Sosiologi (S3)

Permanent URI for this collection

Browse

Recent Submissions

Now showing 1 - 20 of 68
  • Item
    PENGARUH EVALUASI KEBIJAKAN PEMBIBITAN TERNAK SAPI POTONG TERHADAP EFEKTIVITAS PELAYANAN INSEMINASI BUATAN PADA LIMA KABUPATEN DI PROVINSI JAWA BARAT
    (2012-10-22) RD. DEWI SARTIKA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    ABSTRAK Kebijakan pembibitan sapi potong merupakan salah satu program pemerintah di bidang peternakan yang bertujuan memenuhi jumlah dan mutu bibit ternak yang dibutuhkan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Kebijakan ini telah lama ada, mulai Tahun 1976 sejak diintroduksikannya pelayanan inseminasi buatan, namun berdasarkan hasil evaluasi kebijakan yang dilakukan setiap tahun, hasilnya tetap tidak efektif. Hal ini ditunjukkan dengan data yang menunjukkan belum optimalnya kesiapan dan perolehan sumberdaya, lemahnya hubungan antar manusia, proses internal dan tujuan rasional, serta sistem terbuka yang belum efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh evaluasi kebijakan pembibitan sapi potong terhadap efektivitas pelayanan IB. Melalui pendekatan kuantitatif, penelitian ini berusaha menjelaskan evaluasi kebijakan pembibitan sapi potong di 5 kabupaten di Jawa Barat dengan menggunakan Teori Evaluasi Kebijakan dari Bardach yang terdiri dari 4 dimensi yaitu : kelayakan teknis, kelayakan ekonomi dan finansial, daya dukung politis dan daya dukung administratif. Selain itu penelitian ini menjelaskan efektifitas pelayanan inseminasi buatan. Disini peneliti menggunakan teori efektivitas dari Kasim yang terdiri dari dimensi kesiapan dan perolehan sumberdaya, hubungan antar manusia, proses internal dan tujuan rasional dan sistem terbuka. Dengan metode survei, instrumen penelitian yang telah disusun kemudian disebarkan melalui kuesioner kepada 166 orang responden; yaitu para pelaksana IB. Untuk menguji hipotesis yang diajukan, peneliti menggunakan Analisis Structural Equation Modeling (SEM) . Hasil penelitian menunjukkan besarnya pengaruh evaluasi kebijakan pembibitan ternak sapi potong terhadap efektivitas pelayanan Inseminasi Buatan (IB) di Provinsi Jawa Barat ditentukan secara signifikan oleh kelayakan teknis, daya dukung politis, daya dukung administratif dan kelayakan ekonomi dan finansial, dengan dimensi yang paling dominan yaitu kelayakan teknis. ABSTRACT The Policy on beef breeding is one of the government’s program in the field of animal husbandry aimed at fulfilling the number and the quality of calves demanded by all regencies/cities in Indonesia. This policy has been there for a long time, starting from year 1976 since artificial insemination service was introduced, but based on the policy evaluation held annually, the result has not yet been effective. This is shown by the data showing the lack of optimum readiness and human resources, weak relationship among humans, internal process and rational goals, as well as ineffective open system. This research was aimed to asses the influence of policy evaluation on beef breeding to the effectiveness of AI service. Through the quantitative approach, this research tried to explain the policy evaluation on beef breeding in 5 regencies in West Java using the Policy Evaluation Theory expressed by Bardach consisting of 4 dimensions: technical feasibility, economic and financial feasibility, politicalviability and administrative operability. Besides, the research also explained the effectiveness of artificial insemination service. Here, the research employed the effectiveness theory from Kasim consisting of readiness dimension and human resources acquisition, interpersonal relation, internal process and rational goals and open system. With the survey method, the composed research instrument then was distributed through questioners to 166 respondents; the AI officers. To examine the proposed hypothesis, the research employed the Structural Equation Modeling (SEM) analysis. The result of the research showed that the impact of policy evaluation on beef breeding to the effectiveness of the AI service in West Java Province is determined significantly by the technical feasibility, political viability, administrative operabilityand economic and financial feasibility, with the most dominant dimension of technical feasibility.
  • Item
    AKUNTABILITAS KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA (Studi tentang Hak Interpelasi DPR terhadap dukungan Pemerintah Indonesia atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor :1747 tentang Pengembangan Nuklir Iran)
    (2012-10-18) BAMBANG SUSANTO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Masalah dalam penelitian ini adalah menyangkut akuntabilitas kebijakan politik luar negeri melalui peran DPR dalam mengonstruksi penyusunan dan perumusan kebijakan politik luar negeri. Secara lebih spesifik, bagaimana Hak Interpelasi DPR digunakan terhadap dukungan Pemerintah atas Reresolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1747 tentang Pengembangan Nuklir Iran. Kemudian, mengapa terjadi kesenjangan antara hasil kebijakan politik luar negeri dengan aspirasi politik masyarakat yang direfleksikan melalui interpelasi DPR dalam hal Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1747 tentang Pengembangan Nuklir Iran. Berdasarkan karakteristik masalah yang diteliti, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasi dan wawancara mendalam serta focus group discusion (FGD) dengan informan pangkal dan informan kunci sebagai sumber data dan informasi penelitian. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa akuntabilitas kebijakan politik luar negeri serta pelibatan pasrtisipasi publik melalui mekanisme DPR masih belum maksimal. Partisipasi masyarakat belum sepenuhnya dilibatkan dalam menentukan arah kebijakan politik luar negeri hal ini karena Kementrian Luar Negeri dalam konteks mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1747 masih sepihak, dalam pengertian, tidak ada komunikasi yang intensif khususnya dengan DPR, sehingga kebijakan politik yang diambil mendapat perlawanan dari DPR yang pada akhirnya DPR menggunakan hak konstitusionalnya, yakni menggunakan hak interpelasi. Kata Kunci: Akuntabilitas, kebijakan luar negeri, partisipasi publik, hak interpelasi DPR.
  • Item
    IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT UNTUK PEMBANGUNAN DESA (Studi Pemberdayaan Perempuan Miskin Pada LSPBM Tomporoso Desa Kalawara, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah
    (2012-10-22) DARLINA AYU SANUSI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    ABSTRAK Masalah Kebijakan Program Pemberdayaan Masyarakat yang tidak diikuti dengan pembinaan dan pendampingan yang berkelanjutan menyebabkan masih rendahnya pendapatan perempuan di Desa Kalawara. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran bagaimana Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (PMPD) yang responsif gender memberdayakan perempuan. Penelitian Implementasi program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (studi pemberdayaan perempuan miskin pada LSPBM Tomporoso Desa Kalawara, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah) dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Observasi partisipatoris dilakukan dengan mengamati proses implementasi program PMPD yang menyangkut aspek Idealized Policy, Target Group, Implementing Organization dan Environmental Factor. Data diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam kepada informan kunci. Kemudian validitas, realibilitas data itu setelah melalui proses triangulasi, diklarifikasi, dideskripsi, dieksplanasi dan diverifikasi dengan teori-teori kebijakan publik dan Ilmu Pemerintahan untuk merumuskan jawaban penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (PMPD), modal sosial masyarakat merupakan faktor yang menentukan keberhasilan LSPBM. Beban kerja lebih perempuan yang berdampak pada ketimpangan gender merupakan salah satu faktor penghambat dalam memberdayakan perempuan. Hal ini mengakibatkan perekonomian perempuan sulit berkembang. Implementasi program PMPD tidak hanya bergantung pada empat unsur (kebijakan yang ideal, organisasi pelaksana, kelompok sasaran, dan lingkungan), akan tetapi juga perlu memperhatikan unsur komunikasi sebagai penentu keberhasilan implementasi kebijakan. ABSTRACT Policy Issues for Community Empowerment Program that is not followed by ongoing coaching and mentoring that lead to low income women in the village of Kalawara. This study aims to describe how the Community Empowerment Program for Rural Development (PMPD), which is responsive to gender in empowering women. Research on the Implementation of the program of Community Empowerment for Rural Development (the study of the empowerment of poor women on LSPBM Tomporoso Kalawara Village, Sigi District, Central Sulawesi Province) is done through a qualitative approach. Participatory observation made ​​by observing the process of implementing program of PMPD involving idealized aspects of Policy, Target Group, the Implementing Organization and the Environmental Factor. Data obtained through observation and in-depth interviews to key informants. Then the validity, reliability of the data after a process of triangulation, clarified, be described, explanations and verified with the theories of public policy and of Government scince to formulate answers to research questions. The results showed that the Implementation Program for Community Empowerment for Rural Development (PMPD), that social capital is a factor that determines the success of LSPBM. excessive workload on women have an impact on gender inequality is one limiting factor in empowering women. This has led women to grow the economy. Implementation of PMPD Program depends not only on the four elements (the ideal policy, implementing organizations, target groups, and environment), but also need to consider the elements of communication as a determinant of the success of policy implementation.
  • Item
    PERILAKU PENCARIAN INFORMASI PENGHIDUPAN PADA PENDUDUK MISKIN PEDESAAN Studi Fenomenologi di Pedesaan Kabupaten Ciamis Jawa Barat
    (2010) PAWIT M YUSUP; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    Kemiskinan di pedesaan adalah suatu realitas kehidupan. Kondisi itu akan terus terjadi sepanjang program pembangunan yang dilakukan negara belum berhasil, dan selama kesadaran setiap anggota masyarakat dalam pembangunan, juga belum merata. Sudah banyak peneliti yang mengkaji masalah kemiskinan di pedesaan, termasuk masalah perilaku pencarian informasi penghidupan pada penduduk miskin pedesaan, namun lebih banyak menggunakan pandangan etik, yang bersifat researcher’s perspective, alih-alih emik, yakni melihat sesuatu dari kacamata pelaku. Penelitian ini menggunakan pandangan emik. Tujuannya adalah untuk memahami dan mengkaji pola tindakan atau perilaku pencarian informasi penghidupan pada penduduk miskin pedesaan, termasuk di dalamnya memahami makna miskin menurut penduduk miskin, makna diri penduduk miskin, dan motivasi di balik semua tindakannya dalam mencari informasi penghidupan dimaksud. Teori dan metode penelitian yang digunakan adalah fenomenologi dari Alfred Schutz dan Interaksionisme simbolik dari Mead dan Blumer. Hasil penelitian menggambarkan bahwa: 1) Makna miskin menurut penduduk miskin bersifat kontekstual; 2) Makna diri penduduk miskin memiliki konteksnya sendiri yang bersifat subjektif aspektual; 3) Pola pencarian informasi penghidupan dilakukan secara akif dan pasif, dengan sumber dan saluran informasi interpersonal yang bersifat informal, lebih banyak digunakan oleh penduduk miskin pedesaan; dan 4) Setiap tindakan yang dilakukan oleh penduduk miskin pedesaan dalam mencari informasi penghidupannya, didasarkan atas motif alasan, motif tujuan, dan motif harapan yang jelas.
  • Item
    Perempuan dan Agroforestri: Dinamika Peran Perempuan dalam Pengelolaan Agroforestri yang Berkelanjutan di Cianjur Jawa Barat
    (2023-04-18) DEDE TRESNA WIYANTI; Johan Iskandar; Parikesit
    Disertasi ini mengkaji tentang perempuan dan agroforestry di Desa Cijedil dan Wangunjaya, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kajian mengenai dinamika pengelolaan agroforestri yang merupakan praktik pertanian yang dilakukan di atas lahan hutan atau lahan yang menyerupai hutan ini, dilakukan dengan menggunakan perspektif gender dan ekofeminisme. Kajian dilakukan di dua desa di Cianjur, Jawa Barat, Indonesia, yaitu Desa Cijedil dan Desa Wangunjaya. Kedua desa ini merupakan perwakilan dari variasi lahan agroforestri, yang terdiri dari lahan hutan, agroforestri, dan pertanian. Jenis lahan ini mewakili tingkat campur tangan manusia dalam pengelolaan lahan hutan. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, dengan menggunakan wawancara dan observasi sebagai instrumen kunci pengumpulan data. Hasil kajian menemukan bahwa setelah hampir 30 tahun studi sebelumnya pada jenis penggunaan lahan yang sama di Jawa Barat, pembagian kerja berdasarkan gender dalam praktik agroforestri ini mengalami perubahan. Perubahan signifikan juga ditemukan dalam relasi perempuan dan agroforestri, serta relasi gender dalam proses pengambilan keputusan terkait agroforestri dalam rumah tangga petani. Berdasarkan kajian, perubahan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya faktor ketahanan pangan rumah tangga, aksesibilitas pasar dan informasi pemasaran, jaminan penguasaan lahan dan tanaman, pengetahuan terkait pengelolaan, dan kebijakan pemerintah. Dari perspektif gender dan ekofeminisme studi ini menunjukkan adanya dinamika perempuan dalam mengelola agroforestri, tidak hanya dalam peningkatan peran perempuan, tetapi juga dengan menguatnya posisi perempuan sehingga mampu menunjukkan kesetaraan antara petani laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan agroforestri.
  • Item
    DEGRADASI LAHAN DAN PERUBAHAN BUDIDAYA LAHAN KERING DI KAWASAN CITARUM HULU, JAWA BARAT: SEBUAH STUDI EKOLOGI-POLITIK
    (2022-01-31) DEDE MULYANTO; Oekan Soekotjo Abdoellah; Budhi Gunawan
    Disertasi ini tentang degradasi lahan dan budidaya lahan kering di kawasan Citarum Hulu, Jawa Barat. Penelitian ini bermaksud menelusuri tautan faktor-faktor ekologi-politik yang mempengaruhi deforestasi, perluasan lahan garapan, serta perubahan menuju intensifikasi budidaya lahan kering yang ditengarai sebagai bentuk budidaya lahan degradatif terhadap tanah menggunakan metode historis dan etnografis. Deforestasi Citarum Hulu dimulai sejak 1720 saat negara kolonial menjadikan kawasan ini wilayah perluasan penanaman kopi. Tanam paksa kopi sepanjang abad ke-18 mendorong perluasan kebun kopi yang menuntut pengisiannya oleh populasi petani sebagai sumber tenaga kerja. Proses ini diperhebat ketika model perkebunan monokultur pertama kali diterapkan pada 1828. Sejak tahun itu perluasan lahan garapan yang dipaksa bertumbuh berarti perambahan hutan melaju cepat. Proses marjinalisasi dan deforestasi diperhebat kebijakan agraria 1870 yang di situ negara mengisolasi perluasan lahan garapan hanya di lahan milik pribadi dan dalam batas lahan komunal desa. Selain mengeksklusi petani dari lahan-lahan terlantar yang diperuntukkan perkebunan besar, tekanan menuju intensifikasi budidaya lahan kering menguat. Pada saat bersamaan negara mengintegrasikan ekonomi subsisten petani ke dalam pasar. Monetisasi dan terbukanya jaringan perdagangan hasil bumi, ditambah akses ke produk-produk agrokimia sintetis, menjadikan intensifikasi lahan kering keniscayaan. Keniscayaan ini diperhebat selama Revolusi Hijau oleh pemerintahan Orde Baru. Saat ini budidaya lahan kering berbasis sayuran subtropis di pegunungan telah sedemikian intensif dalam arti 1) lahan digarap nyaris sepanjang tahun dan 2) pemakaian agrokimia sintetis yang massif. Keduanya tak hanya didorong kepentingan petani sebagai produsen komoditas dan kepentingan negara demi stabilitas pasokan hasil tani, tapi juga berakar pada watak subtropis tanaman budidaya watak komersial pertaniannya. Tekanan agronomis ini ada dalam eksploitasi struktural terhadap petani terkait marjin harga jual relatif terhadap ongkos produksi karena tingginya harga produk agrokimia sintetis. Rendahnya marjin dan fluktuatifnya harga hasil panen dipengaruhi dua faktor yang sama-sama historis, yaitu kecilnya skala dan terpencarnya unit produksi. Warisan sejarah ini pula yang menjelaskan keganjilan dalam praktik budidaya lahan kering di desa tineliti, yakni rendahnya produktivitas kerja karena terbatasnya mekanisasi.
  • Item
    PENGARUH KUALITAS PELAYANAN PERIJINAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT STUDI DI BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN KABUPATEN BANDUNG
    (2012-10-23) CHANDRA MOCH. SURYA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data Dosen
    A B S T R A K Pada hakekatnya penyelenggaraan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan, pemberdayaan, peranserta masyarakat dan peningkatan daya saing daerah. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah kualitas pelayanan perijinan Badan Penanaman Modal Dan Perijinan Kabupaten Bandung belum dapat dikatakan baik. Tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan bahwa kualitas pelayanan publik yang dijalankan sesuai dengan harapan masyarakat sehingga dapat dikatakan berpengaruh terhadap kepuasan masyarakat. Atas dasar tujuan tersebut maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan teknik sampling yang digunakan adalah aksidental sampling. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan perijinan berpengaruh terhadap kepuasan masyarakat pengguna layanan Badan Penanaman Modal Dan Perijinan Kabupaten Bandung. Temuan dari penelitian ini adalah komitmen manajemen terhadap kesungguhan dan ketegasan terhadap kepentingan masyarakat. . ABSTRACT In effect the implementation of regional autonomy is directed to accelerate the realization of well-being of society through improved quality of care, empowerment, community participation and increase regional competitiveness. Main problems in this study is the quality of care licensing Licensing Board of Investment and Bandung Regency has not been able to say either. The purpose of this study is to prove that the quality of public services are executed in accordance with the expectations of the community so it can be said to affect the satisfaction of the community. On the basis of these objectives the research methods used in this study is a quantitative approach to the sampling technique used was accidental sampling. The analysis showed that licensing affects the quality of service user satisfaction of community service and Licensing Board of Investment Bandung regency. The findings of this research is management commitment to the sincerity and firmness against the public interest.
  • Item
    MOBILITAS SIRKULER PEKERJA PEREMPUAN INDONESIA KE SINGAPURA DAN MALAYSIA (Studi tentang Jaringan sosial Pekerja perempuan)
    (2023-10-02) SURYANINGSIH; Soni Akhmad Nulhaqim; Yogi Suprayogi Sugandi
    Kegiatan mobilitas pekerja perempuan dari Kepulauan Riau menjadi fokus utama dalam penelitian ini karena rentan terhadap kegiatan migrasi nonprosedural. Jarak yang dekat dan fasilitas yang tersedia membuat pilihan melakukan mobilitas nonprosedural menjadi salah satu pilihan utama. Kegiatan mobilitas sirkuler banyak dilakukan oleh perempuan karena banyaknya permintaan untuk mengisi pekerjaan di sektor domestik seperti sebagai asisten tangga, katering serta tukang urut dan berdagang peralatan kosmetik. Kegiatan mobilitas sirkuler ini tidak terlepas dari adanya jaringan sosial yang terbangun oleh pekerja perempuan dari Kepulauan Riau. Salah satu konsep jaringan sosial yang diungkap oleh Mitchell (1969:1-2) dalam (Haryono, 2007) menyebutkan bahawa jaringan sosial adalah seperangkat hal khusus yang membangun hubungan antara sekelompok orang dan dipergunakan untuk menginterpretsikan penyebab seseorang ikut serta dalam kelompok tersebut. Maka dalam penelitian ini berusaha untuk mengkaji tentang Mobilitas Sirkuler Pekerja Perempuan Indonesia Ke Singapura Dan Malaysia. Pekerja Perempuan asal Kepulauan Riau dalam penelitian ini dipilih dari pekerja perempuan yang melakukan mobilitas secara sirkuler yang bekerja dan berangkat secara mandiri dan tidak memiliki izin kerja. Walaupun pekerjaan yang dilakukan adalah ilegal tetapi mereka tetap bisa bertahan untuk keluar masuk ke negara tujuan kerja. mereka terhindar dari permasalahan imigrasi dan petugas imigrasi baik di tempat kerja maupun di daerah asal. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatiif, dengan tehnik pengambilan informan secara snowball. Analisa data menggunakan analisa secara kualitatif dengan menggunakan trianggulasi terhadap informan penelitian dan pihak-pihak yang dianggap dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Penelitian ini mengungkapkan beberapa beberapa hal yaitu, pola migrasi yang dilakukan oleh pekerja migran dari Kepulauan Riau, Penyebab Pemilihan terjadinya mobilitas secara mandiri dan sirkuler serta jaringan sosial yang terjadi di kalangan pekerja perempuan serta bagaimana jaringan sosial terbangun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, mobilitas pekerja perempuan dari kepulauan Riau terjadi karena adanya berbagai dukungan secara internal maupun eksternal baik dari dalam negeri dan luar negeri diantaranya adalah karena adanya jaringan sosial yang dibentuk oleh pekerja migran itu sendiri serta hubungan kekerabatan yang telah ada sejak lama. Selain itu juga bahwa jaringan sosial yang terjadi dikalangan pekerja Perempuan secara sirkuler dan mandiri terjadi karena adanya jaringan yang telah dibangun pada masa sebelumnya diantaranya karena persahabatan serta karena pernah bekerja di negara tersebut.
  • Item
    PERUBAHAN SOSIAL KOTA SAWAHLUNTO: DARI KOTA TAMBANG BATUBARA MENJADI KOTA WISATA TAMBANG BERBUDAYA DI SUMATERA BARAT
    (2021-06-09) DELMIRA SYAFRINI; Yogi Suprayogi Sugandi; Muhamad Fadhil Nurdin
    Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan sosial kota tambang batubara menjadi kota wisata tambang yang berbudaya di Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat Indonesia. Permasalahan ini menarik, karena Sawahlunto adalah satu dari sedikit kota tambang di dunia yang berhasil bangkit dari ancaman kematian kota, pasca berakhirnya industri pertambangan batubara dengan mengubah visi pengembangan kota menjadi kota wisata tambang yang berbudaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, FGD, observasi partisipasi, dan teknik dokumentasi. Pemilihan informan ditentukan dengan teknik purposive sampling, dengan mewawancarai 46 orang informan dari berbagai tingkatan status sosial, etnis, jenis kelamin dan usia. Analisis data menggunakan empat tahap analisis yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Temuan dalam penelitian ini dianalisis menggunakan teori-teori praktik sosial, terutama teori strukturasi dan agensi dari Antonie Giddens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan Sawahlunto menjadi kota wisata tambang yang berbudaya terjadi melalui tiga proses penting, yaitu pertama, proses legitimasi yang mencakup perubahan visi kota yang diikuti oleh terbentuknya berbagai tata aturan yang dilembagakan sebagai landasan bagi tindakan dalam mewujudkan perubahan. Kedua, proses dominasi yang meliputi penguasaan, pemanfaatan dan optimalisasi atas sumber daya, serta ketiga proses signifikansi yang meliputi perubahan branding dan citra sebagai penanda atas perubahan identitas Kota Sawahlunto menjadi kota wisata tambang yang berbudaya. Hal ini juga berdampak pada perubahan berbagai dimensi kehidupan sosial budaya masyarakat Sawahlunto, yang meliputi dua dimensi perubahan yaitu dimensi kultural dan dimensi struktural. Dimensi kultural meliputi perubahan pada fungsi dan eksistensi kebudayaan, tumbuh dan berkembangnya berbagai komunitas sebagai media integrasi sosial antar masyarakat yang multietnis, perubahan habitus masyarakat, serta perubahan citra dan identitas kota. Sementara perubahan pada dimensi struktural meliputi perubahan pada struktur mata pencaharian, status dan peran dalam masyarakat, perubahan sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat, perubahan struktur dominasi dalam masyarakat serta perubahan pemanfaatan ruang kota yang ditandai dengan terbentuknya ruang-ruang sosial di Kota Sawahlunto. Dalam waktu 15 tahun Sawahlunto telah bertransformasi menjadi kota wisata tambang yang diperhitungkan di Indonesia, bahkan sejak Juli 2019 warisan pertambangan batubara Sawahlunto telah ditetapkan menjadi Warisan Dunia UNESCO kategori situs budaya. Perubahan yang relatif cepat ini terjadi karena tiga faktor pendukung yaitu innovative leader sebagai aktor penggerak perubahan, struktur sosial warisan pertambangan sebagai sumber daya perubahan, serta dukungan masyarakat yang terbuka terhadap perubahan.
  • Item
    KONSTRUKSI SOSIAL PERILAKU PELAJAR MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI PURWAKARTA (Pelaksanaan 7 Poe Atikan Istimewa di SDN Ciwangi)
    (2021-06-10) SRI SUHARTINI; Wahju Gunawan; Bintarsih Sekarningrum
    ABSTRAK Penelitian bertujuan menganalisis konstruksi sosial perilaku pelajar melalui pendidikan karakter 7 Poe Atikan Istimewa di Purwakarta. Penelitian mengungkapkan konstruksi sosial perilaku pelajar di Purwakarta melalui pendidikan karakter berbasis budaya lokal yang merupakan program pemerintah daerah dalam rangka penguatan pendidikan karakter yang telah dicanangkan pemerintah pusat. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan studi dokumen. Wawancara dilakukan terhadap 30 orang informan. Analisis data menggunakan empat tahap analisis; pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian dianalisis menggunakan teori konstruksi sosial, pendidikan karakter dan kearifan lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi sosial perilaku pelajar melalui pendidikan karakter di Purwakarta mengalami proses dialektis yaitu: 1) eksternalisasi, penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia dimana dalam proses eksternalisasi ini melahirkan opini dan sikap pelajar terhadap program pendidikan karakter. Habituasi yang dilakukan oleh pelajar sebagai proses penyesuaian diri terhadap peraturan yang baru; 2) objektivasi yaitu interaksi dalam dunia intersubjektif yang mengalami institusionalisasi melahirkan pola perilaku pelajar. Nilai-nilai karakter sudah terlegitimasi pada pelajar dimana pelajar sudah menyadari bahwa nilai-nilai karakter yang dibangun pada program 7 Poe Atikan Istimewa merupakan hal baik yang terus dilakukan tanpa diperintah; 3) internalisasi yaitu melekatnya nilai-nilai karakter secara utuh bahkan telah menyatu pada dirinya yang memiliki identitas sebagai pelajar Purwakarta berkarakter. Kesimpulan dari penelitian ini adalah konstruksi sosial perilaku pelajar diperkuat dengan intervensi pendidikan karakter 7 Poe Atikan Istimewa sehingga tumbuh kebiasaan-kebiasaan baik serta penanaman nilai budaya lokal kepada pelajar, yang mendorong terjadinya perilaku pelajar berkarakter Istimewa yaitu memiliki rasa nasionalisme, berwawasan global, melestarikan budaya lokal (sunda), kreatif, religius dan cinta terhadap keluarga. Kata kunci : konstruksi sosial, perilaku pelajar, pendidikan karakter, kearifan lokal
  • Item
    Membangun Kolaborasi dalam Usaha Perikanan Napoleon wrasse yang Berkelanjutan di Kepulauan Anambas
    (2023-01-14) SITI ARIETA; R. Widya Setiabudi Sumadinata; Yudi Nurul Ihsan
    Napoleon wrasse telah menjadi hidangan mewah yang sangat dicari di Hong Kong dan Cina daratan, mengintensifkan permintaan pasar tanpa mengindahkan ancaman kepunahannya. Penangkapan ikan yang berlebihan telah menjadi penyebab utama degradasi populasi dari spesies ini. Oleh karena itu, pengelolaan kolaboratif sebagai bentuk kemitraan antara pengelolaan berbasis negara dan berbasis masyarakat yang bertujuan untuk menghindari kepunahan Napoleon wrasse menjadi semakin penting untuk diteliti. Studi ini mengeksplorasi praktek ekspor dan pembesaran ikan Napoleon di Kepulauan Anambas, Indonesia. Konsep co-management yang dipadukan dengan habitus, modal, dan arena dari Bourdieu digunakan untuk mengelaborasi pembentukan co-management. Metodologi campuran diterapkan, dimana pendekatan kualitatif dan kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui hubungan aktor dalam dinamika perikanan Napoleon wrasse serta mengukur korelasi antar variabel penelitian. Temuan penelitian menunjukkan bahwa konsep dikotomi tidak dapat menjelaskan pembentukan kelas ketiga dalam perikanan Napoleon wrasse. Kelas ini merupakan hasil pendampingan Pemerintah kepada desa-desa pesisir yang terlibat pada perikanan Napoleon wrasse, khususnya yang tinggal berdekatan dengan nursery grounds. Pendampingan yang dilakukan ialah penyadartahuan nilai-nilai berkelanjutan serta peningkatan kapasitas, seperti perlindungan spasial dan restorasi terumbu karang untuk wisata bahari, dimana aktivitas ini mengurangi tekanan pada penangkapan larva. Namun kelas baru ini tidak memiliki posisi dalam kerangka konseptual yang dikemukakan oleh Bourdieu. Oleh karena itu, kritik terhadap dikotomi kelas telah membawa pandangan yang lebih luas, dimana kolaborasi dipandang sebagai kelas penghubung baru antara pemerintah dan tauke. Terakhir, kolaborasi menunjukkan berkurangnya pengaruh tauke dan meningkatnya kekuasaan Pemerintah. Pergeseran pandangan filosofis dari realisme ke konstruktivisme mengarah pada 3 model aksi yaitu integrasi nilai-nilai berkelanjutan, pengelolaan bersama, dan pengembangan wisata selam Napoleon yang dikelola berbasis masyarakat.
  • Item
    Fungsi Sosial Tarian Tradisional Kedidi Di Kabupaten Bangka Barat
    (2020-10-08) M. ADHA AL KODRI; Elis Suryani Nani Sumarlina; Bintarsih Sekarningrum
    Tari Kedidi dinilai harus mampu mempertahankan eksistensinya di tengah terpaan budaya modern. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan fungsi sosial tari Kedidi melalui dampak fungsional dan disfungsional. Secara umum, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif melalui pendekatan etnografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara fungsional, perubahan fungsi berdampak pada tarian, yakni pengakuan pemerintah daerah sebagai tari khas daerah. Pada tahun 2014, tari Kedidi sebagai warisan budaya tak benda. Hadirnya perubahan fungsi juga berdampak pada keuntungan ekonomi dan manfaat sosial bagi masyarakat. Secara disfungsional, perubahan fungsi berdampak terjadinya pengaburan identitas tarian, politisasi seni, hingga terjadinya perubahan tarian yang bersifat substantif menjadi formalitas belaka. Perubahan fungsi juga menyebabkan terjadinya adaptasi sosial dalam masyarakat, yakni konformitas dan retreatisme. Melalui kajian ini dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan dalam menjaga eksistensi tari Kedidi dengan melakukan kompromi sosial dan peran sosial. Strategi kompromi sosial ditunjukkan dengan fakta bahwa telah dilakukannya proses akulturasi dan inkulturasi tari Kedidi melalui proses dialog. Sedangkan upaya yang dilakukan melalui peran sosial ditunjukkan melalui fakta bahwa perubahan fungsi sosial tari Kedidi menyatukan seluruh elemen masyarakat.
  • Item
    HEGEMONI POLITIK ELITE BANGSAWAN DALAM PENYELENGGARAAN BIROKRASI PEMERINTAHAN DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH
    (2022-09-05) ABDUL LATIF; Yogi Suprayogi Sugandi; Arry Bainus
    Studi ini berbicara tentang hegemoni politik elite bangsawan Sasak dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan di Kabupaten Lombok Tengah. Dalam penelitian ini dijabarkan tentang bagaimana pola, media, serta implikasi dari hegemoni politik elite bangsawan Sasak dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilakukan di lingkungan pemerintahan Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pola, media hegemoni politik yang digunakan elite bangsawan dalam menjaga status dan identitasnya dalam struktur kekuasaan politik di birokrasi pemerintahan Kabupaten Lombok Tengah, dan bagaimana implikasi politik dari praktek hegemoni yang dilakukan oleh elite bangsawan terhadap kebebasan demokrasi lokal di Kabupaten Lombok Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Adapun teori utama yang digunakan untuk menganalisis bagaimana prakatik hegemoni politik elite bangsawan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Lombok Tengah adalah teori hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hegemoni politik yang dipraktikan oleh elite bangsawan dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan di Kabupaten Lombok Tengah, hal ini ditunjukan dengan keberadaan elite politik dalam jajaran birokrasi di semua level kepemimpinan yang ada di pemerintahan Kabupaten Lombok Tengah. Pada umumnya posisi elite bangsawan di jajaran pemerintahan Kabupaten Lombok Tengah, memperkuat status dan kedudukannya dengan memanfaatkan keberadaan organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, dan lembaga adat. Praktik hegemoni elite bangsawan di dalam pemerintahan berimplikasi negatif pada struktur birokrasi pemerintahan yang dikuasai oleh mayoritas golongan bangsawan, hal demikian mempersempit peluang dan kesempatan golongan non-bangsawan untuk mengisi jajaran birokrasi pemerintahan.
  • Item
    PEMBANGUNAN PERKEBUNAN SAWIT DI JAMBI (Studi tentang Konsekuensi terhadap Komunitas yang Berbeda)
    (2023-05-14) PAHMI; Rini Susetyawati Soemarwoto; Johan Iskandar
    Deforestasi yang disebabkan oleh ekspansi perkebunan sawit membawa konsekuensi terhadap aspek biofisik maupun aspek sosial-ekonomi terhadap masyarakat sekitarnya. Konsekuensi sosial-ekonomi pada satu pihak dapat memberikan kesejahteraan dan kemampuan untuk bertahan hidup, baik dengan pola mandiri kerjasama maupun pemanfaatan kerja di perkebunan sawit, namun di pihak lain dapat menyebabkan kelompok masyarakat tertentu kehilangan sumber penghidupan. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan konsekuensi sosial-ekonomi ekspansi perkebunan sawit di Provinsi Jambi terhadap empat komunitas setempat, yaitu komunitas Suku Anak Dalam Nomaden, komunitas Suku Anak Dalam Menetap, komunitas Melayu dan Komunitas Transmigran Jawa. Penelitian ini menggunakan metode gabungan (mixed-methods) kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu (concurrent design). Konsekuensi dari pembangunan perkebunan sawit terhadap 4 komunitas yang dikaji dalam penelitian ini meliputi 7 aspek yakni; 1) Mata pencarian hidup; 2) Kepemilikan; 3) Akses terhadap sumber daya alam; 4) Konflik; 5) Pengetahuan lokal; 6) Organisasi; 7) Akses terhadap perkebunan sawit. Beberapa langkah dilakukan dalam penelitian ini. Pertama, pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif secara bersamaan dalam satu waktu. Kedua, mengintegrasikan database untuk saling melengkapi dan melihat apakah ada konvergensi, perbedaan-perbedaan, atau kombinasi; Ketiga, pencampuran (mixing) yang dilakukan pada tahap interpretasi dan pembahasan, pencampuran tersebut dengan meleburkan dua data penelitian menjadi satu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan sawit memberikan konsekuensi berbanding terbalik pada keempat komunitas yang dipelajari. Komunitas SAD terpengaruh secara negatif lebih besar daripada komunitas Melayu dan Transmigran Jawa. Sebaliknya, kedua komunitas yang terakhir mendapat manfaat positif yang lebih besar daripada komunitas pertama. Komunitas Suku Anak Dalam yang hidup berburu, meramu dan menggantungkan hidupnya pada ekosistem hutan telah kehilangan ruang hidup, sumber penghidupan, kepemilikan, pengetahuan lokal dan bahkan identitas. Sementara Komunitas Melayu dan Transmigran Jawa yang memiliki sistem penghidupan berbasis pertanian menetap, mampu menangkap dan memanfaatkan peluang ekonomi yang terbuka seiring dengan berlangsungnya ekspansi perkebunan sawit.
  • Item
    Resiliensi Sosial Komunitas Petani Menghadapi Perubahan Iklim (Studi Kasus di Desa Nunuk, Kabupaten Indramayu)
    (2022-08-11) ICA WULANSARI; Oekan Soekotjo Abdoellah; Parikesit
    Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan resiliensi sosial petani menghadapi perubahan iklim. Permasalahan penelitian substansial karena petani tidak dapat melakukan adaptasi menghadapi perubahan iklim. Metode penelitian campuran dengan pengumpulan data melalui focus group interview, wawancara mendalam, observasi partisipasi, dan kuesioner. Penelitian diawali melalui pengambilan data kualitatif melalui teknik purposive sampling dengan mewawancarai 28 orang informan. Kemudian, pengambilan data metode kuantitatif menggunakan kuesioner dengan jumlah sampel sebanyak 296 orang responden petani. Analisis data kualitatif menggunakan empat tahap analisis yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Sedangkan, analisis data kuantitatif menggunakan indeks Skor SFACI (Smallholder Farmers` Adaptive Capacity Index). Selanjutnya, temuan dalam penelitian ini dianalisis menggunakan komponen paradigma fakta sosial dan teori kapital sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas adaptif petani berada pada kategori rendah karena sumber daya ekonomi dan akses pengetahuan pada kategori rendah. Petani tidak melakukan adaptasi menghadapi dampak perubahan iklim karena pilihan tindakan coping petani berdasarkan sistem pertanian yang dirancang tidak berkelanjutan sehingga tidak menambah kapasitas petani. Sedangkan, variabel kapital sosial dalam penilaian kapasitas adaptif petani berada pada kategori sedang. Indikasi berfungsinya kapital sosial petani ditandai oleh jaringan bonding petani berhasil mempertahankan mekanisme adaptasi kolektif yang telah berlangsung sejak tahun 1998. Mekanisme ini menghadapi tantangan karena jaringan bonding petani perlu merumuskan norma baru untuk meningkatkan partisipasi petani. Mekanisme adaptasi kolektif petani berupa hasil musyawarah penentuan waktu tanam padi didukung oleh gabungan daya yang dimiliki oleh jaringan bonding, bridging, dan linking petani.
  • Item
    PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS TINDAKAN KOMUNIKATIF KELOMPOK LOKAL DI DESA LEMBU KABUPATEN SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH
    (2019-10-16) ANTIK TRI SUSANTI; Haryo Suhardi Martodirdjo; Budhi Gunawan
    ABSTRAK Paradigma pemberdayaan selalu mengedepankan partisipasi masyarakat sebagai sumber daya utama. Pendekatan partisipasi tidak hanya sekedar pelibatan, namun merupakan cara agar pembangunan mengarah pada memperbesar kuasa kepada masyarakat. Namun demikian seringkali terjadi praktek manipulasi partisipasi. Hal itu terjadi karena kooptasi kekuasaan. Untuk itulah diperlukan bentuk partisipasi yang lain, yakni tindakan komunikatif. Tindakan komunikatif adalah komunikasi rasional dengan menekankan aspek otonomi. Penelitian ini membahas proses tindakan komunikatif kelompok Barik Lana dalam pemberdayaan masyarakat di Desa Lembu, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang. Tujuan penelitian ini ingin mengetahui (1) bagaimana pross kelompok lokal memiliki otonomi dan kapasitas tindakan komunikatif (2) bagaimana tindakan komunikatif kelompok lokal (3) apakah tindakan komunikatif kelompok lokal menghasilkan pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, serta dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dimilikinya kemandirian dan kapasitas tindakan komunikatif kelompok Barik Lana berkat tindakan komunikatif pendampingan LSM. Tindakan komunikatif kelompok dalam musrenbangdes tidak berhasil karena yang terjadi adalah tindakan strategis elit desa, dimana elit desa berada pada posisi mendominasi keputusan. Dengan demikian kelompok Barik Lana tidak bisa menjadi penyeimbang pemerintah, yang bisa dimaknai pula sebagai gagalnya tumbuh civil society di aras desa. Meskipun kelompok Barik Lana tidak bisa memperoleh sumberdaya dari desa namun melalui tindakan strategis, bisa memperoleh berbagai bantuan yang bermanfaaat bagi pemberdayaan masyarakat. Penemuan penelitian ini memadukan tindakan komunikatif Habermas dan teori arena Pierre Bourdieu. Keduanya memiliki posisi epistimologis yang sama, melengkapi sisi kerjasama dan persaingan agen. Secara empirik kapasitas tindakan komunikatif Habermas merupakan modal dalam teori Pierre Bourdieu. Dalam konteks pemberdayaan diperoleh dalam peningkatan kapasitas. Dimilikinya kapasitas tindakan komunikatif maupun modal akan memberi kemampuan bersaing maupun melakukan kerjasama dalam arena mengakses sumberdaya. Dalam penelitian ini membuat model 3 K : Kuasa Komunikasi, Kuasa dan Kapital, keterkaitan ketiganya dimana semakin tinggi kuantitas dan kualitasnya akan menghasilkan pemberdayaan yang semakin besar pula.
  • Item
    PERILAKU MAKAN PADA KELUARGA MISKIN (Kasus Di Desa Cimenyan Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung)
    (2022-07-19) HAJIR BAHRUN MAULA; Bintarsih Sekarningrum; Opan Suhendi Suwartapradja
    Perilaku makan berhubungan dengan ketersediaan bahan makanan. Akar masalah perilaku makan yaitu kemampuan daya beli keluarga terhadap bahan makanan yang rendah, bahan makanan yang hendak di konsumsi dalam keluarga menjadi terbatas, disebabkan kemiskinan. Penelitian ini untuk mengetahui perilaku makan pada keluarga miskin (kasus di Desa Cimenyan Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung). Metode penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian adalah kualitatif dengan teknik penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, studi dokumentasi, materi dan audio visual seperti: foto, halaman utama situs web, email, pesan teks media sosial atau segala bentuk suara, metode recall 1x24 jam dan metode antropometri. Informan penelitian dipilih secara purposive adalah tokoh masyarakat Desa Cimenyan, tokoh agama Desa Cimenyan, pihak Dinas Kabupaten Bandung, dan tenaga kesehatan Puskesmas Cimenyan, ditentukan berdasarkan kebutuhan informasi dari key person atau opinion leader, sedangkan, penentuan informan keluarga miskin di Desa Cimenyan sebanyak 8 keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa perilaku makan yaitu: tata krama makan, frekuensi makan, pola makan, kesukaan makan dan pemilihan makanan, sebagian besar dapat dikategorikan baik. Berdasarkan metode food recall 1x24 jam sehari, selama seminggu umumnya jenis makanan yang di konsumsi beragam atau bervariasi dan melalui metode antropometri sebagian besar status gizi individu baik atau normal. Karakteristik keluarga miskin, umumnya pendidikan individu tergolong rendah, sebagian besar pekerjaan tidak tetap, sebagian besar pendapatan terbatas, dan terdapat rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku makan pada keluarga miskin di Desa Cimenyan dipengaruhi perilaku sehat atau perilaku kesehatan yaitu: (1) faktor predisposisi (predisposing factors) sebagian besar mempunyai pengetahuan: tentang gizi, tentang makanan sehat, tentang makanan tidak sehat, (2) faktor pendorong (reinforcing factors) umumnya mendapat dukungan: keluarga, pemerintah Desa, tokoh masyarakat, dan petugas kesehatan, (3) faktor pendukung (enabling factors) umumnya bahan makanan tersedia dengan jumlah terbatas, adanya bantuan pangan non tunai, adanya sumber air bersih, adanya bahan bakar untuk memasak, penerangan rumah umumnya menggunakan listrik dari PLN, adanya Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Keluarga Sejahtera, adanya sosialisasi kesehatan, adanya penanganan gizi buruk, adanya kenderaan umum sepeda motor ojek, adanya pemanfaatan pekarangan rumah, adanya kenderaan mobil operasional milik Desa Cimenyan, adanya sarana dan prasarana kesehatan seperti: Posyandu, Puskesmas dan lainya, adanya sarana dan prasarana pendidikan yaitu: Sekolah PAUD, SD dan SLTP, Kantor pemerintahan Kecamatan Cimenyan, dan tempat wisata. Untuk faktor pendukung (enabling factors) yang belum tersedia yaitu: kenderaan mobil Angkutan Umum Pedesaan, tempat pengolahan sampah cerdas organik, Sekolah Menengah Umum dan Unirversitas atau Perguruan Tinggi.
  • Item
    MEMBANGUN JARINGAN KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENCEGAHAN DINI KONFLIK SOSIAL DI KOTA BEKASI
    (2021-12-20) ANDI SOPANDI; Budhi Gunawan; Yogi Suprayogi Sugandi
    Penelitian ini membahas berkisar pada gagasan Membangun Jaringan Kelembagaan dalam Sistem Pencegahan Dini Konflik Sosial di Kota Bekasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengkaji pola jaringan kelembagaan sistem Pencegahan dini konflik sosial (termasuk namun tidak terbatas pada konflik pembangunan rumah ibadah, konflik alam primordial, dan konflik akibat kepentingan ekonomi) di perkotaan, khususnya di Kota Bekasi, menurut tiga pilar kelembagaan yang dikemukakan Scott (2001), yaitu regulatif, normatif, dan kognitif-kultural; (2) menganalisis beberapa aspek yang mempengaruhi terbentuknya jaringan kelembagaan tersebut di perkotaan; dan (3) untuk menggambarkan model dan strategi untuk membangun jaringan kelembagaan tersebut di atas. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yang analisisnya bersifat deskriptif. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus ganda dengan mengkaji struktur perangkat yang diberikan oleh informan terkait Pencegahan dini konflik sosial (melibatkan beberapa unsur seperti Forum Konsultasi dan Koordinasi antar pimpinan daerah, Instansi Perangkat Daerah, maupun organisasi non-pemerintah). Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipan, wawancara mendalam (Indepth-Intervieuw), dan diskusi kelompok terfokus (FGD). Sedangkan untuk analisis data, digunakan metode triangulasi, yang mencakup berbagai informan dan data yang diambil dari dokumen dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa proposisi dan hipotesis dijelaskan di bawah ini. Pembentukan jaringan kelembagaan dalam sistem Pencegahan dini konflik sosial dipengaruhi oleh pilar regulatif (mekanisme kelembagaan), pilar normatif (mekanisme sistem Pencegahan dini), dan pilar budaya-kognitif (kapasitas masyarakat). Namun, ketiga pilar tersebut harus didukung oleh pilar lain yang berpengaruh. Tiga pilar kelembagaan yang dikemukakan oleh Scott (2001), yaitu (1) Regulatif; (2) Normatif; dan (3) Budaya-Kognitif, tidak cukup untuk memelihara jaringan kelembagaan dalam sistem Pencegahan dini konflik sosial di perkotaan, tanpa diperkuat oleh tiga pilar lainnya. Mereka adalah: (4) Inovatif; (5) Aktor (sebagai agen perubahan); dan (6) Partisipasi Masyarakat. Namun, untuk meningkatkan kinerja keenam pilar tersebut, beberapa prasyarat harus dipenuhi. Mereka termasuk: (a) adanya struktur peraturan yang kuat dan sumber daya yang solid; (b) adanya mekanisme dan prinsip dasar sistem Pencegahan dini; (c) adanya identifikasi konflik dan pemetaan sosial berdasarkan karakteristik wilayah perkotaan; (d) pengembangan jaringan kelembagaan menetapkan struktur sampai batas tertentu. Selain itu, sebagai payung dalam membangun suatu sistem kelembagaan, disarankan bahwa persyaratannya meliputi: 1) membangun mekanisme kelembagaan yang menunjukkan sistem sosial yang terstruktur, terutama ciri-ciri yang terlembaga, membentang melintasi ruang dan waktu; dan 2) penguatan sumber daya, yaitu faktor-faktor prinsip yang terlibat dalam penyelarasan lembaga publik atau tipe keseluruhan. Untuk membangun dan meningkatkan kapasitas jaringan kelembagaan dalam sistem Pencegahan dini konflik sosial di perkotaan, harus dilakukan 5 (lima) langkah. Diantaranya: (a) penerapan prinsip-prinsip dasar Pencegahan dini konflik sosial di perkotaan; (b) mengenali kewilayahan dan kemungkinan terjadinya konflik sosial melalui pemetaan sosial, baik struktur wilayah perkotaan maupun jenis konflik sosialnya; (c) mengelola program pencegahan konflik; (d) menerapkan Struktur Perangkat Jaringan Kelembagaan melalui 5 (lima) pilar, yaitu: 1) Regulatif; 2) normatif; 3) Budaya-Kognitif; 4) Inovasi; 5) Partisipasi Masyarakat; dan 6) Aktor; dan, terakhir, (e) melaksanakan strategi aksi jaringan kelembagaan dalam sistem Pencegahan dini konflik sosial di perkotaan.
  • Item
    ADAPTASI KOMUNITAS BATAK TOBA DENGAN LINGKUNGAN (Studi Kasus di Danau Toba Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir)
    (2020-02-17) ULUNG NAPITU; Budi Rajab; Opan Suhendi Suwartapradja
    Kondisi Danau Toba di Kecamatan Simanindo pada tahun 1960-an masih terpelihara kelestariannya, ditandai dengan kehidupan keberagaman flora dan fauna yang berkembang dengan baik. Sekitar tahun 1970-an hingga saat ini kondisi tersebut mengalami perubahan drastis akibat eksploitasi sumber daya alam yang melampaui daya dukung lingkungan, membawa dampak terjadinya degradasi lingkungan Danau Toba. Untuk mempertahankan hidupnya, komunitas Batak Toba melaksanakan adaptasi terhadap kondisi lingkungan Danau Toba yang telah berubah dengan melaksanakan berbagai aktivitas. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengkaji faktor-faktor yang berhubungan dengan adaptasi, wujud adaptasi, dan strategi yang ditempuh untuk mengatasi kerusakan lingkungan Danau Toba. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah mengenai adaptasi, degradasi nilai sosial budaya, disfungsi kearifan tradisional, aktivitas penduduk lokal, pemanfaatan sumber daya alam, strategi adaptasi dan strategi mengatasi kerusakan lingkungan Danau Toba. Data sekunder diperoleh melalui analisis berbagai sumber tertulis dan karya ilmiah. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap informan dan observasi terhadap berbagai aktivitas penduduk lokal disekitar Danau Toba. Temuan penelitian menunjukkan adaptasi komunitas Batak Toba terhadap Danau Toba sesuai dengan kondisi lingkungan Danau Toba yang telah berubah saat ini dengan menggunakan penemuan baru dan tidak berpedoman pada kearifan tradisional, menyebabkan kerusakan lingkungan. Wujud adaptasi komunitas Batak Toba terhadap Danau Toba, terdiri dari: aktivitas penduduk lokal, pemanfaatan sumber daya alam yang eksploitatif melampaui daya dukung lingkungan, intensifikasi pertanian, penebangan hutan, reklamasi pantai, perubahan kepemilikan tanah surutan, dan disfungsinya sebagian besar kearifan tradisional.
  • Item
    PARTISIPASI MASYARAKAT SUKU MPUR DALAM PENDIDIKAN NONFORMAL DI DISTRIK KEBAR KABUPATEN TAMBRAUW PROVINSI PAPUA BARAT
    (2020-02-10) TONCI ASIMI; Mumun Munandar Sulaeman; Budhi Gunawan
    Pokok permasalahan utama dalam penelitian ini adalah tentang partisipasi masyarakat Suku Mpur dalam pendidikan nonformal di Distrik Kebar Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat, dengan kondisi geografis yang begitu luas sehingga diperlukan strategi-strategi tertentu dalam rangka mengoptimalisasi fungsi-fungsi pemerintahan daerah khususnya dalam hal kebijakan layanan publik bidang pendidikan nonformal Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Arefet yang berkualitas di wilayah pedalaman Distrik Kebar. Kondisi geografis yang sangat luas, dapat menyebabkan belum adanya keberpihakan pemerintah daerah dalam hal implementasi kebijakan terhadap pentingnya pendidikan nonformal, masih minimnya sarana transportasi, sarana prasarana pendidikan, kurangnya fasilitas komunikasi dan informasi. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis bagaimana partisipasi masyarakat Suku Mpur dalam pendidikan nonformal dan untuk menganalisis apa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif kuantitatif (mix method) dengan strategi eksploratoris sekuensial kualitatif/kuantitatif pada tahap pertama peneliti mengumpulkan dan menganalisis data kualitatif kemudian mengumpulkan data kuantitatif dan menganalisisnya pada tahap kedua yang didasarkan pada hasil tahap pertama. Bobot utama pada strategi ini adalah pada data kualitatif. Sedangkan teknik analisis menggunakan model analisis interaktif reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing/verification). Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat Suku Mpur dalam pendidikan nonformal dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor sarana prasarana, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, akses informasi komunikasi dan geografis. Faktor-faktor dominan yang paling mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pendidikan nonformal adalah faktor mata pencaharian. Dimana mayoritas masyarakat Suku Mpur yang berada di wilayah Distrik Kebar adalah bertani atau berladang dengan cara bercocok tanam dengan sistem berpindah-pindah tempat/lahan. Berburu, meramu sagu, menangkap ikan dan beternak babi merupakan mata pencaharian tambahan (sampingan). Dengan mata pencaharian bertani ini dapat membuat mereka tidak mempunyai waktu luang untuk ikut terlibat atau berpartisipasi dalam pendidikan nonformal. Waktu yang dibutuhkan mereka hanya untuk berkebun/berladang dari pagi hingga sore. Sedangkan faktor budaya, kebijakan (stakeholder) daerah Kabupaten Tambrauw, pemerintahan distrik dan pemerintah kampung (desa), tokoh adat (kepala suku) dan tokoh gereja serta Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) lainnya termasuk faktor eksternal, yang sama-sama turut berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat.