Ilmu Antropologi (S2)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Antropologi (S2) by Title
Now showing 1 - 20 of 24
Results Per Page
Sort Options
Item Gender dan Adaptasi Antar Budaya di Keluarga Perkawinan Campur (Studi Kasus pada Keluarga Perkawinan Campur Laki-laki Tionghoa dan Perempuan Sunda di Kelurahan Cibadak, Bandung, Jawa Barat)(2015-09-04) CHANG XIAOZHU; Prihatini Ambaretnan; Selly RiawantiABSTRAK Tesis ini, adalah tentang Gender dan Adaptasi Antarbudaya di Keluarga Perkawinan Campur sebuah Studi Kasus pada Keluarga Perkawinan Campur Laki-laki Tionghoa dan Perempuan Sunda. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami kondisi gender dan adaptasi antarbudaya para anggota dalam keluarga perkawinan yang kedua orang tuanya memiliki perbedaan latar belakang etnis dan budaya. Melalui penelitian ini, penulis ingin memahami bagaimana anggota dalam keluarga perkawinan campur dapat beradaptasi antara dua macam latar belakang kebudayaan dalam keluarga dan dalam masyarakat yang lebih luas dari perspektif Antropologi. Kemudian, penulis juga ingin mempelajari peran gender antara anggota keluarga perempuan dan laki-laki, untuk menjelaskan bagaimana pengaruh budaya yang berbeda mempengaruhi peran tersebut dalam kehidupan keluarga. Perkawinan campur antara laki-laki Sunda dan perempuan Tionghoa jarang terjadi, bahkan dalam studi area tidak ditemukan, karena perempuan Tionghoa harus menikah dengan laki-laki yang kelas ekonominya lebih tinggi dan pernikahan yang telah diatur oleh keluarga. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Data diperoleh melalui observasi non-partisipatif dan wawancara mendalam yang dilakukan di lapangan terhadap tujuh belas informan. Dari hasil penelitian terungkap bahwa: 1) perkawinan campur yang berada di Kelurahan Cibadak, kebanyakan antara laki-laki Tionghoa keturunan kedua atau ketiga dengan perempuan Sunda; 2) adaptasi antarbudaya dalam keluarga perkawinan campur paling tampak pada masalah pendidikan anak-anak; 3) pengaruh kebudayaan untuk anggota-anggota keluarga perkawinan campur berbeda-beda, yang paling kuat adalah pengaruh dari kebudayaan Sunda; 4) identitas etnis anggota keluarga perkawinan campur dipengaruhi oleh latar belakang agama. Hal ini terlihat dari suami Tionghoa yang semula beragama Kristen, memilih beragama Islam dan anak-anaknya juga mengikuti agama kedua orang tuanya yaitu Islam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa identitas etnis Sunda lebih dominan daripada identitas etnis Tionghoa. Sebaliknya terjadi pada yang memilih memeluk agama Kristen, pada keluarga ini, identitas etnis Tionghoa lebih kuat daripada identitas etnis Sunda.Item HUBUNGAN ANTARETNIK PADA MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI KOTA KECAMATAN HAURGEULIS KABUPATEN INDRAMAYU - JAWA BARAT(2015-11-19) SUCIYADI RAMDHANI; Haryo Suhardi Martodirdjo; Selly RiawantiTesis ini mengkaji hubungan antaretnik pada masyarakat multikultural di kota Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Hubungan-hubungan antaretnik dilihat sebagai hasil dari konstruksi sosial para pelaku yang aktif menginternalisasi dan mengeksternalisasi etnisitas. Penelitian ini didesain dengan metode kualitatif. Metode ini melibatkan peneliti dalam pengalaman secara langsung dengan informan di lapangan, serta desain pengumpulan data yang memberikan ruang lebih bagi informan. Informan dipilih melalui purposeful sampling dengan unit analisis warga masyarakat Kecamatan Haurgeulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antaretnik yang harmonis pada masyarakat di Haurgeulis merupakan hubungan yang terbentuk karena adanya kesadaran historis kedatangan penduduknya, yang terdiri dari dari empat golongan etnik yaitu Jawa, Sunda, Arab, dan Tionghoa di awal abad 20. Pengalaman hidup bersama diinternalisasi sampai di tingkat individu dan menjadi sikap umum, yaitu tidak membedakan kategori tuan rumah dan pendatang di antara golongan-golongan etnik di Haurgeulis. Setiap golongan etnik memiliki keahlian-keahlian pekerjaan yang mengikat hubungan antaretnik, seperti jenis pekerjaan pertanian yang mayoritas diisi oleh keturunan Jawa dan Sunda, serta perdagangan oleh keturunan Arab dan Tionghoa. Adanya spesialisasi yang umum pada masing-masing golongan etnik tersebut, membentuk hubungan antaretnik di Haurgeulis menjadi saling bergantung dalam kehidupan ekonominya. Dengan saling ketergantungan itu, masyarakat di Haurgeulis membiasakan diri untuk menunjukkan sikap toleran dan tidak diskriminatif terhadap liyannya, sehingga sekalipun ada konflik antarindividu yang berbeda sukubangsa, dapat diredam dengan cepat dan tidak meluas menjadi konflik komunal. Dengan demikian, pengalaman hidup yang dilalui seseorang dalam masyarakat multikultural akan menghasilkan individu-individu yang multikulturalis.Item Hubungan Antaretnis di Kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta(2015-11-10) RISMA DEWI AMANAH; Prihatini Ambaretnan; Selly RiawantiTujuan penelitian ini adalah untuk memahami makna identitas etnis dalam hubungan antaretnis di Kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengan, Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan lingkungan kebudayaan dan hipotesa kebudayaan dominan. Lingkungan kebudayaan menekankan pada arena interaksi di mana batasan etnis dapat dikuatkan dan dileburkan, tergantung pada tujuan interaksi. Hipotesa kebudayaan dominan menekankan adanya suatu kebudayaan yang digunakan sebagai rujukan dalam berinteraksi di tempat umum. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data adalah observasi nonpartisipan dan wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini adalah pejabat lokal, pengurus dan anggota setiap paguyuban etnis, dan sebagian warga masyarakat Sosromenduran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) warga pendatang mengadopsi kebudayaan Jawa yang dominan di Yogyakarta, sebagai upaya adaptasi dengan penduduk asli. 2) meski mengadopsi kebudayaan Jawa, warga pendatang masih mempertahankan simbol identitas etnis mereka, dan mempertegas identitas melalui kelompok sosial berdasarkan etnis. 3) batas yang digunakan untuk menentukan identitas etnis seseorang, adalah dengan melihat ciri fisik, asal-usul, dan stereotip. 4) orang Jawa memaknai identitas etnis sebagai modal politik, orang Minang memaknai identitas etnis sebagai modal ekonomi, perkawinan, politik, dan pendidikan, orang Batak dan orang Tionghoa memaknai identitas etnis sebagai modal ekonomi dan perkawinan. 5) perwujudan etnisitas terjadi dalam kegiatan yang eksklusif etnis, seperti ulaon, kenduri, dan pertemuan rutin kelompok sosial berdasarkan etnis, dan dalam kegiatan yang inklusif etnis seperti ruwahan, arisan, perayaan imlek, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, pemerintahan kelurahan Sosromenduran, dan dalam rapat RT/RW dan PKK.Item Identitas Budaya Wong Pati (Studi Etnografi Pada Masyarakat Desa Bakaran, Kecamatan Juwana Kabupaten Pati Jawa Tengah)(2018-05-01) RAHMAN LATIF ALFIAN; Budiawati Supangkat; Budhi GunawanTesis ini membahas mengenai identitas budaya pada wong Pati. Pembahasan mengenai identitas budaya ini didasarkan karena sebagai entitas yang cair dan dinamik, kebudayaan pada masa kini dan mendatang semakin rentan berubah karena kebudayaan selalu bergerak, bertranformasi, dan megalami perubahan. Penyebab utamanya adalah proses globalisasi, dalam hal ini adalah proses komunikasi antar manusia yang semakin intensif sebagai akibat dari semakin majunya ekonomi dan teknologi. Komunikasi antar manusia yang semakin intensif inilah, kemudian membuat identitas budaya relevan untuk diteliti karena pada dasarnya identitas mempunyai sifat relasional di mana identitas diciptakan, dipertahankan, dan ditransformasikan melalui interaksi dan hubungan antara mereka yang didefinisikan sebagai “kita” dan orang lain yang didefinisikan sebagai “mereka”. Metode penelitian yang digunakan adalah metode etnografi karena penelitian ini berusaha mengungkap makna suatu tindakan dari sudut pandang pemangku kebudayaan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumen. Hasil dari penelitian ini adalah seperti kebudayaan yang tanpa akhir dan terus dalam representasi pemangkunya, identitas budaya juga mempunyai sifat seperti itu. Identitas budaya Pati pada masa sekarang bukanlah hasil akhir yang tidak akan mengalami perubahan lagi. Pada kenyataannya identitas budaya selalu bergerak sesuai representasi wong Pati. Meskipun demikian pergerakan tersebut bukan bersifat degradatif melainkan saling tumpang tindih antar satu budaya dengan budaya lainnya. Identitas budaya yang menguat merupakan implikasi dari memori atau ingatan masyarakat tentang kisah dan nilai baik pemangku budaya tersebut. Memori tersebut kemudian dibalut sedemikian ruma menggunakan berbagai praktik, yang lama kelamaan mereka jiwai dan tampilkan terhadap orang maupun kelompok lain.Item IDENTITAS ETNIS ORANG TUGU DI JAKARTA(2019-07-08) RISA NOPIANTI; Budi Rajab; Selly RiawantiPenelitian ini dilakukan untuk melihat identitas etnis Orang Tugu sebagai sebuah komunitas keturunan Portugis yang telah hadir dan berdiaspora di Kampung Tugu sejak tahun 1661. Orang Tugu di Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, merupakan sebuah komunitas keturunan Portugis yang memiliki akar sejarah dan budaya kreol campuran, oleh karenanya keberadaan mereka di tengah masyarakat saat ini semakin samar, namun mereka tetap bertahan dengan terus melestarikan kebudayaan serta identitas etnis yang dimilikinya. Beberapa teori dan konsep digunakan sebagai kerangka berfikir dalam merumuskan analisa dari hasil-hasil temuan lapangan, seperti konsep mengenai kebudayaan dominan dan minoritas, identitas etnis, interaksi antar etnis, akulturasi dan batas etnis. Konsep teori ini kemudian diramu dan menghasilkan sebuah kerangka berfikir mengenai identitas etnis Orang Tugu yang secara umum dapat dilihat dari dua perspektif yaitu melalui penanda etnis dan interaksi sosial. Keberadaan penanda etnis merupakan perwujudan kasat mata dari identitas etnis Orang Tugu, sedangkan interaksi sosial baik itu dilakukan secara eksternal maupun internal merupakan wujud abstraknya. Keduanya sangat berpengaruh terhadap adanya pengakuan dan pendakuan indentitas etnis Orang Tugu. Pendakuan terhadap identitas Orang Tugu sebagai kelompok minoritas berasal dari dalam kelompoknya sendiri melalui penanda-penanda etnis yang dimiliki seperti Orang Tugu Keristen, bermain musik keroncong, dan berbahasa Betawi. Adapun pengakuan terhadap identitas Orang Tugu berasal dari kelompok lain yang terbagi kedalam dua tipe yaitu generalized others dan significant. Kepada kelompok generalized others Orang Tugu cenderung menyembunyikan indentitasnya, sedangkan pada kelompok significant mereka lebih menunjukkan identitasnya, khususnya melalui keroncong sebagai simbol identitas mereka. Metode kualitatif dengan pendekatan etnografi dan extended case method, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dan menganalisa data. Pengamatan dan wawancara mengenai identitas etnis Orang Tugu dilakukan pada dua kelompok utama yaitu Orang Tugu dan kelompok lain di luar Tugu. Mereka yang termasuk ke dalam kelompok lain di luar Tugu adalah tetangga Betawi, jemaat gereja, kelompok pemerhati, penanggap keroncong, dan pemerintah daerah setempat. Narasumber dari kelompok Orang Tugu dipilih untuk melihat bagaimana Orang Tugu mendaku status identitas etnis mereka sebagai komunitas keturunan Portugis yang memiliki identitas berbeda dari kelompok lainnya, sedangkan kelompok di luar Tugu digunakan untuk menggali informasi mengenai adanya pengakuan dari kelompok lain terhadap identitas etnis Orang Tugu, yang syarat dengan nilai-nilai sejarah dan budaya untuk dilestarikan. Data penelitian menjelaskan bahwa identitas etnis Orang Tugu diwujudkan melalui penanda etnis dan interaksi sosial. Beberapa penanda etnis tersebut di antaranya, musik keroncong, sistem kekerabatan, bahasa, Gereja Tugu, organisasi sosial IKBT, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka. Adapun identitas etnis dalam wujud interaksi sosial dilakukan secara internal dengan sesama komunitasnya, dan secara eksternal dengan kelompok-kelompok lain. Interaksi sosial Orang Tugu dengan kelompok-kelompok lain di luar Tugu yang dilakukan untuk mendapatkan pengakuan status identitas etnis, akhirnya memunculkan dua peran kelompok, yaitu sebagai kelompok yang dianggap penting (significant others), dan kelompok umum lainnya (generalized others). Interaksi sosial yang dilakukan dengan kelompok significant others yang memiliki ciri formal, kaku dan terbatas didasari oleh adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang sifatnya saling menguntungkan di antara mereka, sehingga Orang Tugu lebih menonjolkan identitas mereka sebagai cara untuk memperoleh pengakuan identitas etnisnya. Sebaliknya pada kelompok generalized others, sebagai kelompok yang dikategorikan Orang Tugu memiliki keterikatan hubungan sosial yang cukup akrab, informal dan fleksibel, mereka cenderung lebih menyesuaikan dengan budaya kelompok lain tersebut sebagai upaya untuk mempertahankan kehidupan komunitas mereka dalam lingkungannya.Item Interaksi di antara Penduduk Lokal dengan Wisatawan Timur Tengah(2019-07-22) AMINAH AGUSTINAH; Junardi Harahap; Selly RiawantiKawasan Pariwisata Cipanas Puncak terkenal dengan keindahan alam dan menjadi destinasi wisata bagi wisatawan yang berasal dari Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Qatar dan sebagainya. Adanya hubungan saling mempengaruhi antara wisatawan dan penduduk lokal, termasuk ada pengaruh kuat dari wisatawan Timur Tengah dalam hal infrastruktur, ekonomi, sosial dan budaya di Kawasan Cipanas Puncak, membuat pro-kontra di masyarakat dalam mempertahankan wisatawan Timur Tengah di Kawasan Cipanas Puncak. Oleh karena itu, muncullah beberapa pertanyaan tentang bagaimana praktik interaksi antara wisatawan Timur Tengah dengan penduduk lokal dalam konteks pariwisata dan siapa yang lebih banyak mendapatkan manfaat dari praktik tersebut. Tesis ini menggunakan kerangka teori praktik, bahwa praktik manusia dibentuk oleh sistem dan struktur di tempat hidupnya. Setiap aktor, dalam studi ini adalah penduduk lokal dan wisatawan Timur Tengah akan dipengaruhi oleh sistem dan struktur kuasa yang melekat pada dirinya, dan sistem atau struktur pariwisata yang menghubungkan mereka. Tidak selamanya individu akan bertindak mengikuti strukturnya, karena kekuasaan bersifat merembes pada set (ubiquitous), kiap aspek sosial, sehingga struktur kekuasaan juga mampu ditembus atau dilawan. Maka ada kemungkinan muncullah praktik individu-individu yang keluar dari struktur dan menunjukkan agensinya. Berdasarkan temuan penelitian, ada beberapa kategori sosial dalam pariwisata di Kawasan Cipanas Puncak. Mereka adalah penduduk lokal, wisatawan Timur Tengah, pendatang-pendatang dari luar Kawasan Cipanas Puncak yang mencari nafkah dari pariwisata, dan pemerintah. Secara umum, gaya wisata yang dipilih oleh wisatawan Timur Tengah memang berbeda dengan wisatawan lainnya di Kawasan Cipanas Puncak. Wisatawan Timur Tengah lebih suka mencari fasilitas dan hiburan yang sesuai dengan budayanya. Penduduk lokal menyesuaikan keinginan dan kebutuhan wisatawan Timur Tengah secara khusus, dan menyediakan makanan, minuman, tempat tinggal, dan hiburan yang sesuai, termasuk praktik prostitusi dan pernikahan dengan penduduk lokal. Relasi kuasa yang terjadi antara penduduk lokal dan wisatawan Timur Tengah bisa dikatakan asimetris, yaitu lebih ditentukan oleh kebutuhan wisatawan Timur Tengah. Namun, ada juga agensi dari penduduk lokal untuk keluar dari kekuasaan tersebut, seperti kasus-kasus penduduk lokal yang menuntut hak mereka, dan kemampuan memanfaatkan wisatawan Timur tengah untuk mendukung bisnis sosial seperti yayasan. Jadi, meskipun ada dominasi dalam interaksi ini, tetapi dapat ditembus oleh beberapa agensi. Kata Kunci : Penduduk lokal, Wisatawan Timur Tengah, Praktik, Interaksi, DominasiItem Kosmologi dan Konservasi Alam pada Dayak Tamambaloh di Desa Saujung Giling Manik - Kecamatan Embaloh Hulu - Kabupaten Kapuas Hulu - Kalimantan Barat(2014-10-10) EFRIANI; Judistira K. Garna; Budhi GunawanKosmologi merupakan kebudayaan kognitif, hasil interaksi dan adaptasi manusia dengan lingkungan alam, digunakan sebagai alat adaptasi. Kosmologi ini membentuk pengetahuan ekologi tradisional yang bernilai konservatif. Dalam karya ini telah dikaji kosmologi dan konservasi pada Dayak Tamambaloh di Desa Saujung Giling Manik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kosmologi tersebut diamati dan dipelajari melalui mitologi, ritual-ritual serta penggunaan dan pemaknaan simbol alam dalam keseharian Dayak Tamambaloh. Tujuan dari kajian ini ialah untuk menemukan peran kosmologi Dayak Tamambaloh sebagai media konservasi alam di Kecamatan Embaloh Hulu. Kajian ini, dikupas menggunakan metode Ekologi Budaya yang salah satu kajiannya tentang hubungan manusia dan lingkungannya, Materialisme Kebudayaan yang salah satu kajiannya tentang unsur materi yang membentuk gagasan, serta Interaksi Sistem Sosial dengan Ekosistem yang salah satu kajiannya tentang interaksi dan adaptasi manusia (sosial) dengan alam (ekosistem). Kajian ini didesain dengan metode gabungan kualitatif dan kuantitatif. Dirancang dalam model pendekatan desain dua tahap (sekuensial). Tahap pertama yang dilakukan ialah penelitian dengan pendekatan kualitatif yang kemudian diperkuat dengan pendekatan kuantitatif. Kajian ini menunjukkan bahwa kosmologi pada Dayak Tamambaloh tidak sama dengan filsafat alam (filsafat metafisika) namun lebih tepat disebut sebagai etika semesta (filsafat normatif). Kosmologi Dayak Tamambaloh memandang semesta dibentuk oleh 3 unsur yakni manusia, alam dan supranatural yang berinteraksi membentuk keteraturan dan keharmonisan. Di dalam semesta, manusia merupakan bagian dari semesta yang kedudukannya setara dengan alam, sedangkan supranatural merupakan kekuatan yang transenden. Alam dipandang memiliki kehidupan dan sebagai hunian supranatural, karenanya pemanfaatan alam wajib melalui berbagai ritual. Alam juga digunakan sebagai simbol yang memberi pertanda bagi manusia. Alam dihargai dan diperlakukan secara beradat, tindakan yang tidak beradat terhadap alam akan mendatangkan bahaya, kecelakaan bahkan kahancuran dan kematian. Sebesar 51% kosmologi dipahami oleh anggota komunitas Dayak Tamambaloh, sedangkan tingkat konservasi 35%. Dalam peranannya sebagai media konservasi, kosmologi berpengaruh kuat dan positif sebesar 62.88% terhadap konservasi Dayak Tamambaloh. Artinya, apabila pemahaman kosmologi tinggi, maka konservasi akan tinggi. Tingkat konservasi yang hanya sebesar 35%, sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar kosmologi. Faktor-faktor tersebut ialah, inovasi teknologi, demografi, kualitas dan kuantitas alam, kemiskinan, pembangunan infrastuktur dan berbagi alasan ekonomi, yang berpengaruh rendah negatif sebesar 16,97% terhadap tindakan konservasi. Artinya apabila faktor-faktor tersebut meningkat, maka konservasi akan menurun.Item KUASA PEREMPUAN BURUH INDUSTRI BULU MATA PALSU (Kajian Etnografi di Desa Pasunggingan, Kecamatan Pengadegan, Kabupaten Purbalingga-Jawa Tengah)(2017-10-17) NURLAILI KHIKMAWATI; Opan Suhendi Suwartapradja; Budiawati SupangkatTesis ini mengenai perempuan buruh industri bulu mata palsu dan kuasanya di dalam ruang pabrik, domestik, dan sosial. Sampai saat ini, kajian tentang perempuan buruh tetap menarik karena peran domestik yang melekat membuat perempuan memiliki peran ganda yang berbeda dengan buruh laki-laki. Selain itu, penempatan perempuan dalam wilayah domestik membuat “buruh” menjadi pekerjaan yang invisible karena diperhitungkan sebagai kerja sampingan dan tidak selalu dihitung secara statistik. Penelitian tentang perempuan dalam keluarga dan industri juga menjadi kajian yang menarik karena keluarga dan pabrik merupakan dua tempat aktualisasi diri perempuan yang saling mempengaruhi. Penelitian ini membatasi pengertian kuasa sebagai kemampuan perempuan dalam melakukan sesuatu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Etnografi ini menggali data melalui observasi partispatif dan wawancara mendalam terhadap empat keluarga perempuan buruh di Desa Pasunggingan, Purbalingga. Data penelitian kemudian dianalisis menggunakan Analisis Gender Model Harvard yang secara khusus melihat pembagian kerja di dalam keluarga, akses dan kontrol perempuan terhadap barang berharga dan proses pengambilan keputusan. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa masuknya pabrik bulu mata palsu dalam kehidupan masyarakat Pasunggingan membawa perubahan pada pola hidup masyarakatnya, khususnya perempuan buruh dan keluarganya. Pabrik menarik perempuan dari pertanian dan perantauan melalui tawaran sistem kerja tanpa seleksi dan upah yang rutin. Pabrik bulu mata palsu kemudian menjadi ruang perempuan membangun jaringan sosial dan ekonomi. Dampaknya, modal sosial dan ekonomi yang perempuan bangun dari pabrik menjadi modal perempuan dalam membangun kekuatan di wilayah domestik. Hal lain yang terjadi pada pola hidup masyarakat Pasunggingan setelah perempuan masuk ke dalam pabrik adalah terbukanya rumah tangga ke dalam ruang yang lebih luas. Perempuan menjalankan fungsi reproduksi dengan melibatkan orang lain di luar anggota rumah tangga dengan membawa pekerjaan domestik ke dalam pabrik. Perempuan juga melibatkan orang lain di luar keluarga dalam menjalankan fungsi keluarga khususnya fungsi pendidikan dan sosialisasi kepada anak. Hal ini terjadi karena nilai budaya dan agama masyarakat melekatkan pekerjaan domestik sebagai tanggung jawab perempuan (perempuan tidak dapat menarik laki-laki ke dalam wilayah domestik). Selain itu, penghasilan perempuan dari pabrik menempatkan perempuan sebagai penopang ekonomi keluarga dan menempatkan perempuan dalam posisi yang penting pada setiap pengambilan keputusan di dalam keluarga. Penghasilan perempuan dari pabrik juga membuat perempuan memiliki kemampuan membayar dana sosial dalam kegiatan sosial masyarakat sehingga esksitensi keluarga dalam lingkup sosial dapat terjaga.Item MASYARAKAT PETANI MADURA PASCA PEMBANGUNAN JEMBATAN SURAMADU (Studi Kasus di Desa Pangpong, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan-Madura)(2017-08-25) MAHMUD; Oekan Soekotjo Abdoellah; Budiawati SupangkatTesis ini mengkaji tentang Petani Madura pasca pembangunan Jembatan Suramadu di Desa Pangpong, Kecamatan Labang Kabupaten Bangkalan-Madura, yang kajiannya terfokus pada aspek perubahan sosial dan ekonomi masyarakat petani. Fenomena alih fungsi lahan dari pertanian menuju industri nyatanya menimbulkan dampak sosial dan ekonomi khususnya bagi warga yang berprofesi sebagai petani. Penelitian ini didesain dengan metode kualitatif. Metode ini melibatkan peneliti dalam pengalaman secara langsung dengan informan di lapangan, serta desain pengumpulan data yang memberikan ruang lebih bagi informan. Informan dipilih melalui purposeful sampling dengan unit analisis warga masyarakat Desa Pangpong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan Jembatan Suramadu merupakan wujud dari basis produksi infrastuktur yang melibatkan banyak pemangku kepentingan, menyebabkan adanya perubahan sosial-ekonomi masyarakatnya. Kondisi infrastruktur di wilayah Desa Pangpong yang awalnya sebagian besar adalah lahan pertanian, dialihfungsikan untuk pembangunan industri melalui jalur pembebasan lahan. Kehidupan sebagai petani yang lingkungannya tidak lepas dari lahan pertanian, sebagian besar secara fisik berubah menjadi area akses Jembatan Suramadu dan perencanaan pembangunan industri. Adanya perubahan infrastruktur tersebut, nyatanya berdampak pada perubahan sosial-ekonomi masyarakat Desa Pangpong, yang pada akhirnya merubah orientasi nilai masyarakatnya. Hal itu pula yang dapat merubah perilaku sosial warga masyarakat Desa Pangpong karena lingkup produksi warga masyarakatnya berubah, dan akan terus direproduksi sehingga perubahan tersebut menjadi lebih tampak dan umum.Item MITOS RAMBUT GEMBEL SEBAGAI IDENTITAS MASYARAKAT DATARAN TINGGI DIENG(2017-09-11) ALFIAN FEBRIYANTO; Budhi Gunawan; Selly RiawantiTesis ini mengkaji mitos rambut gembel sebagai pembentuk identitas masyarakat dataran tinggi Dieng. Mitos rambut gembel dilihat terkait dengan pembentukan identitas di tengah terjadinya komodifikasi budaya. Tujuan dari tesis ini untuk mengetahui pada aras mana identitas paling kuat terjadi. Selanjutnya, untuk mengamati terjadinya komodifikasi budaya. Kajian ini menggunakan konsep etnogenesis yang menggambarkan mitos sebagai pembentuk identitas budaya, serta konsep komodifikasi budaya yang menunjukkan budaya dapat dijadikan sebagai komoditas. Penelitian ini menggunakan strategi penelitian etnografi. Unit analisis dalam penelitian ini ialah masyarakat dataran tinggi Dieng sebagai pemilik mitos rambut gembel (aras mikro), Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) (aras meso), dan pemerintah (aras makro). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses mitos rambut gembel menjadi identitas masyarakat dataran tinggi Dieng tidak dibentuk di aras mikro karena tidak semua keluarga setuju menyertakan anaknya pada upacara ruwat rambut gembel secara masal. Pada aras meso, kepentingan menyertakan keluarga anak rambut gembel pada pembentukan identitas masyarakat dataran tinggi Dieng didasarkan pada peningkatan ekonomi masyarakat Dieng melalui pariwisata. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) berperan menghubungkan antara pemerintah dengan individu, keluarga anak rambut gembel, wisatawan, serta orang-orang di luar komunitas Dieng melalui pelaksanaan upacara ruwat rambut gembel secara masal. Pada aras makro, peranan pemerintah adalah memberi legitimasi formal pada mitos rambut gembel sebagai identitas masyarakat dataran tinggi Dieng. Mitos rambut gembel kemudian dikomodifikasi melalui upacara ruwat rambut gembel secara masal yang menjadi puncak acara Dieng Culture Festival sebagai komoditas pariwisata. Penelitian menyimpulkan bahwa pembentukan identitas masyarakat dataran tinggi Dieng melalui mitos rambut gembel, paling kuat terjadi pada aras meso. Akan tetapi, jika pada aras mikro tidak didorong untuk mengakui mitos rambut gembel sebagai bagian dari identitas mereka maka hal itu tidak akan terjadi. Selain itu, jika pada aras makro tidak melakukan inisiatif untuk menjadikannya sebagai identitas maka tidak akan dikomodifikasi. Komodifikasi mitos rambut gembel dianggap mampu melestarikan budaya sambil memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dataran tinggi Dieng. Namun, kesakralan, keaslian, dan maknanya memudar seiring dengan permintaan pasar.Item PEMANFAATAN REMITANSI EKONOMI DAN SOSIAL DI KALANGAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN (STUDI KASUS: DESA PENGGALANG DAN WELAHAN WETAN, KECAMATAN ADIPALA, KABUPATEN CILACAP, PROPINSI JAWA TENGAH))(2016-03-17) LAILA OCTAVIANI; Prihatini Ambaretnan; BinahayatiPenelitian ini mengkaji Pemanfaatan Remitansi Ekonomi dan Sosial Di Kalangan BMP Setelah Kembali Ke Daerah Asal, di Desa Penggalang dan Welahan Wetan, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap dengan berangkat dari permasalahan kajian Livelihood Strategies yakni para BMP ke luar negeri suatu upaya bertahan, ketidakmampuan kepala keluarga dalam mencari nafkah. Namun konstruksi sosial tentang stereotip gender (antara laki-laki dan perempuan) melekat kuat di berbagai institusi, menjadi semacam keharusan yang tidak boleh berubah, dan menjadi rancu tentang pengertian kodratnya sehingga mempengaruhi peran mereka. Bahkan sekembalinya mereka ke daerah asal dipandang negatif, hanya sebagai mantan PLRT, tidak memiliki keistimewaan apa-apa, padahal mereka menyimpan potensi besar jika diberdayakan. Mengingat selain remitansi ekonomi yang diperolehnya, mereka memperoleh pula bentuk remitansi sosial yang dapat menjadi sarana pemberdayaan di keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Maka rumusan masalahnya, yaitu 1) Bagaimana posisi para BMP terhadap struktur keluarga dan masyarakat setelah kembali ke daerah asal? 2) Bagaimana pemanfaatan remitansi ekonomi dan sosial para BMP yang diperolehnya setelah kembali ke daerah asal? Oleh karena itu, tujuan penelitian ini yaitu menjelaskan posisi para BMP terhadap struktur keluarga dan masyarakat setelah kembali ke daerah asal dan melihat sejauhmana para BMP memanfaatkan remitansi ekonomi dan sosial yang diperolehnya setelah kembali ke daerah asal dengan menganalisa dan menerapkan teori Bourdieu, yaitu Praktik. Metode penelitian ini menggunakan metode (kualitatif) etnografi dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam, observasi partisipasi dan studi dokumentasi kepada seluruh informan yang berhubungan dengan pemanfaatan remitansi ekonomi dan sosial di Desa Penggalang dan Welahan Wetan, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. Temuan penelitian menunjukkan bahwa posisi para BMP setelah kembali ke daerah asalnya sudah mengalami pergeseran dalam relasi gender, meskipun sifatnya masih temporal dan spatial. Posisi tawar menawar (antara perempuan dan laki-laki) dalam akses pengelolaan sumberdaya keluarga dan kegiatan di luar rumah. Pandangan masyarakat mulai bergeser, pengalaman para BMP membawa perubahan yaitu menjadi lebih berani dalam mengambil keputusan secara relatif independen dan dapat memilih kegiatan sosial yang bermanfaat. Pemanfaatan remitansi ekonomi dan sosial yang diperoleh para BMP setelah kembali ke daerah asal, yaitu remitansi ekonomi digunakan untuk investasi, konsumsi dan kegiatan sosial, tidak serta merta dapat merubah status sosial mereka dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan remitansi sosial (struktur normatif, sistem praktik, dan kapital sosial) yang diperolehnya membuat mereka sadar dalam meningkatkan kapasitasnya melalui pengetahuan, pendidikan, keterampilan, dan organisasi. Diwujudkan dalam bentuk kemampuannya untuk memberdayakan dirinya, baik secara individu maupun kelompok. Salah satunya: program pemberdayaan BMP dan keluarganya di daerah asal dengan pembentukan FWBM. Kata Kunci: Praktik, Pemanfaatan Remitansi Ekonomi dan Sosial, MemberdayakanItem PENGELOLAAN HUTAN KOLABORATIF DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM HULU: DUA DEKADE PELAKSANAAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(2022-09-13) INAS YAUMI AISHARYA; Budhi Gunawan; Oekan Soekotjo AbdoellahUpaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, mulai bermunculan di berbagai negara sejak tahun 1970-1980an sebagai tanggapan atas meningkatnya deforestasi dan degradasi hutan, Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji performa PHBM di Desa Lebak Muncang dan menguji pelibatan masyarakat di dalamnya menggunakan beberapa parameter utama adalah konservasi hutan, resiliensi institusi, serta keberlanjutan sosial. Penelitian ini bersifat deskriptif terhadap sistem pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan secara kualitatif menggambarkan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat. Hasil penelitian ini amtara lain program PHBM membawa masyarakat kepada peningkatan kesejahteraan ekonomi serta kepastian mata pencaharian. Dengan terlibatnya masyarakat di dalam pengelolaan hutan dengan sistem agroforestri, masyarakat juga turut serta dalam konservasi hutan dengan indikator bertambahnya tegakan hutan dan berkurangnya perambahan hutan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Program PHBM telah berhasil dalam menjaga konservasi hutan dengan pelibatan masyarakat atas adanya peningkatan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, resiliensi institusi, serta keberlanjutan sosial sesuai dengan konsep co-management di mana merupakan jalan tengah atau jembatan antara sistem yang dikelola oleh pemerintah, dengan sistem pada tataran lokal. Penelitian ini merupakan penelitian komprehensif dari berbagai aspek dalam pengelolaan hutan, sehingga dalam penelitian ini tidak dibahas secara detil bagaimana masing-masing aspek dapat memenuhi konsep keberlanjutan. Selain itu, perlu juga diteliti lebih lanjut bagaimana keberlanjutan pengelolaan hutan bersama masyarakat di masa yang akan datang, terutama berkaitan dengan petani generasi penerus, kepemilikan lahan, serta kebijakan kehutanan.Item PERAN MANDOR DALAM PEREKRUTAN TENAGA KERJA KONTRAK DI PERKEBUNAN SAWIT PT. BUMI PRATAMA KHATULISTIWA (STUDI KASUS PEKERJA KONTRAK DI PT. BUMI PRATAMA KHATULISTIWA KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG)(2023-07-14) MUHAMMAD SA'ID; Rina Hermawati; Junardi HarahapHadirnya industri perkebunan sawit PT. Bumi Pratama Khatulistiwa di Kecamatan Sungai Ambawang telah berkontribuasi terhadap terbukanya kesempatan kerja hingga pertumbuhan ekonomi masyarakat. Disamping itu, banyaknya jumlah angkatan kerja yang sedang mencari kerja telah membuat kesempatan kerja tersebut terlihat sempit dan terbatas yang direkrut oleh mandor. Sehingga pekerja memerlukan modal tertentu dalam rangka mendapatkan kesempatan kerja terebut, misalnya modal sosial, budaya, ekonomi, hingga simbolik. Tujuan penelitian ini ialah menggali lebih dalam bagaimana cara pekerja mendapatkan akses untuk dapat diterima sebagai pekerja kontrak dan mengeksplorasi bagaimana peran mandor dalam proses perekrutan tenaga kerja. Kemudian metode dalam penelitian ini ialah metode kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam upaya mendapatkan kesempatan kerja di PT. BPK, pekerja dominan menggunakan modal sosial, dan simbolik untuk dapat diterima dan direktut oleh mandor. Selain itu, mandor juga melakukan penjaringan untuk merekrut pekerja, dimana terdapat kriteria khusus yaitu keberpihakan modal sosial (kerabat) yang akan direkrut sebagai pekerja di PT. BPK.Item PERCERAIAN PADA ETNIK MELAYU DI KOTA PONTIANAK KALIMANTAN BARAT(2023-12-21) ARMIA RIZKI ADINDA; Dede Mulyanto; Budiawati SupangkatABSTRAK Dipilihnya etnik melayu sebagai unit analisis dalam mengkaji perceraian di Kota Pontianak, didasari bahwa etnik melayu memiliki populasi yang cukup besar dibandingkan dengan etnik lainnya yaitu mencapai 34,5 % dari total penduduk Kota Pontianak, dengan demikian diasumsikan bahwa etnik ini memiliki andil cukup besar mondongkrak peningkatan angka perceraian, disamping itu juga etnik/orang melayu merupakan etnik yang taat dan religius (beragama), memegang teguh adat dan budaya kemelayuan, serta memandang keluarga sebagai institusi penting dalam masyarakat. Jika ini benar merupakan fenomena yang menarik, untuk dikaji secara konkrit hubungan melayu yang identik Islam dengan tingginya angka perceraian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik, dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif analitik digunakan untuk menggambarkan status kelompok manusia yang sedang berlangsung. Pendekatan kualitatif menekankan pada prosedur penelitian dengan menggunakan data kualitatif dengan kajian etnografi. Kajian etnografi untuk memahami kehidupan masyarakat berdasarkan sudut pandang dari masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan hasil temuan dapat disimpulkan bahwa dalam proses peenyelesaian perkara gugatan perceraian pada etnik melayu/orang melayu di kota Pontianak, meskipun populasi cukup besar dan penduduk asli kota ini terkait masalah gugatan perceraian tidak dilakukan melalui musyawarah adat, tetapi dilakukan melalui proses Pengadilan Agama berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku yang mengatur masalah perceraian bagi yang beragama Islam masyarakat Indonesia. Selanjutnya persepsi perempuan melayu yang bercerai tentang perceraian, diperoleh cukup beraneka ragam dan tidak memandang perceraian sebuah kasus yang tabu dan memalukan tetapi sudah menganggap suatu perbuatan yang wajar dan lumrah sehingga berkembang berbagai macam persepsi erat kaitannya dengan latar belakang budaya dan pengalaman yang bersangkutan. Dalam pada itu alasan sebagai penyebab mengajukan gugat cerai juga sangat bervariasi, artinya sangat melekat dengan kondisi terkini yang dialami mereka setelah menikah, seperti yang dapat diidentifikasi antara lain masalah ekonomi, KDRT, perselingkuhan, terjadinya pertengkaran terus menerus dan perbedaan visi dan misi. Kata Kunci: Perceraian, Etnik, Melayu, PontianakItem PETANI, PENGHIDUPAN DAN KEKERABATAN (Studi Aspek Kekerabatan Pada Warga Kampung Palintang, Kabupaten Bandung)(2022-09-02) AGGE IBRATI SHABRINA SUHANDA; Budiawati Supangkat; Johan IskandarMasyarakat palintang yang bermukim di daerah pegunung, di Kampung Palintang, Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung tidak memiliki lahan pertanian, tetapi hanya menggarap lahan hutan PERHUTANI dan PT. Perkebunan Nusantara. Oleh karena itu, mereka dalam kehidupannya sangat sangat rentan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sistem budaya pertanian warga Kampung Palintang; dan mengkaji sistem kekerabatan menjadi strategi penghidupan warga Kampung Palintang untuk mengantisipasi terjadinya kerentanan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif secara etnografi, dengan teknik pengumpulan data lapangan dengan deep interview dengan informan yang dipilih secara purposive sampling, observasi lapangan, dan studi pustaka. Hasil penelitian menujukkan bahwa sebagai masyarakat pertanian, warga Palintang mempertahankan prinsip gotong royong dan kemandiri yang berdasarkan pada aspek kekerabatan. Dengan prinsip gotong royong, mereka saling membantu antara warga agar kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi. Sementara dengan prinsip kemandirian, setiap anggota keluarga diajarkan agar dapat berfikir rasional dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.Item Pola Gerakan Perempuan di Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringn(2018-10-26) AN NISAA YOVANI; Rini Susetyawati Soemarwoto; Budi RajabTesis ini membahas mengenai pola gerakan perempuan di pondok pesantren Babakan, Ciwaringin. Pembahasan mengenai pola gerakan perempuan di pondok pesantren ini didasarkan dari perkembangan maraknya gerakan perempuan yang memasuki pesantren. Hal ini dikarenakan bagi banyak aktivis perempuan/feminisme, pesantren merupakan kultur yang sangat patriarki sehingga perempuan selalu berada dalam keadaan subordinat. Penyebab maraknya anggota pesantren yang terjun kedalam wacana feminisme adalah para anggota-anggota pesantren yang melanjutkan studi keluar negri sehingga terpapar wacana-wacana feminisme. Bagi kelompok pesantren, feminisme masih dianggap sebagai wacana barat yang tidak cocok dengan kultur pesantren. Pada kenyataanya para Nyai-Nyai di pesantren mempunyai kesadaran dan cara tersendiri dalam mengintrepretasikan wacana-wacana yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi perempuan yang masuk ke dalam pesantren. Para Nyai dalam pesantren memahami betul peran mereka sebagai perempuan dan juga sebagai pemimpin di pesantren. Para Nyai tersebut juga mempunyai cara tersendiri dalam memahami kesetaraan gender menurut perspektif Islam dan pesantren.Item Pola Strategi Pedagang Pasar Tradisional dalam Mempertahankan Usahanya Pasa Relokasi (Studi Kasus para Pedagang di Pasar Warungkondang)(2023-10-14) SITI NURAENI; Budiawati Supangkat; Johan IskandarPasar tradisional masih menjadi bagian penting dalam kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Berbagai kebijakan terkait pasar telah banyak dilakukan salah satunya adalah relokasi. Pasar Warungkondang menjadi salah satu pasar relokasi yang memiliki dampak langsung kepada para aktor yang terlibat di pasar, khsususnya bagi para pedagang. Berbagai permasalahan yang timbul sebagai akibat dari adanya relokasi pasar adalah menurunnya tingkat pembeli dan adanya aktivitas pasar yang terjadi di dua lokasi, yaitu di lokasi pasar baru dan sekitar lokasi pasar lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola strategi para pedagang di Pasar Warungkondang dalam mempertahankan usahanya pasca relokasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Untuk pengumpulan data dilakukan dengan observasi, pengamatan terlibat, serta wawancara dengan para informan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar para pedagang di Pasar Warungkondang memanfaatkan modal sosial sebagai strategi yang digunakan untuk mempertahankan usahanya. Modal sosial sebagai strategi pedagang dalam penelitian ini digambarkan melalui unsur-unsur modal sosial di antaranya norma, kepercayaan dan jaringan sosial. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan strategi pedagang. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah kondisi sosial dan ekonomi pedagang, komoditas, dan tempat berdagang.Item RELASI SOSIAL PADA LANSIA (Studi Kasus Pada Perempuan Lanjut Usia di Desa Demuk, Kec. Pucanglaban, Kab. Tulungagung)(2019-04-08) RICHA MELIZA; Rini Susetyawati Soemarwoto; Budiawati SupangkatIndonesia sedang memasuki proses penuaan penduduk yang kedepannya akan mengalami perubahan struktur penduduk yang merupakan kasus menarik sekarang ini. Hal ini terkait dengan ada peningkatan jumlah penduduk lanjut usia yang sepanjang tahun akan terus meningkat pertumbuhannya serta akan berstruktur lanjut usia (Ageing Population), akibatnya tingkat kelahiran semakin sedikit dan usia kawin semakin meningkat. Penyebab lain adalah kesadaran pembatasan jumlah anak sehingga menurunnya tingkat kematian bayi serta adanya kesadaran kesehatan. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif pada perempuan lansia desa Demuk kecamatan Pucanglaban kabupaten Tulungagung dengan pengumpulan data menggunakan teknik observasi partisipasi dan wawancara mendalam dengan pendekatan “continuum of care and life cycle” sudut pandang dari peralihan siklus kehidupan para lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pembagian lansia dalam tiga kelompok yaitu disaat seseorang mempunyai cucu pertama dalam sebuah keluarga (usia ±50 tahun), usia 65 tahun dan usia 70 tahun. Para perempuan lanjut usia di desa Demuk yang berstatus janda secara keseluruhan terlihat mandiri, aktif setiap kegiatan desa, masih produktif, mempunyai pendapatan sendiri, masih bekerja, saling peduli antar sesama, berguna bagi orang lain, mempunyai jaminan sosial serta dihargai bukan dikasihani. Tetapi walaupun seperti itu, lansia tidak dapat dijauhkan dengan kebutuhan secara sosial yaitu membutuhkan relasi sosial atau jaringan sosial lain yang mempunyai hubungan timbal balik sesama keluarga, tetangga dan masyarakat atau sebaliknya keluarga, tetangga maupun masyarakat yang membutuhkan para lansia untuk menjadi tetua atau petuah yang memberikan masukan dan saran di desa. Para lansia untuk menyeimbangkan serta menjalani kehidupan membutuhkan relasi yang mendampingan masa hidupnya, baik itu dari keluarga, kerabat, tetangga maupun masyarakat dengan mempunyai taktik atau cara agar dapat selalu terjaga ikatan tersebut dengan melakukan aktivitas di dalam maupun luar rumah, seperti mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan di desa yang bertujuan untuk memperkuat hubungan silaturrahmi dan persaudaraan antar sesama. Sedangkan untuk memperkuat ikatan relasi antar keluarga, para lansia lebih memilih tetap bekerja untuk dapat menghasilkan uang supaya tidak menjadi beban anak maupun kerabat lainya, selalu aktif setiap acara reunian keluarga dan selain itu para lansia dapat menjaga cucu untuk meringankan beban anak yang bekerja diluar negeri maupun tidak. Dengan demikian lansia perempuan yang secara materi telah berkecukupan untuk kebutuhan rumah tangga dan keluarga tetapi masih juga membutuhkan relasi untuk keberlangsungan hidupnya.Item RELASI PATRONASE DAN PENGHIDUPAN PADA MASYARAKAT TANI DUSUN PASIGARAN KECAMATAN TANJUNGSARI SUMEDANG (STUDI KASUS PEMILIK LAHAN MASYARAKAT LOKAL DAN PEMILIK LAHAN ORANG LUAR/ GUNTAI DENGAN ORANG KEPER(2022-04-12) LUFFITA RIZKY; Budiawati Supangkat; Budi RajabKeberadaan relasi patronase sampai saat ini masih terjadi di berbagai kalangan masyarakat baik di perkotaan dan di pedesaan. Di pedesaan seperti di Pasigaran masyarakatnya dominan menggantungkan hidup pada sektor pertanian, membuat relasi patronase tidak pernah dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Ketimpangan kepemilikan sumber daya, seperti yang terjadi pada pemilik lahan dengan petani penggarap, telah membuka jalan relasi patronase sebagai strategi penghidupan bagi petani penggarap sebagai orang kepercayaan pemilik lahan. Tujuan penelitian ini, adalah untuk mengkaji relasi patronase sebagai strategi penghidupan orang kepercayaan pemilik lahan. Metode penelitian yang digunakan, metode etnografi yang bersifat kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, strategi penghidupan dilihat dalam konteks pemberian pekerjaan oleh pemilik lahan kepada orang kepercayaan pada bidang pertanian dan non pertanian yang memiliki beragam bentuk pekerjaan. Melalui hal tersebut, berpengaruh terhadap berbagai asepek penghidupan orang kepercayaan pemilik lahan.Item Resistensi Masyarakat di Kawasan Kelurahan Kampung Melayu Terhadap Wacana Normalisasi Kawasan Hilir Bantaran Sungai Ciliwung(2020-04-22) PRAMUDITA; Budhi Gunawan; Selly RiawantiABSTRAK Resistensi Masyarakat di Kelurahan Kampung Melayu Terhadap Kebijakan Normalisasi di Kawasan Hilir Bantaran Sungai Ciliwung Oleh Pramudita NPM.171220160501 Universitas Padjajaran Maraknya pemukiman liar di bantaran Sungai Ciliwung di kawasan Tanah Rendah, Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur menyebabkan kondisi bantaran sungai di kawasan tersebut semakin memprihatinkan. Hal tersebut melatarbelakangi rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan normalisasi sungai di kawasan tersebut. Namun wacana mengenai normalisasi ternyata tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat, hal tersebut menimbulkan resistensi pada masyarakat. Dalam penelitian dengan judul “Resistensi Masyarakat di Kelurahan Kampung Melayu Terhadap Kebijakan Normalisasi di Kawasan Hilir Bantaran Sungai Ciliwung“ ini, peneliti melihat bagaimana pola resistensi yang dijalankan oleh masyarakat di wilayah Tanah Rendah. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi ilmuwan yang akan melakukan penelitian dalam topik yang sama.Penelitian dilakukan di Kelurahan Kampung Melayu, Kotamadya Jakarta Timur selama tiga bulan dengan teknik penelitian berupa wawancara dengan berpedoman pada pedoman observasi dan wawancara. Wawancara dilakukan di dua Rukun Tetangga yang berada di bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Kampung Melayu, di kantor Kelurahan Kampung Melayu dan di kantor Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang pada penelitian ini adalah Pemerintah Kelurahan Kampung Melayu telah mengeluarkan himbauan kepada warga yang menempati lahan di bantaran Sungai untuk melaporkan luas tanah yang telah diukur oleh petugas dari Badan Pertanahan Nasional untuk kepentingan inventarisasi sebagai salah satu tahapan sebelum dilaksanakannya relokasi penduduk oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pola resistensi terhadap wacana normalisasi Sungai Ciliwung yang terjadi pada masyarakat di wilayah Tanah Rendah, Kelurahan Kampung Melayu merupakan resistensi tertutup, hal tersebut disebabkan oleh penolakan masyarakat hanya bersifat pasif. Selain itu masayarakat di kawasan tersebut cenderung menghindari bentrok dengan aparat pemerintah,danmencoba melawan nantinya pada saat tempat tinggal mereka digusur untuk kepentingan normalisasi.Hal tersebut peneliti simpulkan sebagai upaya masyarakat untuk menghindari konflik kepada aparat pemerintahan karena masyarakat di Tanah Rendah berkaca pada pengalaman bentrok antara aparat pemerintahan dan warga yang mempertahankan tempat tinggalnya pada normalisasi di Kampung Pulo yang lalu.