Universitas Padjadjaran
Permanent URI for this community
Browse
Browsing Universitas Padjadjaran by Author "A. Djadja Saefullah"
Now showing 1 - 20 of 52
Results Per Page
Sort Options
Item ANALISIS BEBAN KERJA PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG WORKLOAD ANALYSIS AT THE AGENCY EMPLOYMENT OF THE PROVINCE OF BANGKA BELITUNG ARCHIPELAGO(2015-10-16) SYAFITRI; A. Djadja Saefullah; Asep KartiwaMasalah dalam penelitian ini adalah belum optimalnya analisis beban kerja di Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini ditunjukan dengan masih belum efisien dan efektifnya kinerja pegawai yang berdampak terhadap kinerja Badan Kepegawaian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara keseluruhan. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif, yang difokuskan pada pelaksanaan analisis beban kerja, khususnya pada unsur-unsur yang membentuk analisis beban kerja di lingkungan Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Mengingat ruang lingkup penelitian yang meliputi faktor faktor dalam analisis beban kerja maka informan adalah para pegawai di Badan Kepegawaian Daerah, terutama yang berkaitan dengan tupoksi analisis beban kerja. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari keenam faktor yang menentukan analisis beban kerja yaitu: (1) Faktor Lingkungan; (2) Persyaratan Pekerjaan; (3) sistem yang mendukung dan menghambat; (4) desain cara kerja; dan (5) tuntutan situasi, serta (6) kondisi pegawai itu sendiri, faktor lingkungan dinilai paling menentukan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari faktor lingkungan organisasi dan faktor manusia yang ada dalam organisasi tersebut. Sebagai suatu kegiatan analisis, maka kegiatan analisis beban kerja banyak ditentukan oleh faktor manusia dengan segala atribut dan kepentingannya dalam organisasi tersebut. Faktor kekuasaan pimpinan daerah yang terlalu kuat saat dihadapkan pada kepentingan organisasi Pemerintah Daerah itu sendiri yang mana kekuatan kekuasaan pimpinan telah menyebabkan informasi yang dihasilkan dari analisis beban kerja lebih banyak ditempatkan sebagai bentuk legitimasi dari keputusan yang dinginkan oleh pimpinan organisasi. Sejalan dengan hasil penelitian di atas, dimana analisis beban kerja tergantung faktor organisasi dan faktor manusianya, maka yang menjadi temuan baru penelitian ini adalah “informasi yang direkomendasikan dari analisis beban kerja sangat dipengaruhi faktor lingkungan organisasi dimana proses analisis beban kerja tersebut dijalankan”.Item EVALUASI KEBIJAKAN PEMERINTAH KE PEMERINTAH INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN (STUDI KASUS PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI KOREA SELATAN)(2015-10-05) NETTY PRASETIYANI; Nasrullah Nazsir; A. Djadja SaefullahABSTRAK Penelitian ini bertitik tolak dari rumusan masalah, yaitu belum dilakukan evaluasi kebijakan Government to Government (Pemerintah ke Pemerintah) antara Indonesia dengan Korea Selatan mengenai Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, belum diketahui motivasi tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk bekerja di Korea Selatan, dan persepsi TKI yang bekerja di Korea Selatan tentang kesepakatan G to G penempatan calon tenaga kerja Indonesia (CTKI). Penelitian dilakukan dengan metode gabungan, yakni kajian yang bersifat kualititatif dan kuantitatif. Untuk menjawab pertanyaan nomor 1 digunakan paradigma kualitatif yang bertujuan memperoleh pemahaman yang otentik mengenai pengalaman subjek penelitian, sedangkan untuk pertanyaan nomor 2 dijawab dengan paradigma penelitian kuantitatif dengan format penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) karakteristik evaluasi fokus nilai kebijakan G to G Korea Selatan-Indonesia dilatarbelakangi oleh permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan tenaga kerja asing yang bekerja di Korea Selatan oleh perusahaan swasta (private to private) yang berdampak pada irasionalitas biaya pengiriman tenaga kerja asing (TKA), status TKA sebagai peserta magang, dan terjadi pelanggaran overstay; (2) hasil kebijakan atau manfaat dari program G to G sebagai pemaknaan karakteristik evaluasi interdependensi fakta nilai adalah terjaminnya perlindungan hak TKA oleh UU Korea Selatan, ketiadaan intervensi swasta, tidak dikenai biaya kepada calon tenaga kerja; (3) karakteristik evaluasi orientasi masa kini dan masa lampau menunjukkan implementasi program yang masih memiliki permasalahan, baik permasalahan di Indonesia (dalam proses rekruitasi, pelaksanaan tes bahasa Korea, proses pemanggilan, proses prelim, dan proses pengiriman) maupun di Korea Selatan (perusahaan tidak lagi beroperasi, TKA mengalami gegar budaya, gangguan kesehatan, dan tidak loyal pada perusahaan); (4) dualitas nilai menunjukkan bahwa program G to G memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan program G to G adalah jaminan hak TKA, peningkatan kualitas TKA, dan minimalisasi biaya. Kelemahan program G to G di Indonesia ditunjukkan oleh ketidaksiapan sumber daya manusia, baik sebagai pembuat kebijakan maupun sebagai implementor, kurangnya koordinasi yang menyebabkan ketidakakuratan data, permasalahan yang dilakukan oleh TKI; dan tidak adanya interaksi antara pemilik perusahaan dengan calon pekerja; (5) terdapat tiga motivasi dominan yang menjadi dasar untuk bekerja di Korea Selatan, yaitu motivasi ekonomi, motivasi personal, dan motivasi sosial. (6) Persepsi TKI terhadap kebijakan G to G dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu dukungan dan penolakan. Peneliti memunculkan model modifikasi karakteristik Dunn dengan menambahkan karakteristik Orientasi Sikap dan Komitmen Bersama (Mutual Commitment).Item Evaluasi Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada SMP Negeri di Kabupaten Badung Provinsi Bali(2015-09-06) I MADE SUMADA; Mudiyati Rahmatunnisa; A. Djadja Saefullahiv ABSTRAK Berdasarkan data BPPS Provinsi Bali Tahun 2013 bahwa dengan adanya kebijakan program BOS belum efektif untuk membebaskan sekolah dari segala bentuk pungutan yang dilakukan terhadap SMP Negeri di Kabupaten Badung Provinsi Bali dan belum bisa menutaskan wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Sebagai salah satu indikator keberhasilan dilihat dari APM setiap tahunnya mengalami fluktuasi, dari semenjak di diberlakukannya kebijakan BOS pada tahun 2005. Berkaitan dengan fenomena tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang evaluasi kebijakan BOS pada SMP Negeri di Kabupaten Badung Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer yang diperoleh melalui teknik wawancaran dan observasi (pengamatan), dan data sekunder yang bersumber dari dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian. Informan penelitian mempergunakan informan kunci yaitu tim evaluator Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Badung Provinsi Bali dan sebagai informan pendukung yang terdiri dari Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Badung, Manajemen BOS Kabupaten Badung, Kepala Sekolah SMP Negeri Kabupaten Badung, Manajemen BOS SMP Negeri Kabupaten Badung, Ketua Kominte SMP Negeri Kabupaten Badung dan Orang Tua Siswa SMP Negeri Kabupaten Badung. Hasil Penelitian dengan mempergunakan teori CIPP dari Stufflebeam (2002:302) yang terdiri dari evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi produk.Kebijakan BOS pada SMP Negeri di Kabupaten Badung Provinsi Bali belum efektif untuk membebaskan sekolah dari segala macam pungutan dan belum tuntasnya wajib belajar 9 tahun yang bermutu karena evaluasi belum dilakukan secara linier, konprehensip dan kontinu oleh tim evaluator Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Badung Provinsi Bali. Sesuai dengan hasil penelitian tersebut maka penulis menyarankan kepada pemerintah agar dana BOS dapat efektif untuk mencegah agar tidak terjadinya pungutan dan tuntas belajar 9 tahun yang bermutu dapat terwujud sebaiknya ada jaminan dari pemerintah terhadap anak-anak yang tamat SD semuanya melanjutkan dan tertampung di SMP, agar tahun pelajaran disamakan dengan tahun anggaran, dan tidak ada pemisahan tingkat pendidikan SD dan SMP disamakan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yaitu pendidikan dasar. Kata Kunci : Evaluasi Kebijakan, BOS v ABSTRACT Based on Bali Province Central Bureau of Statistics data of 2013, School Operational Fund programme policy hasn’t been effective yet to left off additional cost on Public Junior Secondary School in Badung Regency – Bali Province. As a consequence, Badung Regency can not complete The 9 Years Compulsory Education Programme. One of the indicator is fluctuative number of Net Enrollment Rate for a several years, especially since this programme started to impement on 2005. Related to this phenomenon, Author interested to take the research on School Operational Fund Programme Policy of Public Junior Secondary School in Badung Regency – Bali Province. This research used quantitative research method with case study approach. Promary data source which using on this research was taken from interview and observation. Meanwhile, secondary data was taken from some relevant documents on research problem. For informant, Author used key informant i.e. Head of Education, Youth and Sport Service of Badung Regency, Public Junior Secondary School Principles in Badung Regency, School Operational Fund Programme Management, chairman of Badung Regency Public Junior Secondary School Commitee and parents of Public Junior Secondary School students. Research’s result is taken by using CIPP theory of Stufflebeam (2002:302) with using context evaluation, input evaluation, process evaluation, and product evaluation. School Operational Fund policy for Public Junior Secondary School in Badung Regency – Bali Province hadn’t been effective to release any additional cost dan couldn’t fully support The 9 Years Compulsory Education Programme, because evaluation steps hadn’t carried on incessantly by evaluation team from Education, Youth and Sport Service of Badung Regency. Based on reserach result, Author recommend to regional government that in order to take fully effectiveness on School Operational Fund Programme and prevent additional cost, and generally to support The 9 Years Compulsory Education Programme, it is important to implement guarantee for primary school graduate so they can contnue their education right to Junior Secondary School. Beside it, recomended to take the same period of academic year and budget year and also recommended in Education System Act to merge secondary school to primary school as a one level. Keywords : Policy Evaluation, School Operational Fund for Public Junior Secondary SchoolItem EVALUASI KEBIJAKAN DESA MANDIRI GOTONG ROYONG DI KABUPATEN SUBANG PROVINSI JAWA BARAT ( POLICY EVALUATION OF THE COMMUNITY SELF HELP OUTONOMOUS VILLAGE IN SUBANG REGENCY WEST JAVA PROVINCE)(2016-02-25) IWAN HENRI KUSNADI; A. Djadja Saefullah; Asep SumaryanaPenelitian ini mengangkat kebijakan Desa Mandiri Gotong Royong (DMGR) di Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat yang memiliki kedudukan strategis sebagai bagian integral dari kebijakan otonomi daerah tentang desa. Hal yang ingin digali secara mendalam dalam penelitian ini adalah bagaimana evaluasi kebijakan Desa Mandiri Gotong Royong (DMGR) tersebut telah mampu menghasilkan tujuannya yang telah dipersyaratkan. Penelitian ini berangkat dengan hipotesis kerja ”Evaluasi kebijakan Desa Mandiri Gotong Royong di Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat meliputi kegiatan spesifikasi, penilaian, analisis dan rekomendasi”. Informan yang dilibatkan dalam penelitian ini meliputi : unsur Tim Evaluasi program Desa Mandiri Gotong Royong (DMGR), unsur-unsur penyelenggara kebijakan Desa Mandiri Gotong Royong (DMGR) dengan mengambil kriteria kecamatan dan desa berdasarkan kewilayahan di Kab.Subang (wilayah bagian selatan (pegunungan), Subang bagian tengah (pedataran),Subang bagian Utara (pantai) ) ; dan unsur masyarakat. Hasil penelitian evaluasi kebijakan menunjukkan bahwa evaluasi kebijakan Desa Mandiri Gotong Royong belum optimal mensinergikan stake holder kebijakan khususnya unsur Organisasi Perangkat Daerah dalam mempercepat sasaran kinerja Desa Mandiri Gotong Royong (DMGR). Hal ini berimplikasi terhadap lemahnya pembinaan proses kebijakan DMGR khususnya pada desa-desa yang belum memiliki inovasi dan kreativitas dalam kegiatan-kegiatan Desa Mandiri Gotong Royong. Dari sisi implikasi pasca evalusi DMGR, perhatian terhadap rekomendasi masih belum didukung oleh strategi kedepan yang konsisten sehingga perhatian terhadap permasalahan dan kendala-kendala yang telah dievaluasi cenderung diabaikan bahkan belum menunjukkan konsistensi dari hasil evaluasi. Konsep baru evaluasi yang ditawarkan adalah Sebagai temuan baru bagi pengembangan ilmu yaitu evaluasi kebijakan terkait dengan informasi tentang kinerja dan lingkungan kebijakan untuk menilai hasil dalam suatu kurun waktu tertentu yang telah dicapai oleh suatu kebijakan setelah kebijakan dilaksanakan. Bahwa evaluasi kebijakan Desa Mandiri Gotong Royong (DMGR) inheren (melekat) dengan fungsi-fungsi dalam evaluasi kebijakan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten Subang.Item EVALUASI KEBIJAKANPENANGANAN PENYAKIT TBC (TUBERCOLOSES) DI DINAS KESEHATAN KOTA SORONG PROVINSI PAPUA BARAT(2016-05-02) SARA FRANSINA MALAK; A. Djadja Saefullah; Rita MyrnaA B S T R A K Secara Konseptual kegiatan evaluasi kebijakan adalah kegiatan penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak (Anderson 1975). Artinya kegiatan evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional dimana kegiatan ini tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh proses kebijakan. Untuk itu sebuah kebijakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat pokok, antara lain bertujuan menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan. Sebuah proses evaluasi kebijakan ditunjukan untuk menilai sejauh mana keefisienan kebijakan publik guna dipertanggung jawabkan kepada konstituennya, sejauh nama tujuan dicapai. Evaluasi dilakukan juga untuk melihat kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan publik, jadi evaluasi kebijakan bertujuan mencari kekurangan dan sekaligus menutup kekurangan. Dalam hasil analisa disimpulkan bahwa hasil analisa akar masalah terkait penanganan TB di Kota Sorong adalah: a) Penyebab langsung (direct case) = kurangnya kegiatan sosialisasi bagi masyarakat dan survey penderita Tb.b)Penyebab tidak langsung (indirect case) = belum adanya dukungan kebijakan dan anggaran yang cukup untuk program penanganan penyakit TB di Kota Sorong.c).Sebab fundamental (Basic Cause) = pencegahan dan penanganan penyakit TB belum menjadi program prioritas pemerintah daerah Kota Sorong. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sejauh mana kebijakan penanganan penyakit TBC oleh Dinas Kesehatan Kota Sorong Provinsi Papua Barat serta memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu administrasi publik. Theori yang di gunakan adalah Theori Menurut Dunn dengan mengunakan pendekatan berdasarkan kriteria evaluasi terbagi atas 6 indikator yaitu: Efektifitas ,Efisiensi, Adequacy/ketetapan Equity/Pemerataan ,Responsives,Appropriateness / ketepatgunaan . Metode Yang di gunakan adalah Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif menurut Bongdan Taylor (1975: 5) mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Lexy Moleong : 3). Berdasarkan hasil Penelitian di simpulakan bahwa Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis yang dianalisis dan dituangkan dalam pembahasan pada BAB IV dapat disimpulakan bahwa kebijakan penanganan penyakit TB jika diukur berdasarkan kriteria evaluasi maka kebijakan penanganan TB di Kota Sorong belum berjalan secara efektif, efisien, kecukupan dalam memecahkan masalah penyakit TB, merata kepada seluruh elemen masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda, dan dapat memuaskan seluruh masyarakat Kota Sorong yang membutuhkan pelayanan Pengobatan penyakit TB, dan tepat guna kepada masyarakat yang terinfeksi penyakit TB.Item EVALUASI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN 2011(2014-11-20) MIRDAYATI; A. Djadja Saefullah; Sinta NingrumABSTRAK Masalah penelitian ini adalah rendahnya profesionalisme penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di lingkungan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dalam aspek pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan melalui diklat, dimana hasil yang diharapkan dari diklat tersebut adalah meningkatnya kompetensi seseorang dan pada gilirannya berdampak pada rendahnya kualitas kinerjanya. Dengan demikian, bila merujuk pada konteks ini sepertinya ada dugaan rendahnya kualitas kinerja PPNS di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berpangkal dari tidak memadainya penyelenggaraan diklat bagi PPNS terlebih ada beberapa temuan yang terkait dengan penyelenggaraan diklat yang telah dilaksanakan. Tidak memadainya penyelenggaraan diklat ini dianalisis melalui pendekatan penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, studi dokumentasi dan observasi dengan informan kunci dalam penyelenggaraan diklat ditambah dengan para pihak yang terkait dengan pelaksanaan diklat PPNS mulai dari penyelenggara, peserta, instruktur, dan pihak Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bangka Belitung sebagai koordinator PPNS. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak memadainya penyelenggaraan Diklat PPNS di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung disebabkan oleh kualitas perencanaan yang belum sesuai dengan standar dan ketentuan yang seharusnya dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklat PPNS maupun peraturan terbaru yaitu Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 26 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Diklat PPNS. Begitu juga dengan kualitas pelaksanaan Diklat PPNS, menunjukkan bahwa dalam aspek peserta, instruktur, bahan ajar, dan metode serta evaluasi pembelajaran dinilai memiliki banyak kelemahan. Hal yang sama pada aspek evaluasi penyelenggaraan diklat, hasilnya masih belum berkualitas, dimana instrumen evaluasi yang ada belum sepenunya terfokus pada kualitas penyelenggaraan diklat itu sendiri, termasuk ketidakmampuan untuk menganalisis dan evaluasi atas perkembangan kompetensi PPNS di lapangan yang dibandingkan dengan kompetensi yang telah dimilikinya setelah mengikuti diklat. Kata Kunci: Pendidikan dan Pelatihan, Kualitas Kinerja Aparatur, Evaluasi Penyelenggaraan Diklat.Item EVALUASI PROGRAM PENGENTASAN BUTA AKSARA DI KABUPATEN LEBAK PADA MASYARAKAT ADAT BADUY KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN(2017-07-08) HARITS HIJRAH WICAKSANA; A. Djadja Saefullah; Asep SumaryanaABSTRAK Masalah dalam penelitian ini adalah Evaluasi Program Pengentasan Buta Aksara di kabupaten Lebak pada Masyarakat Adat Baduy Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Maksud penelitian ini untuk menelusuri, mengungkapkan fakta empirik, memahami proses dan mendeskripsikan permasalahan dan faktor-faktor penyebab belum terlaksananya Kebijakan Pengentasan Buta Aksara di Kabupaten Lebak, serta mendeskripsikan nilai dan manfaat kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana evaluasi program pengentasan buta aksara di Kabupaten Lebak pada masyarakat adat Baduy Kabupaten Lebak Provinsi Banten sebagai upaya untuk mengentaskan buta aksara yang ada di wilayah Kabupaten Lebak. Selain itu Maksud penelitian ini adalah juga untuk mengungkap makna, memahami serta memberi gambaran empirik tentang evaluasi program pengentasan buta aksara di Kabupaten Lebak pada masyarakat adat Baduy Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif, pemilihan informan dilakukan secara purposive. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Analisis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kriteria evaluasi kebijakan menurut William N. Dunn, meliputi aspek efektifitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsifitas, dan ketepatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa evaluasi program pengentasan buta aksara di Kabupaten Lebak yang tertuang pada Perda (nomor 2 tahun 2010) tentang penyelenggaran pendidikan di Kabupaten Lebak belum terlaksana karena tidak ditunjang oleh Peraturan Bupati sebagai petunjuk operasional dalam pelaksanaan program pengentasan buta aksara ini. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian tentang kurangnya sarana penyelanggara. Selanjutnya, pemangku kepentingan dalam program ini belum melaksanakan program pengentasan buta aksara secara terpadu di masyarakat adat Baduy hanya dengan alasan masyarakat Baduy dilarang untuk sekolah dan terkait aturan adat yang mengekang Baduy. Koordinasi dan komunikasi yang kurang antara instansi terkait karena belum didukung oleh aksesibilitas dan fasilitas, sehingga pelaksanaan program pengentasan buta aksara belum efektif terutama di masyarakat adat Baduy. Kebijakan diterbitkan melalui pemerintah daerah sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik hendaknya mencerminkan nilai keadilan dan pemerataan. Oleh karena itu evaluasi program dilakukan sangat ditentukan integritas serta memperhatikan kearifan lokal pada daerah yang masih kuat dalam memegang aturan adat istiadat mereka sehingga kebijakan akan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Temuan konsep baru dalam penelitian ini adalah kearifan lokal dan pendekatan secara adat istiadat menentukan kelanjutan hasil evaluasi program yang dilakukan. Kata kunci : Evaluasi, Kebijakan, dan Pengentasan Buta Aksara.Item FAKTOR INTERNAL PEMBANGUN AKUNTABILITAS BIROKRASI PEMERINTAH KOTA DEPOK (STUDI PADA PELAKSANAAN PROGRAM E-KTP)(2016-04-08) RAMLAN SIREGAR; A. Djadja Saefullah; Asep KartiwaABSTRAK Penelitian ini dilatar belakangi oleh hasil survey KPK tahun 2010 yang menunjukkan betapa rendahnya akuntabilitas birokrasi Pemerintah Kota di Indonesia, dimana nilai rata-rata integritas sektor publik Pemerintah Kota di Indonesia adalah 5,07 dalam skala 0 -10. Selanjutnya survey yang juga dilakukan oleh KPK terhadap 87 instansi Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) yang diumumkan tanggal 6 Desember 2011, Pemda Kota Depok, Jawa Barat merupakan satu di antara 10 Pemda yang memiliki integritas publik terendah dengan nilai 3,50 (dalam skala nilai 1-10). Posisi Kota Depok ini berada pada urutan kedua terendah, di atas Kota Metro yang memperoleh nilai 3,15. Akan tetapi hanya dalam jangka waktu 2 tahun Pemerintah Kota Depok masuk dalam kelompok 10 terbaik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif sekaligus dengan terlebih dahulu menguraikan analisis hasil pendekatan kuantitatif, kemudian dikuatkan dengan analisis pendekatan kualitatif. Dalam pendekatan kuantitatif data diperoleh dari responden melalui kuesioner yang berisikan sejumlah pertanyaan, sedangkan untuk keperluan analisis kualitatif data diperoleh dari wawancara mendalam dengan sejumlah informan dari kalangan aparatur pemerintah dan dari warga masyarakat. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang dikemukakan oleh Koppell, yang menyatakan bahwa ada 5 (lima) faktor sebagai pembangun akuntabilitas, yaitu transparency, liability, controllability, responsibility dan responsiveness. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa implementasi Akuntabilitas Birokrasi Pemerintah Kota Depok sudah dapat dikategorikan baik, dimana kelima faktor internal sebagai pembentuk akuntabilitas, yaitu: transparency, liability, controllability, responsibility dan responsiveness juga semuanya berada pada kategori baik. Melihat bahwa dalam jangka waktu dua tahun birokrasi pemerintah Kota Depok dapat melakukan lompatan dari 10 terendah menjadi 10 tertinggi dalam integritas publik dalam lingkungan birokrasi pemerintahan di Indonesia maka sangat dimungkinkan bahwa dengan keseriusan segenap jajaran birokrasinya indeks akuntabilitas birokrasi pemerintah Kota Depok akan dapat mencapai kategori sangat baik dalam waktu singkat. Kata kunci: Akuntabilitas, transparency, liability, controllability, responsibility, responsiveness, birokrasi.Item IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA DI KABUPATEN MINAHASA(2014-10-31) NOVIE PIOH; A. Djadja Saefullah; Asep KartiwaAlokasi Dana Desa merupakan dana yang diberikan oleh pemerintah kepada desa untuk membiayai program pemerintahan desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat secara otonom. Dengan adanya dana ini diharapkan kemampuan keuangan desa akan menjadi lebih baik untuk membiayai program pemerintahan desa dalam kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat yang terlihat dari peningkatan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Penelitian ini berupaya menjelaskan implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kabupaten Minahasa untuk selanjunya diharapkan dapat menemukan konsep baru dalam pengembangan ilmu administrasi publik. Melalui pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Peneliti memperoleh data melalui observasi langsung dan wawancara mendalam kepada sejumlah informan. Untuk memandu penelitian ini digunakan teori implementasi kebijakan dari Charles O. Jones yaitu bahwa implementasi kebijakan didasarkan pada pengorganisasian, interpretasi dan aplikasi. Penelitian ini menemukan bahwa implementasi kebijakan alokasi dana desa dilihat dari aspek pengorganisasian, interpretasi dan aplikasi belum efektif dalam mendorong pelaksanaan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan kemasyarakat. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan kemampuan implementor dalam menata organisasi dan menginterpretasi tujuan kebijakan mendorong efektivitas penyaluran dan pengunaan dana kebijakan alokasi dana desa.Item IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL DI SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT(2014-12-08) AZRITA MARDHALENA; Didin Muhafidin; A. Djadja SaefullahMasalah penelitian ini adalah rendahnya implementasi kebijakan formasi jabatan fungsional di Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Kalimantan Barat, Rendahnya implementasi formasi jabatan fungsional di Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Barat diduga karena, tidak tegasnya implementor dalam hal ini Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kalimantan Barat selaku pemegang otoritas dalam implementasi kebijakan formasi jabatan fungsional. Analisis terhadap masalah implementasi kebijakan formasi jabatan fungsional mengunakan model Van Meter dan Van Horn (1975:95), meliputi: (1) standar dan sasaran kebijakan, (2) sumberdaya kebijakan, (3) karakteristik organisasi pelaksana, (4) sikap para pelaksana, (5) komunikasi antar organisasi terkait, (6) lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan diskriptif, dimana instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, dengan teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukan secara legal formal kebijakan formasi jabatan fungsional tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 364 Tahun 2009, sedangkan mengenai standar dan mekanisme dalam rekrutmen, pembinaan dalam memperoleh angka kredit, dan pemberhentian pejabat fungsional, tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang jabatan fungsional. Minimnya dukungan pendanaan yang dialokasikan bagi pengembangan jabatan fungsional, menjadikan belum optimalnya kinerja pejabat fungsional terhadap capaian target organisasi. Kualitas pegawai yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan organisasi dan kemampuan untuk melakukan inovasi dalam melaksanakan tupoksinya masih rendah. Tidak adanya ketegasan dari pimpinan eksekutif/organisasi untuk melaksanakan kebijakan impassing kepada pegawai yang berminat untuk alih fungsi pada jabatan fungsional. Ketidaklancaran komunikasi antar implementor disebabkan karena jalur kewenangan yang sangat terbatas, adanya intervensi kelompok kepentingan yang kuat dalam kebijakan formasi jabatan fungsional untuk mempromosikan pegawai-pegawai tertentu sebagai pejabat fungsional, menimbulkan sikap apatis para pelaksana kebijakan.Item IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUTAN KOTA DI KOTA BANDUNG(2014-07-18) RAKHMALIA MAYAKUSUMAH; A. Djadja Saefullah; Asep SumaryanaKota Bandung sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, menghadapi berbagai permasalahan seperti: banjir, polusi udara dan air dan kesenjangan sosial diantara penduduk. Untuk mengatasi hal tersebut berbagai upaya telah dilakukan, dan hal ini sejalan pula dengan visi kota yaitu “Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Bermartabat”. Upaya-upaya tersebut diwujudkan dengan mengimplementasikan peraturan daerah Kota Bandung tentang hutan kota. Namun demikian implemetasi kebijakan tersebut belum dapat memenuhi seluruh target yang diharapkan. Hal ini terkait dengan adanya faktor yang berpengaruh, dilihat dari konten kebijakan dan konteks implementasinya. Oleh karena itu penelitian ini mencoba menganalisa capaian implementasi kebijakan dan mengidentifikasi faktor-faktor kunci apa saja yang berpengaruh dalam pelaksanaannya. Secara rinci penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Data yang didapat dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data primer dengan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada dasarnya implementasi kebijakan hutan kota di Kota Bandung telah mencerminkan prinsip-prinsip pembangunan kota berkelanjutan yang dilakukan melalui implementasi kebijakan hutan kota. Namun demikian terdapat berbagai permasalahan pada tahap implementasi kebijakan, khususnya yang terkait dengan konten kebijakan dan konteks implementasinya.Item IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH BIDANG PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PEREKONOMIAN DI KABUPATEN BANDUNG BARAT SEBAGAI DAERAH OTONOM BARU(2015-05-08) ROSSY LAMBELANOVA; Nandang Alamsah Deliarnoor; A. Djadja SaefullahKabupaten Bandung Barat adalah salah satu daerah di Provinsi Jawa Barat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Bandung yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat menjadi Daerah Otonom di Provinsi Jawa Barat. Sejalan dengan pelaksanaanya masih terdapat fenomena-fenomena permasalahan di lapangan serta situasi dan kondisi yang dirasakan masyarakat di Kabupaten Bandung Barat dimana kemampuan aparat pemerintah daerah yang masih terbatas dalam memberikan pelayanan baik di bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian kepada masyarakat sehingga pemerintah daerah belum dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Marilee S. Grindle (1980), yang mengemukakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks kebijakan. Adapun penelitian ini menggunakan metoda penelitian kualitatif dengan pengumpulan data dilakukan secara observasi dan wawancara mendalam terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan serta pihak yang terpengaruh atau kelompok kepentingan yang terpengaruh kebijakan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada dasarnya implementasi kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Bandung Barat telah dilaksanakan sesuai dengan program-program atau kegiatan yang mengacu pada pelaksanaan misi RPJMD 2008-2013, dimana hasil implementasi kebijakan otonomi daerah berdasarakan perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang terdiri dari bidang pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat menunjukkan kenaikan atau peningkatan indeks dari tahun ke tahun, namun perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ini tidak semata-mata menunjukan bahwa pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian di Kabupaten Bandung Barat telah berhasil, secara faktual masih banyak kekurangan di lapangan yang masih memerlukan kerja ekstra dari pemerintah daerah dan belum efektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan dari implementasi kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Bandung BaratItem Implementasi kebijakan penanganan anak jalanan di kota Serang Provinsi Banten(2024-01-07) TITI STIAWATI; A. Djadja Saefullah; Budiman RusliPersoalan Anak jalanan hingga saat ini terus menjadi permasalahan publik yang belum tuntas diatasi dengan baik. Fenomena ini banyak muncul di wilayah-wilayah perkotaan, yang salah satunya terjadi di Kota Serang Provinsi Banten. Penelitian ini terfokus pada implementasi kebijakan penanganan anak jalanan di Kota Serang Provinsi Banten. Masalah dalam penelitian ini adalah Anak jalanan menimbulkan keresahan sosial dan kumuhnya penataan kota, Secara kebijakan, kurangnya pemahaman implementor terhadap standar dan sasaran kebijakan yang termuat dalam Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010, perda tersebut tidak mengatur secara rinci terkait penanganan anak jalanan secara jelas, Pemerintah Daerah kurang keberlanjutan dalam menjalin kerjasama dengan semua stakeholders untuk mengatasi anak jalanan, Kurangnya fasilitas sarana dan prasarana untuk mendukung pelatihan skill anak jalanan. Metode penelitian yang digunakan kualitatif, pengambilan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ditemukan bahwa kebijakan penanganan anak jalanan di Kota Serang belum berjalan dengan baik hal ini terkaitan dengan aspek dari teori implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn, diantaranya 1).Standar dan sasaran kebijakan dilakukan melalui kegiatan melibatkan Organisasi Perangkat Daerah yang membidangi bidang sosial belum sesuai hal ini berkaitan dengan regulasi yang termuat dalam peraturan daerah tidak secara tegas mengatur penanganan anak jalanan,2).sumberdaya yang melibatkan lembaga sosial dan pemerhati anak jalanan dalam mendukung program penenanganan anak jalanan kurang difasilitasi dengan baik,3).komunikasi antar badan pelaksana bahwa setiap instansi mengambil peran masing-masing untuk sinergitas program sudah berjalan namun belum optimal,4).karakteristik organisasi berkaitan dengan struktur organisasi, pembagian tugas, interaksi antara organisasi, serta pengawasan dan sanksi yang belum dijalankan dengan konsisten, 5).sikap pelaksana bagi instansi yang ditunjuk dalam penanganan anak jalanan dituntut untuk melakukan penanganan secara terintegrasi dalam bentuk program keterampilan berbasis keahlian namun hal ini belum dapat menuntas permasalahan anak jalanan, 6).Lingkungan sosial ekonomi dan politik dilakukan melalui konsep pembinaan dan kemandirian dan dikembalikan pada lingkungan keluarga serta masyarakat sekitarnya. Adapun konsep baru yang ditawarkan yaitu keberlanjutan ( Sustainablity ) program artinya bahwa untuk melaksanakan suatu kebijakan tidak terlepas dari program yang harus mampu menuntaskan permasalahan untuk mensukseskan implementasi kebijakan tersebut, hal ini untuk menghindari permasalahan yang belum tuntas,selanjutnya dengan keberlanjutan program yang sudah berjalan dapat menyelesaikan masalah anak jalanan yang tidak tuntas. Misalnya Program Pos Sahabat Anak saat ini program tersebut sudah tidak dipakai kembali oleh pemerintah dan yang ada justru meninggalkan bangunan pos yang terbengkalai tidak terawat, hal ini membuat suasana kota menjadi kumuh dengan adanya bangunan pos sahabat ditengah pusat perkotaan di Kota Serang, dalam keberlanjutan ( Sustainablity ) program, perlu adanya perhatian selama program tersebut berlangsung dan pengelola program dituntut untuk memahami dengan baik siklus maupun fenomena yang terjadi, mengingat program merupakan sebuah aktifitas yang dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang. Dengan demikian program penanganan anak jalanan bisa diselesaikan secara tuntas dan tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.Item IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA CILEGON PROVINSI BANTEN(2024-01-07) RIDWAN; A. Djadja Saefullah; Budiman RusliPermasalahan permukiman kumuh banyak dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Keterbatasan ruang dan tingginya akan kebutuhan perumahan menyebabkan tingginya harga lahan untuk rumah yang harus dibeli oleh masyarakat kota. Permasalahan kemisikinan menjadi salah satu penyebab masyarakat miskin di kota hidup dengan tidak teratur yang menimbulkan meluasnya kawasan kumuh di suatu kota. Penelitian ini terfokus pada kebijakan penanganan kawasan pemukiman kumuh di Kota Cilegon. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis yang mendalam tentang implementasi kebijakan penanganan kawasan permukiman kumuh di Kota Cilegon dan menemukan konsep baru. Pendekatan penelitian menggunakan metode kualitatif, metode pengambilan data melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Informan penelitian adalah pemerintah pada dinas terkait, masyarakat kawasan permukiman kumuh dan pelaksana kegiatan penanganan kawasan permukiman kumuh. Hasil penelitian ditemukan bahwa implementasi kebijakan penanganan kawasan permukiman kumuh di Kota Cilegon belum sepenuhnya berjalan baik, hal itu berdasarkan indikator teori implementasi kebijakan dari Smith (1973), diantaranya kebijakan ideal dalam penanganan kawasan permukiman kumuh mengacu pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pada level pemerintah daerah dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Recana Tata Ruang Wilayah Kota Cilegon tahun 2010 – 2030 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2021 Kota Cilegon. Kebijakan penataan kawasan permukiman kumuh di Kota Cilegon terbantu oleh Program Dana Pembangunan Wilayah Kelurahan (DPW Kel) di setiap kelurahan yang dialokasian sebesar 5 persen dari APBD dikurangi DAK (Dana Alokasi Khusus) yang merupakan alokasi anggaran yang pasti diberikan kepada kelurahan untuk pembangunan sarana dan prasarana lokal di tingkat kelurahan dan pemberdayaan masyarakat. selain itu juga kebijakan tersebut didukung oleh Surat Keputusan (SK) Walikota Cilegon Nomor: 600/Kep.314-DPU/2016 Tentang Penetapan Lokasi Kawasan Permukiman Kumuh Kota Cilegon. Jadi kebijakan ideal yang dibuat oleh Pemerintah Kota Cilegon masih terbatas dan belum secara terperinci diatur dalam peraturan daerah tersendiri tentang pembangunan dalam penataan kawasan permukiman kumuh. Selanjutunya indikator sumberdaya yang tersedia dalam penanganan kawasan permukiman kumuh di Kota Cilegon masih perlu ditingkatkan. Pelaksanaan penanganan kawasan permukiman kumuh secara organisasi melibatkan kelompok yang dianggap dapat berkontribusi pada Kawasan permukiman kumuh. Organisasi yang terlibat diantaranya Pemerintah daerah Kota Cilegon, dunia usaha, dan kelompok masyarakat. Pemerintah Kota Cilegon sudah melakukan mengeluarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejak tahun 2016 sampai tuntasnya penanganan kawasan permukiman kumuh di Kota Cilegon.Item IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN HAJI DI KOTA BANDUNG TAHUN 2016(2019-01-16) AHMAD SYAMSIR; A. Djadja Saefullah; Budiman RusliPenelitian ini dilatar belakangi oleh fenomena-fenomena kebijakan dalam pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji yang setiap tahunnya selalu ada yang berubah pada Kementerian Agama Kota Bandung sebagai perwakilan pemerintah dengan maksud untuk mempermudah dan membuat lancarnya penyelenggaraan haji. Akan tetapi Dalam perkembangannya untuk ketentuan pembinaan, pelayanan dan perlindungan terhadap jamaah masih belum terlaksanakan sebagaimana tercantum dalam UU no. 13 tahun 2008. Pada kenyataannya terdapat kontradiksi dalam pelaksanaa ibadah haji bahwa hak dan tanggungjawab jamaah lebih terbebankan kepada kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH), akan tetapi peran KBIH masih terabaikan, pemerintah lebih memperhatikan orientasi keberhasilan dan kelancaran semata dengan sumber daya manusia yang terbatas dalam pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji secara umum, tanpa memperhatikan pelayanan, pembinaan dan perlindungan dengan menyediakan fasilitas, kemudahan, keamanan dan kenyamanan yang diperlukan jamaah haji. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan mengenai masalah implementasi kebijakan penyelengaraan ibadah haji di kota Bandung karena menarik setiap tahun ada saja kebijakan yang berubah-ubah dari berbagai aspek. Selain itu penelitian ini ingin menjelaskan implementasi kebijakan penyelenggara haji Kementerian Agama dan hal yang baru dengan peran Forum Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Indoneseia (KBIHI) kota bandung Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti adalah instrumen yang berkewajiban mengumpulkan, mengolah, menganalisis , menginterpretasikan dan memverfikasi data serta informasi. Adapun Observasi dan partisifatoris dilakukan tatanan dengan mengamati proses implementasi kebijakan penyelenggaraan ibadah haji di kota Bandung. Data dan informasi melalui observasi dan wawancara mendalam kepada informan sebagai kunci. Adapun validitas dan realibilitas data dan informasi itu setelah melalui jalur tringulasi, diklarifikasi dan deskripsi Adapun teori yang digunakan menyangkut aspek komponen kebijakan yang ideal, Organisasi Pelaksana, kelompok sasaran, faktor lingkungan berdasarkan teori Thomas B. Smith. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Implementasi kebijakan penyelenggaraan ibadah haji di kota bandung belum menunjukan kearah pemahaman akan kebijakan yang berpihak kepada jamaah haji dan kelompok bimbingan ibadah haji yang ada dikota bandung. Belum terlaksananya kebijakan yang ideal pada penyelenggaraan ibadah haji yang terlihat pada organisasi pelaksana di kementerian agama kota bandung yang meliputi pembinaan, pelayanan dan perlindungan serta sosialisasi dan juga proses dan penyusunan perencanaan program.Item IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERTAMBANGAN DAN PENANAMAN MODAL ASING (Studi Kasus Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa Barat)(2015-02-17) H. MUSYAFIRIN; A. Djadja Saefullah; Dede Marianadinamika implementasi Kontrak Karya. Kegiatan pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara belum memberikan multiplier effect yang signifikan bagi perekonomian daerah. Artinya, implementasi konrak karya antara Pemerintah RI dan PT Newmont Nusa Tenggara selama 14 tahun belum sesuai dengan maksud dan tujuan dari Kontrak Karya. Penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri, mengungkapkan fakta empiris, mengkaji, memahami proses dan mendiskripsikan bagaimana implementasi Kontrak Karya PT NNT di Kabupaten Sumbawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendapatkan pemahaman empiris terkait implementasi Kontrak Karya PT NNT di Kabupaten Sumbawa Barat; (2)_memperoleh konsep baru tentang implementasi Kontrak Karya yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan Ilmu Sosial khususnya Ilmu Pemerintahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan pemahaman atas fenomena empirik yang utuh terkait implementasi Kontrak Karya PT NNT. Data diperoleh melalui pengamatan terlibat, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah, dan studi dokumen. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Kontrak Karya PT NNT di Kabupaten Sumbawa Barat belum berjalan secara efektif yang dikarenakan tarik menarik kepentingan antar pelaku kebijakan (pemerintah, pemerintah daerah, PT NNT dan Masyarakat), isi kebijakan yang tidak berdasarkan prinsip keadilan dan keseimbangan bagi kemajuan pembangunan daerah, kesejahteraan masyarakat dan pendapatan nasional, serta lingkungan kebijakan sosial politik yang menunjukkan pertentangan terhadap keberadaan PT NNT yang secara nyata belum memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran atas penyerapan sumber daya alam di wilayah pertambangan. Konsep baru yang diperoleh dari penelitian ini adalah efektifitas implementasi sebuah kebijakan juga ditentukan oleh faktor bargaining implementor dan sasaran kebijakan atas pemberlakuan regulasi baru yang menyertai implementasi kebijakan itu sendiri. Kata kunci : Implementasi Kebijakan, Kontrak Karya.Item IMPLEMENTASI PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERKOTAAN DI KOTA PANGKALPINANG(2015-06-16) AGUNG DWI CHANDRA; A. Djadja Saefullah; Josy AdiwisastraABSTRAK Masalah dalam penelitian ini adalah belum berhasilnya Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Kota Pangkalpinang. Hal ini ditunjukan dengan belum mandirinya masyarakat dalam setiap tahapan pemberdayaan masyarakat yang masih dilakukan oleh para fasilitator dan belum ada pengaruh signifikan dari program terhadap penuruan jumlah penduduk miskin di Kota Pangkalpinang. Penelitian Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Kota Pangkapinang menggunakan penelitian kulitatif, melalui proses atau tahapan pemberdayaan masyarakat. meliputi (enam) faktor dalam implementasinya yakni, Standar Ukuran dan Tujuan Kebijkan, Sumber Daya Kebijakan, Karakteristik Organisasi, Komunikasi Antar Organisasi, Disposisi atau Sikap para Pelaksan dan Lingkungan Politik, Sosial, dan Ekonomi. (teori dari Van Meter dan Van Horn). Hasil penelitian menunjukan bahwa Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Kota Pangkalpinang Belum berhasil dalam mencapaian tujuan program, karena 1) Standar ukuran dan tujuan kebijakan dengan dimensi kejelasan standar ukuran dan tujuan kebijkan yang belum dilaksanakan sesuai dengan standar ukuran dan tujuan dari program; 2) Sumber daya kebijakan dengan dimensi waktu, personil, informasi dan data, serta fasilitas dan dana yang tidak difasilitasi dengan baik ; 3) Karaktersitik organisasi dengan dimensi struktur organisasi, pembagian tugas, interaksi antara organisasi, serta pengawasan dan sanksi yang belum dijalankan dengan konsisten; 4) Komunikasi antar organisasi dengan dimensi kejelasan penyampaian petunjuk, ketepatan komunikasi, konsistensi para pelaksana, intensitas koordinasi antar instansi pelaksana, dan intensitas komunikasi yang belum terlaksana dengan baik; 5) Disposis atau sikap para implementor dengan dimensi tanggung jawab dan dukungan terhadap tujuan kebijakan yang belum memadai; 6) kondisi sosial, ekonomi dan politik dengan dimensi sosial yang sangat dipengaruhi oleh mayoritas etnis dan mayoritas masyarakat yang tinggal di perumahan pada wilayah intervensi program dalam menerima dan menolak program. Hal ini terjadi karena dipengaruhui oleh karakteristik lingkungan tempat tinggal masyarakatnya. Dimensi ekonomi masyarakat yang masih lemah dan dimensi politik yang kondusif. Serta persepsi masyarakat dalam melihat manfaat dari program. Kata Kunci: Implementasi Program, Pemberdayaan Masyarakat, PNPM Mandiri PerkotaanItem IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA JALAN (Di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat) IMPLEMENTATION OF FACILITIES AND INFRASTRUCTURE ROAD DEVELOPMENT PROGRAM (In Sorong Regency, Wes(2015-09-28) YOSEPH SALOSA; Asep Kartiwa; A. Djadja SaefullahABSTRAK Implementasi program pembangunan prasarana jalan di Kabupaten Kabupaten Sorong saat ini belum efektif dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini terlihat dengan belum tersedianya prasarana jalan yang layak menuju kebeberapa lokasi/wilayah permukiman masyarakat. Gejala tersebut menunjukkan belum terlaksananya dengan baik implementasi program pembangunan jalan di Kabupaten Sorong. Berdasarkan jenis permukaannya jalan yang telah diaspal yaitu sepanjang 292 Km, dan sisanya sepanjang 196 Km merupakan jalan kerikil dan 991 Km masih merupakan jalan tanah. Adapun berdasarkan kondisi jalan di Kabupaten Sorong yang dalam keadaan baik itu sepanjang 276 Km, dalam keadaan sedang 213 Km, dalam keadaan rusak 599 Km, dan dalam keadaan rusak berat sepanjang 386 Km. Ruas panjang jalan yang ada di wilayah Kabupaten Sorong yaitu sepanjang 1.252 Km dan seluruhnya jalan tersebut menuju ke wilayah terpencil yang ada di Kabupaten Sorong pada umumnya jalan tanah bahkan jalan setapak yang belum dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Dalam penelitian ini, teori implementasi program dari Jones (1984:166) yang mengemukakan implementasi program terdiri dari tiga aktivitas utama yang sangat penting, yaitu organization, interpretation, and application digunakan sebagai kerangka pemikiran penelitian yang kemudian digunakan untuk menganalisis hasil penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang di lihat dari fenomena masalah yang dikaji dengan melihat tingkat ekspalanasinya, yang bertujuan untuk menggali atau membangun suatu proposisi atau menjelaskan makna di balik realita. Data primer diperoleh dari hasil wawancara secara langsung (Pejabat Pemerintah Daerah) dan data sekunder (Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Masyarakat (Elema) yang berada di Distrik Sorong, Distrik Aimas, Distrik Mariat, Distrik Mayamuk di Kabupaten Sorong) lainnya agar semua informasi dapat dianalisis dan ditriangulasi dengan wawancara secara langsung kepada masyarakat serta beberapa tokoh di Kabupaten Sorong, sehingga kebenaran dalam penelitian ini dapat terungkap. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dukungan masyarakat Kabupaten Sorong memiliki peran dalam pembangunan sarana dan prasarana jalan di Kabupaten Sorong. Implementasi program pembangunan jalan di Kabupaten Sorong belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada karena masih terdapat berbagai faktor yang menghambat dan mempengaruhi. Hambatan tersebut muncul karena secara umum masih dipengaruhi oleh berbaga ikepentingan politik pihak-pihak tertentu serta substansi program pembangunan jalan di Kabupaten Sorong yang belum dipahami dengan baik oleh para pelaksana maupun masyarakat yang menjadi target sasaran program pembangunan jalan di Kabupaten Sorong. Implementasi program pembangunan jalan di Kabupaten Sorong belum tercapai sesuai dengan tujuan program, terlihat dari tidak adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Sorong.Item INTERNALISASI BUDAYA ORGANISASI DI KANTOR GABINHETE DO VICE PRIMEIRO MINISTRO-ASSUNTOS SOCIAIS REPUBLICA DEMOCRATICA DE TIMOR LESTE(2011) ALBERTINO DE ARAUJO; A. Djadja Saefullah; Sinta NingrumABSTRAK Tujuan dari penelitian ini untuk melakukan analisis secara terperinci mengenai internalisasi terhadap nilai-nilai budaya organisasi yang berlaku di Kantor Gabinhete do Vice Primeiro Ministro-Assuntos Sociais (GVPM-AS). Sebagaimana harapan yang ingin dicapai dari nilai-nilai budaya organisasi yang berlaku tersebut, adalah sebagai kekuatan untuk membangun budaya organisasi yang lebik kompleks, melahirkan budaya baru yang tegas, membentuk budaya kerja yang lebih efektif terarah dan responsif, serta memperkuat kerja sama seluruh anngota organisasi untuk meningkatkan kinerja pelayanan yang lebih maksimal.Akan tetapi harapan ini dapat dilatari dengan beberapa permasalahan yang masih menghambat terjadinya internalisasi sehingga nilai-nilai budaya organisasi yang berlaku belum sepenuhnya menjiwai pribadi pegawai negeri. Dalam penelitian inipun metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif yang digunakan untuk mendeskripsikan serta menganalisis secara mendalam mengenai bagaimana internalisasi budaya organisasi yang berjalan selama ini di Kantor Gabinhete do Vice Primeiro Ministro-Assuntos Sociai (GVPM-AS). Sehingga hasil yang diperoleh dari penelitian melalui: persepsi, skema organisasi, dan penghargaan, penulis melihat bahwa: sebenarnya budaya organisasi yang berlaku sangat kuat karena telah didukung dengan adanya sosialisasi yang cukup memadai. Diantara ketiga dimensi yang digunakan untuk menganalisis jalannya internaisasi budaya organisasi yang diteliti, yang paling rendah adalah penghargaan, dalam hal ini sistem reward yang belum berjalan secara maksimal karena dipengaruhi oleh campurbaurnya karakter politik di dalam menyelenggarakan organisasi dan pelayanan, yang mana menghambat kemungkinan terjadinya peningkatan kinerja pelayanan yang maksimal. Kata Kunci : Internalisasi Budaya Organisasi di Kantor Wakil Perdana Mentri.Item JARINGAN SOSIAL DALAM PELAYANAN SOSIAL ANAK YANG DIPERDAGANGKAN UNTUK TUJUAN EKSPLOITASI SEKSUAL (Studi Kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Cirebon)(2016-04-18) EVA NURIYAH HIDAYAT; Haryo Suhardi Martodirdjo; A. Djadja SaefullahPenelitian yang berjudul Jaringan Sosial dalam Pelayanan Sosial Anak yang Diperdagangkan untuk Tujuan Eksploitasi Seksual (Studi Kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) ini bertujuan mempelajari jaringan sosial yang terjadi dalam penanganan anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual, khususnya di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Cirebon yang meliputi kegiatan preventif, rehabilitatif, pemulangan dan pemantauan. Fokus penelitian ini diarahkan pada bagaimana jaringan sosial terbentuk dalam pelayanan sosial tersebut melalui komponen jaringan sosial berdasarkan konsep dari Petroczi (2007) yaitu: partisipasi, resiprosasi, rasa percaya, keakraban, dukungan dan pertemanan. Metode penelitian ini adalah studi kasus, yang menggunakan single case (embedded) design, yaitu desain studi kasus untuk mempelajari kasus tunggal yang memiliki lebih dari satu unit analisis. Dengan menggunakan metoda ini diharapkan dapat mengungkap jaringan sosial yang terjadi dalam proses pelayanan sosial anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual di P2TP2A Kota Cirebon. Sebagai rujukan dalam proses pengumpulan dan analisis data digunakan Teori Jaringan Sosial dari Petroczi (2007) dan Perspektif ekologi dari Zastrow (2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa P2TP2A membentuk jaringan sosial dengan unsur-unsur yang terkait di dalam pelayanan sosial yang diberikan mulai dari kegiatan preventif, rehabilitatif, pemulangan dan pemantauan. Dari hasil penelitian tidak semua unsur melakukan komponen-komponen dalam jaringan sosial karena terkait peran dan fungsinya di dalam pelayanan sosial yang diberikan. Dari hasil penelitian jaringan pelayanan pelayanan sosial yang dilaksanakan P2TP2A Kota Cirebon maka dapat dirumuskan suatu konseptualisasi jaringan pelayanan sosial anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual terkait dengan fungsi kesejahteraan sosial dan proses pelayanan sosial. Dari konseptualisasi tersebut dapat dibuat Model Penanganan Anak yang Diperdagangkan untuk Tujuan Eksplotasi Seksual secara Preventif, Rehabilitatif, Pemulangan dan Pemantauan.
- «
- 1 (current)
- 2
- 3
- »