Sosiologi (S3)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Sosiologi (S3) by Title
Now showing 1 - 20 of 68
Results Per Page
Sort Options
Item ADAPTASI KOMUNITAS BATAK TOBA DENGAN LINGKUNGAN (Studi Kasus di Danau Toba Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir)(2020-02-17) ULUNG NAPITU; Budi Rajab; Opan Suhendi SuwartapradjaKondisi Danau Toba di Kecamatan Simanindo pada tahun 1960-an masih terpelihara kelestariannya, ditandai dengan kehidupan keberagaman flora dan fauna yang berkembang dengan baik. Sekitar tahun 1970-an hingga saat ini kondisi tersebut mengalami perubahan drastis akibat eksploitasi sumber daya alam yang melampaui daya dukung lingkungan, membawa dampak terjadinya degradasi lingkungan Danau Toba. Untuk mempertahankan hidupnya, komunitas Batak Toba melaksanakan adaptasi terhadap kondisi lingkungan Danau Toba yang telah berubah dengan melaksanakan berbagai aktivitas. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengkaji faktor-faktor yang berhubungan dengan adaptasi, wujud adaptasi, dan strategi yang ditempuh untuk mengatasi kerusakan lingkungan Danau Toba. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah mengenai adaptasi, degradasi nilai sosial budaya, disfungsi kearifan tradisional, aktivitas penduduk lokal, pemanfaatan sumber daya alam, strategi adaptasi dan strategi mengatasi kerusakan lingkungan Danau Toba. Data sekunder diperoleh melalui analisis berbagai sumber tertulis dan karya ilmiah. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap informan dan observasi terhadap berbagai aktivitas penduduk lokal disekitar Danau Toba. Temuan penelitian menunjukkan adaptasi komunitas Batak Toba terhadap Danau Toba sesuai dengan kondisi lingkungan Danau Toba yang telah berubah saat ini dengan menggunakan penemuan baru dan tidak berpedoman pada kearifan tradisional, menyebabkan kerusakan lingkungan. Wujud adaptasi komunitas Batak Toba terhadap Danau Toba, terdiri dari: aktivitas penduduk lokal, pemanfaatan sumber daya alam yang eksploitatif melampaui daya dukung lingkungan, intensifikasi pertanian, penebangan hutan, reklamasi pantai, perubahan kepemilikan tanah surutan, dan disfungsinya sebagian besar kearifan tradisional.Item AKUNTABILITAS KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA (Studi tentang Hak Interpelasi DPR terhadap dukungan Pemerintah Indonesia atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor :1747 tentang Pengembangan Nuklir Iran)(2012-10-18) BAMBANG SUSANTO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenMasalah dalam penelitian ini adalah menyangkut akuntabilitas kebijakan politik luar negeri melalui peran DPR dalam mengonstruksi penyusunan dan perumusan kebijakan politik luar negeri. Secara lebih spesifik, bagaimana Hak Interpelasi DPR digunakan terhadap dukungan Pemerintah atas Reresolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1747 tentang Pengembangan Nuklir Iran. Kemudian, mengapa terjadi kesenjangan antara hasil kebijakan politik luar negeri dengan aspirasi politik masyarakat yang direfleksikan melalui interpelasi DPR dalam hal Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1747 tentang Pengembangan Nuklir Iran. Berdasarkan karakteristik masalah yang diteliti, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasi dan wawancara mendalam serta focus group discusion (FGD) dengan informan pangkal dan informan kunci sebagai sumber data dan informasi penelitian. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa akuntabilitas kebijakan politik luar negeri serta pelibatan pasrtisipasi publik melalui mekanisme DPR masih belum maksimal. Partisipasi masyarakat belum sepenuhnya dilibatkan dalam menentukan arah kebijakan politik luar negeri hal ini karena Kementrian Luar Negeri dalam konteks mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1747 masih sepihak, dalam pengertian, tidak ada komunikasi yang intensif khususnya dengan DPR, sehingga kebijakan politik yang diambil mendapat perlawanan dari DPR yang pada akhirnya DPR menggunakan hak konstitusionalnya, yakni menggunakan hak interpelasi. Kata Kunci: Akuntabilitas, kebijakan luar negeri, partisipasi publik, hak interpelasi DPR.Item ANATOMI DAN RESOLUSI KONFLIK KEAGAMAAN DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGI THE ANATOMY AND RESOLUTION OF RELIGIOUS CONFLICT WITH A SOSIOLOGICAL APPROACH (Study Konflik Keagamaan Jemaat Ahmadiyah di Sukabumi)(2017-09-04) YUSUF; Oekan Soekotjo Abdoellah; Arry BainusAnatomi dan Resolusi Konflik Keagamaan dengan Pendekatan Sosiologi(Studi Konflik Keagamaan Jemaat Ahmadiyah di Sukabumi). Derstasi Konsentrasi ilmu Sosiologi. (1) Prof.H.Oekan S.Abdoellah,M.A.,Ph.D, (2) Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang, (3) Dr.ArryBainus,M.A Penelitian ini di latarbelakangi oleh adanya kekerasan bernuansa agama di Kabupaten Sukabumiyang sering kali diterjemahkan oleh sebagian kelompok islam maintrean sebagai legal doctrineatas kohesivitas Jemaat Ahmadiyah yang telah menciptakan polarisasi sosial yang melahirkanketakutan, tekanan dan paksaan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis dan merumuskan anatomi serta resolusi konflik keagamaan khususnya konflik Ahmadiyah di Sukabumi melalui pendekatan sosiologi. Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan melaui metode penelitian kualitatif (natural reseach) dengan alasa nkarena permasalahan yang ditelitisangat general, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data padasituasisosial yang kompleks, dinamis dan belum jelas problemnya tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif. Selain itu penggunaan metode ini penelitian ini dimaksudkan untuk memahami secara mendalam permasalahan penanganan konflik serta meneliti kehidupan masyarakat yang berkonflik, sejarah, tingkahlaku dan pergerakansosial, Berdasarkan hasil penelitian terhadap dimensi Anatomi konflik menunjukan bahwa Penyebab terjadinya konflik adalah adanya perbedaan faham agama dan fanatisme kelompok yang berlebihan, eklusivitas, intoleransi beragama dari Jemaat Ahmadiyah, disharmoni dan inkonsistensi terhadap perjanjian. Proses terjadinya konflik terbuka mulai dari tahun 2008 sampai dengan 2016 melalui serangkaian penyerangan dan pembakaran fasilitas sarana dan prasarana ibadah Jemaah Ahmadiyah. Adapun Pihak yang berkonflik secara langsung adalah kelompok Jemaat Ahmadiyah dan masyarakat Suni di Kecamatan Parakan salak, Parungkuda, Cibadak, Jampang tengah dan Kecamatan Warungkiara, sedangan aktor tidak langsung adalah antara lain GOIB, FPI, dan GARIS. Dampak terjadinya konflik telah melahirkan ketakutan dan kecurigaan antar kelompok semakin kuat, kedua kelompok merasa saling dirugikan, hilangnya toleransi beragama dan bermasyarakat, ruksaknya persatuan dan kesatuan masyarakat, juga pembangunan wilayah terhambat. Resolusi konflik dilakukan melalui beberapa langkah diantaranya Pembentukan ”Tim Penangan JAI”oleh MUI, Kejaksaan, Kodim, dan Polres Sukabumi, Sosialisasi faham agama yang benar oleh MUI, sosialisai kerukunan dan kesatuan bangsa oleh Kodim 602 Sukabumi, silaturahmi kepada para pihak yang berkonflik oleh Babinsa sebagai mediator, mengadakan kegiatan bersama, penambahan pos Koramil setempat. Berdasarkan temuan penelitian ini, disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut (Berkaitan dengan Anantomi konflik di sarankan kepada Unsur Muspida Sukabumi untuk melakukan reaktualisasi analisa berdasarkan proposisi dan literatur kontemporer mengenai anatomi konflik di sarankan pula untuk memahami anatomi konflik sebagai peta dasar pemetaan konflik. Berkaitan dengan Resolusi Konflik secara teorotis disarankan untuk (1) memahami Teori konflik, Teori interaksionisme dan Teori Struktural Fungsional (2) Secara konsepsi disarankan untuk Semua Unsur Muspida Daerah Kabupaten Sukabumi untuk memahami Buku panduan penilaian kebutuhan pascakonflik atau Post Conflict Need Assessment (PCNA) (3) Secara yuridis disarankan bagi Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk menangani konflik Ahmadiyah mengacu pada ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik (4) Secara Praktis disarankan untuk Meningkatkan fleksibilitas dalam struktur sistem sosial, meningkatkan kemampuan beradaptasi serta dapat mendorong masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi kerukunan umat beragama dan harmonisasi sosial.Item DEGRADASI LAHAN DAN PERUBAHAN BUDIDAYA LAHAN KERING DI KAWASAN CITARUM HULU, JAWA BARAT: SEBUAH STUDI EKOLOGI-POLITIK(2022-01-31) DEDE MULYANTO; Oekan Soekotjo Abdoellah; Budhi GunawanDisertasi ini tentang degradasi lahan dan budidaya lahan kering di kawasan Citarum Hulu, Jawa Barat. Penelitian ini bermaksud menelusuri tautan faktor-faktor ekologi-politik yang mempengaruhi deforestasi, perluasan lahan garapan, serta perubahan menuju intensifikasi budidaya lahan kering yang ditengarai sebagai bentuk budidaya lahan degradatif terhadap tanah menggunakan metode historis dan etnografis. Deforestasi Citarum Hulu dimulai sejak 1720 saat negara kolonial menjadikan kawasan ini wilayah perluasan penanaman kopi. Tanam paksa kopi sepanjang abad ke-18 mendorong perluasan kebun kopi yang menuntut pengisiannya oleh populasi petani sebagai sumber tenaga kerja. Proses ini diperhebat ketika model perkebunan monokultur pertama kali diterapkan pada 1828. Sejak tahun itu perluasan lahan garapan yang dipaksa bertumbuh berarti perambahan hutan melaju cepat. Proses marjinalisasi dan deforestasi diperhebat kebijakan agraria 1870 yang di situ negara mengisolasi perluasan lahan garapan hanya di lahan milik pribadi dan dalam batas lahan komunal desa. Selain mengeksklusi petani dari lahan-lahan terlantar yang diperuntukkan perkebunan besar, tekanan menuju intensifikasi budidaya lahan kering menguat. Pada saat bersamaan negara mengintegrasikan ekonomi subsisten petani ke dalam pasar. Monetisasi dan terbukanya jaringan perdagangan hasil bumi, ditambah akses ke produk-produk agrokimia sintetis, menjadikan intensifikasi lahan kering keniscayaan. Keniscayaan ini diperhebat selama Revolusi Hijau oleh pemerintahan Orde Baru. Saat ini budidaya lahan kering berbasis sayuran subtropis di pegunungan telah sedemikian intensif dalam arti 1) lahan digarap nyaris sepanjang tahun dan 2) pemakaian agrokimia sintetis yang massif. Keduanya tak hanya didorong kepentingan petani sebagai produsen komoditas dan kepentingan negara demi stabilitas pasokan hasil tani, tapi juga berakar pada watak subtropis tanaman budidaya watak komersial pertaniannya. Tekanan agronomis ini ada dalam eksploitasi struktural terhadap petani terkait marjin harga jual relatif terhadap ongkos produksi karena tingginya harga produk agrokimia sintetis. Rendahnya marjin dan fluktuatifnya harga hasil panen dipengaruhi dua faktor yang sama-sama historis, yaitu kecilnya skala dan terpencarnya unit produksi. Warisan sejarah ini pula yang menjelaskan keganjilan dalam praktik budidaya lahan kering di desa tineliti, yakni rendahnya produktivitas kerja karena terbatasnya mekanisasi.Item ETNOEKOLOGI PERLADANGAN VRIM ORANG NAPA DI KABUPATEN BIAK NUMFOR (ETHNOECOLOGY CULTIVATION OF VRIM BY NAPA PEOPLE IN THE REGENCY OF BIAK-NUMFOR)(2016-05-09) FRANS RUMBRAWER; Johan Iskandar; Judistira K. GarnaTelah dilakukan riset tentang etnoekologi perladangan talas (vrim) orang Napa di Biak Numfor, dimulai bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2013 di empat kampung, yaitu Kampung Bosnabraidi dengan Kampung Asur Distrik Yawosi, mewakili perladangan yang dilakukan para peladang di lokasi pesisir pantai (swandibo); dan Kampung Roidifu dengan Kam-pung Wowna Distrik Andei, mewakili perladangan di pedalaman (suprido). Pemilihan keempat lokasi berdasarkan pengamatan awal yang telah dila-kukan sebelumnya, bahwa orang Napa di pesisir pantai maupun pedalaman memiliki kearifan ekologi perladangan talas dengan baik. Tujuan riset ini dimaksudkan untuk mempelajari, mendeskripsikan pengetahuan ekologi perladangan vrim orang Napa; dan bagaimana meng-integrasikannya dengan sistem pertanian modern, sehingga dapat mengha-silkan sistem pertanian modern yang ramah lingkungan di Kabupaten Biak Numfor. Riset antropologis ini mengunakan metode etnografi baru dengan pendekatan etnosains atau analisis semantik, serta sejumlah pendekatan emik terkait lainnya dapat ditrianggulasikan. Untuk mengetahui penge-tahuan masyarakat peladang Napa tentang sistem perladangan talas (vrim), dilakukan pendekatan sosial antropologis melalui teknik observasi partisi-pasi kerja dan wawancara bebas maupun mendalam tentang aspek perla-dangan tertentu yang mengandung kerahasiaan yang perlu diungkap secara proporsional. Secara garis besar riset ini berhasil mempelajari dan merumuskan terminologi keperladangan (amom) dengan sejumlah aktivitas pendukung praktik perladangan beringsut yang ramah lingkungan, antara lain, dapat mengintegrasikan aneka aktivitas amom dengan sistem pertanian modern yang dikaitkan dengan: (1) perspektif kearifan budaya amom dengan sistem pertanian modern; (2) pengertian amom ‘perladangan beringsut orang Napa; (3) keunikan dan keragaman budaya perladangan beringsut orang Napa; (4) pengetahuan etnoastronomi perladangan vrim; (5) klasifikasi tumbuhan dan tanaman pangan; (6) klasifikasi vrim ‘talas’ orang Napa; (7) cara klasifikasi vrim; (8) sistem nomenklatur vrim; (9) pengetahuan pemilihan tanah perla-dangan (10) pengetahuan pemilihan hutan perladangan; (11) pengetahuan perintisan jalur petakan ladang; (12) penebasan semak pada ladang; (13) pengetahuan penebasan pepohonan besar; (14) cara penebasan pepohonan besar; (15) cara pemotongan dan pencincangan rerantingan; (16) cara penebaran serasah ke seluruh lahan; (17) teknik penanaman ladang ramah lingkungan; (18) teknik pemagaran yang ramah lingkungan; (19) pemeli-haraan tanaman; (20) pelaksanaan panen raya; (21) pengangkutan hasil panen; (22) pendistribusian hasil panen; (23) pelaksanaan aneka daur wor; dan (24) mengintegrasikan pemberian apresiasi bagi keluarga yang telah berhasil dalam budaya perladangan, juga dalam konteks kerja lainnyaItem EVALUASI KEBIJAKAN PEMEKARAN DAERAH DI KABUPATEN KAUR PROVINSI BENGKULU(2012-10-18) ROZI BENI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor22Tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah, kebijakan pemekaran daerahmengalami perubahan signifikan dan memberikan peluang yang sangat besar bagi maraknya pengusulan pemekarandaerah.Kesejahteraan rakyat menjadi argumentasi utama dalam memperjuangkan pemekaran daerah. Namun dalam praktiknya, kebijakan pemekaran daerah belum sepenuhnya dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang evaluasi kebijakan pemekaran daerah di Kabupaten Kaur yang ditelusuri melalui empat kegiatan evaluasi meliputi: spesifikasi, penilaian, analisis, dan rekomendasi terhadap kebijakan pemekaran daerah di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, analisis dokumentasi dan wawancara mendalam. Keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi melalui cek, ricek dan konfirmasi antara hasil observasi, analisis dokumentasi dan hasil wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan evaluator (pemerintah), pemekaran daerah di Kabupaten Kaur dinilai berhasil. Namun, dilihat dari kondisi faktual, masih ditemukan berbagai kelemahan dalam pemekaran daerah. Ketidaksesuaian antara kondisi faktual dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh evaluator ini, antara lain disebabkan karena: kegiatan evaluasi yang kurang objektif dan indenpenden. Selanjutnya, penelitian ini menunjukkan bahwa substansi kebijakan pemekaran daerah yang memuat criteria dan prosedur pemekaran daerah relatif masih longgar. Selain itu, proses pemekaran daerah di Kabupaten Kaur cenderung dipaksakan. Dalam hal capaian tujuan pemekaran daerah, ternyata kebijakan pemekaran daerah tidak efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Kaur. Berdasarkan kesimpulan penelitian ini maka konsep baru yang diajukan adalah: kegiatan evaluasi yang dilakukan secara objektif dan independen merupakan syarat keberhasilan evaluasi suatu kebijakan. Kata Kunci: Evaluasi Kebijakan, Pemekaran Daerah, Otonomi Daerah.Item EVALUASI KEBIJAKAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG DI KABUPATEN MINAHASA TENGGARA PROVINSI SULAWESI UTARA(2012-10-22) MICHAEL MAMENTU; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Penelitian ini dilakukan berlandaskan pada hasil evaluasi kebijakan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung di kabupaten Minahasa Tenggara provinsi Sulawesi Utara.Terdapat berbagai masalah hampir dalam seluruh tahapan pelaksanaan pilkada. Terutama dalam tahap pendataan pemilih, penetapan Daftar Pemilih Tetap, pendistribusian logistik pemilihan, serta tahap kampanye. Ditemukan pula bahwa kinerja pengawasan dalam pelaksanaan pilkada adalah amat lemah. Puncaknya adalah penolakan hasil penolakan suara dari kubu politik yang kalah dan para pendukungnya. Dari kegiatan pra penelitian ditemukan bahwa terdapat intervensi politik yang kuat terhadap pelaksanaan kebijakan pilkada di kabupaten Minahasa Tenggara. Para evaluator kebijakan merekomendasikan agar teknis pelaksanaan pilkada berikut harus lebih diperkuat. Tetapi isi rekomendasi kebijakan tidak menyentuh soal bagaimana mengatasi hal ini. Atas dasar fakta ini maka dilakukan penelitian untuk meneliti bagaimana evaluasi kebijakan pilkada langsung di kabupaten Minahasa Tenggara dilaksanakan. Dari penelitian evaluasi ini, diperoleh temuan baru sebagai berikut : kelemahan rekomendasi hasil evaluasi kebijakan pilkada bersumber pada tujuan yang ingin dicapai. Evaluasi kebijakan pilkada lebih terfokus pada bagaimana menghasilkan pelaksanaan pilkada yang lebih baik. Padahal sumber masalah pilkada ternyata adalah pada kualitas “hasil kebijakan†. Oleh karena itu seharusnya tujuan evaluasi kebijakan pilkada adalah bagaimana dapat menghasilkan rekomendasi yang tepat untuk memperoleh “hasil kebijakan†yang berkualitas.Item EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH(2012-10-18) SUKARSO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK (ABSTRACT) 1. Judul Disertasi : EVALUASI Program Pemberdayaan Masyarakat di KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH (EVALUATION OF PEOPLE EMPOWERMENT PROGRAM IN PURBALINGGA DISTRICT MIDLE JAVA) 2. Subyek : 1. Kebijakan Publik 2. Pola Evaluasi Program 3. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat 4. Pemberdayaan Masyarakat 5. Birokrasi Munafik 3. Abstrak: Keberhasilan suatu program seringkali menjadi kontroversi ketika hasil yang dicatat di satu pihak dianggap keberhasilan sementara di pihak yang lain tidak mempercayai hasil tersebut. Bahkan evaluasi program seringkali hanya menjadi formalitas dan bahkan menjadi bagian dari rutinitas birokrasi yang tidak bermanfaat bagi keberlanjutan program-program yang bersangkutan. Oleh karena itu, menarik untuk mengkaji bagaimana evaluasi dilakukan dan bagaimana seharusnya evaluasi dilakukan. Studi Evaluasi Program Pemberdayaan di Kabupaten Purbalingga ini menggunakan pendekatan meta-evaluasi dan decision-theoretic dan dilakukan dengan metode studi kasus melalui teknik wawancara mendalam. Studi ini menghasilkan analisis bahwa pola evaluasi yang dilakukan pemerintah daerah terhadap program-program pemberdayaan yang ada ternyata relatif sama pada berbagai program yang ada dan tidak akurat dengan indikasi evaluasi dilakukan oleh pihak yang tidak akurat terhadap substansi yang tidak akurat dan dengan cara-cara yang tidak akurat juga. Penelitian ini juga menganalisis bahwa evaluasi program pemberdayaan di pemerintahan daerah selama ini tidak mendasarkan pada satu konsep pemberdayaan yang jelas sehingga hasil evaluasinya cenderung formatif. Tindakan evaluasi yang dilakukan selama ini lebih merupakan pemenuhan aspek-aspek formal (formalisme) yang ada di setiap program, bukan aspek substansi tujuan-tujuan program. Temuan penerlitian ini adalah adanya kecenderungan birokrasi munafik, bahwa birokrasi pemerintah selama ini cenderung tidak jujur, suka ingkar janji, dan tidak dapat dipercaya. Kata Kunci: Pola evaluasi, pemberdayaan masyarakat, formalisme, dan birokrasi munafikItem Fungsi Sosial Tarian Tradisional Kedidi Di Kabupaten Bangka Barat(2020-10-08) M. ADHA AL KODRI; Elis Suryani Nani Sumarlina; Bintarsih SekarningrumTari Kedidi dinilai harus mampu mempertahankan eksistensinya di tengah terpaan budaya modern. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan fungsi sosial tari Kedidi melalui dampak fungsional dan disfungsional. Secara umum, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif melalui pendekatan etnografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara fungsional, perubahan fungsi berdampak pada tarian, yakni pengakuan pemerintah daerah sebagai tari khas daerah. Pada tahun 2014, tari Kedidi sebagai warisan budaya tak benda. Hadirnya perubahan fungsi juga berdampak pada keuntungan ekonomi dan manfaat sosial bagi masyarakat. Secara disfungsional, perubahan fungsi berdampak terjadinya pengaburan identitas tarian, politisasi seni, hingga terjadinya perubahan tarian yang bersifat substantif menjadi formalitas belaka. Perubahan fungsi juga menyebabkan terjadinya adaptasi sosial dalam masyarakat, yakni konformitas dan retreatisme. Melalui kajian ini dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan dalam menjaga eksistensi tari Kedidi dengan melakukan kompromi sosial dan peran sosial. Strategi kompromi sosial ditunjukkan dengan fakta bahwa telah dilakukannya proses akulturasi dan inkulturasi tari Kedidi melalui proses dialog. Sedangkan upaya yang dilakukan melalui peran sosial ditunjukkan melalui fakta bahwa perubahan fungsi sosial tari Kedidi menyatukan seluruh elemen masyarakat.Item HARMONISASI HUBUNGAN ETNIK MELAYU, DAYAK DAN CINA DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI KOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT(2012-10-17) LUKMAN JAFAR; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Dalam interaksi budaya antaretnik itu terjadi integrasi sosial yang ditandai oleh ikatan sosial yang semakin memperkokoh hubungan antaretnik yang berbeda. Dalam interaksi antaretnik itu muncul rasa saling menghargai, percaya, solidaritas, rukun, damai, dan sebagainya. Namun interaksi antarbudaya dapat pula melemahkan, ikatan sosial di antara beberapa etnik itu menjadi renggang. seringkali juga terjadi konflik yang serius antara etnik dengan mengembangkan kebencian, curiga, merasa terancam, konflik baik fisik maupun non fisik, Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif didukung dengan data sekunder yang berkaitan dengan harmonisasi hubungan antar etnik. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara kepada tokoh masyarakat maupun masyarakat adat, masyakat, LSM dan pejabat pemerintah. secara langsung di perkampungan kelompok etnik dan tempat lain di mana interaksi budaya antaretnik terlihat intens. Juga dilakukan pengamatan dengan menyaksikan tradisi dan seni pertunjukkan etnik secara langsung. Untuk melengkapi data tentang keharmonisan antar etnik dilaksanakan juga pengumpulan data sekunder. Prasangka sosial, stereotipe dan etnosentrisme tumbuh subur disebabkan oleh pengaruh keluarga, lingkungan dan pengalaman hidup yang menjadikan anggota masyarakat enggan berkomunikasi dengan kelompok etnik lainnya. Kelompok etnik Melayu, Dayak dan Cina mempunyai kearifan budaya yang berasal dari ajaran agama dan nilai-nilai luhur nenek moyang hingga saat ini masih tetap dilestarikan. Perbedaan etnik tidak menjadi halangan untuk saling berinteraksi; tidak hanya sebatas kepada pertemuan langsung, intensitas interaksi yang dilakukan ketika melakukan aktifitas sosial, ekonomi, keberagamaan menjadi sarana untuk saling memahami sehingga terjadi penyesuaian dan saling menghargai perbedaan meski dengan nilai batasan budayanya. Subjek : Prasangka, konflik laten, kearifan budaya, Multikultural.Item HEGEMONI POLITIK ELITE BANGSAWAN DALAM PENYELENGGARAAN BIROKRASI PEMERINTAHAN DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH(2022-09-05) ABDUL LATIF; Yogi Suprayogi Sugandi; Arry BainusStudi ini berbicara tentang hegemoni politik elite bangsawan Sasak dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan di Kabupaten Lombok Tengah. Dalam penelitian ini dijabarkan tentang bagaimana pola, media, serta implikasi dari hegemoni politik elite bangsawan Sasak dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilakukan di lingkungan pemerintahan Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pola, media hegemoni politik yang digunakan elite bangsawan dalam menjaga status dan identitasnya dalam struktur kekuasaan politik di birokrasi pemerintahan Kabupaten Lombok Tengah, dan bagaimana implikasi politik dari praktek hegemoni yang dilakukan oleh elite bangsawan terhadap kebebasan demokrasi lokal di Kabupaten Lombok Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Adapun teori utama yang digunakan untuk menganalisis bagaimana prakatik hegemoni politik elite bangsawan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Lombok Tengah adalah teori hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hegemoni politik yang dipraktikan oleh elite bangsawan dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan di Kabupaten Lombok Tengah, hal ini ditunjukan dengan keberadaan elite politik dalam jajaran birokrasi di semua level kepemimpinan yang ada di pemerintahan Kabupaten Lombok Tengah. Pada umumnya posisi elite bangsawan di jajaran pemerintahan Kabupaten Lombok Tengah, memperkuat status dan kedudukannya dengan memanfaatkan keberadaan organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, dan lembaga adat. Praktik hegemoni elite bangsawan di dalam pemerintahan berimplikasi negatif pada struktur birokrasi pemerintahan yang dikuasai oleh mayoritas golongan bangsawan, hal demikian mempersempit peluang dan kesempatan golongan non-bangsawan untuk mengisi jajaran birokrasi pemerintahan.Item IDENTITAS SOSIAL DIASPORA ORANG MINANG DI NEGERI SEMBILAN MALAYSIA(2018-07-24) DIAN ANGGRAINI OKTAVIA; Haryo Suhardi Martodirdjo; Rini Susetyawati SoemarwotoABSTRAK Disertasi ini berbicara tentang identitas sosial diaspora orang minang di negeri Sembilan Malaysia. Masalah penelitian ini ingin mengetahui bagaimana proses terbentuknya identitas sosial diaspora minang di Negeri Sembilan Malaysia dan melihat bagaimana implikasi teoritis dan fraksisnya terhadap dinamika sistim sosial masyarakat. Daerah penelitian ini adalah Negeri Sembilan Malaysia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis proses dan bentuk identitas sosial diaspora minang di Negeri Sembilan Malaysia, menjelaskan bagaimana bentuk Identitas Sosial Diaspora Minang di Negeri Sembilan Malaysia, menjelaskan implikasi teoritis dan fraksisnya terhadap dinamika sistem sosial masyarakat minang di Malaysia. Metode Penelitian dalam disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Desain penelitian ini bersifat deskriptif. Konsep yang dipakai berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan ciri-ciri identitas sosial antara lain : matrilineal, bahasa minang, sistem kekerabatan, nilai-nilai adat-istiadat, agama, arsitektur yang menyangkut kedalam identitas Keminangan akan menjadi kajian yang cermat. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari keanggotaannya dalam satu kelompok sosial (atau kelompok-kelompok sosial) dan nilai serta signifikasi emosional yang ada dilekatkan dalam keanggotaan itu. Tindakan oleh Diaspora Minang di Negeri Sembilan Malaysia yang masih mempertahankan nilai leluhur atau kelompok dan secara turun-temurun disosialisasikan dan di internalisasikan dalam kehidupan individu dan kelompok merupakan tindakan yang bersifat rasional dimana tindakan yang dilakukan dengan pertimbangan dan pilihan secara sadar (masuk akal). Tindakan tersebut memperlihatkan lebih kuat keidentitasan yang dimiliki bersama dan dijunjung tinggi bersama dalam wadah organisasi dan kelompok masyarakat Minang di Negeri Sembilan Malaysia.Item IDEOLOGI STUDIKLUB TEATER BANDUNG (STB) Ideology of Studiklub Teater Bandung (STB)(2016-04-22) IPIT SAEFIDIER DIMYATI; Haryo Suhardi Martodirdjo; Judistira K. GarnaDisertasi ini berjudul “Ideologi Studiklub Teater Bandung” (STB). STB merupakan sebuah kelompok teater tertua yang masih ada di Indonesia. Kehadiran dan konsistensinya dalam berkarya, terutama pada zaman Suyatna Anirun, memberi pengaruh yang besar dalam perkembangan teater, baik di Indonesia dan (terutama) di Bandung. Di Bandung, STB memiliki posisi istimewa, karena kelompok ini memiliki daya sentripetal dan sentrifugal yang kuat. Dengan daya sentripetal, STB menjadi magnit bagi orang-orang untuk belajar teater dan turut bergabung dengan kelompok teater tersebut; dengan daya sentrifugal, karena keanggotaan STB bersifat terbuka, maka banyak orang yang awalnya turut bergabung itu keluar dari STB dan melakukan aktivitas berteater dengan kelompok teater yang berbeda. Oleh karena posisinya seperti itu, maka STB penting untuk diteliti. Penelitian ini bertitik-tolak dari pertanyaan: ideologi apa yang melandasi pertunjukan teater STB. Ideologi adalah pandangan dari seseorang atau kelompok yang sudah dianggap benar dengan sendirinya. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, ditemukan bahwa STB dipengaruhi oleh pandangan modernisme yang memandang manusia sebagai pusat semesta. Ide ini diterjemahkan oleh Suyatna Anirun, sebagai salah satu sutradara STB yang paling produktif, menjadi: teater adalah memanusiakan ide-ide. Sebagai realisasi dari pandang itu, pertunjukan-pertunjukan teaternya STB senantiasa menonjolkan posisi aktor sebagai pusat dari pertunjukan. Pemilihan naskah untuk pertunjukan dan perwujudan tata pentas atau artistik yang dilaksanakan STB senantiasa bertitik tolak dari pandangan yang telah dianggap benar dengan sendirinya itu. Oleh karena posisi STB sangat istimewa, maka pandangan ini menjadi pandangan dominan yang melandasi pertunjukan teater kelompok-kelompok teater yang lain di Bandung. Hal ini dimungkin pula oleh posisi Suyatna yang memegang posisi, baik sebagai redaktur budaya Koran Pikiran Rakyat maupun sebagai dosen matakuliah Pemeranan dan Penyutrdaraan di STSI Bandung. Akan tetapi, meskipun ada pandangan yang relatif sama yang menjadi landasan berteater, dalam perwujudannya menghasilkan karya-karya teater yang berbeda. Hal itu terjadi sebab manusia tidak pernah bisa menangkap utuh setiap gagasan yang diserapnya. Gagasan itu akan selalu disaring sesuai dengan pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya. Itulah sebabnya terjadi perubahan kebudayaan.Item IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT UNTUK PEMBANGUNAN DESA (Studi Pemberdayaan Perempuan Miskin Pada LSPBM Tomporoso Desa Kalawara, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah(2012-10-22) DARLINA AYU SANUSI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK Masalah Kebijakan Program Pemberdayaan Masyarakat yang tidak diikuti dengan pembinaan dan pendampingan yang berkelanjutan menyebabkan masih rendahnya pendapatan perempuan di Desa Kalawara. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran bagaimana Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (PMPD) yang responsif gender memberdayakan perempuan. Penelitian Implementasi program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (studi pemberdayaan perempuan miskin pada LSPBM Tomporoso Desa Kalawara, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah) dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Observasi partisipatoris dilakukan dengan mengamati proses implementasi program PMPD yang menyangkut aspek Idealized Policy, Target Group, Implementing Organization dan Environmental Factor. Data diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam kepada informan kunci. Kemudian validitas, realibilitas data itu setelah melalui proses triangulasi, diklarifikasi, dideskripsi, dieksplanasi dan diverifikasi dengan teori-teori kebijakan publik dan Ilmu Pemerintahan untuk merumuskan jawaban penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (PMPD), modal sosial masyarakat merupakan faktor yang menentukan keberhasilan LSPBM. Beban kerja lebih perempuan yang berdampak pada ketimpangan gender merupakan salah satu faktor penghambat dalam memberdayakan perempuan. Hal ini mengakibatkan perekonomian perempuan sulit berkembang. Implementasi program PMPD tidak hanya bergantung pada empat unsur (kebijakan yang ideal, organisasi pelaksana, kelompok sasaran, dan lingkungan), akan tetapi juga perlu memperhatikan unsur komunikasi sebagai penentu keberhasilan implementasi kebijakan. ABSTRACT Policy Issues for Community Empowerment Program that is not followed by ongoing coaching and mentoring that lead to low income women in the village of Kalawara. This study aims to describe how the Community Empowerment Program for Rural Development (PMPD), which is responsive to gender in empowering women. Research on the Implementation of the program of Community Empowerment for Rural Development (the study of the empowerment of poor women on LSPBM Tomporoso Kalawara Village, Sigi District, Central Sulawesi Province) is done through a qualitative approach. Participatory observation made ​​by observing the process of implementing program of PMPD involving idealized aspects of Policy, Target Group, the Implementing Organization and the Environmental Factor. Data obtained through observation and in-depth interviews to key informants. Then the validity, reliability of the data after a process of triangulation, clarified, be described, explanations and verified with the theories of public policy and of Government scince to formulate answers to research questions. The results showed that the Implementation Program for Community Empowerment for Rural Development (PMPD), that social capital is a factor that determines the success of LSPBM. excessive workload on women have an impact on gender inequality is one limiting factor in empowering women. This has led women to grow the economy. Implementation of PMPD Program depends not only on the four elements (the ideal policy, implementing organizations, target groups, and environment), but also need to consider the elements of communication as a determinant of the success of policy implementation.Item IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN TERPADU DI BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU PROPINSI JAWA BARAT(2012-10-19) SAHYA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPenelitian yang berjudul Implementasi Kebijakan Pelayanan Terpadu di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Propinsi Jawa Barat, dilakukan untuk menganalisis implementasi kebijakan pelayanan terpadu dalam penetapan standar tujuan, sumber daya, aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi pelaksana, karakteristik implementor, kondisi ekonomi, sosial dan politik penerima program dan kecenderungan implementor mampu menunjukkan keberhasilan di BPPT Propinsi Jawa Barat. Latar belakang dari penelitian ini adalah bahwa berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, telah diketahui bahwa terdapat beberapa keterlambatan dalam penerbitan perizinan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Propinsi Jawa Barat. Dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian ini menjadikan Kepala Badan dan Kepala Bidang BPPT sebagai informan pangkal dan kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan informan pangkal yang diwawancarai berkembang kepada para pimpinan dan beberapa staf operasional Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Selain dari itu, bahwa untuk mendapatkan data yang diperlukan dilakukan pula pengamatan atas latar penelitian seperti berbagai kegiatan dalam kaitannya dengan proses penyelenggaraan perizinan terpadu dan penelitian atas berbagai dokumen dan data sekunder tentang keberadaan para penyelenggara dan proses penerbitan perizinan. Kesimpulan atas penelitian ini bahwa Implementasi kebijakan pelayanan terpadu di BPPT Propinsi Jawa Barat mengikuti 6 (enam) unsur pokok, yaitu pertama berkaitan dengan standard dan tujuan yang meliputi pemahaman dan komitmen pada tujuan untuk mewujudkan tatalaksana perizinan yang mudah, transparan, cepat, tepat, pasti, efisien dan efektif sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Kedua dukungan sumber daya dari segi kuantitas dan kualitas yang meliputi sumber daya aparatur, sarana dan anggaran, ketiga komunikasi antar organisasi yang meliputi fasilitas dan intensitas, ke empat karakteristik Organisasi pelaksana, kelima kondisi ekonomi, sosial dan politik serta ke enam kecenderungan pelaksana. Dari hasil penelitian implementasi kebijakan pelayanan terpadu di BPPT Propinsi Jawa Barat dan beberapa temuan yang berkaitan dengan pelayanan, maka hasil temuan penelitian yang dapat dirumuskan adalah komitmen pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan pelayanan terpadu merupakan syarat efektifnya proses implementasi kebijakan artinya jika implementasi kebijakan pelayanan terpadu dikehendaki efektif, maka implementor harus berkemampuan daya guna dalam proses pelayanan perizinan yang cepat, tepat dan transparan sebagai pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik.Item IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG :PERSPEKTIF PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN(2012-10-18) DADA ROSADA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenKota Bandung sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, menghadapi berbagai permasalahan seperti: banjir, polusi udara dan air, penduduk miskin, banyaknya pengangguran, dan kesenjangan sosial diantara penduduk. Untuk mengatasi hal tersebut berbagai upaya telah dilakukan, dan hal ini sejalan pula dengan visi kota yaitu “Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Bermartabat†. Upaya-upaya tersebut diwujudkan dalam bentuk kebijakan khusus yang dikenal sebagai 7 (tujuh) program prioritas, meliputi: bidang pendidikan, kesehatan, kemakmuran, lingkungan hidup, seni dan budaya, olah raga serta agama. Sejak tahun 2004 kebijakan tersebut mulai dilaksanakan melalui Perda Nomor.06 Tahun 2004 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kota Bandung. Namun demikian implemetasi kebijakan tersebut belum dapat memenuhi seluruh target yang diharapkan. Hal ini terkait dengan adanya faktor yang berpengaruh, dilihat dari isi kebijakan dan konteks implementasinya. Oleh karena itu penelitian ini mencoba mengevaluasi capaian implementasi kebijakan dan mengidentifikasi faktor-faktor kunci apa saja yang berpengaruh dalam pelaksanaannya. Secara rinci penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif-kualitatif (mixed methods research). Pada fase pertama dilakukan pengumpulan data sekunder berupa data statistik, yaitu data tentang capaian dari implementasi kebijakan 7 (tujuh) program prioritas. Data tersebut menjadi dasar untuk analisis kuantitatif dengan menggunakan uji T dua kelompok saling bebas. Sedangkan pada fase kedua dilakukan pengumpulan data primer dengan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan dari pejabat pemerintah, dosen perguruan tinggi, dan penggiat lembaga swadaya masyarakat. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada dasarnya implementasi kebijakan pembangunan di Kota Bandung telah mencerminkan prinsip-prinsip pembangunan kota berkelanjutan yang dilakukan melalui implementasi kebijakan 7 (tujuh) program prioritas. Namun demikian terdapat berbagai permasalahan pada tahap implementasi kebijakan, khususnya yang terkait dengan isu kebijakan dan konteks implementasinya.Item INTEGRASI SOSIAL ANTAR KELOMPOK ETNIK DI KABUPATEN KETAPANG, KALIMANTAN BARAT(2014-11-14) HERLAN; Judistira K. Garna; Josy AdiwisastraABSTRAK Disertasi dengan judul Integrasi Sosial Antar kelompok Etnik di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat ini dengan perumusan masalah apa faktor-faktor pendukung dan bagaimana peran dari faktor-faktor tersebut sehingga terpeliharanya integrasi sosial di Kabupaten Ketapang? Untuk mengkaji permasalahan tersebut dituangkan dalam tujuan penelitian yaitu: (1) mendeskripsikan kondisi kehidupan masyarakat yang integral; (2) faktor-faktor pendukung terjadinya integrasi sosial antar kelompok etnik di Kabupaten Ketapang; serta (3) pola pengendalian dalam memelihara integrasi sosial. Berdasarkan hasil pemahaman, interpretasi dan analisis, penelitian ini ditujukan untuk menemukan model memelihara integrasi sosial pada masyarakat majemuk. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dan apabila didasarkan pada masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka metode analisis yang digunakan adalah studi kasus dengan alat pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan dokumentasi dengan analisis data menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pendukung terjadinya integrasi sosial pada masyarakat majemuk di Kabupaten Ketapang disebabkan adanya: (1) penduduk lokal terbuka menerima kehadiran orang luar tetapi dengan persyaratan; (2) toleransi dalam bidang keagamaan dan budaya; (3) kesamaan kondisi sosial ekonomi penduduk lokal dengan pendatang; (4) modal sosial setiap kelompok etnik untuk hidup damai; (5) berperannya lembaga-lembaga etnik membangun perdamaian; dan (6) aktor /agen perdamaian. Selain itu terdapat pola pengendalian sosial dalam memelihara integrasi sosial melibatkan lembaga-lembaga etnik dan aktor (agen) dalam proses membentuk modal sosial dan pengawasan terhadap modal sosial yang dibentuk tersebut. Kesimpulan dari penelitian adalah terjadinya integrasi sosial karena adanya peran lembaga (baik formal maupun informal) bersama agen (aktor) membentuk sistem sosial yang menjadi subbagian dari modal sosial dalam kehidupan bersama yang selanjutnya dilakukan pengendalian sosial oleh lembaga dan aktor dalam rangka menjaga dan memelihara integrasi sosial. Selama modal sosial masih sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat majemuk, modal sosial tidak akan berubah. Namun apabila modal sosial yang digunakan mengalami anomali dan akhirnya mengalami krisis kepercayaan, maka lembaga dan aktor membentuk atau melakukan revisi atas modal sosial yang baru sesuai dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat, yang selanjutnya lembaga dan aktor melakukan pengendalian sosial terhadap modal sosial yang baru tersebut Kata Kunci : integrasi sosial, lembaga etnik, aktor, modal sosialItem INTEGRASI SOSIAL ANTARA PEDAGANG PENDATANG DAN LOKAL (Studi Kasus Hubungan Pedagang Pendatang dan Lokal di Pasar Pharaa Kecamatan Sentani Kabupaten Jayapura Papua)(2017-08-21) LENNY MARIA MAGDALENA MANALIP; Haryo Suhardi Martodirdjo; Selly RiawantiPenanganan pasar khususnya kelompok pedagang lokal dan pendatang merupakan hal yang kurang direspon secara baik, sehingga dapat menimbulkan permasalahan hubungan antara kelompok pedagang pendatang dan lokal. Perbedaan secara ekonomi yang semakin lama semakin mengarah pada polarisasi antara pedagang pendatang dan lokal, dan muncul gejala-gejala sosial yang nampaknya berakar pada kesenjangan sosial itu. Seperti; lapak yang tidak sesuai dengan peruntukan, kepemilikan tempat usaha yang lebih besar dengan komoditas yang beragam, yang memungkinkan kepemilikan kios lebih dari yang lain, bagi kelompok pedagang pendatang, dan sebaliknya muncul sikap dan perilaku menantang untuk respons apapun yang terjadi dari kelompok pedagang lokal. Gejala tersebut menunjukkan adanya kesenjangan, yang tidak saja bersifat tersembunyi (latent), melainkan sudah mulai muncul ke permukaan (manifest). Namun selain gejala-gejala konflik kecil seperti itu, situasi dan kondisi di pasar Pharaa tetap berjalan hingga saat ini, dan tetap ada hal yang mengkhawatirkan, maka penting untuk mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan sosial yang dapat mengarah pada integrasi sosial dan konflik. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan posisi sosial para kelompok pedagang dengan menggunakan kerangka stratifikasi sosial dalam bidang ekonomi. Dan untuk menggambarkan potensi-potensi integrasi sosial dan konflik. Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif untuk memahami situasi dan kondisi pedagang dengan adanya kondisi kesenjangan yang berpotensi konflik. Hasil penelitian menunjukan bahwa, terjadi sistem stratifiksi sosial antara kelompok pedagang lokal dan pendatang, yang membentuk lapisan atas, menengah, dan bawah, dan dampak yang ditimbulkan ialah kesenjangan sosial. Dan situasi dan kondisi pedagang di pasar ada potensi-potensi konflik, potensi tersebut dapat bersifat laten dan dapat bersifat manifes. Dalam situasi dan kondisi tertentu, kedua kelompok pedagang pendatang dan lokal saling membutuhkan terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup berkaitan dengan pekerjaan dan komoditas yang beragam.Item Interaksi Bugis Perantau dengan Masyarakat Setempat di Kota Pontianak.(2022-03-11) FITRI KUSUMAYANTI; Budi Rajab; Selly RiawantiDisertasi ini berjudul: “Interaksi Bugis Perantau dengan Masyarakat Setempat di Kota Pontianak. Tujuan penelitian menjelaskan bagaimana identitas kebugisan (penerapan budaya siri’) digunakan etnis Bugis Perantau dalam proses interaksinya, berikut cara penyelesaian yang dilakukan jika terjadi konflik atau kesenjangan sosial yang melibatkan Bugis Perantau dengan masyarakat setempat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, metode deskriptif. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi partisipan dan studi dokumentasi. Informan terdiri dari etnis Bugis Perantau dan etnis setempat lainnya. Pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, catatan lapangan. Analisis data melalui reduksi data , penyajian data dan penarikan kesimpulan. Pengecekan keabsahan data melalui trianggulasi sumber dan member cek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebugisan orang Bugis di gunakan di Kota Pontianak, seperti; penggunaan bahasa Bugis, atribut keetnisan dan kebudayaan Bugis hanya terjadi pada sesama di dalam komunitas Bugis. Sangat menjaga marwah diri dan keluarga. Marwah itu melekat dalam sistem budaya siri’ khususnya siri’ masiri’ bukan siri’ ripakasiri’ baik dalam interaksi internal sesama Bugis maupun eksternal dengan etnis setempat. Siri’ menjelma sesuai kultur masyarakat setempat, menjadi modal sosial ampuh, sehingga mengukir sejarah atas kontribusi budaya dan peradaban Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak. Menempatkan etnis Bugis perantau, bahu membahu untuk memajukan Kota Pontianak bersama etnis setempat. Pengaruh tokoh-tokoh Bugis secara sosial, budaya, ekonomi, politik dan disegani secara agama, khususnya Islam menjadikannya ‘diposisikan’ sebagai Melayu Pontianak, dan oleh orang Bugis Perantau merasa Pontianak sebagai “kampung halaman kedua” setelah Sulawesi Selatan. Realitas ini semakin meyakinkan karena memang Bugis Perantau tidak pernah menoreh luka, apalagi terlibat konflik komunal dengan masyarakat setempat. Mereka selalu berusaha keras bersama pemerintah setempat agar setiap konflik pribadi tidak meluas menjadi konflik keluarga atau konflik antar etnis. Berusaha saling mengedukasi pentingnya hidup secara damai antar etnis. Mereka adalah orang Melayu, sekaligus saudara etnis setempat. Pola pengendalian sosial semakin bersahaja karena merasa sama-sama berkeluarga dalam “payung” multikulturalisme Kota Pontianak. Penelitian ini menemukan bahwa membaur adalah ‘kata kunci’ keberhasilan Bugis Perantau di Kota Pontianak. Bugis Perantau tidak perlu harus menjadi “etnis lain” di perantauan. Menjadi Melayu Pontianak, tidak berarti hilang identitas kebugisannya, tetapi justru meningkatkan martabat Melayu. Dikotomi struktural antar etnis yang seringkali berujung konflik secara komunal, di jawab etnis Bugis Perantau melalui misi merantaunya di Kota Pontianak dengan syarat bekal secara pendidikan, ekonomi, politik, budaya dan agama. Kata Kunci: Interaksi Sosial, Etnis Bugis, Budaya Siri.’Item INTERAKSI SOSIAL KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (KAT) PASCA PROGRAM PEMBERDAYAAN (Kasus : Desa Subah Kecamatan Tayan Hilir Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat)(2015-09-09) SUDIRMAN; Haryo Suhardi Martodirdjo; Soni Akhmad NulhaqimABSTRAK Penelitian ini berjudul “Interaksi Sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT) Pasca Program Pemberdayaan (Kasus : Desa Subah Kecamatan Tayan Hilir Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat). Tujuan penelitian mendiskripsikan bentuk interaksi sosial komunitas adat terpencil dalam keluarga, dan dengan pendatang, fungsi media sebagai sarana interaksi sosial dalam keluarga dan dengan pendatang serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadi perubahan interaksi sosial dalam keluarga, dan dengan pendatang pasca program pemberdayaan. Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data yaitu wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus (FGD), observasi partisipan dan studi dokumen, selanjutnya dianálisis menggunakan metode deskriptif melalui proses yaitu,pengumpulan informasi, catatan lapangan, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan pasca program pemberdayaan terjadi perubahan interaksi sosial dalam keluarga maupun dengan pendatang bersifat asosiatif dan disosiatif dalam bentuk kerja sama, akomodasi, asimilasi, persaingan, kontravensi dan konflik (pertikaian). Media berfungsi sebagai sarana interaksi sosial dalam keluarga dan dengan pendatang dalam bentuk pertemuan (kegiatan bersifat sosial, keagamaan, ekonomi dan budaya), tempat (seperti pasar, toko/warung, rumah pribadi, rumah ibadah, kantor desa dan puskesdes) dan alat komunikasi (berupa telepon seluler). Faktor penyebab terjadinya perubahan interaksi sosial dalam keluarga komunitas adat terpencil adalah, pendidikan, pergaulan anak lebih terbuka serta penggunaan alat komunikasi, sementara faktor penyebab terjadinya interaksi sosial dengan pendatang meliputi tersedianya prasarana/sarana transportasi dan kemajuan teknologi baru yang dibawa oleh pendatang. Kecenderungan adanya fakta sosial baru dari hasil terjalinnya interaksi sosial yang kharmonis antara komunitas adat terpencil dengan pendatang meliputi toleransi sosial, solidaritas sosial dan adanya pemaknaan baru terhadap hukum adat.