Ilmu Hukum (S1)
Permanent URI for this collection
Browse
Browsing Ilmu Hukum (S1) by Issue Date
Now showing 1 - 20 of 590
Results Per Page
Sort Options
Item KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PENGGUNAAN MATA UANG SELAIN RUPIAH UNTUK TRANSAKSI KEUANGAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG(2007) MUHAMMAD IQBAL; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPenggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tampaknya telah menjadi hal yang wajar. Hal ini terlihat dari praktik perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Sehubungan dengan ini, maka permasalahannya harus dikembalikan pada konsep rasionalitas dari mekanisme kebijakan penanggulangan kejahatan itu sendiri. Dengan disahkan dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, menjadikan penggunaan mata uang asing terhadap transaksi keuangan di Indonesia menjadi suatu bentuk tindak pidana. Maka dengan adanya kriminalisasi pada undang-undang tersebut, muncul suatu permasalahan yaitu bagaimana seharusnya kebijakan yang rasional dalam tahap pemberian pidana itu harus dilakukan terkait kondisi yang terdapat di Indonesia. Tujuan Penulis dari penelitian ini adalah untuk memahami dan menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penggunaan mata uang asing selain rupiah dalam hal transaksi keuangan dan untuk memahami urgensi dalam hal ancaman pidana pada pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu dengan mengkaji data-data sekunder yang berkaitan dengan objek penelitianHasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan mata uang asing dalam transaksi keuangan dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor ekonomi, faktor wilayah dan faktor pendidikan. Kriminalisasi pada tindakan transaksi keuangan selain rupiah tidak perlu dilakukan karena Indonesia belum memperbaiki ketiga faktor yang mempengaruhi transaksi keuangan selain rupiah dan belum seimbangnya antara kebijakan penal dan non-penal dalam penerapannya di Indonesia.Item PERAN KANTOR PERTANAHAN KOTA BANDUNG DALAM PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL YANG MASIH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN MENJADI HAK MILIK(2008) VANE RAHSYANE; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPERAN KANTOR PERTANAHAN KOTA BANDUNG DALAM PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL YANG MASIH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN MENJADI HAK MILIK ABSTRAK Vane Rahsyane 110110080149 Kebutuhan akan tempat tinggal atau perumahan menjadi sangat ketat, dengan program pembangunan perumahan dan permukiman dengan sistem KPR. Dalam legalitas kepemilikan rumah dengan sistem KPR tersebut konsumen mempercayakan sepenuhnya kepada pengembang, pada kenyataannya perumahan tersebut didirikan dengan status HGB yang kemudian masih dibebani Hak Tanggungan. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahannya adalah bagaimanakah proses peningkatan HGB yang masih dibebani hak tanggungan untuk rumah tinggal menjadi hak milik dan apa saja kendala dari Kantor Pertanahan yang dihadapi oleh pemegang hak dan solusi atas kendala dalam proses peningkatan status Hak Guna Bangunan yang masih dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode pendekatan yuridis normatif yang menitikberatkan pada penggunaan data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis yaitu memaparkan tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku yang perlu diterapkan dalam mencapai kepastian hukum terhadap permasalahan yang diangkat penulis. Analisis data yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan peningkatan status hak guna bangunan atas tanah yang masih dibebani hak tanggungan menjadi hak milik di Kantor Pertanahan kota Bandung pada kenyataannya tidak dapat dikabulkan karena dalam pelaksanaan perubahan hak tersebut ternyata HGB yang dikuasai masih dalam status dijaminkan utang dengan dibebani hak tanggungan sehingga Kantor Pertanahan khawatir pemohon hak selaku debitor akan melakukan wanprestasi sehingga menimbulkan hapusnya hak tanggungan atas HGB.Item PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PERUSAHAAN YANG BERGERAK PADA BIDANG SUMBER DAYA ALAM DALAM KAITANNYA DENGAN OTONOMI DAERAH(2012-08-06) FEISHA RAHMAN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenCorporate Social Responsibility (CSR) merupakan wujud dari tanggung jawab sosial perusahaan yang saat ini mempunyai peranan yang cukup penting dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan atau Sustainble Development. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang penerapan CSR diantaranya seperti Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) serta Peraturan Pelaksana No. 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dirasa belum mencakupi unsur-unsur serta konsepsi tentang CSR yang sebenarnya, sebagaimana yang diakui oleh dunia global dalam ISO 26000, bahkan makna CSR dalam peraturan tersebut mempunyai perbedaan. Keadaan tersebut menimbulkan berbagai permasalahan dalam penerapan CSR, belum lagi pada penerapannya di daerah kerap berbenturan dengan program pembangunan daerah, yang merupakan tanggungjawab dari pemerintah daerah dalam prinsip otonomi daerah. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan pemahaman mengenai keterkaitan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam UU PT, UU Penanaman Modal dan ISO 26000 dengan tanggung jawab pemerintah daerah. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang menitikberatkan penelitian terhadap asas dan norma serta bersifat deskriptif analisis untuk menganalisis antara perundang-undangan yang berlaku dengan praktik yang terjadi di lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer guna mendukung pemahaman terhadap masalah yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pelaksanaan CSR di Indonesia perlu didukung dengan peraturan perundang-undangan yang lebih baik yang meliputi unsur serta prinsip pelaksanaan CSR yang sejati, untuk mengatasi permasalahan dalam pelaksanaan serta perbedaan konsepsi dari CSR dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia. ISO 26000 dapat menjadi pedoman dalam memperbaiki ataupun memperbaharui peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sedangkan dalam kaitannya dengan otonomi daerah, diperlukan adanya sebuah forum diskusi antara perusahaan dan stakeholdersnya untuk mensinergiskan program CSR dengan perencanaan pembangunan daerah, seperti yang dilakukan oleh Pemerintahan daerah Kabupaten Kotabaru dengan Perusahaan-perusahaan di wilayahnya melalui Corporate Forum for Community Development (Forum CFCD), kemudian dapat didukung dengan peraturan daerah yang salah satu klausulnya mengatur mengenai penerapan sistem insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan CSR untuk mendorong perusahaan agar dapat bekerjasama dengan baik demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Corporate Social Responsibility (CSR) is a form of corporate responsibility, which currently has a crucial role in efforts to achieved sustainable development. Legislation in Indonesia on the application of CSR such as law Number 40 Year 2007 Concening Limited Liability Company, Law Number 25 Year 2007 Corcening Capital Invesment and Implementing Regulation Number 47 Year 2012 Concerning The Social and Environmental Responsibility, could not cover the actual conception of CSR, as recognized by ISO 26000 in the global world, even the meaning of CSR in these regulations had differences. These circumstances lead to various problems in the implementation of CSR, not to mention the implementation of corporate responsibility often clashed with the local government programs of ​​the local development, that were related to the local government autonomy. The purpose of this study is to find out and get an understanding of the linkage of Corporate social responsibility with the local governments autonomy. This research was conduct by using a judicial normative approach that emphasizes study of principles and norms as well as descriptive analysis to analyze applicable legislation to the practice in the field. Techniques of data collection is done in two stages, study literature to obtain secondary data and field study to obtain primary data to support the understanding of the problems. The results of this research found that the implementation of CSR in Indonesia need to be supported by a better legislation that contain the truth of CSR principles and elements, to overcome the implementation problems, and the conception differences of CSR, ISO 26000 can served as guidelines in improving and updating the regulations. While in the connection to local government autonomy, it is necessary to had a discussion forum between the company and it’s stakeholders to synergized the CSR programs with the local development planning, such as what the local goverment and the Companies at the Kabupaten Kotabaru did trough the Corporate Forum for Community Development, and could be supported by a local regulation that included the clause on the application of incentives and disincentives in the implementation of CSR, to achieved a good cooperation between the companies and the local government, for the realization of sustainable development and to improve the community welfare.Item TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERAN KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BOGOR DALAM PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH BERDASARKAN PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 1991 TENTANG KONSOLIDASI TANA(2012-08-06) LISTYA NIRMALA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenManusia dan tanah memiliki hubungan yang sangat erat, alami, dan tidak terpisahkan. Sejarah perkembangan atau kehancurannya ditentukan pula oleh tanah, masalah tanah dapat menimbulkan persengketaan karena keinginan menguasai tanah atas sumber yang terkandung di dalamnya. Pembangunan daerah yang terencana dan menyeluruh akan dapat menciptakan kehidupan yang lebih nyaman dan teratur. Permasalahan pertanahan di wilayah perkotaan di Indonesia adalah bagaimana mendayagunakan dan menghasilgunakan tata guna tanah yang terbatas luasnya. Melalui program konsolidasi tanah diharapkan dapat mengatasi berbagai konflik atas pertanahan dan setiap pemilik tanah memiliki kesempatan yang adil dan merata dalam hal pemanfaatan lahannya. Bertujuan memperoleh gambaran serta pemahaman terhadap proses pelaksanaan program konsolidasi tanah dan mengetahui peran Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor dalam pelaksanaan konsolidasi tanah. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, dengan mengumpulkan data-data sekunder seperti peraturan perundangundangan, bahan-bahan kepustakaan, dan media internet yang berkaitan dengan pertanahan pada umumnya dan pelaksanaan penatagunaan tanah melalui konsolidasi tanah pada khususnya. Data tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu objek permasalahan yang berupa sinkronisasi fakta-fakta yang terjadi dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan demikian, pendekatan ini digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan di bidang penguasaan dan pemanfaatan tanah yang dikaitkan dengan masalah pelaksanaan konsolidasi tanah. Hasil dari penelitian ini adalah pelaksanaan konsolidasi tanah di Desa Caringin, telah melalui tahapan yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 Tentang Konsolidasi Tanah, dan Kantor Pertanahan Bogor memiliki peranan sesuai dengan fungsinya yang telah ditetapkan dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.Item PENERAPAN SISTEM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA PEKERJA PT FREEPORT INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA(2012-08-06) JONES SUTANTO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenUsaha pertambangan merupakan bidang usaha yang memiliki risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Tiap perusahaan tambang wajib menerapkan sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang dapat melindungi para pekerjanya. PT Freeport Indonesia sebagai salah satu perusahaan pertambangan emas terbesar di dunia sudah seharusnya memiliki suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang terbaik, sehingga kecelakaan kerja dapat dihindari dan risiko yang ditimbulkan oleh area pertambangan itu sendiri dapat dikurangi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sistem keselamatan dan kesehatan kerja pada PT Freeport Indonesia dan bagaimana perlindungan terhadap pekerjanya yang mengalami kecelakaan kerja. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan kebijakan apa yang perlu diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT Freeport Indonesia belum menerapkan sistem keselamatan dan kesehatan kerja secara maksimal di dalam manajemen perusahaannya. Kecelakaan yang terjadi menandakan perusahaan kurang memperhatikan risiko yang akan dihadapi oleh pekerjanya. Perlindungan mengenai jaminan sosial pada PT Freeport Indonesia diatur sesuai Perjanjian Kerja Bersama dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial tenaga Kerja. Jaminan Sosial juga diberikan berupa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.Kata Kunci : keselamatan, kesehatan kerja, freeportAPPLICATION OF OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY SYSTEM TO THE WORKERS AT PT FREEPORT INDONESIA BASED ON LAW NUMBER 1/1970 CONCERNING JOB SAFETYJones Sutanto Bubun 110110080021ABSTRACT Mining industry represent a sector that has high risk of work accident. Every mining company must apply system of occupational health and safety system which can protect all workers. PT Freeport Indonesia as one of biggest gold mining company in the world has to possess occupational health and safety system, so that work accident can be avoided and the risk can be reduced. The purpose of this research is to comprehend the application of occupational health and safety system at PT Freeport Indonesia and the protection to its workers who experiencing of work accident. The method that used in this research is normative juridical which focus in secondary data. The specification is analytical descriptive, which explaining about the regulation and what policy require to be taken to overcome the problems. Data analysis used qualitative analysis method. Result of this research indicate that PT Freeport Indonesia has not comply occupational health and safety system completely in its company. The work accident that happened indicate the company did not observe the risk to be faced by its worker. An incident caused by incompatible mining equipments earmark the insuffiency of PT Freeport Indonesia in taking care its worker. Workers protection are arranged according to the Law Number 3/1992 about Worker Social Guarantee. Social Guarantee also given in the form of Health Care Guarantee.Keyword : safety, occupational health, FreeportItem IMPLEMENTASI RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG(2012-08-06) NURYANA SUMEKAR M; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenIndonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang tertinggi, namun penanganannya masih kurang optimal. Salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya perhatian terhadap korban. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur mengenai hak korban untuk mendapatkan restitusi. Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa sejak tahun 2007 hingga saat ini, kasus tindak pidana perdagangan orang yang korbannya mendapatkan restitusi baru ada satu korban, padahal jumlah korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia lebih dari 3600 orang. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang menghambat implementasi restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah implementasi restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia beserta faktor-faktor penghambatnya. Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini, menggunakan spesifikasi penelitian yang dilakukan secara deskriptif analitis yaitu melukiskan fakta-fakta dari data yang diperoleh berdasarkan kenyataan. Metode pendekatan dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan, literatur, dan tulisan ilmiah yang berkaitan dengan objek penelitian langsung, yaitu pencarian data ke Kejaksaan, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Pengadilan. Analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara kualitatif untuk mencapai kejelasan yang akan dianalisis untuk ditarik suatu kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa implementasi restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang masih belum optimal. Dari sekian banyaknya korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia, korban yang mendapatkan restitusi baru satu orang. Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor penghambat antara lain, tidak adanya peraturan pelaksana, terlalu ringannya pidana kurungan pengganti, kurangnya pemahaman penegak hukum terkait restitusi, pemahaman masyarakat yang kurang terkait kepentingan korban, kurangnya sarana dan prasarana dan kurangnya pemahaman dari korban tindak pidana perdagangan orang terkait hak-haknya.Item PELAKSANAAN PEMBERIAN TUNJANGAN HARI RAYA (THR) PADA PEKERJA DI PERUSAHAAN BERDASARKAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA PER-04/MEN/1994 TENTANG TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN JO UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TA(2012-08-06) HARMAEIN; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenTunjangan Hari Raya adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain., maka Tunjangan Hari Raya merupakan hak normatif pekerja, ini juga dinyatakan secara tegas menurut ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja PER-04/MEN/1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan. Kenyataannya masih banyak terjadi penyimpangan. Mulai dari pembayaran yang tidak tepat waktu, tidak sesuainya besaran Tunjangan Hari Raya yang diterima, hingga sampai tidak diberikannya Tunjangan Hari Raya Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami tentang penerapan komponen upah Tunjangan Hari Raya (THR) di dalam perusahaan dan juga untuk mengetahui dan memahami tentang kendala yang dihadapi perusahaan dalam penerapan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan upaya hukum dalam mengatasi kendala-kendala tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan mengumpulkan bahan-bahan baik dari peraturan perundangan, maupun data-data perusahaan dari CV. Armico dan CV. Sanjaya, serta wawancara para pekerja dan sumber-sumber terkait lainnya. Data tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu objek permasalahan yang berupa sinkronisasi fakta-fakta yang terjadi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja PER-04/MEN/1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Jo Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan pengaturan lain dan teori yang berlaku. Hasil dari penelitian ini adalah penerapan komponen upah Tunjangan Hari Raya yang terjadi pada CV. Armico dan CV. Sanjaya belum sepenuhnya sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja PER-04/MEN/1994. Kurangnya keuangan perusahaan serta tidak dimasukkannya anggaran mengenai pemberian Tunjangan Hari Raya kepada pekerja menyebabkan perusahaan kurang siap dalam melaksanakan pemberian Tunjangan Hari Raya. dan juga lemahnya kontrol dan pengawasan dari masyarakat dan pemerintah sehingga para pengusaha bebas melakukan penyimpangan mengenai Tunjangan Hari Raya. Kata Kunci : Ketenagakerjaan, Tunjangan Hari RayaItem ASPEK-ASPEK HUKUM PIDANA DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN BABAKAN SILIWANGI OLEH PT.ESA GEMILANG INDAH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG(2012-08-06) AKA FAJARETTA N; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenKawasan Babakan Siliwangi merupakan ruang terbuka hijau publik di Kota Bandung yang juga berfungsi lindung sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kota Bandung. Sesuai dengan fungsi ruangnya tersebut, idealnya Kawasan Babakan Siliwangi tidak dapat dijadikan kawasan budidaya. Tahun 2007, Pemerintah Kota Bandung menandatangani perjanjian bangun guna serah (build operate transfer) dengan PT. Esa Gemilang Indah. Lewat perjanjian tersebut PT. Esa Gemilang Indah memiliki kuasa membangun Kawasan Babakan Siliwangi sebagai area komersialisasi dan mengakibatkan dilanggarnya RTRW Kota Bandung. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) memberlakukan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggar RTRW, tidak terlepas bagi korporasi maupun pemerintah. Melalui penelitian ini, diharapkan diketahuinya apakah pembangunan Kawasan Babakan Siliwangi oleh PT. Esa Gemilang Indah dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana penataan ruang sebagaimana dimaksud UUPR dan hal-hal apa saja yang menjadi kendala dalam penerapan sanksi pidana dalam bidang penataan ruang khususnya dalam pembangunan Kawasan Babakan Siliwangi Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoden pendekatan yuridis normatif yang memiliki kaitan terhadap masalah pengaturan sanksi pidana dalam pemanfaatan ruang, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis yang dianalisis menggunakan metode normatif kualitatif. Pembangunan Kawasan Babakan Siliwangi oleh PT. EGI bukan merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) UUPR karena unsur ‘mengakibatkan perubahan fungsi ruang’ dalam rumusan pasal tersebut tidak terpenuhi. Namun, pemberian izin konsensi oleh Pemerintah Kota Bandung kepada PT. EGI dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana penataan ruang sesuai pasal 73 ayat (1) UUPR, yaitu memenuhi rumusan pejabat pemerintah yang berwenang dalam memberikan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Adapun kendala dalam menerapkan sanksi pidana dalam UUPR khususnya dalam perkara ini adalah rumusan tindak pidana dalam UUPR masih prematur dan tidak sesuai dengan tujuan penataan ruang itu sendiri; partisipasi pemerintah masih dominan dalam pengambilan keputusan; terbatasnya peran serta masyarakat dalam bidang penataan ruang; masih minimnya pemahaman penegak hukum akan bidang penataan ruang; serta ketidakjelasan rumusan tindak pidana itu sendiri dalam UUPR. Babakan Siliwangi area is the main public open green space at Bandung which is functioned as conservation area in accordance with Bandung’s Spatial Planning (vide, Perda No. 2 Tahun 2003 Jo. No. 3 Tahun 2006). Following the function, virtually Babakan Siliwangi cannot be converted into commercial area. In 2007, Government of Bandung signed the Build operate transfer of Babakan Siliwangi with PT. Esa Gemilang Indah (PT. EGI). Through the agreement, PT. EGI has the right to construct Babakan Siliwangi area into commercial area, which is disobeyed The Spatial Planning of Bandung. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) imposes criminal penalties for anyone who violates the spatial planning that has already composed. Through this research, I hope we will know the qualification of Criminal act in spatial planning sector trough this Babakan Siliwangi case and find some obstacles in applying criminal aspects of spatial planning especially in this Babakan Siliwangi case. This research uses normative juridical which is related to the problem of applying criminal aspects in spatial planning and also uses analytical descriptive as research specification that analyzing with qualitative normative method. The construction of Babakan Siliwangi area by PT. EGI couldn’t be qualified as criminal act in spatial planning sector which is describes in Article 69 (1) of UUPR because the ‘implying the change of spatial function’ element did not proved. However, conssesion conferral of Bababakan Siliwangi area by Government of Bandung to PT. EGI which id described in Article 73 of UUPR, could be qualified as criminal act. There are some obstacles in applying criminal aspects of spatial planning, which are the qualification of criminal act in spatial planning still absurd, the government still dominating at decision making, people participation in spatial planning is limited and the unknowingness of criminal agent about this spatial planning sector.Item TINJAUAN TERHADAP IZIN PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN DI LUAR KEGIATAN KEHUTANAN(2012-08-07) MUHAMMAD FAIZ FAISAL; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPerizinan memiliki arti penting dalam sektor kehutanan, terutama berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan pemanfaatan hasil hutan. Dalam hal ini telah terjadi disharmonisasi kewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dimana Pemerintah Daerah memiliki posisi delematis dalam memberikan pelayanan perizinan, antara kepentingan perlindungan lingkungan hidup dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang berakibat kepada kerusakan lingkungan alam, serta upaya apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah dalam mengharmonisasikan benturan kewenangan tersebut. Peneliti menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif, yang digunakan untuk menelaah ketentuan mengenai kewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menggunakan data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari penelitian lapangan yang dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui dan memperoleh gambaran yang nyata mengenai masalah yang terjadi yang menyebabkan adanya benturan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam sistem perizinan di sektor kehutanan, kemudian dianalisa secara kualitatif dan dicari pemecahannya, lalu ditarik suatu kesimpulan yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada. Dari hasil penelitian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa terjadinya disharmonisasi kewenangan dalam pemberian izin pemanfaatan hutan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disebabkan oleh dasar hukum yang mengatur tentang kehutanan yang bersifat lintas sektoral, perbedaan cara penafsiran peraturan perundang-undangan tentang kehutanan yang dipengaruhi oleh orientasi kepentingan dari masing-masing pihak baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dan terjadinya ikonsistensi peraturan perundang-undangan mengenai kehutanan yang berubah-ubah akibat keadaan politik Indonesia yang tidak stabil. Sehingga Pemerintah mengupayakan menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan melalui upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan mengembalikan kualitas hutan dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat, serta pemberian sanksi-sanksi administrasi berupa teguran lisan dan atau tertulis, paksaan pemerintah, uang paksa, penutupan tempat usaha, penghentian kegiatan mesin perusahaan dan pencabutan izin kepada penerima izin yang melakukan pelanggaran hukum secara ketat. Permission has important meaning in forestry sector, especially relate to eternal environment and utilization of forest result. In this case already happened disharmonisasi competence of utilization permit giving forest between Central government and Local Government, where Local Government has position delematis in giving service permission, between importance of environment protection and improvement incoming of local territory that cause to damage of nature environment, and effort what will be conducted by goverment for harmonization in competence collision is referred. Researcher uses method of judicial formality-normative approach, that used to analyze rule hits competence of utilization permit giving forest by book legislation that go into effect by using data that obtained either from bibliography study or from field research that analysed in descriptive qualitative. Descriptive Analysis is used to know and getting the picture that reality hit problem that happened causative existence of competence collision between Central government and Local Government in system permission in forestry sector, then analysed in qualitative and looked for its resolving, last pulled a conclusion that utilized to answer existing problems. From research result above, researcher concludes that the happening of disharmonisasi competence in giving of forest utilization permit between Central government and Local Government caused by legal fundament that arrange about forestry that have the character of pass by quickly sectoral, difference of law and regulation interpretation way about forestry that influenced by importance orientation from each party either Central government or Local Government, and the happening of inconsistention law and regulation hits fickle forestry Indonesia political situation consequence unstable. Until government strived took care of directness function of forest fundamental and forest condition pass by effort rehabilitates and forest recalamation and farm, that bent on return forest quality and improve society utilization, and giving of administration of sanctions have the shape of oral exhortation and or written, government constraint, money forces, closing of effort place, stop of company machine activity and permit repeal to permit receiver that in breach law in tightens.Item PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011 MENGENAI PENGHAPUSAN PASAL OUTSOURCING DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KET(2012-08-07) PUTRI PUSPITASARI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAkibat banyaknya pekerja outsourcing yang dirugikan atas tidak terpenuhinya hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan dan tidak adanya jaminan perlindungan hukum atas keberlangsungan pekerjaan mereka. Adanya pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kepada Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 yang dianggap inkonstitusional, Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan sebagian atas pasal-pasal yang diujikan, yaitu hanya Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) b yang memuat mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Tujuan dari adanya Penulisan ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji dampak pengaturan outsourcing pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan juga untuk mengetahui implementasinya di dalam praktik pasca adanya putusan MK. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mengutamakan penelitian kepustakaan dan menekankan pada tinjauan dari segi ilmu hukum serta implementasinya dalam praktik yaitu mengenai perlindungan hukum pekerja outsourcing pasca adanya Putusan MK. Putusan Mahkamah Konstitusi, berdampak pada adanya perubahan terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan terutama terkait Pasal PKWT yang dapat berlaku hanya jika menyertakan pengalihan perlindungan hak-hak pekerja yang objek kerjanya tetap. Dalam implementasinya pun putusan ini masih menemui banyak kekurangan, baik dari segi pengaturan, para pihak terkait yang belum menjalankan putusan ini, maupun peran pengawas yang belum optimal.Kata Kunci: Outsourcing, Mahkamah Konstitusi, KetenagakerjaanItem KEKUATAN MENGIKAT PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL YANG DITAFSIRKAN BERBEDA OLEH PARA PIHAK DALAM SENGKETA KUIL PREAH VIHEAR(2012-08-07) TAUFIK BAGUS JAYANTO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPada tahun 1962 Mahkamah Internasional mengeluarkan putusan mengenai sengketa kepemilikan atas Kuil Preah Vihear antara Negara Kamboja dan Negara Thailand yang menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada di bawah kedaulatan Kamboja berdasarkan peta batas wilayah yang telah dibuat oleh para pendahulu kedua negara tahun 1904-1908. Namun hingga tahun 2008 putusan Mahkamah tahun 1962 tersebut tidak dapat terlaksana karena adanya perbedaan penafsiran oleh para pihak atas putusan tersebut. Upaya-upaya telah dilakukan oleh kedua belah pihak namun konflik di wilayah sengketa terus terjadi. Setelah konflik yang panjang, akhirnya para pihak mengajukan permohonan penafsiran dan provisional measures kepada Mahkamah sebagai upaya pelaksanaan putusan Mahkamah tahun 1962. Upaya pelaksanaan putusan Mahkamah pun tidak lepas dari peran ASEAN sebagai organisasi regional di wilayah tersebut yang diminta oleh Mahkamah untuk turut andil dalam upaya pelaksanaan putusan Mahkamah tahun 1962. Penelitian ini ditulis dengan menggunakan metode yuridis normatif yaitu dengan mengambil materi dari sumber hukum internasional terkait pengaturan Mahkamah Internasional konvensi-konvensi Internasional dan sumber hukum lain yang terkait. Data tersebut kemudian digunakan untuk menjelaskan permasalahan dengan melihat fakta-fakta yang dikaitkan dengan aturan hukum dan teori hukum yang berlaku. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa dalam upaya melaksanakan putusan Mahkamah Internasional terkait adanya perbedaan penafsiran, para pihak harus tetap mengacu kepada ketentuan Mahkamah Internasional yang berlaku yaitu Piagam PBB, statuta Mahkamah Internasional dan peraturan Mahkamah Internasional agar upaya pelaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan dapat meminimalisir timbulnya konflik baru. Organisasi regional dapat turut berperan mengajak para pihak untuk melaksanakan putusan Mahkamah Internasional. In 1962 The International Court of Justice issued a judgment regarding The Preah Vinear Temple’s sovereignity dispute between Cambodia and Thailand. The judgment declared that the temple was under Cambodia’s sovereignity referring to the 1904-1908’s boundary line map which was made by predecessor parties. Nevertheless, until 2008 the parties cannot perform the 1962 judgment, which the parties are in disagremeent regards the interpretation of the 1962 Judgment. Attempts have been made by the parties but its cannot cease the conflict in the disputed area. After the lingering conflict, the parties submit their application request for interpretaion of the 1962 judgment and application for provisional measures to ICJ as attempt to perform the 1962 judgemt. ASEAN ,as international regional organisation which the parties are members, involved for attempt to perform the 1962 judgment by ICJ orders. The research was conducted by using normative juridical methods, considering international laws related to International Court of Justice, international Conventions, and other related sources as the bases of research. Related informations are then used to describe the issue by referring to facts and related existing regulations and theories. The research concludes that it is important for both parties to refer to the applicable terms declared by International Court of Justice which are United Nation Charter, Statute of the Court and Rules of Court in order for the judgment to be effectively implemented and to prevent other conflict caused by existing problems. Regional Organisation may be involved by suggesting the parties to abide by the judgment.Item STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI N0. 311 PK/PDT/2009 MENGENAI SENGKETA HAK PAKAI ATAS TANAH WEWENGKON ANTARA PEMERINTAH KOTA CIREBON DENGAN KERATON KASEPUHAN CIREBON(2012-08-07) OKKY WIYONO PUTRO; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPermasalahan dalam kasus ini yakni mengenai sertifikat hak pakai atas tanah yang melibatkan pejabat negara dalam kasus ini. Sertifikat hak pakai atas tanah adalah suatu produk administrasi dimana didalamnya mengandung elemen konkrit, individual dan final. Dalam kasus ini terdapat permasalahan yaitu tanah yang diperebutkan oleh kedua belah pihak yaitu suatu tanah adat yang diakui sebagai tanah milik keraton kesepuhan Cirebon. Kemudian pemerintah kota cirebon yang dalam hal ini walikota Cirebon mendapatkan sertifikat hak pakai atas tanah yang diakui adalah milik negara yakni tanah seperti yang diakui tanah milik kesepuhan keraton Cirebon. Diduga dalam kasus ini terdapat penyerobotan atas tanah yang dilakukan oleh pemerintah kota cirebon sehingga akan dibahas apakah benar terdapat penyerobotan atas tanah oleh pemerintah kota cirebon. Kasus ini berawal di pengadilan Negeri kota Cirebon hingga berlanjut sampai Peninjauan kembali. Kasus ini diselesesaikan dalam ranah peradilan umum. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yang menitikberatkan kepada data kepustakaan atau data sekunder dengan spesifikasi bersifat deskriptif analitis. Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka kajian dilakukan terhadap norma-norma dan asas-asas yang terdapat dalam data sekunder yang tersebar dalam bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier. Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh, dipilih dan disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan maksud mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Hasil yang hendak dicapai adalah bahwa dengan penulisan ini akan memberikan suatu penjelasan mengenai kompetensi pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah yang dalam penulisan ini adalah alas haknya adalah hak pakai atas tanah. Sehingga dapat jelas di terangkan dan sebagai pedoman dalam praktek beracara dalam persidangan apabila kelak terdapat kesamaan kasus seperti ini. Problems in this case that the certificate of Hak Pakai involving state officials in this case. Certificate of hak pakai of land is a product of administration which in it contains elements of concrete, individual and final. In this case there are problems of land contested by both parties is an indigenous land recognized as belonging to the KeratonKasepuhan Cirebon. Then the city government of Cirebon mayor received a certificate of land use rights which are recognized as state-owned land that is recognized property Keraton Kasepuhan Cirebon. Presumably in this case there is a land annexation by the city government of Cirebon that will be discussed whether there were invasions of land by the Govermenet of Cirebon. This case originated in District Court of Cirebon. A review of this case in the realm of public justice. The research method used in this paper is the normative juridical, which focuses on the literature of data or secondary data with analytical descriptive specifications. In accordance with the method of approach used, the study carried out on the norms and principles contained in the secondary data are scattered in primary legal materials, secondary, and tertiary. Data analysis was performed by means of qualitative analysis, the data obtained, selected and arranged systematically for further analyzed qualitatively in order to achieve clarity issues to be discussed. Outcomes to be achieved is that by writing this will provide an explanation of the competence of courts to resolve land disputes in this paper is its right base is the Hak Pakai of land. So it can be clearly explained and the guidelines in practice when one day the hearing in the trial of cases like this there are similarities.Item Keabsahan Klausula Arbitrase dalam Perjanjian Carter Kapal (Charter Party) yang Diinkorporasikan Ke Dalam Konosemen (Bill of Lading) Dikaitkan Dengan New York Convention 1958 dan UNCITRAL Model Law on(2012-08-07) SINTA AGTRIANASARI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenKegiatan pengiriman barang melalui laut dari zaman ke zaman telah memegang peranan penting bagi dunia bisnis. Dalam perjanjian carter kapal, arbitrase marak menjadi pilihan bagi para pihak sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa. Seiring dengan perkembangan dunia bisnis yang menuntut efisiensi dan kepraktisan, terdapat praktik inkorporasi terhadap klausula arbitrase yang dimuat dalam perjanjian carter kapal ke dalam dokumen lainnya, seperti konosemen, yang ditandai dengan klausula inkorporasi. Namun, dalam pengaplikasian dokumen yang terinkorporasi ini, sering menimbulkan masalah bagi para pihak, karena klausula inkorporasi dinilai tidak mendeskripsikan secara jelas dan spesifik mengenai dokumen apa yang akan diinkorporasikan akhirnya menimbulkan kebinggungan bagi pihak lain, sehingga dapat berimplikasi terhadap keabsahan klausula arbitrase. Tujuan penelitian ini, guna menjelaskan permasalahan meliputi: Bagaimanakah ketentuan yang menjadi dasar hukum bagi keabsahan klausula arbitrase di dalam perjanjian carter kapal yang diinkorporasikan terhadap konosemen; Bagaimanakah konsekuensi hukum yang terjadi apabila klausula arbitrase dalam perjanjian carter kapal ditemukan tidak terinkorporasi secara sah/valid di dalam konosemen.Penelitian ini merupakan penelitian hukum menggunakan metode penelitian berupa pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi bersifat deskriptif analitis dan metode pendekatan yuridis normatif.Penelitian ini menunjukkan bahwa UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration amandemen 2006 telah mengatur secara umum terkait dengan keabsahan perjanjian carter kapal yang diinkorporasikan ke dalam konosemen. Namun, masih diperlukan pengaturan secara khusus yang dibuat oleh UNCITRAL terkait dengan ketentuan inkorporasi. Akibat hukum apabila perjanjian carter kapal tidak memenuhi ketentuan inkorporasi, maka, perjanjian arbitrase menjadi tidak sah, forum arbitrase tidak memiliki kewenangan absolut, mengakibatkan sengeketa tidak dapat diselesaikan melalui forum arbitrase.Item TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DALAM PEMENUHAN KESEHATAN ANAK BALITA YANG MENGALAMI GANGGUAN POLA MAKAN (PICA) BERDASARKAN UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KES(2012-08-07) KIKI RIZKI AMALIYAH; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenHak anak atas kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara. Dalam perkembangannya, terdapat anak yang mengalami gangguan pola makan (PICA). Anak penderita PICA kerap kali mengalami penelantaran oleh orangtuanya sendiri, hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip perlindungan anak. Tindakan para orang tua yang membiarkan anak balitanya mengkonsumsi benda-benda tidak lazim dan non-nutrisi (PICA) merupakan cerminan kurangnya perhatian dan lemahnya pengawasan serta tanggung jawab orang tua terhadap kesehatan anaknya. Tujuan penelitian ini untuk menentukan hak-hak kesehatan anak dan merumuskan tanggung jawab orang tua dalam pemenuhan hak kesehatan anak balita yang mengalami gangguan pola makan (PICA). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa yang diteliti yakni tanggung jawab orang tua dalam pemenuhan kesehatan anak balita yang mengalami gangguan pola makan, kemudian menganalisisnya berupa fakta-fakta dari data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun metode pendekatan yang digunakan penulis adalah yuridis normatif, yaitu dengan berusaha mengkaji dan menguji data yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab orang tua terhadap pemenuhan kesehatan anak balita sebagai perlindungan terhadap hak-hak anak serta dianalisis menggunakan metode yuridis kualtitatif. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa perlindungan hukum bagi anak penderita gangguan pola makan (PICA) berdasarkan UU Perlindungan anak dan UU Kesehatan belum terlaksana dengan baik. Masyarakat, pemerintah, Negara, dan terutama orang tua masih mengabaikan hak anak terutama dalam hal menjunjung tinggi hak kesehatan anak. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus gangguan pola makan (PICA) yang berlangsung sudah cukup lama tanpa tersentuh oleh Peraturan Hukum yang ada. Pasal 6 UU Kesehatan dan Pasal 45 ayat (1) UU Perlindungan Anak belum berjalan secara optimal karena masyarakat, pemerintah, negara, dan orang tua masih memiliki kesadaran yang rendah dalam menjamin perlindungan bagi anak balita untuk hidup memperoleh derajat kesehatan yang tinggi bagi pertumbuhan dan perkembangannnya sebagai generasi penerus bangsa.Item PERLIDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP AKIBAT PEMBERIAN VAKSINASI DALAM PROGRAM IMUNISASI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK(2012-08-07) PRATITHA LISTU LOKAHITA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenAnak merupakan subjek hukum yang mendukung hak dan kewajiban. Kesehatan anak merupakan hak anak yang wajib dilindungi dan dipenuhi. Program imunisasi sebagai bentuk program pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah merupakan salah satu bentuk upaya untuk melindungi setiap anak dari penyakit yang berbahaya. Adapun penulisan ini membahas mengenai perlindungan hukum bagi anak terhadap pemberian vaksinasi dalam program imunisasi ditinjau dari Undang-Undang Perlindugan Anak serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh orang tua terhadap petugas kesehatan yang melakukan perbuatan melawan hukumPenelitian ini bersifat deskriptif analitis. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif. Metode analisis data dalam penulisan ini adalah yuridis kualitatif. Data yang telah diolah kemudian dianalisis menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang berkaitan dengan permasalahan dan disusun secara teratur dan sistematis, kemudian dianalisis untuk menarik kesimpulan.Pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak terhadap akibat pemberian vaksinasi dalam program imunisasi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak masih belum optimal. Negara, pemerintah, keluarga, serta orang tua masih kurang mengoptimalkan pelaksanaan pelayanan kesehatan terhadap perlindungan hukum bagi anak terhadap akibat pemberian vaksinasi dalam program imunisasi. Upaya hukum yang dilakukan orang tua terhadap petugas kesehatan yang melakukan perbuatan melawan hukum belum dilakukan dengan optimal, orang tua anak berhak untuk mendapatkan ganti kerugian berdasarkan dengan dasar hukum yang ada.Item PENERAPAN DOKTRIN ULTRA VIRES TERHADAP DIREKSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN UNDANG-UNDANG NO 37 TAHUN 2004 TENTANG KE(2012-08-07) DAVID YACOB MARULI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPT sebagai sebuah badan usaha yang juga berbadan hukum memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan hukum dengan subjek hukum lainnya melalui organ yang ada di dalam Perseroan tersebut. Salah satu latar belakang dibentuknya sebuah PT adalah untuk mendapatkan keuntungan melalui aktivitas sehari-hari melalui pengurusan yang dilakukan oleh Direksi. Dalam pelaksanaan pengambilan keputusan direksi yang berimplikasi terhadap PT, tidak selamanya memberikan keuntungan kepada PT sebagai sebuah badan usaha melainkan membuat kerugian atau bahkan menyebabkan adanya permohonan kepailitan bagi PT tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan suatu penjelesan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kepailitan yang terjadi terhadap perusahaan yang disebabkan Pelampauan Kewenangan (Ultra Vires) oleh direksi.Metode yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang artinya adalah metode yang bahan utamanya adalah bahan kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini, bahan hukum sekunder yang berasal dari buku-buku artikel,jurnal yang berhubungan dengan skripsi ini dan bahan-bahan lain yang berguna untuk menunjang penyelesaian skripsi ini.Sehubungan dengan adanya Pelampauan Kewenangan (Ultra Vires) dari direksi sebuah PT sehingga menyebabkan adanya permohonan kepailitan terhadap perusahaan menurut ketentuan yang ada dalam Pasal 104 UUPT dapat diterapkan tanggung jawab pribadi. Selain itu, terhadap perusahaan juga diberikan kesempatan untuk membuat adanya suatu tuntutan hukum untuk dapat membuktikan adanya Pelampauan Kewenangan (Ultra Vires) (Ultra Vires) sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUKPKPU sehingga harta yang digunakan untuk pelunasan utang sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UUKPKPU berasal dari harta pribadi direksi bukan harta perusahaan.Item TINDAKAN HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN MASYARAKAT KECAMATAN CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN AKIBAT BERLANGSUNGNYA PERTAMBANGAN PASIR OLEH PT. ABDI GUNA BAHARI(2012-08-07) YANUARDI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPT. Abdi Guna Bahari merupakan suatu badan hukum yang kegiatannya melakukan pertambangan pasir di Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor yang dalam melaksanakan kegiatannya menimbulkan kerugian bagi masyarakat Kecamatan Cileungsi. Sulit mendapatkan air bersih merupakan dampak kerugian sebagai akibat dari kegiatan PT. Abdi Guna Bahari. Penulis mengangkat permasalahan ini bertujuan untuk membahas apakah kegiatan pertambangan pasir yang dilakukan oleh PT. Abdi Guna Bahari dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum Pasal 1365 KUHPerdata, bagaimana akibat bagi PT. Abdi Guna Bahari sebagai badan hukum dalam hal melakukan perbuatan melawan hukum, dan untuk membahas tentang tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh Masyarakat Kecamatan Cileungsi Kabupaten bogor sebagai pihak yang dirugikan. Penulisan memorandum hukum ini dikaji dari aspek hukum perdata, hukum lingkungan, dan hukum perusahaan dengan metoda deskriptif analitis dan pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis, diperoleh kesimpulan bahwa perbuatan PT. Abdi Guna Bahari dalam melakukan pertambangan pasir yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor telah memenuhi kualifikasi sebagai suatu perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 jo. Pasal 1367 KUHPerdata, PT. Abdi Guna Bahari wajib memberikan ganti kerugian kepada masyarakat Kecamatan Cileungsi dan masyarakat Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor dapat melakukan tindakan hukum perdata berupa gugatan class action sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002.Item ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.76 K/PDT.SUS/2011 TENTANG SENGKETA JUAL BELI KAVLING TANAH ANTARA FERDINAN ARISANDI MELAWAN PT. TIRTA SEGARA BIRU(2012-08-07) AGHIF Q AZHARY; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPeralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli. Pada praktiknya dalam proses jual beli kavling tanah sering ditemui konsumen yang dirugikan oleh pihak pengembang. Salah satunya adalah kasus yang dianalisis oleh penulis, yaitu PT. Tirta Segara Biru sebagai pihak pengembang (developer) belum menyerahkan tanah serta Sertifikat Hak Milik atas tanah kepada Ferdinan Arisandi sebagai konsumen dari perusahaan tersebut. Masalah hukum yang akan dikaji adalah apakah jual beli kavling tanah yang dilakukan oleh PT. Tirta Segara Biru sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta apakah pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung dalam putusan No. 76K/Pdt.Sus/2011 yang menyatakan bahwa pengajuan keberatan oleh PT. Tirta Segara Biru tidak lampau waktu (daluwarsa) sesuai dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Penulisan Jurnal ini dikaji dari aspek hukum perlindungan konsumen. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan data sekunder seperti buku-buku yang terkait dengan kasus ini. Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa jual beli kavling tanah yang dilakukan oleh PT. Tirta Segara Biru telah melanggar Pasal 146 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman karena PT. Tirta Segara Biru menjual tanah kavling tanpa bangunan. Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung dalam putusan No. 76K/Pdt.Sus/2011 yang menyatakan bahwa pengajuan keberatan oleh PT. Tirta Segara Biru tidak lampau waktu (daluwarsa) bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen karena rentang waktu pengajuan permohonan keberatan melebihi perhitungan yang ditentukan oleh undang-undang.Item KAJIAN HUKUM TENTANG RISIKO REPUTASI DALAM PEMBERIAN FASILITAS KARTU KREDIT DI BANK RAKYAT INDONESIA DITINJAU DARI PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG MANAJEMEN RISIKO(2012-08-07) SOTHYS MUNDIALIKA PUTRI; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenPemberian fasilitas kartu kredit adalah salah satu produk perbankan. Mulai dari proses aplikasi, sampai pencetakan kartu, bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Manajemen risiko merupakan salah satu wujud penerapan prinsip kehati-hatian, prinsip ini diperlukan bank untuk mencegah risiko yang akan muncul di kemudian hari, salah satunya risiko reputasi. Risiko ini berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan nasabah dan masyarakat (publik), hal ini juga dapat mempengaruhi citra bank. Dalam praktek, terdapat tindakan dari pihak terafiliasi bank yang tidak memperhatikan risiko reputasi yang apabila dibiarkan terus-menerus akan berdampak negatif terhadap bank, dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan akibat hukum pada pemberian fasilitas kartu kredit yang tidak menggunakan prinsip kehati-hatian dan tanggungjawab bank serta bagaimana cara bank mengatasi risiko reputasi yang muncul.Penelitian ini merupakan penelitian hukum menggunakan metode penelitian berupa pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi bersifat deskriptif analitis dan metode pendekatan yuridis normatif.Hasil penelitian bahwa bank belum menerapkan prinsip kehati-hatian. Akibat hukum yang muncul karena kelalaian pekerja bank tidak menerapkan prinsip kehati-hatian di dalam memeriksa kebenaran data nasabah antara lain, mengganti kerugian, teguran dari Bank Indonesia, penurunan tingkat kesehatan bank, penurunan tingkat kesehatan bank, pemberhentian pejabat, atau pembekuan usaha bank apabila hal yang dilanggar menyebabkan kerugian yang besar, hal ini juga disebabkan oleh peraturan internal bank yang tidak mengharuskan bank untuk melakukan verifikasi lebih lanjut. Bank sudah melakukan pertanggungjawaban, meskipun belum efektif dan efisien seperti mengganti kerugian dan menjawab keluhan dari pihak yang dirugikan secara langsung di surat kabar.Item TINJAUAN YURIDIS TENTANG ASURANSI PHK DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN(2012-08-07) ADI YUDHATAMA; Tidak ada Data Dosen; Tidak ada Data DosenKrisis ekonomi yang terjadi saat ini di Indonesia mengakibatkan banyaknya perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja atau dikenal dengan istilah PHK kepada pekerjanya. Apabila melihat pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, PHK sebenarnya hak dari pengusaha. Hal ini dapat menjadi suatu hal yang sangat ditakuti oleh pekerja, apalagi pekerja tersebut memang sudah memasuki usia kurang produktif sehingga sangat sulit bagi pekerja tersebut untuk mendapatkan pekerjaan baru. Tidak terkecuali pekerja yang sudah kurang produktif, calon pekerja dan pekerja pada usia produktif pun sulit mendapatkan pekerjaan karena tidak ada lowongan pekerjaan. Dunia usaha saat ini dapat bertahan pun sudah baik, karena banyak di antaranya yang bangkrut. Saat ini dibutuhkan suatu aturan mengenai asuransi PHK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak Jamsostek dalam mengakomodasi asuransi PHK. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode pendekatan yang bersifat yuridis normatif, dan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis, serta metode analisis data metode bersifat yuridis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan Program Asuransi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh PT. Jamsostek akan mengalami kendala-kendala terutama dalam mengakomodasi asuransi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah masih banyaknya pengusaha-pengusaha yang tidak mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek, adanya konflik internal yang membuat program-program jamsostek terbengkalai, dan pengelolaan dana milik tenaga kerja di Jamsostek juga sering tidak transparan. Namun demikian, PT. Jamsostek berupaya untuk memberikan pelayanan yang maksimal agar kepuasan peserta Jamsostek tercapai.