Ilmu Hukum (S1)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Hukum (S1) by Title
Now showing 1 - 20 of 590
Results Per Page
Sort Options
Item ABSTRAK STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO 477K/PDT.SUS/2012YANG MENERIMA KASASI EVERLAST WORLDS BOXING HEADQUARTERS CORP TENTANG SENGKETA MEREK DAGANG EVERLAST TERHADAP TEDDY TJAHYADI(2013-10-23) RIVANDI PRANATA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenSTUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 477K/PDT.SUS/2012YANG MENERIMA KASASI EVERLAST WORLD’S BOXING HEADQUARTERS CORPORATION TENTANG SENGKETA MEREK DAGANG EVERLAST TERHADAP TEDDY TJAHYADI Merek merupakan unsur penting untuk membedakan suatu produk dengan produk lainnya yang dimiliki oleh pelaku usaha yang berbeda. Meskipun telah dilindungi oleh undang-undang kasus merek tetap banyak terjadi, salah satu contohnya adalah kasus merek Everlast. Pada tahun 2012 Evelast World’s Boxing Headquarters Corporation selaku pemilik merek Everlast mengajukan gugatan terhadap Teddy Tjahyadi yang mendaftarkan merek Ever Last ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Adapun permasalahan yang akan diteliti adalah Putusan Mahkamah Agung yang dalam Putusannya menyatakan merek Everlast milik Evelast World’s Boxing Headquarters Corporation sebagai merek terkenal di hubungkan dengan UU No.15/2001Tentang Merek dan pertimbangan Putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan kasasi Pemohon Kasasi berdasarkan UU No.15/2001Tentang Merek. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang menggambarkan dan menganalisis ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 477K/Pdt.Sus/2012. Berdasarkan pembahasan yang telah Penulis teliti Everlast merupakan merek terkenal dan menurut Konvensi Paris, Pasal 2 WIPO tentang Joint Recommendation Corcerning Provisions on the Protection of Well Known Marks dan Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek merupakan merek terkenal yang seharusnya memiliki hak seperti menciptakan hak tunggal (sole or single rights), mewujudkan hak monopoli (monopoly rights), dan memberi hak paling unggul kepada pemilik merek (superior rights). Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 958K/Pdt.Sus/2010 memutuskan menerima kasasi Pemohon Kasasi seluruhannya dengan pertimbangan Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek sebagai Judex Juris adalah tepat. Selanjutnya, Mahkamah Agung tidak melampaui kewenangannya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Undang Undang No.5 Tahun 2004.Item AKIBAT HUKUM DARI PHK SEPIHAK SEBELUM BERAKHIR KONTRAK KERJA BAGI PEKERJA OUTSOURCING DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN(2012-10-24) KARISSA FIDELIA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAkibat kedudukan pekerja/buruh outsourcing yang lemah sehigga sering terancam PHK secara sepihak oleh perusahaan. Hal tersebut tentu akan menimbulkan kerugian bagi pekerja/buruh outsourcing terutama atas tidak terpenuhinya hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan dan tidak adanya jaminan perlindungan hukum atas keberlangsungan pekerjaan mereka. Karena sulitnya mencari pekerjaan, pekerja/buruh outsourcing harus menerima perlakuan tersebut yang seharusnya PHK sepihak ini tidak perlu terjadi, kecuali dikarenakan suatu hal yang mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian dari apa yang telah dilakukan pekerja/buruh outosuricng. Tujuan dari adanya penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban dari perusahaan yang melakukan PHK sepihak terhadap pekerja/buruh outsourcing dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan juga untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh outsourcing yang menerima PHK sepihak oleh perusahaan.Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan hukum ini adalah melalui pendekatan yuridis ormative dengan spesifikasi penelitian deskriptif analisis yaitu penelitian hukum yang mengutamakan penelitian kepustakaan dan menekankan pada tinjauan dari segi ilmu hukum dengan menggambarkaan, menelaah dan menganalisis fakta-fakta mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku dihubungkan dengan pelaksanaanya dalam praktik.Pertanggungjawaban yang diberikan perusahaan sebagai perusahaan penyedia jasa tenaga kerja akibat dari PHK sepihak tersebut adalah membayar ganti rugi kepada pekerja/buruh outsourcing sebesar upah yang harus dibayarkan oleh perusahaan sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh outsourcing yang menerima PHK sepihak apabila salah satu pihak wanprestasi dengan tidak mentaati Pasal 62 Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah melalui instrumen hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.Item ALASAN-ALASAN YURIDIS DALAM HAL PEMINDAHAN PERADILAN DALAM KASUS WALIKOTA SEMARANG NON-AKTIF SOEMARMO HADI SAPUTRO DIKAITKAN DENGAN PASAL 85 KUHAP DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KPK(2014-09-25) DEDEK SYAHPUTRA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenMayor Semarang Soemarmo Hadisaputra alleged to have committed the crime of gratification worth 260 million to legislators. Semarang city in the discussion of additional program income employees in the discussion of additional program income employees 2012 budget worth 100 billion dollars at the time of the trial will be conducted against the other defendants Semarang city in the discussion of additional program income employees in the discussion of additional program income employees 2012 budget worth 100 billion dollars at the time of the trial will be conducted against the other defendants. sekda Semarang Ahmad Zaenuri, in the same case as a demonstration supporting action Soemarmo, then the redeployment of non-active Mayor Semarang Soemarmo Hadisaputro of corruption court Semarang to Jakarta court corruption, Corruption eradication commission reasoned that the trial move with security reasons. therefore the court redeployment the Mayor Semarang , the problem arises whether the redeployment of judicial mayor semarang has met the requirements mandated by law.Item ALIH FUNGSI RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANDUNG DALAM PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN(2013-07-18) NAMIRA PUSPANDARI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenSebagai Ibukota Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung memiliki misi yang berkaitan langsung dengan penataan ruang yaitu meningkatkan kualitas lingkungan kota yang lebih baik. Salah satu upaya untuk mewujudkannya adalah dengan penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Namun tantangan yang dihadapi adalah mengembalikan lahan RTH yang telah beralih fungsi dan mencegah pemanfaatan lahan yang dapat mengubah fungsi RTH itu sendiri dengan mempertimbangkan aspek pelestarian fungsi lingkungan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Daerah Kota Bandung No. 18 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bandung Tahun 2011-2031, dikaitkan dengan teori-teori hukum yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Pengumpulan data untuk penulisan ini adalah melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan narasumber yang relevan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil analisis, implementasi pengaturan alih fungsi RTH di Kota Bandung tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan namun peraturan daerah terkait seperti Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung menganatkan pemulihan fungsi ruang yang telah beralih fungsi. Kebijakan mengenai RTH di Kota Bandung pada dasarnya telah mendukung pelestarian fungsi lingkungan namun pembangunan di dalam sebuah kota menjadi kendala utama dalam intensifikasi dan ekstensifikasi RTH di Kota Bandung.Item ALIH FUNGSI RUMAH TINGGAL DI KAWASAN PERMUKIMAN MENJADI TEMPAT USAHA DI KOTA BANDUNG DALAM KAITANNYA DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DITINJAU DARI UNDANG - UNDANG NOMOR(2013-04-12) SENDY HIZKIA AKHMAD R; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK SENDY HIZKIA AR 110110070129 Maraknya kegiatan alih fungsi rumah tinggal menjadi tempat usaha di Kota Bandung yang tidak memiliki izin dari Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung atau Aparat Wilayah sekitar tempat tinggal, dapat menimbulkan beberapa masalah baru seperti fungsi rumah tinggal yang layak huni serta sarana pembinaan keluarga tidak akan tercapai secara maksimal. Adanya kegiatan alih fungsi tersebut maka terdapat perubahan terhadap perizinan awal maksud bangunan tersebut dibangun yang tertuang dalam Surat Izin Mendirikan Bangunan (SIMB) yang pada kenyataannya syarat – syarat tersebut tidak dipenuhi oleh pemilik rumah tinggal. Pada dasarnya kegiatan alih fungsi tersebut tidaklah melanggar hukum asalkan dalam usaha alih fungsi tersebut pemilik rumah melengkapi perizinannya. Hal tersebut tetap berlaku meski bangunan rumah tinggal tersebut bentuk aslinya tetap sama tetapi jika fungsi utama huniannya beralih fungsi menjadi tempat usaha maka dalam hal perizinannya sudah tidak sama lagi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan Pemerintah Daerah Kota Bandung Selaku Penyelenggara pembangunan agar pelaksanaan tentang Ketentuan Dasar mengenai izin mendirikan bangunan dapat diaplikasikan dan berjalan dengan semestinya serta menganalisis upaya hukum yang dapat ditempuh oleh masyarakat sekitar yang merasa dirugikan terhadap adanya alih fungsi rumah tinggal menjadi tempat usaha. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yang menekankan pada ilmu hukum dan menitikberatkan pada pengumpulan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, berupa peraturan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, serta pendapat para pakar hukum. Penelitian ini juga menggunakan metode deskriftif analitik untuk mendapatkan gambaran permasalahan secara menyeluruh. Tahap penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian kepustakaan dan studi lapangan. Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis data adalah metode yuridis kualitatif dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang terkait. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah Kota Bandung telah berusaha semaksimal mungkin untuk menertibkan bangunan rumah tinggal yang beralih fungsi menjadi tempat usaha yang tidak berizin dengan cara melayangkan surat kepada pemilik rumah tinggal untuk segera mengurus perizinnannya atau bahkan mencabut izin permohonan pengalihan fungsi bangunan jika dilapangan terdapat pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku serta masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya kegiatan alih fungsi tersebut dapat menyampaikan masukan mengenai arah pengembangan, kerjasama dengan Pemerintah Daerah, pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang serta dapat pula melakukan pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana awal penataan ruang wilayah Kota Bandung.Item Analisa Mengenai Penerapan Hak Tersangka untuk Mengajukan Saksi yang Meringankan dalam Pemeriksaan di Tingkat Penyidikan Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia.(2014-01-09) THOMAS SURYO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAnalisa Mengenai Penerapan Hak Tersangka untuk Mengajukan Saksi yang Meringankan dalam Pemeriksaan di Tingkat Penyidikan Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia. Thomas Suryo H. 110110070399 Penegakan Hukum pidana dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana (KUHAP) membawa akibat sanksi hukum yang terkait dengan hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, maka hukum prosedural untuk menegakkan hukum materil itu bukan saja harus bersifat fair, tetapi juga harus bersifat pasti dan adil. KUHAP telah memberikan seperangkat hak kepada tersangka sejak di tingkat penyidikan hingga persidangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 50-68 KUHAP sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia. Adakalanya dalam beberapa kasus, penerapan hak-hak tersebut ternyata tidak dipenuhi oleh pihak penyidik dengan alasan tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami penyebab terjadinya pelanggaran hak tersangka oleh penyidik dalam proses penyidikan juga untuk mengetahui dan memahami penerapan hak tersangka untuk mengajukan saksi yang meringankan bagi tersangka (a de charge) sebagai mana diatur dalam Pasal 65 KUHAP dalam proses pemeriksaan di tingkat penyidikan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta penelitian yang tidak hanya menggambarkan pokok permasalahan tetapi juga dikaitkan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Pendekatan yang digunakan adalah secara yuridis normatif, yakni penelitian yang dilakukan dengan mendasarkan kepustakaan atau data sekunder. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa penerapan kaidah hukum mengenai pengajuan saksi yang meringankan bagi tersangka saat pemeriksaaan di tingkat penyidikan dalam kasus faktual, tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena adanya keengganan dari Penyidik untuk menawarkan kepada tersangka akan haknya tersebut dengan alasan memperlambat proses penyidikan. Adapun faktor kendala dari tidak diterapkannya kaidah hukum hak tersangka untuk mengajukan saksi a de charge di tingkat penyidikan adalah adanya pendapat dari pihak Penyidik dengan diperiksanya saksi tersebut akan memperlambat atau mengaburkan jalannya proses penyidikan sedangkan jangka waktu dalam proses penyidikan sangat pendek, dan adanya pendapat bahwa saksi a de charge tersebut cukup diperiksa dalam proses pengadilan karena lebih berbobot sebagai alat bukti keterangan saksi.Item ANALISA YURIDIS MENGENAI LEGALITAS SAH TIDAKNYA ALASAN SAKIT PERMANEN TERKAIT PERADILAN IN ABSENTIA DIHUBUNGKAN DENGAN KETENTUAN PASAL 38 UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 Jo UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TA(2013-04-03) ABRAM MAROJAHAN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPeradilan in absentia adalah peradilan yang dilaksanakan dengan tanpa hadirnya terdakwa di persidangan. Dalam kasus tindak pidana korupsi, peradilan in absentia dapat dilaksanakan jika terdakwa tidak dapat hadir dipersidangan dengan disertai alasan yang tidak sah. Bagaimana dengan alasan yang sah? Tidak ada disebutkan dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus Soeharto adalah contoh dari penerapan ketidakjelasan atas alasan yang sah tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami penafsiran terhadap alasan sakit permanen yang dikategorikan sebagai alasan yang sah dalam proses pelaksanaan peradilan secara in absentia pada kasus tindak pidana korupsi serta rumusan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dapat dipergunakan untuk mengawal penegakan hukum sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dalam proses pelaksanaan peradilan secara in absentia terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan mengumpulkan data-data berupa penetapan dan putusan dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung, yang kemudian dilakukan pengkajian berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional yang diratifikasi, asas-asas hukum serta teori dan pendapat dari para ahli hukum terkait dengan objek penelitian. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa peradilan in absentia tetap harus diterapkan kepada terdakwa yang tidak dapat hadir di persidangan dengan disertai alasan yang sah maupun alasan yang tidak sah. Sakit permanen sebagai alasan yang sah harus dirumuskan ke dalam satu definisi hukum sehingga tidak menimbulkan multi tafsir. Perumusan ulang Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Item ANALISIS MENGENAI PEMENUHAN UNSUR PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DALAM PRAKTEK KARTEL TERHADAP PUTUSAN KPPU NO.25/KPPU-I/2009 DIKAITKAN UNDANG-UNDANG NO.5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DA(2014-01-22) RADITYA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenThe global rise in oil prices that began in 2005 led to significantly participate rising jet fuel prices .Avtur is the primary fuel of the aircraft, so the result of this increase is, the airline request an component called fuel surcharge . Fuel surcharge is applied to the national airlines so that the national airlines can avoid bankruptcy losses, which is led to ending of national aviation industry and resulting to the disruption of the national economy . KPPU stated that 9 ( nine ) airline violated the Law No. 5 of 1999 , with price trend as an evidence. In fact, price trends categorized as a indirect evidence . This research applies an analytical descriptive method with juridical normative approach using secondary data from literature study. Qualitative analyses from point of view, of law study are applied to acquire a data analyses. The author describes the object matter of fact in the fulfillment element of price fixing agreement inside Commission (KPPU) verdict No.25 KPPU-I/2009 based of prohibition Anti Monopoly Law and the Code of Civil Law . The element of price fixing agreements contemplated by the Commission (KPPU) form of price trends have not been fulfilled so that it can be said the Commissions decisions related is lack of precise . Lack of precise in Commissions verdictbecause there is no legal basis for the implementation rules of the fuel surcharge, and there is no legal basis governing the implementation rule of indirect evidence in Indonesia. Besides, the examination period and data processing Commission (KPPU)did, was quite limited. This resulted the decision made by the Commission (KPPU) is lack of precise.Item ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCATATAN AKTA KELAHIRAN ANAK DARI HASIL HUBUNGAN INCEST MENURUT HUKUM ISLAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM(2014-08-15) ISMAIL DIMAGH F; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenHubungan incest merupakan hal yang haram dilakukan, walaupun didasari oleh perasaan yang tanpa paksaan. Hanya saja hubungan ini akan menambah masalah berat, jika hubungan incest yang dilakukan menghasilkan keturunan. Skripsi ini menelaah mengenai dua hal, yaitu pencatatan akta kelahiran anak hasil hubungan incest menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan pemenuhan hak anak yang dilahirkan dari hasil hubungan incest ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu melalui pendekatan yuridis normatif serta menggunakan data berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier berupa peraturan perundang-undangan, literature hukum dan buku-buku. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian disimpulkan bahwa, (1) Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan menegaskan bahwa, “Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.” Anak yang terlahir karena pemerkosaan/zina insect hanya memiliki hak atas status kelahirannya, biasanya keterangan orang tua anak akan disembunyikan supaya menutupi aib dan menghindari permasalahan lainnya; (2) Perkawinan se-nasab dilarang dalam Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam: “(a) dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; (b) dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; dan (c) dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.” Pernikahan se-nasab memiliki risiko bagi keturunannya, karena peraturan undang-undangan tidak dapat mencatatkannya. Kebiasaan masyarakat mencarikan pemecahan masalah dengan tidak memberi identitas orang tua sesungguhnya dalam akta kelahiran anak yang dihasilkan.Item ANALISIS HUKUM TERHADAP PENETAPAN SEI MANGKEI SEBAGAI KAWASAN EKONOMI KHUSUS DALAM MENINGKATKAN PENANAMAN MODAL ASING DIKAITKAN DENGAN PERATURAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA(2013-01-07) ANANDAR MULIA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPenanaman modal asing menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan modal untuk pembangunan. Salah satu cara untuk mewujudkan suatu kawasan atau lingkungan yang kondusif bagi aktivitas penanaman modal, ekspor, dan perdagangan, baik itu perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional yang tujuan dari semua itu adalah untuk mempercepat pembangunan ekonomi adalah dengan menciptakan suatu kawasan menjadi kawasan ekonomi khusus. Tujuan penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui dan memahami serta memberi masukan kepada para stakeholder mengenai kepastian hukum penetapan Sei Mangkei sebagai Kawasan Ekonomi Khusus agar dapat meningkatkan penanaman modal asing, serta dapat mengetahui dan memahami mengenai implikasi hukum yang akan terjadi di Sei Mangkei sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library research). Metode kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan referensi data sekunder antara lain bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan merupakan landasan utama seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanaman modal; bahan hukum sekunder yaitu berupa buku bacaan yang relevan dengan judul dan penulisan skripsi ini. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan yaitu, pertama bahwa penetapan Sei Mangkei sebagai Kawasan Ekonomi Khusus belum memberikan kepastian hukum bagi penanam modal. Kedua implikasi yang timbul antara lain tumpang tindih dan benturan kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Dewan Kawasan; aliran barang, uang dan orang yang sangat bebas; hak ekonomi warga lokal, termasuk hak ketenagakerjaan, dan hak lainnya; dan penyelesaian sengketa yang bersifat khusus. Dari hasil penelitian ini, ada beberapa hal yang menjadi saran antara lain, terjadinya ketidaksinkronan/konflik produk hukum ini sekiranya dapat dilakukan merevisi SK Menhut No. 44 Tahun 2005 untuk disesuaikan dengan kepentingan nasional, yakni pembangunan KEK Sei Mangkei dapat segera menyelesaikan Rancangan Peraturan Daerah RTRW-nya sehingga adanya kepastian hukum bagi para penanam modal, berkaitan dengan implikasi hukum yang terjadi saran yang dapat di berikan yaitu; kebijakan-kebijakan khusus perlu segera di atur untuk melindungi potensi-potensi lokal yang ada di dalamnya.Item ANALISIS HUKUM TERHADAP PRAKTIK PEMBERIAN FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK KEPADA BANK CENTURY(2013-07-23) EREN EMMES; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK ANALISIS HUKUM TERHADAP PRAKTIK PEMBERIAN FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK KEPADA BANK CENTURY Eren Emmes 110110060299 Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam menjalankan tugas-tugasnya mempunyai fungsi sebagai Lender of the Last Resort (LoLR). Fungsi ini terdapat dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yang terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Salah satu bentuk dari LoLR adalah Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Bank Century merupakan bank yang pernah menerima FPJP pada tahun 2008. Ketika itu Bank Century sedang mengalami kesulitan likuiditas yang dibarengi dengan dunia dalam keadaan krisis ekonomi global.Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pemberian FPJP tersebut ternyata bermasalah. Pemberian FPJP kepada Bank Century total sebesar 689 miliar rupiah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengkaji apakah pemberian FPJP kepada Bank Century telah sesuai dengan peraturan yang berlaku serta menentukan bagaimana tanggung jawab Bank Indonesia dan pemerintah dalam praktik pemberian FPJP kepada Bank Century. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan, menelaah dan menganalisis secara sistematis serta memaparkan tentang peraturan yang berlaku mengenai praktik pemberian FPJP kepada Bank Century. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa pemberian FPJP kepada Bank Century telah melanggar peraturan yang ada ketika itu, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/26/PBI/2008 Tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Bank Umum yang kemudian diubah dengan PBI Nomor 10/30/PBI/2008 berikut juga dengan PBI Nomor 14/16/PBI/2012 yang kini berlaku. Bank Indonesia wajib untuk selalu kooperatif dengan DPR yang merupakan pengawas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia dalam menuntaskan masalah ini sebagai bentuk pertanggung jawaban. Kekayaan Bank Indonesia merupakan bagian dari keuangan Negara, sehingga Pemerintah ikut bertanggung jawab atas timbulnya kerugian Negara yang terjadi dalam praktik pemberian FPJP kepada Bank Century dan dengan demikian wajib untuk melakukan usaha pengembalian kerugian yang terjadi.Item ANALISIS KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH AFRIYANI SUSANTI DAN MENGAKIBATKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA DAN LUKA BERAT(2013-06-04) MOCHAMAD YUSUF; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenABSTRAK MOCHAMAD YUSUF 110110060300 Pada tanggal 22 Januari 2012 Afriyani Susanti, beserta teman-temanya yaitu Ary Sendy, Adistria, dan Deny sedang dalam perjalanan pulang dengan mengendarai Mobil Xenia Hitam bernomor polisi B 2479 XL menuju daerah Tugu Tani setelah sebelumnya menghadiri resepsi pernikahan temannya di hotel Borobudur. Pada saat kendaraan tersebut melaju di depan gedung Kementerian Perdagangan, kendaraan tersebut tiba-tiba oleng dan menabrak pejalan kaki yang sedang berada di trotoar. Akibat kecelakaan tersebut sembilan orang dinyatakan meninggal dunia, dan tiga orang mengalami luka-luka. Sembilan orang yang dinyatakan meninggal dunia yaitu Mochamad Hudzalifah, Firmansyah, Suyatmi, Yusuf Sigit, Ari, Nanik Riyanti, Fifit Alfia Fitriasih, Wawan dan Indra. Sedangkan tiga korban yang mengalami luka-luka yaitu Siti Mukaromah, Keny, dan Teguh Hadi Poernomo. Atas kecelakaan tersebut, Afriyani Susanti dan ketiga orang temannya langsung dibawa oleh petugas untuk dilakukan pemeriksaan.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tindak pidana apa saja yang telah dilakukan oleh Afriyani Susanti dan selanjutnya menentukan apakah Afriyani Susanti dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Metode penelitian dalam legal memorandum ini bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan situasi atau peristiwa yang sedang diteliti untuk kemudian di analisa berdasarkan fakta-fakta berupa data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan berusaha meneliti ketentuan dan data yang terkait dengan permasalahan hukum. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini dilakukan dengan cara studi literatur/dokumen untuk memperoleh data sekunder. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Afriyani Susanti telah melakukan beberapa tindak pidana yaitu melanggar pasal 359, 360 KUHP, Pasal 310 ayat (3), Pasal 310 ayat (4), Pasal 311 ayat (4), dan Pasal 311 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam melakukan perbuatannya, Afriyani telah dewasa dan dalam keadaan sehat, serta dalam keadaan batin yang normal, selain itu perbuatan yang telah dilakukan memenuhi unsur kesengajaan, yaitu kesengajaan dengan tujuan. Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Afriyani Susanti dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang telah ia lakukan.Item ANALISIS PELECEHAN SEKSUAL (SEXUAL HARASSMENT) DI RUANG PUBLIK DIKAITKAN DENGAN PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI DAN HUKUM PIDANA(2014-01-21) ANDINI RIZKI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenANALISIS PELECEHAN SEKSUAL (SEXUAL HARASSMENT) DI RUANG PUBLIK DIKAITKAN DENGAN PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI DAN HUKUM PIDANA ANDINI RIZKI ARSARISMA 110110080179 ABSTRAK Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang cukup sering terjadi, hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh dari Lembar Fakta Kekerasan Seksual Komnas Perempuan Tahun 1998-2010, pelecehan seksual terjadi sebanyak 1049 kasus. Namun angka tidak menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi, hal ini dikarenakan korban yang mengalami kesulitan dalam usaha penyelesaian kasus ataupun keengganan dari korban untuk melapor. Diluar data yang berasal dari Komnas Perempuan, dapat juga dilihat bahwa pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik seringkali tidak memiliki penyelesaian hukum yang berarti, bukan hanya karena korban yang tidak melapor, tetapi juga dikarenakan oleh tidak adanya aturan hukum yang mengatur. Berkaitan dengan penulisan hukum yang dilakukan, timbul pertanyaan mengenai alasan dibalik terjadinya pelecehan seksual di masyarakat serta dapatkah kriminalisasi menjadi reaksi yang tepat bagi permasalahan pelecehan seksual ini. Dalam analisis mengenai pelecehan seksual ini metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yakni suatu metode pendekatan yang menekankan pada norma hukum, di samping juga menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat serta melakukan studi kepustakaan serta sumber utama serta hukum positif yang berlaku. Selain itu juga melalui teori-teori kriminologi yaitu, teori kontrol, social learning theory, teori feminisme. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, ditemukan beberapa faktor, antara lain mengenai ketiadaan aturan hukum yang merupakan hasil dari lemahnya kontrol yang dilakukan oleh pemerintah serta isu gender mengenai ketidakseimbangan kedudukan pria dan wanita dalam masyarakat yang semakin mendorong terjadinya pelecehan seksual. Dalam hal ini dapat dilihat kebutuhan akan adanya peraturan hukum mengenai pelecehan seksual, oleh karena itu dalam usaha pembaharuan KUHP yang saat ini sedang dilakukan, hendaknya dapat dibentuk aturan khusus mengenai pelecehan seksual.Item ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA KLAS IA INDRAMAYU NO:086/PDT.P/2012/PA.IM TTG DISPENSASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UU NO 1/1974 TTG PERKAWINAN & UU NO 23/2002 TTG PERLINDUNGAN ANAK(2013-07-18) GUNTUR ADI NUGRAHA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA KLAS IA INDRAMAYU NOMOR: 086/PDT.P/2012/PA.IM TENTANG DISPENSASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ABSTRAK Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorangwanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat perkawinan yang dilakukan oleh kalangan anak di bawah umur, yang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum memenuhi persyaratan perkawinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam bentuk penelitian hukum yuridis normatif. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Klas IA Indramayu dan pihak lainya yang berkompeten. Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari akta penetapan Nomor: 086/Pdt.P/2012 PA.IM dan sumber kepustakaan lainya. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Klas IA Indramayu tentang aturan-aturan hukum serta melakukan studi pustaka dengan analisa isi terhadap sumber pustaka yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Analisis yang digunakan bersifat kualitatif, penelitian ini dimulai dengan reduksi data lalu menyajikan data kemudian penarikan kesimpulan. Kesimpulan, bahwa tidak adanya ketentuan khusus yang mengatur tentang dispensasi perkawinan anak dibawah umur. Batas usia minimum menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah berusia 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita. Walaupun telah ditegaskan mengenai batas usia minimum seseorang untuk menikah, namun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan pengecualian untuk hal tersebut, yaitu dengan adanya pemberian dispensasi kawin untuk anak di bawah umur melalui penetapan pengadilan. Melihat pertimbangan-pertimbangan hakim dalam kasus dispensasi perkawinan ini jika didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memang sudah sesuai demi tercapainya kepastian hukum. Anak di bawah umur yang melaksanakan perkawinan akan dianggap dewasa dan sudah dianggap cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum, atau tidak berada dibawah pengampuan orang tuanya lagi. Sehingga dalam hal ini ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak berlaku lagi terhadapnya. Abstract Marriage is born inner ties between a man with a women as husband and wife with the goal of shaping family , household happy and eternal based on godhood of almighty god. In some areas in indonesia guiler marriage performed by the minors, according to the law number 1 year 1974 on marriage not fulfill the terms of marriage. Methods used in this research included in the form of research normative juridical law. Data Sources a primary in research is obtained through interview with religious court judge klas IA Indramayu competent and other parties. Data sources secondary in research is obtained from the establishment deed number: 086/Pdt.P/2012/PA.IM and other sources. A method of collecting data done through an interview with religious court judge klas IA Indramayu about the rules of law library to study and analysis of the contents against source other libraries. Method of data collection was done through interviews with Religious Court judge Klas IA Indramayu on related legislation as well as conduct studies with content analysis library of references relevant to the issues in this study. The analysis used are qualitative, research began with the reduction of data and then present the data and then withdrawing the conclusion. The conclusion, that the absence of provisions specifically regulating the marital exemption of children under the age. The minimum age limit under law No. 1 of 1974 about marriage is a 19 year old (nineteen) for men and 16 (sixteen) years for females. Although it has been asserted about the minimum age limit for someone to marry, but Act No. 1 of 1974 about marriage give exceptions to it, i.e. the granting dispensation for marriage of minors through the establishment of the Court. See the deliberations of judges in cases of marriage dispensations if based on Act No. 1 of 1974 about marriage indeed appropriate in order to achieve legal certainty. Minors who perform marriages will be considered an adult and capable of doing an act of law, whether or not it is under the pardon of his parents again. So in this case the terms of the existing in act number 23 year 2002 regarding the protection of children no longer apply to it.Item ANALISIS PENGGUNAAN SENJATA API OLEH APARAT KEPOLISIAN DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PENANGGULANGAN ANARKI DIHUBUNGKAN DENGAN PROSEDUR TETAP (PROTAP) NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENANGGULANGAN ANARKI(2013-01-15) ADIPATI PERMANA PARAWATHA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenDewasa ini di berbagai peristiwa dalam proses penegakan hukum, aparat kepolisian seringkali melakukan kekerasan bahkan menggunakan senjata api ketika berhadapan dengan masyarakat sipil. Di dalam proses penanggulangan tindak anarki dalam membubarkan massa saat demonstrasi banyak terjadi kasus penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sehingga menimbulkan korban meninggal dunia dan korban luka-luka. Kondisi tersebut sangat dimungkinkan karena adanya kewenangan penggunaan senjata api yang dimiliki oleh aparat kepolisian dalam proses penegakan hukum yang diatur di dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian serta Protap Kepolisian Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penggunaan senjata api dapat dibenarkan berdasarkan Prosedur Tetap Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki dan pertanggungjawaban anggota Polri atas dugaan pelanggaran penggunaan kekuatan kendali senjata api oleh Polri dalam penanggulangan anarki yang menimbulkan korban. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Studi kepustakaan yang digunakan penulis sebagai bahan primer ialah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta beberapa peraturan perundang-undangan yang menyangkut masalah penggunaan senjata api oleh kepolisian. Sedangkan bahan sekunder didapatkan dari hasil penelitian, buku-buku dan artikel-artikel yang dapat menunjang penelitian ini. Dari hasil penelitian dapat diketahui,bahwa berdasarkan Prosedur Tetap Kepolisian Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki, penggunaan senjata api oleh Polri dalam penanggulangan anarki dapat dibenarkan dengan memperhatikan tata urutan penggunaan senjata api serta situasi dan kondisi di lapangan di mana tindakan yang dilakukan massa demonstran sudah dapat diklasifikasikan sebagai ambang gangguan maupun gangguan nyata. Pertanggungjawaban anggota Polri yang melakukan pelanggaran prosedur dalam penggunaan senjata api terbagi menjadi dua yaitu pertanggungjawaban secara administratif yaitu berupa pertanggungjawaban internal kepolisian serta pertanggungjawaban pidana pada peradilan umum. Pertanggungjawaban secara administratif bagi anggota Polri diberlakukan apabila anggota Polri melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan ataupun peraturan-peraturan internal kepolisian seperti pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri dan pelanggaran terhadap Peraturan Disiplin Polri yang penyelesaiannya pun melalui sidang internal kepolisian. Sedangkan pertanggungjawaban secara pidana bagi anggota Polri berlaku apabila di dalam penggunaan senjata api oleh anggota Polri menimbulkan korban dan diindikasikan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang sebelumnya dibuktikan terlebih dahulu melalui sidang internal kepolisian.Item Analisis Penguasaan Tanah Desa oleh Individu yang Mendirikan Bangunan Permanen di Kab. Cirebon Ditinjau dari UUPA dan Perbup Cirebon No 44 Tahun 2011(2015-04-13) SITI MARYAM; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenTanah merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki pengaruh besar bagi hajat hidup orang banyak. Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA hak menguasai negara mempunyai wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan bumi, air, dan ruang angkasa. Salah satu objek dari penguasaan negara terhadap tanah adalah tanah desa. Tanah desa merupakan kekayaan desa yang pengelolaannya diatur oleh pemerintahan desa. Salah satu bentuk pemanfaatan kekayaan desa dalam Pasal 9 Peraturan Bupati Cirebon Nomor 44 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Kekayaan Desa adalah sewa menyewa. Ketentuan sewa menyewa tanah desa diatur oleh pemerintahan desa. Di Desa Sumber Kabupaten Cirebon individu menyewa tanah desa dengan ketentuan jangka waktu sewa menyewa selama 2 tahun, tetapi pada kenyataannya setelah jangka waktu berakhir individu tetap menguasai tanah tersebut dan mengklaim bahwa tanah desa adalah tanah milik pribadi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penguasaan tanah desa dihhubungkan dengan individu dan untuk mengetahui kendala-kendala dan upaya untuk mentertibkan bangunan yang dibangun di atas tanah desa. Metode penelitian yang digunakan yaitu menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Tahap penelitian yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan wawancara. Analisis data dilakukan secara yuridis kualitatif. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penguasaan tanah desa oleh individu diperbolehkan selama sesuai dengan peraturan yang ada. Menurut ketentuan dalam Perbup Cirebon Nomor 44 Tahun 2011 tidak diperbolehkan menguasai tanah desa setelah lewat jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian dengan desa tanpa komfirmasi perpanjangan waktu, sehingga tanah desa tersebut secara hukum harus dikembalikan kepada desa. Kendala-kendala untuk mentertibkan bangunan yang dibangun di atas tanah desa di Kabupaten Cirebon adalah kurang jelasnya status kepemilikan tanah sengketa secara hukum, masyarakat kurang memahami proses dan status kepemilikan tanah, dan kurang tegasnya aparat pemerintah dalam menegakan kasus hukum yang mengklaim tanah desa oleh individu. Upaya yang ditempuh untuk mentertibkan bangunan di atas tanah desa di Kabupaten Cirebon adalah melalui proses mediasi antara pemerintah dan masyarakat serta individu yang terkait sengketa klaim lahan.Item ANALISIS PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT PERTAMINA PATRA NIAGA DENGAN PERUSAHAAN JASA TRANSPORTIR MENGENAI PENGIRIMAN BBM DIKAITKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM DAGANG(2017-03-14) REZA GALIH ARIFIANTO; Agus Suwandono; Susilowati SupartoJasa angkutan BBM (pihak transportir) dari perusahaan transportir mempunyai peranan yang sangat strategis dalam perkembangan usaha SPBU. Hal ini berhubungan dengan kelancaran pengiriman BBM dari Depo Pertamina ke lokasi SPBU dalam rangka men-supply kebutuhan BBM di masyarakat. Seiring dengan perkembangan usaha, ada suatu kendala yang menyebabkan pihak transportir tidak bisa melaksanakan kewajiban sesuai dengan delivery order dari PT Pertamina Patra Niaga. Didalam proses pengangkutan BBM dari tempat pengisian sampai dengan lokasi tujuan ada hal yang menyebabkan produk BBM yang dikirimkan. tidak sesuai dengan apa yang diminta di dalam delivery order, hal tersebut terjadi pada saat penghitungan Tera di SPBU, pada saat penghitungan tera di mobil tangki, hitungan yang dilakukan oleh pihak transportir tidak ada penyusutan atau pas jumlahnya, namun setelah di tanda tangan di berita acara dan dibongkar di tangki milik SPBU, terjadi selisih volume BBM dalam tangki yang cukup besar Loses BBM ini yang biasanya menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi pihak pengusaha SPBU yang menerima BBM tersebut dan pihak transportir merasa bahwa itu bukan tanggung jawab dia, sedangkan jelas di surat jalan disebutkan bahwa tanggung jawab dr transporter adalah sampai BBM telah diterima oleh pihak SPBU. Pihak SPBU merasa dirugikan dan menuntut pihak dari PT Pertamina persero selaku mitra usaha, dan dari sini pihak PT Pertamina Persero menuntut ganti rugi kepada pihak transportir melalui PT Pertamina patra niaga karena perusahaan ini yang melakukan Perjanjian kerjasama pengiriman BBM tersebut. Penulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan meneliti bahan pustaka berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier serta data sekunder. Spesifikasi penulisan ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan, menelaah dan menganalisis secara sistematis, secara faktual serta secara akurat dari objek penulisan itu sendiri. Tahap penulisan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Metode analisis data penelitian ini normatif kualitatif. Berdasarkan hasil analisa diperoleh kesimpulan bahwa PT. Selat Karimun sebagai pihak transportir merupakan pihak yang secara sah mengikatkan diri pada PT. Pertamina Patra Niaga sesuai dengan Perjanjian Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Tanjung Uban Ke SPBU 13.294.703 dengan Nomor: 002/PPN350.355/KTR/2015. Kedudukan Transportir terhadap pihak SPBU bukan merupakan pihak yang saling mengikatkan diri secara sah dalam perjanjian. Tetapi secara Undang-Undang tetap harus bertanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum terhadap pihak SPBU. Pertanggungjawaban yang bisa diterapkan dalam pelaksanannya secara kontraktual kepada PT. Pertamina Patra Niaga berupa penggantian kerugian BBM yang hilang yaitu sebesar 33.217.500 rupiah. Kemudian pertanggungjawaban kepada pihak SPBU akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT. Selat Karimun adalah pertanggungjawaban terhadap biaya bongkar BBM sebesar Rp. 18.000.000,00 serta penggantian keuntungan yang hilang sebesar Rp. 34.507.500,00.Item Analisis Pertanggungjawaban Pidana Penjualan Sapi Glonggongan Dalam Hukum Pidana Indonesia(2013-04-10) DENNY YULIANTO S; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENJUALAN SAPI GLONGGONGAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Denny Yulianto Swastika 11011007308 ABSTRAK Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan manusia akan pangan semakin tinggi, sehingga wajar apabila harga-harga kebutuhan pangan ini selalu meningkat dalam setiap tahunnya. Salah satu kebutuhan akan pangan yang harganya selalu meningkat adalah daging sapi. Kenaikan harga daging ini menjadi ajang pemanfaatan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab sebagai lahan untuk mencari keuntungan dalam jumlah besar secara instan. Salah satunya adalah menjual bahan pangan dari hewan yang tidak sehat dan tidak aman yaitu daging sapi gelonggongan. Hukum di Indonesia sendiri telah memberikan suatu perlindungan hukum bagi masyarakat / konsumen terkait penjualan daging sapi gelonggongan tersebut, namun dalam praktiknya kasus-kasus penjualan daging sapi glonggongan ini masih sering kali terjadi dimasyarakat. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku penjualan daging sapi gelonggongan dalam hukum pidana Indonesia dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pelaku sapi glonggongan di indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan dibantu dengan pendekatan yuridis empiris. Asas-asas hukum dalam UU, bahan tulisan ilmiah yang berkaitan langsung dengan objek penelitian dan bahan penelitian yang berkaitan dengan kerjasama Dinas Peternakan, dan Dinas Ketahanan Pangan. Serta data wawancara Narasumber yaitu pelaku usaha daging sapi dan konsumen yang dikumpulkan guna menguatkan penelitian ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, dapat disimpulkan bahwa pertama, Penjualan daging sapi glonggongan adalah merupakan perbuatan tindak pidana yang melanggar beberapa ketentuan pasal yaitu Pasal 8 Undang-undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen Pasal 378 KUHP, dan pasal 21 Undang-undang No 7 Tahun 1996. Dengan menerapkan beberapa ketentuan pasal tersebut serta dengan tidak terpisahkannya menerapkan beberapa anasir-anasir apa saja seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana maka para pelaku dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan kententuan pasal perundang-undangan. Kedua penegakan hukum pidana terhadap sapi glonggongan di Indonesia yang terjadi saat ini masih belum berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan adanya 5 faktor yang terdiri dari undang-undang, penegak hukum, masyarakat, sarana dan fasilitas serta budaya masyarakat mempengaruhi efektif atau tidaknya suatu penegakan hukum berjalan dengan baik, namun dari kelima faktor tersebut, faktor penegak hukum, masyarakat dan budaya mempengaruhi tidak efektifnya penegakan hukum terhadap pelaku penjualan daging sapi glonggongan.Item ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 93k/Pdt.Sus/2013 MENGENAI SENGKETA MEREK DAGANG BOLT & NUTT + LUKISAN ANTARA NURCAHYO WAKSITO WIJOYO MELAWAN RAYMOND LIMITED DIKAITKAN DENGAN UNDANG UNDANG NO 15(2015-10-09) ANDREAZ NAMI PUTRA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenDari hasil penelitian diketahui bahwa putusan Judex Juris Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No 93k/Pdt.Sus/2013 mengenai sengketa merk dagang Bolt & Nutt + Lukisan telah berdasarakan Undang - Undang no 15 tahun 2001 tentang MerkItem ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.76 K/PDT.SUS/2011 TENTANG SENGKETA JUAL BELI KAVLING TANAH ANTARA FERDINAN ARISANDI MELAWAN PT. TIRTA SEGARA BIRU(2012-08-07) AGHIF Q AZHARY; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPeralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli. Pada praktiknya dalam proses jual beli kavling tanah sering ditemui konsumen yang dirugikan oleh pihak pengembang. Salah satunya adalah kasus yang dianalisis oleh penulis, yaitu PT. Tirta Segara Biru sebagai pihak pengembang (developer) belum menyerahkan tanah serta Sertifikat Hak Milik atas tanah kepada Ferdinan Arisandi sebagai konsumen dari perusahaan tersebut. Masalah hukum yang akan dikaji adalah apakah jual beli kavling tanah yang dilakukan oleh PT. Tirta Segara Biru sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta apakah pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung dalam putusan No. 76K/Pdt.Sus/2011 yang menyatakan bahwa pengajuan keberatan oleh PT. Tirta Segara Biru tidak lampau waktu (daluwarsa) sesuai dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Penulisan Jurnal ini dikaji dari aspek hukum perlindungan konsumen. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan data sekunder seperti buku-buku yang terkait dengan kasus ini. Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa jual beli kavling tanah yang dilakukan oleh PT. Tirta Segara Biru telah melanggar Pasal 146 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman karena PT. Tirta Segara Biru menjual tanah kavling tanpa bangunan. Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung dalam putusan No. 76K/Pdt.Sus/2011 yang menyatakan bahwa pengajuan keberatan oleh PT. Tirta Segara Biru tidak lampau waktu (daluwarsa) bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen karena rentang waktu pengajuan permohonan keberatan melebihi perhitungan yang ditentukan oleh undang-undang.