obat Kumur Kombinasi Deksametason Dengan Kurkumin dan Piperin Terhadap Candida albicans(2022-10-14) THEODORA ADHISTY DWIARIE; Sriwidodo; Irna SufiawatiPendahuluan: Penggunaan kortikosteroid topikal banyak digunakan di bidang ilmu penyakit mulut. Salah satu jenis kortikosteroid yang sering digunakan adalah deksametason. Sayangnya terdapat efek samping yang sering muncul dari penggunaan penggunaan kortikosteroid topikal yaitu kandidiasis oral yang disebabkan oleh Candida albicans. Kurkumin dan piperin diketahuui memiliki efek antikandida. Tujuan penelitian ini adalah membuat formulasi sediaan obat kumur kombinasi deksametason kurkumin dan deksametason piperin, beserta data stabilitas dan aktifitasnya terhadap Candida albicans. Metode: Jenis penelitian ini ialah eksperimen laboratorium. Penentuan nilai Minimum Inhibitory Concentration 50 (MIC50) dilakukan untuk menentukan dosis dalam pembuatan obat kumur. Obat kumur kemudian dilakukan evaluasi pH, viskositas dan MIC. Hasil: Perbandingan daya hambat kurkumin dan piperin terhadap koloni candida dalam MIC50 500-1000μg/ml vs 20-500µg/mL (p-value <0,05) dan daya hambat obat kumur deksametason kurkumin dan deksametason piperin 312,5-626 µg/mL vs 15-25µg/mL (p-value<0,05). Obat kumur pada hari ke-0 dan hari ke-7 memiliki pH 4,31 vs 4,49 dan memiliki nilai viskositas 149,32mPa’s vs 149,4mPa’s. Data stabilitas tidak berbeda secara bermakna. Simpulan: Kurkumin dan piperin memiliki aktivitas terhadap koloni Candida albicans, dengan kedua obat kumur tetap stabil pada penyimpanan 7 hari.Item ANALISIS DERAJAT DIFERENSIASI ORAL SQUAMOUS CELL CARCINOMA BERDASARKAN USIA DAN JENIS KELAMIN DI RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG TAHUN 2016-2021(2022-11-03) ADI AHMAD YUSUF; Irna Sufiawati; Tenny Setiani Dewi SPendahuluan: Kanker pada rongga mulut sekitar 95% merupakan OSCC. Derajat diferensiasi OSCC sering digunakan sebagai dasar prognosis. Perbedaan dalam paparan faktor risiko dan adanya inlamasi kronik, alterasi genetik, infeksi viral dapat terjadi berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis hubungan tingkat derajat diferensiasi OSCC berdasarkan usia dan jenis kelamin. Metode: Jenis penelitian ini ialah observasional analitik dengan desain potong lintang. Pencatatan usia dan jenis kelamin serta deraja diferensiasi dilakukan dengan melihat rekam medis RSHS Bandung dengan kode ICD C00-C06 dari tahun 2016-2021. Analisis data menggunakan chi-square dan uji koefisien korelasi kontingensi untuk mengetahui hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan derajat diferensiasi OSCC. Hasil: Subjek penelitian adalah laki-laki sebanyak 78 orang (47,3%) dan perempuan (87 orang (52,7%). Rata-rata usia subjek adalah 50,9 tahun (SD±11,6) dari usia termuda ialah 19 dan paling tua ialah 78 tahun. Berdasarkan kategori usia memiliki kecenderungan yang sama yaitu lebih banyak well differentiated OSCC dan moderately OSCC dan paling sedikit ialah poorly differentiated. Berdasarkan jenis kelamin memiliki tren yang sama yaitu lebih banyak well differentiated OSCC dan moderately OSCC, yang paling sedikit ialah poorly differentiated OSCC. Hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan derajat diferensiasi OSCC secara statistik p-value dengan (p>0,05) menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan. Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan derajat diferensiasi OSCC.Item EFEK CALSITRIOL TERHADAP PERTUMBUHAN SEL CAL27 MELALUI JALUR PENSINYALAN MAPK DAN NF kB(2022-10-14) EMBUN MANJA SARI; Hanna; Irna SufiawatiABSTRAK Pendahuluan: Kanker mulut menempati urutan ke-12 kanker tersering di dunia. Calsitriol (25(OH)D) yang diperkirakan memiliki hubungan dengan kanker. Pengobatan yang digunakan adalah radioterapi dan kemoterapi yang mempunyai sitoksisitas dan efek samping. Calsitriol merupakan prekursor hormon steroid calcitriol kuat yang telah diuji untuk pengobatan kanker. Tujuan: Mengetahui efek sitotoksik calsitriol, cisplatin, dan kombinasi cisplatin dan calsitriol terhadap sel Cal27 serta mengetahui perbedaan ekspresi mRNA jalur MAPK dan NF B pada sel Cal27. Metode: Kultur sel Cal27 diberi perlakuan dengan dosis yang berbeda pada cisplatin, calsitriol dan kombinasi cisplatin dan calsitriol. Ekspresi mRNA p65, NF-B, MPK1, dan MPK2 pada Cal27 yang diberikan calsitriol dilihat menggunakan RT-PCR. Hasil : Nilai IC50 calsitriol, cisplatin, kombinasi cisplatin dan calsitriol adalah 107.70, 33.20, dan 100.10 µg/mL. Cisplatin, calsitriol dan kombinasi cisplatin dan calsitriol berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan sel Cal27. Eskpresi p65, NF-B, MPK1, dan MPK2 tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Uji ANOVA pada p65, NF-B, MPK1, dan MPK2 menunjukkan p-value>0.05. Simpulan: calsitriol memiliki potensiasi daya anti kanker terhadap cal27 dan terdapat signaling pathway lain yang distimulasi bukan jalur pensinyalan MAPK dan NFB.Item Hubungan Lokasi Tumor Dan Stadium Penyakit Dengan Derajat Diferensiasi Oral Squamous Cell Carcinoma(2022-10-15) ALAMSYAH PILIANG; Irna Sufiawati; Tenny Setiani Dewi SPendahuluan: Tumor ganas pada rongga mulut sekitar 90% merupakan Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC). Derajat diferensiasi OSCC sering digunakan sebagai dasar prognosis. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis hubungan derajat diferensiasi OSCC berdasarkan lokasi tumor dan stadium penyakit. Metode: Jenis penelitian ini ialah retrospektif dengan desain cross sectional. Pencatatan lokasi tumor, stadium penyakit dan derajat diferensiasi OSCC dilakukan dengan melihat rekam medis di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan kode ICD C00-C06 dari tahun 2016-2021. Analisis data menggunakan chi-square, rank spearman dan uji koefisien korelasi kontingensi untuk mengetahui hubungan antara lokasi tumor dan stadium penyakit dengan derajat diferensiasi OSCC. Hasil: Subjek penelitian sebanyak 165 pasien OSCC, didapatkan jumlah laki-laki sebanyak 47,3% dan perempuan 52,7%. Berdasarkan kategori lokasi tumor memiliki kecenderungan yaitu lidah lebih banyak dengan well differentiated OSCC dan moderately differentiated OSCC. Berdasarkan stadium penyakit yaitu stadium IV lebih banyak moderately differentiated OSCC dan poorly differentiated OSCC, yang paling sedikit ialah well differentiated OSCC. Hubungan antara lokasi tumor dengan derajat diferensiasi OSCC, didapatkan bahwa koefisisen r 0.273 dan p 0.346 (p>0,05) menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan. Data mengenai stadium penyakit dengan derajat diferensiasi OSCC, didapatkan bahwa koefisien r 0.574 dan p<0.001 menunjukkan adanya hubungan stadium penyakit dengan derajat diferensiasi OSCC. Simpulan: Terdapat hubungan antara derajat diferensiasi OSCC dengan stadium dan tidak terdapat hubungan antara lokasi tumor dengan derajat diferensiasi OSCC.Item Uji Anti-Kanker Ekstrak Etanol dan Fraksi Etilasetat Curcuma longa Melalui Jalur Pensinyalan MAPK/NF- κB Terhadap Sel CAL-27 Oral Squamous Cell Carcinoma(2022-10-14) ANI MEGAWATI; Irna Sufiawati; Tenny Setiani Dewi SPendahuluan: Oral squamous cell carcinoma adalah kanker rongga mulut yang paling sering terjadi, dengan terapi antara lain radiasi dan kemoterapi yang memiliki efek samping dan toksik. Curcuma longa (C.longa) mengandung senyawa kurkumin yang telah diuji untuk pengobatan berbagai kanker melalui jalur MAPK dan NF-κB. Tujuan: Mengetahui efek sitotoksik ekstrak C.longa, fraksi C.longa, cisplatin, kombinasi ekstrak cisplatin, dan kombinasi fraksi cisplatin terhadap sel CAL-27 serta mengetahui ekspresi mRNA jalur MAPK dan NF-κB pada sel CAL-27 yang diberikan ekstrak dan fraksi C.longa. Metode: C.longa diekstraksi etanol dan difraksinasi etilasetat. Kultur sel CAL-27 diberi perlakuan menggunakan ekstrak C.longa, fraksi C.longa, cisplatin, kombinasi ekstrak cisplatin dan kombinasi fraksi cisplatin dengan 2 kali pengulangan. Corrected absorbance didapatkan untuk menghitung IC50. Ekspresi mRNA p65, NF-κB, MPK1, dan MPK2 pada CAL-27 yang diberikan ekstrak dan fraksi C.longa dilihat menggunakan RT-PCR. Hasil: IC50 ekstrak C.longa, fraksi C.longa, cisplatin, kombinasi ekstrak cisplatin, dan kombinasi fraksi cisplatin adalah 45.36, 58.18, 6.17, 41 dan 63.52 µg/mL. Ekspresi p65 mengalami penurunan, sedangkan NF-κB, MPK1, dan MPK2 mengalami peningkatan. Uji ANOVA pada p65, NF-κB, MPK1, dan MPK2 menunjukkan p-value<0.05. Simpulan: Ekstrak C.longa memiliki efek sitotoksik lebih baik dibandingkan fraksi C.longa dan dapat bersinergi dengan cisplatin sehingga dapat menjadi obat pendamping kemoterapi. Ekstrak dan fraksi C.longa memicu kematian sel CAL-27 dengan mengaktivasi MPK1 dan MPK2. Ekstrak dan fraksi C.longa tidak menghambat aktivasi NF-κB di sitoplasma namun dapat menekan pengikatan p65 ke DNA sehingga menghambat proliferasi sel CAL-27.Item HUBUNGAN FAKTOR RISIKO DENGAN MUKOSITIS ORAL PADA PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER YANG MENDAPATKAN RADIOTERAPI/ KEMORADIOTERAPI DI RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN BANDUNG 2015-2019(2021-12-31) YANNIE FEBBY MARTINA LEFAAN; Tenny Setiani Dewi S; Sri SusilawatiPendahuluan: Terapi kanker baik radioterapi maupun kemoterapi dapat menyebabkan munculnya mukositis oral. Derajat keparahan mukosistis bergantung pada agen, dosis, intensitas dari terapi kanker yang diberikan serta faktor-faktor risiko lain. Tujuan: Mengetahui prevalensi mukositis oral dan hubungan faktor risiko dengan mukositis oral pada pasien kanker kepala dan leher yang mendapatkan radioterapi atau kemoradioterapi. Metode: Penelitian retrospektif dengan metode cross sectional, sebanyak 171 rekam medik pasien kanker kepala dan leher di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung pada Januari 2015 sampai dengan Desember 2019 yang mendapatkan radioterapi dan kemoradioterapi. Analisis data menggunakan analisis Spearman correlation untuk menganalisis hubungan antara faktor risiko untuk mengetahui signifikansi dan hubungan antara variabel terikat pada variabel bebas secara keseluruhan. Hasil: 59 orang mengalami mukositis oral, laki-laki 26,9%, wanita 7,6%; rasio 3:1 dengan rentan usia 40-60 tahun. Analisis Spearman correlation terdapat hubungan yang signifikan antara body mass index (BMI) (ρ=0,000), kebiasaan merokok (ρ=0,000), regimen kemoterapi (ρ=0,013), durasi kemoterapi (ρ=0,019), siklus kemoterapi (ρ=0,021), dan siklus radioterapi (ρ=0,000). Kesimpulan: Prevalensi mukositis oral sebesar 34,5%. Faktor risiko yg berhubungan dgn terjadinya mukositis oral antara lain body mass (BMI), Kebiasaan merokok, regimen kemoterapi, durasi kemoterapi, siklus kemoterapi, dan siklus radioterapiItem Hubungan Nilai Serum Total Antioxidant Capacity terhadap Jumlah Viral Load, CD4, dan Lesi Oral Penderita HIV/AIDS(2022-01-13) DEWI ZAKIAWATI; Herry Herman; Irna SufiawatiPendahuluan: Parameter perkembangan penyakit HIV/AIDS dapat dilihat dari nilai viral load, jumlah CD4, kejadian lesi rongga mulut, serta adanya stres oksidatif. Saat replikasi virus meningkat, proses viral-induced cell death akan menyebabkan menurunnya CD4 dan mengakibatkan kerusakan DNA sel, termasuk epitel rongga mulut. Setidaknya satu lesi oral dapat muncul pada sebagian besar penderita HIV/AIDS. Selain itu, proses patogenesis HIV juga menjadi kontributor produksi radikal bebas di dalam tubuh sehingga mengakibatkan perburukan penyakit. Konsumsi antioksidan dari diet dan proses alamiah tubuh memproduksi antioksidan dalam upaya mengembalikan keseimbangan oksidan dan antioksidan di dalam sel dapat diukur dari serum, yang disebut dengan nilai total antioxidant capacity (TAOC). Tujuan penelitian ini untuk menganalisis perbedaan nilai TAOC pada pasien HIV/AIDS terhadap individu sehat, serta hubungannya dengan nilai viral load, jumlah CD4, dan lesi oral. Metode Riset: Jenis penelitian ini merupakan cross sectional dengan subjek penelitian berupa bahan biologis tersimpan dalam bentuk serum. Nilai TAOC diukur menggunakan ELISA dengan metode colorimetric. Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan uji Chi-Square untuk melihat perbedaan data HIV dan individu sehat, serta Uji Spearman’s correlation untuk menganalisis hubungan antara TAOC dan variabel lainnya. Temuan Riset dan Diskusi: Sampel serum berasal dari 35 pasien HIV/AIDS (74,29% laki-laki dan 25,71% perempuan) dan 23 orang individu sehat (65,21% laki-laki dan 34,78% perempuan). Sampel HIV/AIDS terbanyak berasal dari kelompok usia 25-34 dan 35-44 tahun (masing-masing sebesar 37,14%), berpendidikan SMA/SMU (40,00%), dan bekerja sebagai pegawai swasta (37,14%). Nilai serum TAOC pada pasien HIV/AIDS berbeda bermakna dibandingkan individu sehat (p<0,05), tetapi nilai TAOC memiliki korelasi yang sangat lemah secara statistik terhadap viral load (p=0,03), CD4 (p=0,46), dan lesi oral (p=0,44). Simpulan: Nilai serum TAOC pada pasien HIV/AIDS memiliki perbedaan terhadap individu sehat, namun nilai serum TAOC tidak memiliki hubungan dengan jumlah viral load, CD4, dan lesi oral penderita HIV/AIDS.Item ANALISIS KADAR SERUM VITAMIN A DAN VITAMIN C TERHADAP CD4, VIRAL LOAD, STATUS NUTRISI SERTA LESI ORAL PADA PASIEN HIV/AIDS(2022-01-12) NELLY NAINGGOLAN; Dewi Marhaeni Diah Herawati; Agnes Rengga IndratiPendahuluan: Mikronutrien mempunyai peran penting dalam patogenesis penyakit HIV dan berkontribusi terhadap disfungsi kekebalan, morbiditas, dan perkembangan penyakit. Vitamin A dan C berperan penting dalam diferensiasi dan proliferasi sel imun, proses inflamasi, dan juga berperan sebagai antioksidan. Pasien HIV/AIDS dengan defisiensi vitamin A dan C akan meningkatkan kerentanan terhadap perkembangan lesi oral. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kadar vitamin A dan C pada penderita HIV/AIDS dan orang sehat serta perbedaan kadar vitamin A dan vitamin C berdasarkan jumlah CD4, viral load, body mass index (BMI) dan keberadaan lesi oral pada pasien HIV/AIDS. Metoda: Jenis penelitian ini adalah cross-sectional. Subjek penelitian adalah serum 38 orang pasien HIV/AIDS dan 21 orang individu sehat sebagai kelompok kontrol. Kadar vitamin A dan vitamin C serum pasien dan individu sehat diperiksa dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Jumlah CD4, viral load, BMI serta keberadaan lesi oral diperoleh dari data rekam medis pasien. Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan uji Mann-Whitney U. Hasil: Subjek penelitian terdiri dari 38 orang pasien HIV/AIDS, pria 27 (71,05%) dan perempuan 11 (28,95%), dengan kelompok usia tertingi 25-49 tahun (80,65%). Terdapat perbedaan pada kadar vitamin A antara pasien HIV/AIDS dengan individu sehat (p=0,000) dan pada kadar vitamin C antara pasien HIV/AIDS yang memiliki lesi oral dengan tanpa memiliki lesi oral (p=0,041). Namun tidak terdapat perbedaan pada kadar vitamin C antara pasien HIV/AIDS dengan individu sehat (p=0,071), pada kadar vitamin A dan C antara CD4< 200 dengan CD4⩾200 (p=0,841 dan p=0,779), antara viral load tidak terdeteksi atau <40 dengan viral load ⩾40 (p=0,988 dan p=0,779), dan antara BMI<18,5 dengan BMI ⩾18,5 (p=0,779 dan p=0,779) dan juga kadar vitamin A antara pasien HIV/AIDS yang memiliki lesi oral dengan tanpa memiliki lesi oral (p=0,367). Kesimpulan: Kadar vitamin A pada pasien HIV/AIDS berbeda signifikan dibandingkan dengan individu sehat, serta kadar vitamin C di antara pasien HIV/AIDS dengan atau tanpa lesi oral juga berbeda secara signifikan. Asupan vitamin A dan C dianjurkan bagi penderita HIV/AIDS.Item KORELASI ANTARA XEROSTOMIA DENGAN STATUS GIZI PADA ORANG LANJUT USIA (STUDI TELAAH SISTEMATIK)(2022-01-04) HELEN CHRISTINE; Tenny Setiani Dewi S; Dewi Marhaeni Diah HerawatiPendahuluan: Xerostomia merupakan kondisi kekeringan dalam mulut yang umum sering ditemukan pada populasi lansia dengan prevalensi sebesar 50 %. Lansia berusia 65 tahun ke atas paling berisiko mengalami xerostomia dan hiposalivasi. Xerostomia berat dapat menyebabkan kesulitan menelan dan menurunkan asupan makanan. Asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu lama akan menurunkan status gizi. Status gizi memiliki peran penting dalam memelihara dan mempertahankan fungsi tubuh secara umum, termasuk kondisi dari kelenjar saliva. Status gizi yang kurang dapat menyebabkan penurunan fungsi saliva dan berakibat terjadinya xerostomia Tujuan: melihat korelasi antara xerostomia dengan status gizi pada lansia. Metode: penelitian telaah sistematik, pencarian artikel jurnal dilakukan secara elektronik dari Pubmed, Google Scholar dan Clinical Key yang dipublikasikan selama 10 tahun terakhir yaitu tahun 2010 – 2020, mengacu pada Medical Subject Headings (MeSH) menggunakan istilah “Xerostomia” AND “Mini Nutritional Assessment”. Pengumpulan dan ekstraksi data dalam penelitian ini mengacu pada aturan Preferred Reporting items for Systematic Reviewed Metode and Meta-Analyses (PRISMA). Hasil: dari penelusuran telaah sistematik, didapatkan hasil yang menunjukkan prevalensi xerostomia dan hiposalivasi lebih tinggi pada kelompok lansia dengan status risiko malnutrisi dan status malnutrisi yang didapatkan melalui hasil analisis statistik bivariat dan multivariat. Penyakit kronis dan polifarmasi merupakan faktor confounding yang memengaruhi xerostomia, sementara polifarmasi dan kemoterapi konvensional merupakan faktor confounding yang memengaruhi penurunan nilai status gizi pada populasi lansia. Simpulan: terdapat korelasi antara xerostomia dan status gizi pada lansiaItem Analisis Faktor Risiko Kanker Kepala dan Leher di Rumah Sakit dr Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015-2019(2022-01-07) NURI FITRIASARI; Raden Yohana; Irna SufiawatiPendahuluan: Kanker kepala dan leher (KKL) adalah tumor yang berasal dari rongga mulut, rongga sinonasal, faring, laring dan kelenjar saliva yang termasuk ke dalam keganasan paling sering terjadi dan urutan ketujuh di dunia pada tahun 2018. Patogenesis KKL yang tepat belum sepenuhnya diketahui, namun sebagian besar penyebab dari kanker adalah multifaktorial dengan mekanisme yang kompleks. Faktor risiko KKL didominasi oleh merokok, minum alkohol, menyirih, virus, faktor risiko lain yang telah dikaitkan dengan KLL termasuk pola diet, paparan pekerjaan, usia, jenis kelamin, dan pendidikan juga penting untuk menentukan risiko KKL. Tujuan: Mengetahui hubungan faktor risiko kebiasaan merokok, kebiasaan minum alkohol, menyirih, pekerjaan, usia, jenis kelamin dan pendidikan dengan KKL di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2015 sampai dengan Desember 2019. Metode: Penelitian retrospektif dengan metode cross sectional, sampel secara random sampling sebanyak 372 pasien KKL dari populasi sebanyak 1657 pasien KKL. Hasil: Pengujian statistik menunjukkan bahwa hanya terdapat dua variabel yang signifikan berhubungan dengan KKL yakni variabel jenis kelamin (nilai p = 0.010) dan variabel kebiasaan merokok (nilai p = 0.014) dengan nilai koefisien Cramer’s lebih dari 0.25 dan kurang dari 0.5 maka tingkat keeratan hubungan yang cukup kuat dengan KKL. Simpulan: Terdapat hubungan faktor risiko kebiasaan merokok dan jenis kelamin dengan KKL di RSUP dr Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015-2019.Item Hubungan Kadar Vitamin E Pada Saliva Dan Serum Dengan CD4 Pasien HIV(2020-07-13) DEVI NASUTION; Rudi Wisaksana; Irna SufiawatiPendahuluan: Human Immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) masih merupakan masalah global termasuk di Indonesia. Selama infeksi HIV, terjadi penurunan jumlah sel T CD4 yang mempengaruhi imunologik. Salah satu penyebab menurunnya sistem imun adalah kekurangan nutrisi. Pasien HIV/AIDS cenderung mengalami defisiensi vitamin E. Tujuan: Menganalisis perbedaan kadar vitamin E pada saliva dan serum pasien HIV dengan ART, tanpa ART serta individu sehat serta melihat hubungan kadar vitamin E pada saliva dan serum dengan jumlah CD4 pasien HIV/AIDS. Metode: Jenis penelitian ini adalah cross sectional. Subjek penelitian adalah pasien HIV/AIDS dengan ART, tanpa ART serta pasien non HIV sebagai kontrol. Kadar vitamin E pada saliva dan serum diperiksa dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan uji Mann Whitney Hasil: Subjek sebanyak 85 orang, 30 orang pasien HIV dengan ART, 30 orang pasien tanpa ART serta 25 orang pasien non HIV. Jumlah CD4 pasien HIV terbanyak adalah rentang ≥200 sel/mm3 (77%). Median kadar vitamin E saliva pasien HIV dengan ART sebesar 1,4367 μmol/L, pada pasien HIV tanpa ART sebesar 2,5533 μmol/L, sedangkan pasien sehat sebesar 3,2840 μmol/L. Kadar vitamin E serum di bawah nilai normal pada pasien HIV dengan ART sebesar 83%, sedangkan pada pasien HIV non ART 67% dan pada pasien non HIV 16%. Kesimpulan: Kadar vitamin E pada saliva dan serum kelompok pasien HIV tanpa ART lebih besar dibandingkan dengan kelompok pasien HIV dengan ART. Tidak terdapat korelasi antara jumlah CD4 dengan kadar vitamin E dalam saliva dan serum baik secara keseluruhan maupun pada pasien HIV dengan ART dan tanpa ART (p>0,05). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar vitamin E saliva dan serum dengan status gizi pasien sehat, HIV dengan ART serta tanpa ART nilai (p>0,05).
- «
- 1 (current)
- 2
- 3
- »